23
BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK
PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN
PENGADILAN
A. Mengenai Perkawinan 1.
Perkawinan
Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak
dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya.
Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk
membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.
Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir
batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.
Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin
merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.
37
37
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.
23
Universitas Sumatera Utara
24
Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua
pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang
mengikat kedua pihak saja. Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja,
sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini,
adalah kodrat karunia Tuhan, bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan
lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.
38
R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah
“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersamabersekutu yang kekal”.
39
Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di
dalamnya.
40
Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama
dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran
38
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.
39
R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW
. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.
40
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.
Universitas Sumatera Utara
25
“an”menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.
41
Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung
jawab dalam
menunaikan tugasnya
sebagai suami-isteri
atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang undang Hukum Perdata KUH Perdata.
Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :
1. Kesepakatan
Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila
dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan. 2.
Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hokum
dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap dewasa. Tidak cakap adalah orang- orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang
ditempatkan dalam pengawasan curatele, dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18
delapan belas tahun. Meskipun belum berumur 18 delapan belas tahun, apabila
41
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.
Universitas Sumatera Utara
26
seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa. 4.
Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.
42
Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
43
Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya
dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Perbedaan lain yang dapat
42
Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6.
43
Ibid . hal 6.
Universitas Sumatera Utara
27
dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah
tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya
perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan,
misalnya karena pembatalan perkawinan. Soemiyati mengatakan bahwa
Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya.
Bagaimana sebab
putusnya ikatan
perkawinan, prosedurnya
maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan
hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak laki-laki dan
perempuan yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-
hukumnya.
44
Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam
banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar
kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain,
misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.
44
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
28
Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan
tersebut diputuskan. Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka
diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974.
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu
keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan
perkawinan yang
juga tercantum
pada pengertian
perkawinan tersebut
yaitu:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Universitas Sumatera Utara
29
Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan
spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu
membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara
suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur
hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak. “Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan
tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara
beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.
45
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu: 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-isteri membantu untuk
mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.
45
Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
30
“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang
berasal dari darah dagingnya sendiri”.
46
“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
47
Artinya tujuan perkawinan itu adalah:
a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna. b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.
c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki suami dengan kaum kerabat perempuan isteri, yang
mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum golongan dengan yang lain.
48
Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :
Al-Qur’an sebagaimana
sumber pokok
tidak memberikan
pedoman bahwakaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang
menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang
baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.
49
Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang
46
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62.
47
Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.
48
Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, hal. 189
49
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
31
berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang
dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha
kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.
50
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.
Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah
diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
32
perkawinan, kecuali
apabila dilakukan
menurut hukum
agamanya dan
kepercayaannya itu. Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi
oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:
a. Syarat materiil
Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun
syarat-syarat Syarat Materil adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Syarat
materiil ini dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu: 1 Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang
yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka
orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari:
a
kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b
persetujuan bebas dari kedua pihak;
Universitas Sumatera Utara
33
c setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU;
d izin dari pihak ketiga;
e waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin
kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 sembilan puluh hari dan karena kematian 130
seratus tiga puluh hari.
51
2 Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak syarat untuk
dirinya sendiri tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang
yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.
52
Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 dua orang yang:
a Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri. d Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi
paman susuan. e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka
yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 dua kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk
yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
51
Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I Hukum Keluarga. F.H. Universitas 17 Agustus UNTAG. Semarang 1997, hal 28.
52
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
34
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
b. Syarat formil
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang : 1 Pemberitahuan
Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur :
Universitas Sumatera Utara
35
a Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
b Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. c
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 dua disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah. d
Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada
pegawai pencatat perkawinan. 2 Pengumuman
Setelah semua
persyaratan terpenuhi
maka pegawai
pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor
pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975.
3 Pelaksanaan “Setelah hari ke-10 sepuluh tidak ada yang mengajukan keberatan atas
rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh
Universitas Sumatera Utara
36
pegawaipencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja”.
53
Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Ahmad
Djumairi mengatakan bahwa : Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang
Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.
54
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: a
Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan
perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan
keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap
belum dewasa.
c Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali. e
Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.
53
Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39.
54
Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24.
Universitas Sumatera Utara
37
f Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat 1 dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan. Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan
juga dibagi dua macam adalah: 1 syarat materiil dan 2 syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam
melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu: a
Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi: 1 Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami Pasal 27 KUH Perdata.
2 Persetujuan antara suami-isteri Pasal 28 KUH Perdata. 3 Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18
delapan belas tahun dan bagi wanita berumur 15 lima belas tahun Pasal 29 KUH Perdata.
4 Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 tiga ratus hari setelah perkawinan terdahulu
dibubarkan Pasal 34 KUH Perdata. 5 Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang
belum dewasa dan belum pernah kawin Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
38
b Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 dua macam, yaitu: 1 Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah
dan karena perkawinan. 2 Larangan kawin karena zina,
3 Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 satu tahun.
Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:
a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata. Pemberitahuan tentang
maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan
menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 sepuluh hari.
b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal
sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.
55
Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta
kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah
sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Ada pula kemungkinan menurut Pasal
229 KUH Perdata “selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka
55
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
39
itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu”.
Menurut Subekti yang mengatakan bahwa : Perwalian Voogdij adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang–undang. Anak yang berada di
bawah perwalian, adalah 1 Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, 2 Anak sah yang orang tuanya telah
bercerai dan 3 Anak yang lahir di luar perkawinan naturlijk kind.
56
2. Perceraian