Latar Belakang Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum. Selaku Dekan Fakultas Hukum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu lembaga, yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang di bidang hukum. Oleh karena itu, negara berusaha untuk mengatur perkawinan, dengan suatu undang-undang nasional, yang dimaksudkan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga. 1 ”Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan, 2 sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah 1 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia , Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1 2 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal. 3 1 Universitas Sumatera Utara 2 berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain. 3 Suatu perkawinan yang telah dibentuk dapat putus, baik itu dikarenakan ketidak inginan para pihak maupun keinginan para pihak. Dalam Pasal 38 Undang- undang perkawinan dan Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata putusnya perkawinan ini disebabkan karena: 1. Kematian. 2. Perceraian. 3. Tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru istri atau suaminya. 4. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil. “Perceraian nerupakan salah satu bagian dari putusnya perkawinan. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”. 4 Putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. 5 Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil 3 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 16 4 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135 5 Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 3 keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai. Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian. 6 Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka Undang-Undang Perkawinan mengatur alasan- alasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit terjadinya perceraian. 7 Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 6 R.Subekti, Op Cit, Pasal 221 7 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya , Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 139 Universitas Sumatera Utara 4 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiistri; 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 8 Menurut Subekti, perceraian ialah “penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. 9 Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan. 10 Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah : 11 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan memutuskan; 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak; 8 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.37. 9 Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42. 10 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal.118. 11 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Universitas Sumatera Utara 5 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya. Dalam Undang-Undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya yang terjadi sering kali disaat ibu memegang hak pemeliharaan anak maka pihak ayahlah yang diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut. Padahal didalam pasal 41 ayat 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 sudah nyata-nyata menegaskan bahwa “bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap anaknya maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak”. Universitas Sumatera Utara 6 Kondisi apapun harus tetap diingat bahwa wanita ataupun pria adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui secara seimbang oleh Undang-undang, yaitu persamaan hak dihadapan hukum. Salah satu prinsip dasar pelaksanaan persamaan hak di hadapan hukum dalam undang-undang adalah persamaan dalam perlindungan undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan persamaan dalam perlindungan undang-undang adalah suatu kedudukan di mana setiap manusia mendapat perlakuan sama di depan undang- undang dan hukum. Persamaan dalam perlindungan undang-undang juga mengandung pengertian bahwa setiap manusia laki-laki maupun perempuan, warga negara maupun asing, serta dengan tidak memandang agama, suku bangsa, warna kulit dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya adalah sama dapat bertindak sebagai subjek hukum, yakni sebagai pembawa hak atau yang memiliki hak dan kewajiban. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Negara Republik Indonesia yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini juga berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut undang-undang dan hukum. 12 Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang terjadi pada kasus yang dijadikan 12 Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945. Universitas Sumatera Utara 7 objek penelitian ini yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan No. 132Pdt.G2011PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap tiga orang anak yang masih di bawah umur bernama A, M dan AD jatuh kepada ibunya yaitu FS. Dimana pada permasalahan ini mantan istri menuntut kepada mantan suaminya AR untuk memberikan nafkah hidup ketiga anaknya. Suami sendiri sebenarnya adalah seorang pegawai honorer yang berpenghasilan Rp.1.750.000,- satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah perbulannya, lebih rendah dari mantan istri yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji Rp.3.018.000,- tiga juta delapan belas ribu rupiah perbulan. Dimana mantan istri menuntut mantan suaminya agar memberikan nafkah untuk anaknya dengan perhitungan sebagai berikut: 1. A sebesar Rp.3.000.000,- tiga juta rupiah 2. M sebesar Rp.3.000.000,- tiga juta rupiah 3. AD sebesar Rp. 3.000.000,- tiga juta rupiah Akan tetapi dari gugatan tersebut hakim menetapkan: 1. A sebesar Rp.1.000.000,- satu juta rupiah 2. M sebesar Rp.750.000,- tujuh ratus lima puluh ribu rupiah 3. AD sebesar Rp.750.000,- tujuh ratus lima puluh ribu rupiah Walaupun tidak sebesar dari gugatan mantan istrinya akan tetapi hal tersebut masih dianggap besar. Karena telah melebihi jumlah gaji dari mantan suami yang digugat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak Universitas Sumatera Utara 8 yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian Studi Putusan Nomor 132Pdt.G2011PN.Mdn.”

B. Permasalahan