53
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM UNTUK MENENTUKAN TANGGUNG
JAWAB PIHAK SUAMI DALAM MEMBERIKAN PENAFKAHAN TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIAN
A. Hakim Sebagai Pembuat Keputusan 1.
Hakim
Perkataan Hakim berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti orang yang bijaksana. Menurut pengertian secara Normatif sebagaimana termuat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP pada pasal 1 butir 8, hakim adalah penjabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili. Dengan batasan seperti tersebut di atas jelas bahwa yang diartikan Hakim itu
adalah pejabat peradilan negara, dimana tugasnya diberikan oleh Undang-Undang untuk mengadili. Mengadili mempunyai arti serangkaian tindakan Hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutuskan perkara. Perkataan Hakim adalah pejabat peradilan negara yang memberikan suatu batasan bahwa ada orang lain atau orang-
orang tertentu yang diberi kewenangan untuk mengadili, akan tetapi karena status orang tersebut bukan pejabat peradilan negara dan lembaga peradilannya bukan
peradilan negara, maka terhadap orang tersebut tidaklah dapat diartikan sebagai Hakim sekalipun dipandang dari sudut pekerjaannya melakukan suatu tindakan
peradilan, misalnya para arbitrator di dalam lembaga Arbitrasi.
53
Universitas Sumatera Utara
54
Pada peranannya sebagai pegawai negeri sipil maka para hakim adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara dan Pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pebangunan nasional terutama tergantung dari kesempurnaan aparatur negara dan pada pokoknya
tergantung dari kesempurnaan pegawai negeri, khususnya para Hakim, dalam melaksanakan tugasnya dititikberatkan pada pembinaan sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Seorang Hakim harus mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan serta menjaga keutuhan, kesatuan dan persatuan
bangsa. Sebagai abdi masyarakat, seorang Hakim harus memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya dan bukan sebaliknya yakni minta dilayani
oleh masyarakat. Hakim di Indonesia adalah Hakim di negara yang berdasarkan Pancasila,
sehingga harus memusatkan pengabdiannya dan kesetiannya kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara serta Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hakim
haruslah mempunyai sikap dan perilaku yang tetap berorientasi pada masalah- masalah yang dihadapi oleh negara dan bangsa, yaitu masalah pertumbuhan, ekonomi
dan pengamanan jalannya pembangunan. Hakim sebagai penegak hukum pertama-tama harus mengusahakan tegaknya
hukum dan keadilan. Oleh karena rasa keadilan itu ada dan hidup dalam masyarakat, maka seorang Hakim yang baik harus dapat mengukur apakah putusannya sudah
Universitas Sumatera Utara
55
mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk itu seorang Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada
pada masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan penggali dan perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Ia harus terjun ketengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami kesadaran hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ukuran keadilan yang harus dijadikan patokan atau pedoman bukanlah sekedar rasa keadilan rakyat setempat saja, melainkan keadilan yang dapat diterima
oleh rakyat Indonesia. Bagi setiap Hakim upaya mewujudkan makna secara nyata merupakan suatu ujian bagi dirinya dalam kaitannya dengan kemandirian profesi dan
fungsi Hakim dalam mengemban amanat para pencari keadilan. Dalam hubungan ini hendaknya dapat dicegah suatu kecenderungan bahwa seakan-akan makna adil dan
keadilan, salah atau tidak bersalah itu di permainkan, dijadikan permainan untuk suatu kepentingan, sehingga atas kasus yang serupa terdapat putusan yang berbeda-
beda. Seorang Hakim harus dapat mengintegrasikan diri dalam masyarakat guna
benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman. Penjelasan Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
56
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa kebebasan Hakim dalam melaksanakan wewenang yudisialnya tidak bersifat
mutlak karena Hakim mempunyai kewajiban menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat
Indonesia. Dengan demikian jelaslah tentang kepentingan-kepentingan lainnya yang
harus diperhatikan oleh seorang Hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudisialnya, yaitu kepentingan negara dan bangsa.
Mengenai kepentingan negara dewasa ini adalah kepentingan pembangunan dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur, oleh karena itu seorang Hakim
wajib memahami dan menghayati program-program pembangunan nasional serta kebijaksanaan pemerintah dalam rangka turut mensukseskan program-program
tersebut. Hakim wajib menegakkan hukum yang seadil-adilnya terhadap siapapun yang merugikan, merongrong dan menghambat jalannya pembangunan. Profil Hakim
di Indonesia bukanlah sebagaimana gambaran seorang yang memegang timbangan, memegang pedang dengan mata tertutup, menegakkan hukum bukanlah sekedar
melaksanakan huruf-huruf, kalimat atau pasal mati dalam peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif.
Hukum positif
memiliki kekurangan-kekurangan
atau kekosongan-
kekosongan, karena sifat hukum positif memang tidak dapat mengikuti kecepatan
Universitas Sumatera Utara
57
dinamika perkembangan masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah-masalah yang baru timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut
haruslah diisi oleh para Hakim sehingga Hakim dalam hal ini menjadi sumber hukum dan pembuat hukum.
Dalam memegang peranan yang sangat penting itu, maka para Hakim harus memiliki pegangan yang kuat, ialah landasan yang kuat dan tujuan-tujuan perjuangan
serta pandangan hidup Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Karena itu setiap putusan Hakim selalu diawali dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang menunjukkan betapa penting dan menentukan peranan sila pertama dari Pancasila bagi setiap Hakim dalam mengemban tugas untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran. Hakim sebagai Pegawai Negeri maupun sebagai penegak hukum memang
dapat dibedakan akan tetapi tidak mungkin dipisahkan. Dalam kedudukannya sebagai Pegawai Negeri seorang Hakim adalah abdi negara dan abdi masyarakat, sedangkan
dalam kedudukannya sebagai penegak hukum ia adalah Abdi hukum dan pemutus keadilan dalam masyarakat. Di dalam memegang peranan dan kedudukan tersebut
hakim di Indonesia adalah seorang yang berkepribadian arif dan bijaksana, adil, memiliki kemampuan profesional yang mantap, kematangan intelektual yang tinggi
serta integritas moral yang tidak cacat. Peranan Hakim sebagai penegak hukum adalah mepunyai arti kedudukan
sebagai wakil Tuhan. Kedudukannya sebagai wakil Tuhan dapat kita simpulkan dari
Universitas Sumatera Utara
58
setiap keputusan Hakim yang selalu diawali dengan sebutan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan atas nama Tuhan membawa tanggung jawab yang besar tentunya, Pertama-tama pada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada masyarakat bangsa dan negara.
Kedudukan Hakim sebagai wakil Tuhan yang punya tanggung jawab yang besar seperti yang telah disebutkan di atas, maka perlu direnungkan ucapan Bapak Bismar
Siregar, dalam bukunya “Polisi sebagai badan penyidik boleh keliru, Jaksa Penuntut Umum boleh salah, tetapi Hakim jauh dari itu.
69
Dalam GBHN TAP MPR No. IIMPR1983, khusus tentang pembangunan di bidang hukum menyebutkan bahwa pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan
antara lain agar dapat menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan. Pada tahap pembangunan nasional dewasa ini masalah pada umumnya dan
pembangunan di bidang hukum pada khususnya adalah salah satu aspeknya, merupakan dua hal yang sangat penting oleh karena hakekat pembangunan adalah
proses perubahan sosial dalam menuju kearah perbaikan sesuai dengan apa yang di cita-citakan.
Hukum merupakan salah satu penjelmaan struktur rohaniah masyarakat, yakni ebagai penjelmaan nilai-nilai sosial budaya yang dinamis, maka dalam kaitannya
dengan proses pembangunan akan ditemui suatu masalah dasar yaitu sejauhmanakah
69
Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana Jakarta : Bina Cipta, 1983, Hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
59
perkembangan hukum dapat mengikuti dan menunjang perkembangan sosial lainnya. Hal ini tidak lain karena pada kenyataannya sering perkembangan hukum tidak dapat
menggikuti bahkan tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Dari pemikiran yang sedemikian ini timbul konsekuensi lebih jauh, yaitu
bagaimana keseimbangan hukum dengan perkembangan sosial lainnya yang membawa konsekuensi adanya kekosongan hukum, yang dalam hal ini dapat diisi
oleh Hakim. Sehingga Hakim pun dalam hal ini melalui putusannya dapat menjadi sumber hukum dan pembuat pembina hukum.
70
Hakim sebagai aparat penegak hukum pertama-tama mempunyai tugas dan fungsi mengusahakan tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini dapat kita ketahui dari
Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan penjelasan di atas ini tetap saja ditemukan bahwa masalah nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang belum dapat ditafsirkan bentuk nilai
kriteriannya. Dengan demikian apabila hendak merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Hakim harus mengetahui dan memahami
benar-benar akan peranannya baik sebagai pegawai negeri maupun sebagai penegak hukum. Selanjutnya Hakim harus menyadari bahwa :
70
Departemen Kehakiman RI, Pembangunan dan Pembinaan Hukum Nasional, Biro HUMAS Bagian Penerangan dan Pemberitaan, Jakarta, 1985, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
60
a. Hakim di Indonesia adalah Hakim di negara yang berdasarkan pancasila, sehingga harus memusatkan pengabdiannya dan kesetiannya kepada cita-cita perjuangan
bangsa dan negara serta UUD Tahun 1945; b. Hakim di Indonesia adalah juga Hakim di negara yang sedang membangun dengan
wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional, sehingga sikap dan perilakunya tetap berorientasi kepada masalah-masalah yang dihadapi oleh negara dan bangsa
yang sedang membangun yaitu masalah pemerataan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional dan pengamanan jalannya pembangunan;
c. Bahwa ukuran keadilan yang harus dijadikan pedoman adalah keadilan yang mempunyai dimensi nasional dan dapat diterima seluas mungkin oleh masyarakat.
Ketiga hal tersebut kiranya dapat dipandang sebagai nilai dasar yang harus dipahami dan dikembangkan bagi Hakim dalam menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Hukum merupakan salah satu subsistem sosial yang dalam gerak fungsinya
antara lain berperan sebagai sarana mempertahankan pola dan integrasi nasional, sehingga dalam dinamika pembangunan dapat dihindari seminimal mungkin gejolak-
gejolak yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
71
Bahwa suatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat selalu mengkait kan aspek-aspek sosial lain secara simultan, maka pendekatan insterdisipliner dari
aspek sosial yang lain akan lebih banyak diperlukan agar masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh hukum akan dapat dipecahkan dari sudut sosial lainnya. Selain
71
Soerjono Sekanto, Penegakan Hukum, BPHN, Departmen Kehakiman RI, Jakarta, 1983, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
61
dituntut kemampuan memahami dan menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, maka Hakim pun dituntut dan diwajibkan untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesemuannya ini
dilandasi pemikiran bahwa hukum yang diciptakan oleh hakim melalui keputusannya hendaklah didasarkan pada rekonstruksi atas suatu faktaperbuatan secara objektif,
mengingat bahwa fakta itu sendiri selalu mengkait berbagai faktor secara bersamaan. Hal ini juga dimaksudkan agar kemampuan hakim merekonstruksi fakta yang hendak
dijadikan dasar putusannya lebih ditingkatkan mutunya, sehingga hukum yang dibuat oleh hakim melalui keputusannya benar-benar berintikan keadilan.
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24 ayat 2 ditentukann bahwa kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan antara lain bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 1 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Bahwa dengan demikian jelas
aturan atau ketentuan ini adalah merupakan realisasi dari Undang-Undang Dasar
Universitas Sumatera Utara
62
Tahun 1945 yang dalam penjelasannya menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum Rachtsstaat dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
Machtstaat. Dalam hubungan ini juga Wahyu Affandi, dalam bukunya Hukum dan
Penegakan Hukum, menegaskan : “Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka harus mampu
mencegah tindakan-tindakan
penguasa yang
sewenang-wenang dan
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, karena itu dia harus melakukan pengawasan yuridis atas setiap instansi dari kekuasan eksekutif serta
kepentingan-kepentingan golongan
dalam masyarakat
dalam rangka
menumbuhkan kesadaran hukum yang bertitik tolak pada ketaatan aturan- aturan hukum.”
72
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam
Pasal 1 itu diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang- Undang,
dengan tugas
pokok menerima,
memeriksa dan
mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Menurut K. Wantjik Saleh, Dalam bukunya Kehakiman dan Keadilan,
menyatakan : “Kata yang terpenting dalam redaksi Pasal 2 ayat 1 tersebut adalah
‘mengadili’, sebenarnya dengan kata mengadili sudah tercakup kata-kata lainnya, perbuatan mengadili adalah bertujuan dan berintikan memberi suatu
keadilan”.
73
Bahwa dalam rangka itu, oleh hakim dilakukan tindakan atau kegiatan- kegiatan yang diawali dengan mengadakan penelaahan terlebih dahulu mengenai
72
Wahyu Affandi, Hukum dan Penegakan Hukum, Bandung : Alumni, 1981, hal. 10.
73
K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Sumber Cahaya, 1981, hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
63
kebenaran perkara
yang diajukan,
selanjutnya mempertimbangkan
dengan memberikan penilaian atas perkara itu serta menghubungkannya dengan hukum yang
berlaku dan
kemudian memberikan
penilaian atas
perkara itu
serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku dan kemudian memberikan suatu
kesimpulan dengan menentukan hukum terhadap perkara itu. Menurut Montesquieu
74
antara lain mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kekuasaan legislatif berarti kekuasaan untuk membuat undang-undang, eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan
yudikatif adalah kekuasan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang yang lazim disebut kekuasaan untuk mengadili. Selanjutnya menurut Beliau ketiga kekuasaan
tersebut harus terpisah satu sama lain dalam arti mutlak, baik mengenai badan maupun tugas fungsinya. Akan tetapi dilihat dalam praktiknya, ajaran Montesquieu
yang disebut juga dengan Trias Politica itu tidak mungkin dapat dilaksanakan secara murni di mana dalam kenyataannya dalam pemerintahan menunjukkan bahwa pada
pembuatan Undang-Undang Dasar UUD misalnya yang seharusnya merupakan tugas legislatif saja, tetapi juga mengikutsertakan kekuasaan eksekutif. Tujuan ajaran
ini adalah agar masing-masing kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang sehingga menghalangi pelaksanaan kekuasaan yang satu akan membendung kekuasaan yang
lain.
74
Montesquieu, L Esprit Des Lois dalam Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Kanisius, Yogyakarta, 2001. Hal. 234.
Universitas Sumatera Utara
64
Kendati ada hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif tidaklah berarti badan yudikatif dalam prinsip tersebut diabaikan, sebab pada prinsipnya badan
ini merupakan badan yang melaksanakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh dari
eksekutif maupun legislatif, bahkan oleh individu maupun golongan yang berpengaruh sekalipun. Kekuasaan yudikatif harus bebas dan merdeka dalam
menentukan keputusannya terhadap suatu perkara. Segala bentuk campur tangan akan mengancam
perlindugan terhadap
hak-hak asasi
manusia dan
sekaligus menghilangkan prinsip-prinsip dari ciri-ciri suatu negara hukum.
Adapun ciri-ciri khas dari suatu negara hukum adalah : a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan; b. Peradilan bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan manapun juga; c. Legalitas dalam arti segala bentuk.
Untuk menentukan apakah suatu negara menganut asas negara hukum atau pembagian kekuasaan dan asas negara hukum ataupun asas-asas lain-lainnya, maka
dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang merupakan penjelasan autentik itu mempunyai nilai yang yuridis
dengan huruf besar menyebutkan : Negara Indonesia berdasar atas hukum tidak berdasar atas kekuasaan belaka”, ketentuan terakhir ini memperjelas apa yang secara
tersurat atau tersirat telah dinyatakan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang- Undang Dasar Tahun 1945.
Universitas Sumatera Utara
65
Di samping itu pada beberapa pasalnya disebutkan bahwa undang-udang dibuat atas kerjasama antara Presiden eksekutif dengan DPR legislatif, jadi dalam
hal ini Undang-Undang Dasar kita menganut asas pembagian kekuasan. Seperti telah dikemukakan, maka konsekuensi dari suatu negara hukum adalah harus adanya suatu
badan peradilan yang bebas Independent yudiciary dan merdeka. Hal demikian telah ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24, bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan lain-lain. Badan kehakiman menurut undang-undang dan dalam penjelasannya tertulis bahwa
kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh dari manapun juga.
Penyelesaian dari pelanggaran hukum telah dipercayakan kepada badan peradilan yang bersifat bebas dan mereka tidak dipengaruhi oleh pihak manapun juga,
sebab lembaga semacam inilah yang mampu menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Selanjutnya untuk menjamin terlaksananya kemandirian kekuasaan
kehakiman, Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ke-3 menetapkan bahwa”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk di berhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
66
Hal ini bertujuan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman, dapat menjalankannya dengan baik, penuh rasa aman sehingga
diharapkan putusannya yang adil. Namun bagaimana aplikasi konsep kemandirian kekuasaan kehakiman dan peraturan-peraturan pendukungnya dalam kehidupan
hukum di Indonesia, merupakan suatu hal yang harus dicermati. Apakah pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia benar-benar bebas dan mandiri, adalah suatu hal
yang harus ditelaah lebih lanjut. Sementara ini untuk pembinaan teknis yuridis terhadap badan-badan peradilan
yang ada, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi diberikan wewenang untuk melakukannya.
Sementara itu
untuk mencegah
tercemarnya kemandirian
kekuasaan kehakiman oleh karena adanya konsep dualisme pembinaan peradilan, maka diadakan
juga jaminan-jaminan melalui undang-undang. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa : Pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung serta pembinaan sebagaimana dimaksud di atas Kehakiman tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Namun demikian dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan bahwa ada Hakim
yang tetap saja terpengaruh. Dalam hal ini Hakim bukanlah pihak yang harus disalahkan sepenuhnya,
kadangkala mereka takut untuk memberikan putusan yang adil sesuai dengan hati nurani
mereka, karena
putusan yang
demikian akan
menempatkan
Universitas Sumatera Utara
67
pemerintahatasannya dalam posisi yang dipermasalahkan. Apabila seorang atasan dipersalahkan oleh bawahan, maka akan jelas pula nasib yang akan menimpa sang
bawahan. Hal ini didukung lagi oleh tidak jelasnya sistim kenaikan pangkat karier di lingkungan kehakiman, sehingga membuka kesempatan bagi perasaan “sentiment
pribadi” untuk turut berbicara dalam kenaikan pangkat nanti. Dalam kaitan ini juga, perlu diingatkan bahwa dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, bukanlah Departemen Kehakiman.
Dengan demikian semua pengaturan yang mungkin dapat menghalangi pelaksanaan kekuasaan kehakiman secara mandiri oleh Mahkamah Agung dan badan kehakiman
lain adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sementara itu dalam praktik, pelanggaran terhadap kemandirian kekuasaan
kehakiman terus berlanjut. Forum Koordinasi Mahkejapol Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Polisi merupakan suatu bentuk pelanggaran tersendiri, Luhut
Pengaribuan menyebutkan bahwa: Adanya wadah tersebut adalah pengingkaran terhadap”Independent of Judiciary”.
Pelanggaran tersebut terjadi karena dalam wadah ini peradilan dijadikan peradilan musyawarah, sehingga putusan dari kehakiman mau tidak mau disesuaikan
dengan apa yang sudah disepakati dalam forum itu. Dengan demikian Hakim tidak bebas lagi untuk memutus suatu perkara berdasarkan keyakinannya dan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan karena terikat “kesepakatan” dalam forum.
Universitas Sumatera Utara
68
Dengan demikian jelas Hakim dapat menjadi terpengaruh dalm memberikan putusannya. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jelas-jelas
melarang segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana di sebut dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam upaya menciptakan hakim yang mandiri, undang-undang memberikan
kewenangan yang banyak pada seorang hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Hakim pengadilan diberi tugas pokok untuk memeriksa mengadili, dan
memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain menurut Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Keadaan hakim yang monopolistic ini merupakan suatu lubang kelemahan yang ada di dalam sistem persidangan. Sifat monopolistic ini juga membuka peluang
yang lebih besar bagi terjadinya kesalahan dalam mengadili. Putusan yang terkonsentrasi kewenangan pada satu pihak akan lebih mudah salah dibandingkan
dengan putusan yang kewenangannya dibagikan kepada banyak pihak dimana masing-masing pihak diberi peran yang berbeda namun tetap dalam satu tujuan yang
sama. Sebagai koreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa
Orde Lama, maka pemerintah Orde Baru telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang meletakkan kerangka
umum dan asas-asas bagi semua peradilan di Indonesia. Pasal 1 undang-undang tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
Universitas Sumatera Utara
69
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.
Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut : “Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang judisial tidaklah mutlak sifatnya,
karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan Pancasila dengan jelas menafsirkan hukum dan mencari dasar-
dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa
dan rakyat Indonesia. Selanjutnya ditegaskan bahwa campur tangan pihak luar dimungknkan bila dikehendaki undang-undang.”
2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Tanggung Jawab Pihak