BAB III SINERGI TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI KPK, KEJAKSAAN DAN KEPOLISIAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DAN DALAM KERANGKA
SISTEM PERADILAN PIDANA CRIMINAL JUSTICE SYSTEM DI INDONESIA
A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai sistem peradilan pidana criminal justice system, maka pertanyaan pertama yang dimunculkan adalah apakah yang
dimaksud dengan peradilan pidana criminal justice. Purpura menguraikan peradilan pidana dengan mengemukakan pendapat, sebagai berikut : ”criminal justice focuses
on the criminal law, the law of criminal procedure, and the enforcement of these laws, in an effort to treat fairly all persons accused of a crime. Fairness in criminal
justice means that an accused person receives equal treatment, impartiality, and the due process of constitutional protections. In reality, criminal justice does not always
live up to its ideals and is subject to much criticism as our society strunggles to improve it”.
70
Uraian Purpura di atas menggambarkan bahwa peradilan pidana criminal justice mempunyai 3 tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara materil
criminal law, hukum pidana formal the law of criminal procedure dan hukum pelaksanaan pidana the enforcement of criminal law. Semua ini ditujukan sebagai
usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah
70
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatn Integral Penal Policy dan Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
melakukan kejahatan. Keadilan dalam hukum pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama, netral
dan hak-haknya dilindungi oleh undang-undang. Namun demikian, secara realitas pelaksanaannya terkadang belum seperti yang diharapkan dan masih banyak
mengundang kritikan. Gerald D. Robin melihat administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan perpaduan kinerja sub-sub sistem dalam peradilan pidana yang fokus pada upaya pencegahan dan pengendalian serta mereduksi kejahatan dengan
memprosesnya melalui mekanisme peradilan pidana.
71
Sementara Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana criminal justice system merupakan
suatu sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertujuan menjaga dan melindungi ketertiban masyarakat,
mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan dan melalai komponen sistem secara keseluruhan
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. Muladi menterjemahkan sistem peradilan pidana criminal justice system
sebagai suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil maupun hukum
pelaksanaan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana criminal justice system ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu
71
Gerald D. Robin, Introduction to the Criminal Justice System, Harper Row, Publisher, New York, 1987, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan kerja sistem peradilan
pidana criminal justice system ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta
tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
72
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
73
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan
hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri- sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
72
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. vii.
73
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam HAM dan SPP, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan : instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan
penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi stuur model. Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar
peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian
pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan
hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
74
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling
ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian,
74
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung , 1981, hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di
sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
75
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan
dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari
sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
76
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat
meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak
75
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995, hal. 16.
76
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi , Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,
1994, hal.8.
Universitas Sumatera Utara
hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan
hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak
memihak .
77
Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara
pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak
hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat .
78
Dengan keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan
perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:
pendekatan normatif, administratif dan sosial.
79
77
Ibid, hal. 9.
78
Ibid, hal. 6.
79
Ibid, hal. 17-18.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum
semata-mata. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim
yang dipergunakan adalah sistim sosial. Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam
peradilan pidana, ialah :
80
80
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta Bandung, Tahun 1996, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan
pidana. c.
Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”.
Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan .
81
81
Apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu instrumen kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung didalamnya termasuk pula pembuat undang-undang Romli Atmasasmita,
1996: Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, hal.24. Lihat pula Alan Coffey dalam An Introduction to The Criminal Justice System and Process: proses peradilan pidana terdiri dari beberapa
segmen: Police, Courts, Procution-defence, Correction dan law, 1974, page :4.
Universitas Sumatera Utara
Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated
criminal justice system”.
82
Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam
:
83
1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistim peradilan pidana.
82
Mardjono Reksodiputro, Ibid. Menurut Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, hal vii-ix ketepaduan sistem peradilan pidana merupakan
suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku dan korban kejahatan; harus
mengandung gerak yang sistemik dari subsistem pendukung yang secara keseluruhan merupakan kesatuan totalitas berusaha mentransformasikan masukan menjadi keluaran sesuai dengan tujuan
sistem peradilan pidana yaitu berupa resosialisasi jangka pendek, pencegahan kejahatan jangka menengah dan kesejahteraan sosial jangka panjang.
83
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta Bandung, Tahun 1996, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub
sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan
menimbulkan dampak kembali pada sub sistim lainnya. Oleh karena itu komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.
B. Kedudukan Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi