21
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak b.
Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat
kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku, hasilpenelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek
permasalahan yang diteliti. c.
Bahan hukum Tersier Bahan hukum tersier dalam penelitian ini memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
35
Seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta
makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
36
3. Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah :
a. Kajian Dokumen
Metode ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, karya
ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. b.
Wawancara
35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, halaman 194-195.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat
,Rajawali Pers, Jakarta, 1990, halaman 14.
Universitas Sumatera Utara
22
Metode wawancara merupakan proses Tanya jawab lisan antara penulis dengan Informan, sehingga informasi-informasi diperoleh dengan bertanya langsung.
Ada beberapa yang menentukan hasil wawancara dan arus informasi, maka perlu dilakukan banyak wawancara karena dengan wawancara akan mempermudah dan
mempercepat menemukan permasalahan dan pemecahannya.
4. Analisis Data.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan metode kualitatif
yaitu pemaparan kembali dengan
kalimat yang sistematis untuk
memberikan gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif sehingga
diperoleh jawaban atas masalah yang ditetapkan. Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tersier untuk mengetahui variditasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang
sejenis untuk kepentingan analisis data ini. Evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif oleh karena itu data
yang sudah dikumpilkan dipilah-pilah dan diolah kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif
sehingga dapat diketahui tanggung jawab hukum suami istri dalam perceraian terhadap anak dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
23
BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK
PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN
PENGADILAN
A. Mengenai Perkawinan 1.
Perkawinan
Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak
dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya.
Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk
membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.
Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir
batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.
Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin
merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.
37
37
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.
23
Universitas Sumatera Utara
24
Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua
pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang
mengikat kedua pihak saja. Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja,
sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini,
adalah kodrat karunia Tuhan, bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan
lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.
38
R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah
“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersamabersekutu yang kekal”.
39
Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di
dalamnya.
40
Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama
dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran
38
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.
39
R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW
. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.
40
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.
Universitas Sumatera Utara
25
“an”menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.
41
Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung
jawab dalam
menunaikan tugasnya
sebagai suami-isteri
atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang undang Hukum Perdata KUH Perdata.
Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :
1. Kesepakatan
Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila
dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan. 2.
Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hokum
dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap dewasa. Tidak cakap adalah orang- orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang
ditempatkan dalam pengawasan curatele, dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18
delapan belas tahun. Meskipun belum berumur 18 delapan belas tahun, apabila
41
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.
Universitas Sumatera Utara
26
seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa. 4.
Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.
42
Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
43
Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya
dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Perbedaan lain yang dapat
42
Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6.
43
Ibid . hal 6.
Universitas Sumatera Utara
27
dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah
tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya
perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan,
misalnya karena pembatalan perkawinan. Soemiyati mengatakan bahwa
Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya.
Bagaimana sebab
putusnya ikatan
perkawinan, prosedurnya
maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan
hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak laki-laki dan
perempuan yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-
hukumnya.
44
Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam
banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar
kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain,
misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.
44
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
28
Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan
tersebut diputuskan. Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka
diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974.
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu
keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan
perkawinan yang
juga tercantum
pada pengertian
perkawinan tersebut
yaitu:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Universitas Sumatera Utara
29
Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan
spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu
membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara
suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur
hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak. “Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan
tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara
beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.
45
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu: 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-isteri membantu untuk
mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.
45
Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
30
“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang
berasal dari darah dagingnya sendiri”.
46
“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
47
Artinya tujuan perkawinan itu adalah:
a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna. b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.
c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki suami dengan kaum kerabat perempuan isteri, yang
mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum golongan dengan yang lain.
48
Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :
Al-Qur’an sebagaimana
sumber pokok
tidak memberikan
pedoman bahwakaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang
menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang
baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.
49
Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang
46
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62.
47
Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.
48
Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, hal. 189
49
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
31
berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang
dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha
kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.
50
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.
Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah
diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
32
perkawinan, kecuali
apabila dilakukan
menurut hukum
agamanya dan
kepercayaannya itu. Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi
oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:
a. Syarat materiil
Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun
syarat-syarat Syarat Materil adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Syarat
materiil ini dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu: 1 Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang
yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka
orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari:
a
kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b
persetujuan bebas dari kedua pihak;
Universitas Sumatera Utara
33
c setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU;
d izin dari pihak ketiga;
e waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin
kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 sembilan puluh hari dan karena kematian 130
seratus tiga puluh hari.
51
2 Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak syarat untuk
dirinya sendiri tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang
yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.
52
Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 dua orang yang:
a Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri. d Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi
paman susuan. e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka
yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 dua kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk
yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
51
Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I Hukum Keluarga. F.H. Universitas 17 Agustus UNTAG. Semarang 1997, hal 28.
52
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
34
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
b. Syarat formil
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang : 1 Pemberitahuan
Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur :
Universitas Sumatera Utara
35
a Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
b Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. c
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 dua disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah. d
Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada
pegawai pencatat perkawinan. 2 Pengumuman
Setelah semua
persyaratan terpenuhi
maka pegawai
pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor
pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975.
3 Pelaksanaan “Setelah hari ke-10 sepuluh tidak ada yang mengajukan keberatan atas
rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh
Universitas Sumatera Utara
36
pegawaipencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja”.
53
Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Ahmad
Djumairi mengatakan bahwa : Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang
Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.
54
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: a
Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan
perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan
keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap
belum dewasa.
c Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali. e
Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.
53
Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39.
54
Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24.
Universitas Sumatera Utara
37
f Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat 1 dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan. Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan
juga dibagi dua macam adalah: 1 syarat materiil dan 2 syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam
melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu: a
Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi: 1 Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami Pasal 27 KUH Perdata.
2 Persetujuan antara suami-isteri Pasal 28 KUH Perdata. 3 Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18
delapan belas tahun dan bagi wanita berumur 15 lima belas tahun Pasal 29 KUH Perdata.
4 Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 tiga ratus hari setelah perkawinan terdahulu
dibubarkan Pasal 34 KUH Perdata. 5 Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang
belum dewasa dan belum pernah kawin Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
38
b Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 dua macam, yaitu: 1 Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah
dan karena perkawinan. 2 Larangan kawin karena zina,
3 Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 satu tahun.
Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:
a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata. Pemberitahuan tentang
maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan
menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 sepuluh hari.
b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal
sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.
55
Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta
kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah
sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Ada pula kemungkinan menurut Pasal
229 KUH Perdata “selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka
55
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
39
itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu”.
Menurut Subekti yang mengatakan bahwa : Perwalian Voogdij adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang–undang. Anak yang berada di
bawah perwalian, adalah 1 Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, 2 Anak sah yang orang tuanya telah
bercerai dan 3 Anak yang lahir di luar perkawinan naturlijk kind.
56
2. Perceraian
Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian
dengan permufakatan saja antara suami-isteri. Karena perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
57
Dimana untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak
dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi. Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena
kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam bagian Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim
56
Soebekti, Pokok –Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta , 2003 , hal 52
57
Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
40
setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.
58
Oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah dibentuk dapat putus, antara lain karena:
59
a. Kematian, b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari
suamiistri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau
kedua-duanya tersebut. Putusnya
perkawinan dikarenakan
Perceraian merupakan
putusnya perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk
melanjutkan rumahtangganya. Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap
perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:
60
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya; b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
58
R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.
59
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
60
R.Subekti, op cit, Pasal 209
Universitas Sumatera Utara
41
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain; e. Salah
satu pihak
mendapatkan cacat
badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami – isteri;
f. Antara suami
dan isteri
terus menerus
terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya
perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. selain karena hal pengajuan gugatan perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika
dibutuhkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
61
Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang telah diceraikan tersebut tidak mempunyai
penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya sendiri.
62
Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut
61
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
62
R.Subekti, op cit, Pasal 225.
Universitas Sumatera Utara
42
berasal dari harta kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk itu.
63
B. Tanggung Jawab
Mantan Suami
Terhadap Anak
Dalam Hal
Penghasilannya Kurang Cukup 1.
Tanggung Jawab
Menafkahi Anak
Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Penjelasan umum undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka
Undang- undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah
menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2
ayat 1 dinyatakan, “tidak ada perkawinan di
luar masing-masing
hukum agamanya
dan kepercayannya
sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945, disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku Pasal 2 ayat 2”. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya,
maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
64
Di dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
63
Ibid.
64
H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 104
Universitas Sumatera Utara
43
disebutkan bahwa perkawinan perkawinan dapat putus karena :
65
1. kematian 2. perceraian
3. atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian yaitu dengan matinya salah satu
pihak dari suami atau istri. Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan atau karena perceraian.
Berdasarkan Pasal 39 dan 40 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
bahwa salah satu prinsip dari Undang-undang Perkawinan ini adalah
Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Sesuai dengan prinsip
mempersukar terjadinya perceraian tersebut maka Pasal 39 ayat 1
memuat ketentuan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 40 ayat 1 memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
Yang dimaksud dengan pengadilan di sini ialah Pengadilan Agama bagi yang bergama Islam dan Pengadilan Umum Pengadilan Negeri bagi lainnya
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 63 ayat 1 dan 2. Pasal 39 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun
65
lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
Universitas Sumatera Utara
44
sebagai suami istri. Sedang tata cara perceraian di depan sidang pengadilan itu, dan tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan itu, menurut Pasal 39 ayat
3 dan Pasal 40 ayat 2 diatur dalam peraturan perUndang-undangan tersendiri yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai
dengan 18 dan Pasal 20 sampai dengan 36. Alasan-alasan yang
dapat dijadikan
dasar untuk
perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut adalah :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar ditentukan.
b. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. salah satu pihak mendapat cacat badan, atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiistri. e. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan beserta yang
membahayakan terhadap pihak lain. f. antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. Gugatan kepada Pengadilan Negeri yang diajukan oleh seorang suami atau
seorang istri. Selama berlangsungnya gugatan tersebut atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan
berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat memberi izin kepada suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, berdasarkan ayat 2 pasal ini, pengadilan dapat :
Universitas Sumatera Utara
45
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami b. menentukan
hak-hak yang perlu
untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang- barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan
suami istri adalah sudah jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan
menjadi tidak boleh lagi,
tetapi mereka
boleh kawin kembali
sepanjang ketentuan hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut Pasal 41 ayat 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberi biaya
penghidupan danatau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban danatau
menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat 1 dan 2 dapat diketahui bahwa akibat yuridis terhadap anak bila terjadi perceraian
adalah : a. baik Ibu atau Bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan
anak,bilamana ada
perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak
pengadilan memberi
keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
Kemudian dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
46
a. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
b. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara keduanya putus. Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka
berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga
didasarkan kepada kepentingan anak. Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti berikut:
a. anak yang
belum mencapai
umur 18
tahun atau
belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
b. orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,
maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa :
Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si
orang tua itu
atau sama
sekali tidak
mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuh
hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.
Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh
sebagai seorang
pengasuh dan
pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik.
66
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orang tua tidak
66
M.Yahya Harahap, op.cit, hlm. 216
Universitas Sumatera Utara
47
dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagai berikut : a.
salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-
hal; 1 Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
2 Ia berkelakuan sangat buruk sekali
b. meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut. Dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang
atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan anak akan diurus oleh
seorang wali yang ditunjuk. “Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu adalah sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak tersebut,
yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.
67
2. Kewajiban Mantan Suami Sebagai Subjek Hukum Untuk Memenuhi
Keputusan Pengadilan
Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik
67
Lihat Pasal 50 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
48
pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum
mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling
dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah
anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya
yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang
membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi
ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya
menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.
68
Pasal 41 Undang – Undang Nomor. 1 Tahun 1974, berbunyi sebagai berikut: ” Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
68
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet-2, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 157-63.
Universitas Sumatera Utara
49
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak,
bilamana ada
perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi
keputusannya. b.
Bapak yang
bertanggung jawab
atas semua
biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Akibat dari putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 41 UU No.1 Tahun
1974. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1.
Akibat talak. 2.
Akibat perceraian. Bilamana perkawinan itu putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberikan nafkah,
mas kawin,
dan kiswah
kepada bekas
isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil; c. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156
UU No.1 Tahun 1974. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu:
a. Terhadap anak-anaknya;
Universitas Sumatera Utara
50
b. Terhadap harta bersama; c. Terhadap mut’ah.
Ketentuan ini
terdapat di
dalam Pasal
189 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas
terdapat tiga hal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, yakni :
a. Tidak hadirnya salah satu pihak. b. Putusan Hakim; dan
c. Perceraian. Pasal 41 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi
sebagai berikut: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu maupun Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya, semata – mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak – anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak – anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
Universitas Sumatera Utara
51
Undang – Undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal.
Pertama mengatur
tentang kewajiban
pemeliharaan dan
pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka
dengan sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 1 Undang-
Undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan diantara
kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 45 Undang – Undang Perkawinan. Kedua
mengatur tentang
kebalikannya, yakni
kewajiban anak
terhadap orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya Pasal 46 Undang – Undang Perkawinan.
Ketiga mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam segala perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 47 yaitu: Anak yang
belum mencapai umur 18 tahun delapan belas tahun. Atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada
di bawah kekuasaan
orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Keempat diatur di dalam Pasal 48 Undang-Undang Perkawinan yang memuat bahwa: Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 delapan belas tahun
Universitas Sumatera Utara
52
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kelima diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan tentang adanya kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang atau kedua orang tua
dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
Meskipun orang
tua dicabut
kekuasaannya, mereka
masih tetap berkewajiban
untuk memberikan biaya
pemeliharaan kepada
anak tersebut.
Khusus di dalam Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dengan Anak yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan mendapatkan perhatian dari Prof. Hazairin
dalam tinjauannya tentang hal tesebut bahwa istilah belum dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 1 apa arti dewasa tidak dijumpai penjelasannya.
Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak- anaknya berlaku sampai anak itu menikah atau berdiri sendiri. Sebaliknya menurut
Pasal 46, jika anak tersebut telah ”dewasa” ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tuanya apabila mereka memerlukan bantuannya. Jelaslah
bahwa ”dewasa” itu dikaitkan kepada kemampuan dapat membantu memelihara orang lain, yaitu membela keperluan hidup orang lain, hal mana hanya mungkin jika
si ”dewasa” itu ialah orang yang sanggup memelihara diri sendiri atau dapat berdiri sendiri yaitu tidak lagi tergantung hidupnya kepada orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
53
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM UNTUK MENENTUKAN TANGGUNG
JAWAB PIHAK SUAMI DALAM MEMBERIKAN PENAFKAHAN TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIAN
A. Hakim Sebagai Pembuat Keputusan 1.
Hakim
Perkataan Hakim berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti orang yang bijaksana. Menurut pengertian secara Normatif sebagaimana termuat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP pada pasal 1 butir 8, hakim adalah penjabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili. Dengan batasan seperti tersebut di atas jelas bahwa yang diartikan Hakim itu
adalah pejabat peradilan negara, dimana tugasnya diberikan oleh Undang-Undang untuk mengadili. Mengadili mempunyai arti serangkaian tindakan Hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutuskan perkara. Perkataan Hakim adalah pejabat peradilan negara yang memberikan suatu batasan bahwa ada orang lain atau orang-
orang tertentu yang diberi kewenangan untuk mengadili, akan tetapi karena status orang tersebut bukan pejabat peradilan negara dan lembaga peradilannya bukan
peradilan negara, maka terhadap orang tersebut tidaklah dapat diartikan sebagai Hakim sekalipun dipandang dari sudut pekerjaannya melakukan suatu tindakan
peradilan, misalnya para arbitrator di dalam lembaga Arbitrasi.
53
Universitas Sumatera Utara
54
Pada peranannya sebagai pegawai negeri sipil maka para hakim adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara dan Pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pebangunan nasional terutama tergantung dari kesempurnaan aparatur negara dan pada pokoknya
tergantung dari kesempurnaan pegawai negeri, khususnya para Hakim, dalam melaksanakan tugasnya dititikberatkan pada pembinaan sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Seorang Hakim harus mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan serta menjaga keutuhan, kesatuan dan persatuan
bangsa. Sebagai abdi masyarakat, seorang Hakim harus memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya dan bukan sebaliknya yakni minta dilayani
oleh masyarakat. Hakim di Indonesia adalah Hakim di negara yang berdasarkan Pancasila,
sehingga harus memusatkan pengabdiannya dan kesetiannya kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara serta Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hakim
haruslah mempunyai sikap dan perilaku yang tetap berorientasi pada masalah- masalah yang dihadapi oleh negara dan bangsa, yaitu masalah pertumbuhan, ekonomi
dan pengamanan jalannya pembangunan. Hakim sebagai penegak hukum pertama-tama harus mengusahakan tegaknya
hukum dan keadilan. Oleh karena rasa keadilan itu ada dan hidup dalam masyarakat, maka seorang Hakim yang baik harus dapat mengukur apakah putusannya sudah
Universitas Sumatera Utara
55
mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk itu seorang Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada
pada masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan penggali dan perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Ia harus terjun ketengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami kesadaran hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ukuran keadilan yang harus dijadikan patokan atau pedoman bukanlah sekedar rasa keadilan rakyat setempat saja, melainkan keadilan yang dapat diterima
oleh rakyat Indonesia. Bagi setiap Hakim upaya mewujudkan makna secara nyata merupakan suatu ujian bagi dirinya dalam kaitannya dengan kemandirian profesi dan
fungsi Hakim dalam mengemban amanat para pencari keadilan. Dalam hubungan ini hendaknya dapat dicegah suatu kecenderungan bahwa seakan-akan makna adil dan
keadilan, salah atau tidak bersalah itu di permainkan, dijadikan permainan untuk suatu kepentingan, sehingga atas kasus yang serupa terdapat putusan yang berbeda-
beda. Seorang Hakim harus dapat mengintegrasikan diri dalam masyarakat guna
benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman. Penjelasan Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
56
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa kebebasan Hakim dalam melaksanakan wewenang yudisialnya tidak bersifat
mutlak karena Hakim mempunyai kewajiban menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat
Indonesia. Dengan demikian jelaslah tentang kepentingan-kepentingan lainnya yang
harus diperhatikan oleh seorang Hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudisialnya, yaitu kepentingan negara dan bangsa.
Mengenai kepentingan negara dewasa ini adalah kepentingan pembangunan dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur, oleh karena itu seorang Hakim
wajib memahami dan menghayati program-program pembangunan nasional serta kebijaksanaan pemerintah dalam rangka turut mensukseskan program-program
tersebut. Hakim wajib menegakkan hukum yang seadil-adilnya terhadap siapapun yang merugikan, merongrong dan menghambat jalannya pembangunan. Profil Hakim
di Indonesia bukanlah sebagaimana gambaran seorang yang memegang timbangan, memegang pedang dengan mata tertutup, menegakkan hukum bukanlah sekedar
melaksanakan huruf-huruf, kalimat atau pasal mati dalam peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif.
Hukum positif
memiliki kekurangan-kekurangan
atau kekosongan-
kekosongan, karena sifat hukum positif memang tidak dapat mengikuti kecepatan
Universitas Sumatera Utara
57
dinamika perkembangan masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah-masalah yang baru timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut
haruslah diisi oleh para Hakim sehingga Hakim dalam hal ini menjadi sumber hukum dan pembuat hukum.
Dalam memegang peranan yang sangat penting itu, maka para Hakim harus memiliki pegangan yang kuat, ialah landasan yang kuat dan tujuan-tujuan perjuangan
serta pandangan hidup Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Karena itu setiap putusan Hakim selalu diawali dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang menunjukkan betapa penting dan menentukan peranan sila pertama dari Pancasila bagi setiap Hakim dalam mengemban tugas untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran. Hakim sebagai Pegawai Negeri maupun sebagai penegak hukum memang
dapat dibedakan akan tetapi tidak mungkin dipisahkan. Dalam kedudukannya sebagai Pegawai Negeri seorang Hakim adalah abdi negara dan abdi masyarakat, sedangkan
dalam kedudukannya sebagai penegak hukum ia adalah Abdi hukum dan pemutus keadilan dalam masyarakat. Di dalam memegang peranan dan kedudukan tersebut
hakim di Indonesia adalah seorang yang berkepribadian arif dan bijaksana, adil, memiliki kemampuan profesional yang mantap, kematangan intelektual yang tinggi
serta integritas moral yang tidak cacat. Peranan Hakim sebagai penegak hukum adalah mepunyai arti kedudukan
sebagai wakil Tuhan. Kedudukannya sebagai wakil Tuhan dapat kita simpulkan dari
Universitas Sumatera Utara
58
setiap keputusan Hakim yang selalu diawali dengan sebutan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan atas nama Tuhan membawa tanggung jawab yang besar tentunya, Pertama-tama pada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada masyarakat bangsa dan negara.
Kedudukan Hakim sebagai wakil Tuhan yang punya tanggung jawab yang besar seperti yang telah disebutkan di atas, maka perlu direnungkan ucapan Bapak Bismar
Siregar, dalam bukunya “Polisi sebagai badan penyidik boleh keliru, Jaksa Penuntut Umum boleh salah, tetapi Hakim jauh dari itu.
69
Dalam GBHN TAP MPR No. IIMPR1983, khusus tentang pembangunan di bidang hukum menyebutkan bahwa pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan
antara lain agar dapat menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan. Pada tahap pembangunan nasional dewasa ini masalah pada umumnya dan
pembangunan di bidang hukum pada khususnya adalah salah satu aspeknya, merupakan dua hal yang sangat penting oleh karena hakekat pembangunan adalah
proses perubahan sosial dalam menuju kearah perbaikan sesuai dengan apa yang di cita-citakan.
Hukum merupakan salah satu penjelmaan struktur rohaniah masyarakat, yakni ebagai penjelmaan nilai-nilai sosial budaya yang dinamis, maka dalam kaitannya
dengan proses pembangunan akan ditemui suatu masalah dasar yaitu sejauhmanakah
69
Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana Jakarta : Bina Cipta, 1983, Hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
59
perkembangan hukum dapat mengikuti dan menunjang perkembangan sosial lainnya. Hal ini tidak lain karena pada kenyataannya sering perkembangan hukum tidak dapat
menggikuti bahkan tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Dari pemikiran yang sedemikian ini timbul konsekuensi lebih jauh, yaitu
bagaimana keseimbangan hukum dengan perkembangan sosial lainnya yang membawa konsekuensi adanya kekosongan hukum, yang dalam hal ini dapat diisi
oleh Hakim. Sehingga Hakim pun dalam hal ini melalui putusannya dapat menjadi sumber hukum dan pembuat pembina hukum.
70
Hakim sebagai aparat penegak hukum pertama-tama mempunyai tugas dan fungsi mengusahakan tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini dapat kita ketahui dari
Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan penjelasan di atas ini tetap saja ditemukan bahwa masalah nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang belum dapat ditafsirkan bentuk nilai
kriteriannya. Dengan demikian apabila hendak merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Hakim harus mengetahui dan memahami
benar-benar akan peranannya baik sebagai pegawai negeri maupun sebagai penegak hukum. Selanjutnya Hakim harus menyadari bahwa :
70
Departemen Kehakiman RI, Pembangunan dan Pembinaan Hukum Nasional, Biro HUMAS Bagian Penerangan dan Pemberitaan, Jakarta, 1985, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
60
a. Hakim di Indonesia adalah Hakim di negara yang berdasarkan pancasila, sehingga harus memusatkan pengabdiannya dan kesetiannya kepada cita-cita perjuangan
bangsa dan negara serta UUD Tahun 1945; b. Hakim di Indonesia adalah juga Hakim di negara yang sedang membangun dengan
wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional, sehingga sikap dan perilakunya tetap berorientasi kepada masalah-masalah yang dihadapi oleh negara dan bangsa
yang sedang membangun yaitu masalah pemerataan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional dan pengamanan jalannya pembangunan;
c. Bahwa ukuran keadilan yang harus dijadikan pedoman adalah keadilan yang mempunyai dimensi nasional dan dapat diterima seluas mungkin oleh masyarakat.
Ketiga hal tersebut kiranya dapat dipandang sebagai nilai dasar yang harus dipahami dan dikembangkan bagi Hakim dalam menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Hukum merupakan salah satu subsistem sosial yang dalam gerak fungsinya
antara lain berperan sebagai sarana mempertahankan pola dan integrasi nasional, sehingga dalam dinamika pembangunan dapat dihindari seminimal mungkin gejolak-
gejolak yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
71
Bahwa suatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat selalu mengkait kan aspek-aspek sosial lain secara simultan, maka pendekatan insterdisipliner dari
aspek sosial yang lain akan lebih banyak diperlukan agar masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh hukum akan dapat dipecahkan dari sudut sosial lainnya. Selain
71
Soerjono Sekanto, Penegakan Hukum, BPHN, Departmen Kehakiman RI, Jakarta, 1983, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
61
dituntut kemampuan memahami dan menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, maka Hakim pun dituntut dan diwajibkan untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesemuannya ini
dilandasi pemikiran bahwa hukum yang diciptakan oleh hakim melalui keputusannya hendaklah didasarkan pada rekonstruksi atas suatu faktaperbuatan secara objektif,
mengingat bahwa fakta itu sendiri selalu mengkait berbagai faktor secara bersamaan. Hal ini juga dimaksudkan agar kemampuan hakim merekonstruksi fakta yang hendak
dijadikan dasar putusannya lebih ditingkatkan mutunya, sehingga hukum yang dibuat oleh hakim melalui keputusannya benar-benar berintikan keadilan.
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24 ayat 2 ditentukann bahwa kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan antara lain bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 1 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Bahwa dengan demikian jelas
aturan atau ketentuan ini adalah merupakan realisasi dari Undang-Undang Dasar
Universitas Sumatera Utara
62
Tahun 1945 yang dalam penjelasannya menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum Rachtsstaat dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
Machtstaat. Dalam hubungan ini juga Wahyu Affandi, dalam bukunya Hukum dan
Penegakan Hukum, menegaskan : “Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka harus mampu
mencegah tindakan-tindakan
penguasa yang
sewenang-wenang dan
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, karena itu dia harus melakukan pengawasan yuridis atas setiap instansi dari kekuasan eksekutif serta
kepentingan-kepentingan golongan
dalam masyarakat
dalam rangka
menumbuhkan kesadaran hukum yang bertitik tolak pada ketaatan aturan- aturan hukum.”
72
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam
Pasal 1 itu diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang- Undang,
dengan tugas
pokok menerima,
memeriksa dan
mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Menurut K. Wantjik Saleh, Dalam bukunya Kehakiman dan Keadilan,
menyatakan : “Kata yang terpenting dalam redaksi Pasal 2 ayat 1 tersebut adalah
‘mengadili’, sebenarnya dengan kata mengadili sudah tercakup kata-kata lainnya, perbuatan mengadili adalah bertujuan dan berintikan memberi suatu
keadilan”.
73
Bahwa dalam rangka itu, oleh hakim dilakukan tindakan atau kegiatan- kegiatan yang diawali dengan mengadakan penelaahan terlebih dahulu mengenai
72
Wahyu Affandi, Hukum dan Penegakan Hukum, Bandung : Alumni, 1981, hal. 10.
73
K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Sumber Cahaya, 1981, hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
63
kebenaran perkara
yang diajukan,
selanjutnya mempertimbangkan
dengan memberikan penilaian atas perkara itu serta menghubungkannya dengan hukum yang
berlaku dan
kemudian memberikan
penilaian atas
perkara itu
serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku dan kemudian memberikan suatu
kesimpulan dengan menentukan hukum terhadap perkara itu. Menurut Montesquieu
74
antara lain mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kekuasaan legislatif berarti kekuasaan untuk membuat undang-undang, eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan
yudikatif adalah kekuasan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang yang lazim disebut kekuasaan untuk mengadili. Selanjutnya menurut Beliau ketiga kekuasaan
tersebut harus terpisah satu sama lain dalam arti mutlak, baik mengenai badan maupun tugas fungsinya. Akan tetapi dilihat dalam praktiknya, ajaran Montesquieu
yang disebut juga dengan Trias Politica itu tidak mungkin dapat dilaksanakan secara murni di mana dalam kenyataannya dalam pemerintahan menunjukkan bahwa pada
pembuatan Undang-Undang Dasar UUD misalnya yang seharusnya merupakan tugas legislatif saja, tetapi juga mengikutsertakan kekuasaan eksekutif. Tujuan ajaran
ini adalah agar masing-masing kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang sehingga menghalangi pelaksanaan kekuasaan yang satu akan membendung kekuasaan yang
lain.
74
Montesquieu, L Esprit Des Lois dalam Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Kanisius, Yogyakarta, 2001. Hal. 234.
Universitas Sumatera Utara
64
Kendati ada hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif tidaklah berarti badan yudikatif dalam prinsip tersebut diabaikan, sebab pada prinsipnya badan
ini merupakan badan yang melaksanakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh dari
eksekutif maupun legislatif, bahkan oleh individu maupun golongan yang berpengaruh sekalipun. Kekuasaan yudikatif harus bebas dan merdeka dalam
menentukan keputusannya terhadap suatu perkara. Segala bentuk campur tangan akan mengancam
perlindugan terhadap
hak-hak asasi
manusia dan
sekaligus menghilangkan prinsip-prinsip dari ciri-ciri suatu negara hukum.
Adapun ciri-ciri khas dari suatu negara hukum adalah : a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan; b. Peradilan bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan manapun juga; c. Legalitas dalam arti segala bentuk.
Untuk menentukan apakah suatu negara menganut asas negara hukum atau pembagian kekuasaan dan asas negara hukum ataupun asas-asas lain-lainnya, maka
dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang merupakan penjelasan autentik itu mempunyai nilai yang yuridis
dengan huruf besar menyebutkan : Negara Indonesia berdasar atas hukum tidak berdasar atas kekuasaan belaka”, ketentuan terakhir ini memperjelas apa yang secara
tersurat atau tersirat telah dinyatakan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang- Undang Dasar Tahun 1945.
Universitas Sumatera Utara
65
Di samping itu pada beberapa pasalnya disebutkan bahwa undang-udang dibuat atas kerjasama antara Presiden eksekutif dengan DPR legislatif, jadi dalam
hal ini Undang-Undang Dasar kita menganut asas pembagian kekuasan. Seperti telah dikemukakan, maka konsekuensi dari suatu negara hukum adalah harus adanya suatu
badan peradilan yang bebas Independent yudiciary dan merdeka. Hal demikian telah ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24, bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan lain-lain. Badan kehakiman menurut undang-undang dan dalam penjelasannya tertulis bahwa
kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh dari manapun juga.
Penyelesaian dari pelanggaran hukum telah dipercayakan kepada badan peradilan yang bersifat bebas dan mereka tidak dipengaruhi oleh pihak manapun juga,
sebab lembaga semacam inilah yang mampu menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Selanjutnya untuk menjamin terlaksananya kemandirian kekuasaan
kehakiman, Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ke-3 menetapkan bahwa”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk di berhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
66
Hal ini bertujuan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman, dapat menjalankannya dengan baik, penuh rasa aman sehingga
diharapkan putusannya yang adil. Namun bagaimana aplikasi konsep kemandirian kekuasaan kehakiman dan peraturan-peraturan pendukungnya dalam kehidupan
hukum di Indonesia, merupakan suatu hal yang harus dicermati. Apakah pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia benar-benar bebas dan mandiri, adalah suatu hal
yang harus ditelaah lebih lanjut. Sementara ini untuk pembinaan teknis yuridis terhadap badan-badan peradilan
yang ada, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi diberikan wewenang untuk melakukannya.
Sementara itu
untuk mencegah
tercemarnya kemandirian
kekuasaan kehakiman oleh karena adanya konsep dualisme pembinaan peradilan, maka diadakan
juga jaminan-jaminan melalui undang-undang. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa : Pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung serta pembinaan sebagaimana dimaksud di atas Kehakiman tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Namun demikian dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan bahwa ada Hakim
yang tetap saja terpengaruh. Dalam hal ini Hakim bukanlah pihak yang harus disalahkan sepenuhnya,
kadangkala mereka takut untuk memberikan putusan yang adil sesuai dengan hati nurani
mereka, karena
putusan yang
demikian akan
menempatkan
Universitas Sumatera Utara
67
pemerintahatasannya dalam posisi yang dipermasalahkan. Apabila seorang atasan dipersalahkan oleh bawahan, maka akan jelas pula nasib yang akan menimpa sang
bawahan. Hal ini didukung lagi oleh tidak jelasnya sistim kenaikan pangkat karier di lingkungan kehakiman, sehingga membuka kesempatan bagi perasaan “sentiment
pribadi” untuk turut berbicara dalam kenaikan pangkat nanti. Dalam kaitan ini juga, perlu diingatkan bahwa dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, bukanlah Departemen Kehakiman.
Dengan demikian semua pengaturan yang mungkin dapat menghalangi pelaksanaan kekuasaan kehakiman secara mandiri oleh Mahkamah Agung dan badan kehakiman
lain adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sementara itu dalam praktik, pelanggaran terhadap kemandirian kekuasaan
kehakiman terus berlanjut. Forum Koordinasi Mahkejapol Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Polisi merupakan suatu bentuk pelanggaran tersendiri, Luhut
Pengaribuan menyebutkan bahwa: Adanya wadah tersebut adalah pengingkaran terhadap”Independent of Judiciary”.
Pelanggaran tersebut terjadi karena dalam wadah ini peradilan dijadikan peradilan musyawarah, sehingga putusan dari kehakiman mau tidak mau disesuaikan
dengan apa yang sudah disepakati dalam forum itu. Dengan demikian Hakim tidak bebas lagi untuk memutus suatu perkara berdasarkan keyakinannya dan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan karena terikat “kesepakatan” dalam forum.
Universitas Sumatera Utara
68
Dengan demikian jelas Hakim dapat menjadi terpengaruh dalm memberikan putusannya. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jelas-jelas
melarang segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana di sebut dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam upaya menciptakan hakim yang mandiri, undang-undang memberikan
kewenangan yang banyak pada seorang hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Hakim pengadilan diberi tugas pokok untuk memeriksa mengadili, dan
memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain menurut Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Keadaan hakim yang monopolistic ini merupakan suatu lubang kelemahan yang ada di dalam sistem persidangan. Sifat monopolistic ini juga membuka peluang
yang lebih besar bagi terjadinya kesalahan dalam mengadili. Putusan yang terkonsentrasi kewenangan pada satu pihak akan lebih mudah salah dibandingkan
dengan putusan yang kewenangannya dibagikan kepada banyak pihak dimana masing-masing pihak diberi peran yang berbeda namun tetap dalam satu tujuan yang
sama. Sebagai koreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa
Orde Lama, maka pemerintah Orde Baru telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang meletakkan kerangka
umum dan asas-asas bagi semua peradilan di Indonesia. Pasal 1 undang-undang tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
Universitas Sumatera Utara
69
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.
Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut : “Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang judisial tidaklah mutlak sifatnya,
karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan Pancasila dengan jelas menafsirkan hukum dan mencari dasar-
dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa
dan rakyat Indonesia. Selanjutnya ditegaskan bahwa campur tangan pihak luar dimungknkan bila dikehendaki undang-undang.”
2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Tanggung Jawab Pihak
Suami Mengenai hal mengadili, Penjelasan Pasal 16 Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa: ”pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Kalau memang ternyata
hukum yang tertulis yang jelas mengantur mengenai perkara yang diajukan kepadanya belum ada, Undang-Undang membuka kemungkinan bagi Hakim
untuk mendasarkan putusannya hukum yang tidak tertulis.”
Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-ketentua Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa ”apabila
andaikata Hakim tidak menemukan hukum tertulis, Hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum.” Apa yang dimaksudkan
dengan hukum tidak tertulis dijelaskan oleh Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya.
Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa : ”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
Universitas Sumatera Utara
70
menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.” Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
dengan hukum tidak tertulis adalah nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat, artinya Hakim dalam mengadili tidak boleh putusannya hanya berdasarkan pada
hukum yang tertulis, tetapi juga memperhatikan hukum yang hidup di kalangan rakyat, sehingga Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Namun terlihat jelas bahwa dalam posisi Hakim yang monopolistik, sulit
sekali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dapat masuk dan menjadi dasar putusan Hakim. Hakim dalam keadaan memonopoli fungsi-fungsi suatu
persidangan, umumnya hanya memutus berdasarkan nilai-nilai keadilan menurut persepsi atau pengertiannya sendiri. Sulit juga kiranya bagi Hakim, walaupun Hakim
adalah juga anggota masyarakat untuk dapat memutus suatu perkara berdasarkan reasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena Hakim dalam ruinitas
kesibukannya menyelesaikan perkara. Dengan perkataan lain, dalam situasi monopolisme Hakim, amanat Undang-Undang bagi dimungkinkan masuknya nilai
keadilan yang hidup di masyarakat menjadi tidak dapat terlaksana. Sumber lain yang mungkin dapat dikemukakan dengan pembicaraan
mengenai usaha Hakim menggali Hukum yang hidup di masyarakat sebagai dasar
Universitas Sumatera Utara
71
untuk menggali adalah hasil-hasil penelitian hukum adat. Namun setidaknya ada dua kendala dalam operasionalnya, yaitu :
75
a. Apakah tersedia sekarang ini hasil penelitian-penelitian adat; b. Apakah Hakim cukup waktu untuk mendalaminya dalam waktu yang singkat dan
menerapkannya pada kasus yang sedang diperiksa. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya
perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika
dibutuhkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
76
Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya sendiri.
77
Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut
75
Ibid ., hal. 6.
76
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
77
R.Subekti, op cit, Pasal 225.
Universitas Sumatera Utara
72
berasal dari harta kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk itu.
78
B. Penafkahan Terhadap Anak Setelah Perceraian dalam Putusan Pengadilan 1.
Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Penafkahan anak
Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan
tugas pokok
untuk menerima,
memeriksa dan
mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
79
Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan tuntutan terhadap bapak bekas suami apabila bekas suaminya tidak
memenuhi kewajibannya dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.
Tuntutan yang dilakukan oleh ibu bekas istri tidak hanya mengenai pemenuhan terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut
masalah pemeliharaan anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam beberapa putusan yang menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka
setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan biaya pendidikan
dan pemeliharaan anak tersebut.
80
Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak dan
78
Ibid .
79
Pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.
80
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
73
tanggung jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani tanggung jawab untuk
memenuhi segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.
81
Bapak dan Ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa. walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak untuk menjadi
wali hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan
anaknya itu.
82
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya
melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Setiap anak yang belum dewasa,
mempunyai hak untuk dipelihara secara baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari orangtua atau pihak lain
apabila orangtua sudah tidak ada lagi. Selanjutnya
dalam Undang-undang
Nomor 23
Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah
dan penelantaran berhak
atas perlindungan khusus. Oleh karena itu anak korban
81
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, , Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
82
Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 131.
Universitas Sumatera Utara
74
perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat perlindungan khusus.
83
Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:
84
a. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai
pengusaan anak-anak
pengadilan memberi
keputusannya. b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat mentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga diatur dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26, sebagai
berikut : a.
orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : 1 mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
2 menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan
3 mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. b.
dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya,
maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan Undang-undangan yang berlaku.
83
Pasal 1 ayat 15 -undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
84
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
75
Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya ketentuan Undang-undang. Sepanjang orangtua
yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan
ketentuan yang ada, masalah yang ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada anggapan bahwa dengan telah
terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada putusan
yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah
tersebut tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk
mengoptimalkan perlindungan anak
pasca perceraian orangtua, yang terutama sekali dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap
konsep kekusaan orang tua yang bersifat tunggal, serta menegaskan sanksi bagi pihak yang melalaikan kewajiban pemeliharaan anaknya. Kalau ibu yang telah diserahi hak
pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui permohonan
dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan Negeri.
85
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang,
bahwa untuk
menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan
hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan
85
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Marlianis, SH, MH, 25 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
76
apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan
kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.
86
Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang
menyebutkan bahwa anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta
tanggung jawab orangtuanya sendiri. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :
87
a. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
b. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pernyataan pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orangtuanya.
Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah
seorang hakim harus menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini disaring, mana yang
dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus dilaksanakan. Sepanjang sebuah perkawinan tidak putus ditengah jalan karena perceraian,
86
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Marlianis, SH, MH, 25 Pebruari 2013.
87
Pasal 45, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Universitas Sumatera Utara
77
implementasi pemeliharaan dan perlindungan anak hampir tidak menjadi masalah. Jika perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga jalan satu-satunya
adalah solusi perceraian, saat itu timbullah masalah karena sudah tidak ada kesepakatan
lagi mengenai pemeliharaan dan pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang anak menjadi persengketaan diantara suami istri. Anak akan menjadi objek
rebutan antara suami istri. Masing-masing pihak menganggap bahwa merekalah yang lebih berhak untuk memelihara anak.
Masalah pemeliharaan anak lebih baik diserahkan kepada istri, karena mereka lebih mengetahui keadaan dan perkembangan anak, sementara suami lebih
banyak waktunya untuk bekerja di luar rumah. Walaupun demikian ada juga bapak bekas suami yang menginginkan anak tetap dipeliharanya olehnya.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian
antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orangtua wajib m emelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan
mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak
setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek rebutan
antara kedua orangtua.
88
88
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Marlianis, SH, MH, 25 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
78
Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi lebih berat lagi yaitu orangtua harus membina anaknya agar menjadi
manusia yang berguna. Karena itu tidak benar jika salah satu dari orangtua menganggap ia yang lebih berhak memelihara anak hanya dengan melihat
kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari segi materilnya saja. Jika diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, prinsip hukum yang mengatur
tentang kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian sering kali membebankan kewajiban biaya nafkah pada orangtua laki-laki. Ini dikarenakan pihak
laki-laki dianggap sebagai pihak yang kuat atau mampu dalam berbagai hal kehidupan sehingga tidak heran lelaki selalu dianggap sebagai kepala dari suatu
rumah tangga. Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara melihat pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat
pada prinsip t ers eb ut di atas.
89
Dengan kata lain, pada dasarnya Majelis Hakim hanya terikat dengan peraturan hukum yang berlaku dengan memperhatikan salah satu dari ketiga aspek
tujuan hukum yaitu keadilan, aspek kepastian hukum, dan sosiologis aspek kemanfaatan hukum.
90
Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang
berlaku, orangtua perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah
89
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
90
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
79
hidup anak, jika dalam kenyataannya orang tua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.
2. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Terhadap Penafkahan Anak
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana
seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan Negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada
berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak,
termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa PBB. Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak
yang menyebutkan bahwa anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana
penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orangtuanya sendiri. Dalam Pasal 45, Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : a. kedua
orangtua wajib
memelihara dan
mendidik anak-anak
mereka sebaik- baiknya.
b. kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.
Pernyataan pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orangtuanya.
Sepanjang sebuah perkawinan tidak putus ditengah jalan karena perceraian, implementasi pemeliharaan dan perlindungan anak hampir tidak menjadi masalah.
Universitas Sumatera Utara
80
Jika perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga jalan satu-satunya adalah solusi perceraian, saat itu timbullah masalah karena sudah tidak ada
kesepakatan lagi mengenai pemeliharaan dan pengasuhan anak. Bahkan tidak
jarang anak menjadi persengketaan diantara suami istri. Anak akan menjadi objek rebutan antara suami istri. Masing-masing pihak menganggap bahwa merekalah
yang lebih berhak untuk memelihara anak. Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak
yang menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. kewajiban orang tua
yang dimaksud tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
91
Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orangtua yang telah
bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak pemeliharaannya berdasarkan putusan
hakim yang memutuskan perceraian mereka. Seorang anak belum dewasa masih berhak atas pengasuhan kedua
orangtuanya, walaupun orangtuanya sudah bercerai, dan pengasuhan tersebut semata- mata hanya untuk kepentingan anak-anak tersebut. Bila nanti terjadi perselisihan
dalam penguasaan anak maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut. Sesuai dengan rumusan dan
91
Sudarsono, op cit, hal 188.
Universitas Sumatera Utara
81
makna Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar
memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.
92
Di dalam Pasal 41 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas menyebutkan “sesungguhnya sang Bapak atau sang Ibu berkewajiban
memelihara anaknya”. Namun jika seorang Bapak tidak mampu secara social ekonomi untuk membiayai penghidupan anaknya, dan ibunya ternyata lebih mampu
untuk membiayainya, maka sang Ibu lah yang harus bertanggung jawab memberi penghidupan pada anaknya. Jadi tanggung jawab seorang Bapak dan Ibu memang
diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.
93
Berdasarkan hal tersebut menurut J.Prins, pertama-tama ditetapkan oleh Undang-undang bahwa kewajiban untuk memelihara anak-anak dan pendidikan
mereka teletak baik pada ayah maupun ibu. Perselisihan tentang kekuasaan orang tua diputuskan oleh hakim. Ayah secara tegas dibebani kewajiban menanggung semua
biaya hidup dan pendidikan; hanyalah kalau ternyata si ayah tidak mampu, hakim dapat mewajibkan si ibu ikut menanggung biayanya. Tidak diragukan bahwa disini
telah dijelaskan suatu asas yang sah dan penting menurut hukum. pada yurisprudensilah diserahkan pelaksanaannya secara praktis.
94
92
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
93
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
94
J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 70
Universitas Sumatera Utara
82
Jadi dalam hal ini untuk menetapkan suatu penetapan yang menyangkut hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian diperlukan adanya lembaga yang
berwenang untuk itu. Dalam hal ini, para pihak dapat melakukannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan bagi non
muslim dapat melakukannya melalui Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia,
dengan tugas
pokok untuk
menerima, memeriksa
dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
95
Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah
seorang hakim harus menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini disaring mana yang
dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus dilaksanakan. Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak
mengajukan tuntutan terhadap bapak bekas suami apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada
dalam asuhannya. Tuntutan yang dilakukan oleh ibu bekas istri tidak hanya mengenai
pemenuhan terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan
Negeri dalam beberapa putusan yang menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka
95
Pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.
Universitas Sumatera Utara
83
setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan biaya pendidikan
dan pemeliharaan anak tersebut. Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak
dan tanggung jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani
tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.
96
Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya ketentuan Undang-undang. Sepanjang orangtua yang telah bercerai
dengan sadar dan beritikad baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah
anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan anak sudah
selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya di belakang
hari ayah tersebut tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk
mengoptimalkan perlindungan anak pasca
perceraian orang tua,
yang terutama sekali
dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orang tua yang
bersifat tunggal,
serta
96
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Marlianis, SH, MH, 25 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
84
menegaskan sanksi bagi ayah yang melalaikan kewajiban membiayai pemeliharaan
anaknya. Kalau
ibu yang
telah diserahi
hak pemeliharaan
anak ternyata melalaikan kewajibannya
maka hukuman baginya
adalah mencabut hak
pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan Negeri.
97
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi
kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut
dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.
98
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian
antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orangtua wajib m emelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan
mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan
suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak
setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya
perselisihan antara
bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek rebutan antara kedua orangtua.
97
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
98
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Wahidin, SH, M.Hum, 20 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
85
Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi lebih berat lagi yaitu orangtua harus membina anaknya agar menjadi
manusia yang berguna. Karena itu tidak benar jika salah satu dari orangtua menganggap ia
yang lebih berhak memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari segi materilnya saja. Hak
memelihara dan mendidik seorang anak diutamakan kepada ibunya karena kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya lebih mendalam.
Diperhatikan dalam pasal 24 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
kewajiban memberi biaya nafkah anak tersebut tidak hanya setelah
terjadinya perceraian, akan tetapi juga dapat ditentukan selama proses perceraian berlangsung. Ketentuan tersebut mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, prinsip hukum yang mengatur tentang kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian
pada hakikatnya membebankan kewajiban biaya nafkah pada orangtua laki-laki. Oleh karenanya, Majelis Hakim Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara
terikat dengan prinsip hukum tersebut dengan pertimbangan demi kepentingan si anak yang disesuaikan dengan kemampuan si ayah. Akan tetapi pada dasarnya
Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara melihat pada kasus yang
Universitas Sumatera Utara
86
dihadapinya dan tidak harus terikat pada prinsip hukum di atas
.
99
Dengan kata lain, pada dasarnya Majelis Hakim terikat dengan peraturan hukum yang berlaku, namun majelis juga bisa menyimpangi dengan argumentasi
hukum atau fakta yang terjadi dengan memperhatikan salah satu dari ketiga aspek tujuan hukum tersebut, yaitu keadilan, aspek kepastian hukum, dan sosiologis
aspek kemanfaatan hukum.
100
Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, orang tua perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah
hidup anak, jika dalam kenyataannya orangtua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.
3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 132 Pdt.G 2011