ternyata petindak itu tidak hanya orang natuurlijk-persoon saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum.
Seperti yang dikemukakan di atas, ”tindak pidana” atau ”strafbaar feit” merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang
dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat
dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu ”Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, bahwa ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka
pengertian ”tindak pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud ”pertanggungjawaban tindak pidana”.
2. Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi adalah :
a Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama
20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
b Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
25
Selanjutnya di dalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua
puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
26
3. Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
27
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
25
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
26
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya definisi tindak pidana korupsi diatur secara lengkap mulai dari Pasal 2-16
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
27
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994. hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan
hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri- sendiri. Badan-badan tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling
ketergantungan antar sub sistem peradilan pidana yakni lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di
sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
28
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian
28
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat
materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
4. Kejaksaan