Jual Beli Menurut Hukum Islam

tuntutan ajaran Islam yang senantiasa menyuruh pemeluknya untuk berpedoman kepada Sumber Hukum Islam yang utama yaitu al-Quran dan Hadits.

1. Jual Beli Menurut Hukum Islam

Di dalam hukum Islam jual beli termasuk ke dalam lapangan hukum perjanjianperikatan, atau aqad Arab. Jual beli adalah merupakan suatu bentuk aqad khusus yaitu tunduk kepada ketentuan khusus tentang aqad jual beli namun tetap tunduk kepada ketentuan umum tentang akad. 38 Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar pertukaran. Kata al-Bai’ jual dan asy-Syiraa beli dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama, tetapi mempunyai makna yang bertolak belakang. 39 Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar. 40 Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan dalam tata perundang- undangan di Indonesia terdapat dalam berbagai peraturan, tidak terkodifikasi dalam satu Undang-Undang tertentu, misalnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan sebagainya. 38 M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad Kontrak Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syariah, Op. Cit., hal. 8-15. 39 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A Marzuki, Jilid 12, Penerbit PT. al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal. 44. 40 Ibid., hal. 45. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Keadaan demikian perlu dimaklumi mengingat dalam suatu negera yang sedang berkembang maka hukum jaminan merupakan salah satu hukum yang dinamis, berkembang sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Dalam KUH Perdata, Undang-Undang telah memberikan jaminan bagi setiap kreditur meskipun kedua belah pihak tidak memperjanjikannya, yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan, segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan, kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseim,bangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing kecuali apabila diatara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut mengandung asas hukum yang menyatakan bahwa harta kekayaan seseorang dijadikan jaminan untuk semua kewajibannya, yakni semua hutangnya. Jika seseorang mempunyai suatu hutang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya yang telah diikat atau yang telah diserahkan pada bank. Apabila orang bersangkutan tidak dapat membayar hutang-hutangnya, maka benda-benda miliknya itu setelah dijual merupakan sumber pembayaran hutang- hutang tersebut. Hasil dari penjualan banda-benda tersebut harus dibagi diantara para kreditur secara seimbang atau proporsional menurut perbandingan jumlah tagihan Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 masing-masing, kecuali bila diantara mereka terdapat pihak yang oleh Undang- Undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari penagih Pasal 1132 KUH Perdata. Hak untuk didahulukan diantara lainnya itu terbit dari hak istimewa previlege yang oleh Undang-Undang diberikan kedudukan istimewa itu, yakni : Orang-orang berpiutang yang mempunyai “hak istimewa”. 1. Orang-orang pemegang gadai. 2. Orang-orang pemegang hipotik. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan istilah jaminan dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 8, yang menyatakan bahwa : Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petok, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang berkaitan dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan “agunan tambahan”. Dari uraian di atas dapat dipakai bahwa agunan merupakan salah satu unsur dari jaminan kredit. Dengan demikian apabila berdasarkan unsur-unsur yang lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya, maka agunan yang diserahkan dapat hanya berupa proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut agunan pokok. Meskipun agunan tambahan menurut hukum tidak merupakan keharusan namun untuk kredit menegah dan besar umumnya dalam perjanjian kredit dipersyaratkan debitur wajib menyerahkan agunan tambahan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jaminan yang diperoleh bank ini akan memberikan rasa aman karena disamping sebagai langkah preventif agar bank terhindar dari itikad buruk debitur, barang jaminan juga merupakan salah satu sumber untuk pelunasan kredit macet. Secara rasional, didalam praktek perbankan masih banyak bank yang baik yang tetap meminta jaminan kredit atau collateral dengan sifat-sifat sebagai berikut : Secured dalam arti dapat diikat secara juridisch perfekt sehingga tidak akan ada klaim dari pihak lainnya. Worth and marketable dalam arti harga atau nilai jaminan cukup tinggi sehingga dapat menutup kreditnya saldo debet rekening pinjaman debitur dan laku dijual. Agar jaminan tersebut bisa menjadi secured, maka harus diadakan perjanjian peningkatan, meskipun perjanjian tersebut bersifat accessoir dalam arti perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, yakni perjanjian kredit tetapi pengikatan jaminan itu Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 harulah sekuat atau sesempurna mungkin dan semuanya bergantung pada jenis jaminan itu sendiri. Apabila perjanjian kredit batalberakhir, maka perjanjian hak tanggungan ikut batalberakhir.Dasar hukum jual beli ini terdapat dalam Al-Quran diantaranya yaitu pada Surat al-Baqarah ayat 275 yang artinya “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, dan Surat an-Nisaa ayat 29 yang artinya “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan jalan bathil, kecuali melalui perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”. Dalam hukum Islam, bai’u atau menjual sesuatu dihalalkan atau dibenarkan agama asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama, dan tidak ada khilaf padanya. 41 Karena al-Quran dengan tegas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Agar perjanjianakad jual beli yang diadakan oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka perjanjianakad jual beli tersebut harus memenuhi rukun dan syarat jual beli. Adapun rukun dari jual beli yaitu meliputi: adanya para pihak, adanya uang dan benda, dan adanya lafaz. 42 Sedangkan syarat sahnya perjanjian jual beli terdiri dari: 43 1. Syarat yang menyangkut subjek jual beli. 41 Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, hal. 336. 42 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Penerbit: Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal. 34. 43 Ibid., hal. 34-36. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Bahwa penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi persyaratan yaitu: berakal sehat, dengan kehendaknya sendiri, keduanya tidak mubazir pemboros, dan baligh. Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus selalu didasarkan pada kesepakatan antara penjual dan pembeli Q.S. an-Nisaa:29. 2. Syarat yang menyangkut objek jual beli. a. Bersih barangnya b. Dapat dimanfaatkan c. Barang yang dijual milik orang yang melakukan akad Bahwa barang yang menjadi objek perjanjian harus benar-benar milik pejual secara sah. Dengan demikian jual beli yang dilakukan terhadap barang yang bukan miliknya secara sah adalah batal. d. Mampu menyerahkannya e. Barang tersebut diketahui oleh pembeli dan penjual f. Barang yang diakadkan ada di tangan 3. Syarat sah yang menyangkut lafaz. Sebagai sebuah perjanjian harus dilafazkan, artinya secara lisan atau secara tertulis disampaikan kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan lafaz adalah adanya pernyataan ijab dan kabul, atau sighat yaitu serah terima dari kedua belah pihak. Ridha Kurniawan Adnans : Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, 2007 USU e-Repository © 2008 Disamping dari syarat yang telah dijelaskan diatas, para ulama fiqih juga ada yang mengemukakan syarat lain berkaitan dengan pembedaan antara jual beli benda bergerak dan benda tidak bergerak. Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka benda itu langsung dikuasai oleh pembeli dan harga dikuasai penjual, sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan menurut ‘urf kebiasaan setempat. 44

2. Jual Beli Dalam Hukum Perdata