Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat.
c. Kedudukan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice Sistem
Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam menjunjung dan menegakan hukum, diantaranya
adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat itupun seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk
mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima
masyarakat.
93
Cakupan tugas dari sistem peradilan pidana ini memang luas karena didalamnya termasuk a mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, b
menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta c berusaha agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
94
93
Norval Morris, “Introduction”, dalam Criminal Justice in Asia, Quest for an Integrated Approach, UNAFEI, Newyork, 1982, hal. 5.
94
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
Sistem peradilan pidana criminal justice system memang diharapkan dapat menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan
diajukannya pelaku kejahatan ke sidang Pengadilan dan diputuskan bersalah sehingga mendapat hukuman pidana. Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan,
semua komponen dalam sistem ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “Integrated criminal justice system.” Hal ini jelas karena
menurut Hyman Gross penanggulangan kejahatan sendiri mendapat tempat yang terpenting diantara berbagai persoalan yang menjadi perhatian pemerintah di setiap
negara.
95
Sistem peradilan pidana terpadu
96
bisa berdimensi internal maupun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada
keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitannya yang hampir
tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam pencapaian tujuannya,
95
Hyman Gross, “A Theory of Criminal,” dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II, Columbia University, New York, 1972, hal. 54.
96
Menurut Hamrat Hamid dan Harun M. Husein menyatakan bahwa penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakan dasar-dasar bagi tahap
yang lain dan setiap tahap berhubungan erat serta saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan sebagai suatu integrated criminal justice system sistem
peradilan pidana terpadu yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. H. Hamrat Hamid dan Harun M.
Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
termasuk di sini budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek, pendidikan dan sebagainya.
97
Contoh budaya hukum kekuasaan adalah kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi
hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek penegakan hukum. Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter
sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam kerangka itu secara internal sistem
peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama purposive behavior, pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu
berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu value transformation, keterkaitan dan ketergantungan
antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.
98
KPK merupakan bagian dari Criminal Justice Sistem khususnya di dalam
pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga ad hoc yang dengan kewenangan luas yang dimilikinya diharapkan dapat efektif dalam
proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai lembaga independen khusus untuk pemberantasan korupsi, KPK secara otomatis menjadi bagian dalam Criminal
97
Budaya hukum merupakan suatu konsep baru dimana budaya hukum ini, mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-nilai yang berkait dengan hukum dan proses
hukum. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, P3ES, Jakarta, 1990 hal. 119.
98
Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak terlalu surut dan umum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Justice System di Indonesia, karena kasus korupsi yang ditangani oleh KPK merupakan tindak pidana khusus yang secara lex generalis berpedoman pada UU No.
8 Tahun 1981 dan secara lex specialis berpedoman pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 30 Tahun 2002.
Dalam proses penegakan hukum, KPK sebagai aparat penegak hukum idealnya melakukan tindakan secara terintegrasi melalui integrated criminal justice
system, dengan lembaga penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakaratan walaupun KPK berada dalam koridor
tersendiri, yaitu penanganan korupsi. Artinya, integrasi dengan aparat penegak hukum lainnya dilakukan dalam upaya check and balances di antara penegak hukum
harus memiliki balanced and equal of power, suatu kewenangan berimbang dan sama di antara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan
lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum,
padahal pada hakekatnya antara satu lembaga penegak hukum dengan lembaga penegak hukum lainnya memiliki fungsi, peran kewenangan masing-masing.
99
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui
kebersamaan norma dan nilai shared norms and values.
100
Sebagai contoh, adalah
99
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Sistemik, diakses dari situs : http:yudhitc.wordpress.com20090128korupsi-sistemik, tanggal 14 Juli 2009.
100
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang, yaitu adanya beberapa tahapan seperti proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan sampai pada proses peradilan. Demikian juga halnya dengan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Di dalam UU No. 30 Tahun 2002 dengan sangat jelas dirumuskan bahwa dalam melakukan tugasnya KPK harus melakukan koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini jelas instansi tersebut adalah kepolisian dan kejaksaan, karena KPK jelas bisa mengambil alih
perkara yang sedang ditangani oleh kepolisian danatau kejaksaan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Dalam hal ini timbul kewajiban bagi kepolisian danatau
kejaksaan untuk menyerahkan berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu 14 empat belas hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan dari KPK. Selain itu, instansi lain yang dianggap berwenang adalah Badan Pemeriksa
Keuangan BPK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN, Inspektorat pada departemen
atau lembaga pemerintah non departemen. Jadi, jelaslah bahwa KPK merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice
System yang dalam proses pelaksanaan tugas dan wewenangnya mengharuskan KPK untuk melakukan sinergi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang dimaksud.
Universitas Sumatera Utara
C. Sinergi dan Harmonisasi antara Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK, Kejaksaan dan Kepolisian
Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan ini terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada
berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama
sekali. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pembentukan Korupsi KPK Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini merupakan salah satu
upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam
pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi,
ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, hubungan koordinasi antara
KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai sub sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System dan juga tugas dan peranan KPK sendiri yang
terkesan sebagai lembaga super body. KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas
kejaksaan. Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan
Universitas Sumatera Utara
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan
perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam
penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi kondisi ini pada akhirnya dianggap sebagai dualisme
kewenangan yang menyebabkan hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung menjadi kurang harmonis.
Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam
membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku
korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial review oleh pelaku korupsi yang
salah satunya judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat 1
UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum lex certa yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan
dalam pemberlakuannya”, dimana kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai bagian dari sistem
Universitas Sumatera Utara
peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kekhawatiran terhadap kredibilitas
KPK sebagai lembaga baru adalah hal yang wajar, mengingat di tangan badan inilah harapan terakhir pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pada dasarnya undang-undang sudah mengatur hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 43 UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas KPK dirinci dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tersebut,
yaitu : a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. d. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Berdasarkan tugas yang diemban oleh KPK tersebut, maka KPK diberi wewenang :
101
101
Pasal 8 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK.
Universitas Sumatera Utara
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
b. Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. c. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka adn seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 empat
belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
d. Penyerahan sebagaimana
dimaksud pada
ayat 3 dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam kaitannya dengan kasus BLBI, berdasarkan Pasal 6 huruf b UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa KPK mempunyai tugas untuk melakukan
supervisi terhadap instansi yang mempunyai kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Artinya, KPK dapat melakukan supervisi terhadap Kejaksaan Agung yang
melakukan penyidikan terhadap kasus BLBI yang dalam hal ini dinilai oleh banyak pihak tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Pasal 8 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian,atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Sedangkan dalam ayat 2 dinyatakan bahwa KPK berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Selanjutnya Pasal 9 UU No 30
Tahun 2002 yaitu bahwa pengambilalihan penyidikan atau penuntutan dapat dilakukan oleh KPK dengan beberapa alasan di antaranya penanganan tindak pidana
korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Pasal 9 huruf b. Jadi, berdasarkan wewenang ini, KPK
berhak untuk mengambilalih kasus BLBI yang semula ditangani oleh kejaksaan ini. Selanjutnya dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum adanya UU 31 Tahun
1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut retroaktif jika KPK melakukan itu berdasarkan UU KPK, kecuali jika KPK mendasarkan
dakwaannya pada undang-undang hukum materiil yang belum ada ketika perbuatan tindak pidana BLBI dilakukan. Berdasarkan hal diatas, pembahasan
pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat dapat dilakukannya pengambilalihan. Dalam kasus
BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore 2 Maret 2008 menunjukan terkandungnya unsur korupsi dalam
Universitas Sumatera Utara
penanganan BLBI. Dengan demikian unsur Pasal 9 butir d UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam penanganan kasus korupsi terdapat
unsur korupsi”.
Kemudian penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya Pasal 9 huruf c. Sejumlah obligor
utama dan pejabat tinggi BI yang mengucurkan BLBI justru dihentikan proses penyelidikannya. Selanjutnya penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi.
102
Penanganan kasus BLBI oleh aparat penegak hukum sangat nyata terindikasi judicial corruption, yang kemudian terbukti dengan tertangkap tangannya
jaksa Urip Tri Gunawan saat menerima suap dari Artalyta. ”Selanjutnya adanya campur tangan eksekutif yang menghambat penanganan tindak pidana korupsi. Hal
ini makin memperkuat kewajiban KPK mengambil alih kasus BLBI.
103
Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 UU No. 30 Tahun
2002 seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari UU No. 30 Tahun 2002, bahwa KPK :
a. dapat menyusun jaringan kerja networking yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada.
102
Pasal 9 huruf d UU No. 30 Tahun 2002
103
Pasal 9 huruf e UU No. 30 Tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
b. sebagai ”counterpartner” yang kondusif,
c. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. d. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi trigger mechanism. e. berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan
dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian danatau
kejaksaan. Dari penjelasan umum ini, disimpulkan bahwa KPK harus menjadikan
kepolisian dan kejaksaan sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, mengingat
keberadaan KPK tidak sampai pada daerah-daerah kabupatenkota. Apabila KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri akan mengakibatkan
timbulnya berbagai kesulitan, pembengkakan biaya yang sangat besar dan overlapping kewenangan. Sehingga untuk penyidikan dan penuntutan dilaksanakan
oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang secara teknis dan praktis bekerjasama dan disupervisi oleh KPK, walaupun penyidik kepolisian secara ad-hoc berubah menjadi
penyidik KPK dan penuntut dari lembaga kejaksaan secara ad-hoc berubah menjadi penuntut KPK.
104
104
Ramelan, Koordinasi dan Pengawasan antar Instansi dalam Penyidikan dan Penuntutan Korupsi dalam Persfektif Kejaksaan, disampaikan pada diskusi panel Menuju Pengadilan Anti
Korupsi, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan British Council pada tanggal 15-16 September 2004, di Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula tentang fungsi KPK untuk tidak memonopoli penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan
pemberdaya institusi dan fungsi melakukan supervisi dan memantau instansi yang telah ada, menandakan bahwa dalam hubungan fungsional antara KPK dengan
kejaksaan danatau Kepolisian akan tetap memberikan peran yang sangat besar kepada kedua lembaga terdahulu itu untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan, hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada
terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari 50 dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang
lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan ada pula yang tidak jelas status hukumnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, undang-undang juga telah memberikan persyaratan terhadap perkara yang dapat diambil alih oleh KPK, yaitu :
105
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti. b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak
pidana korupsi yang sesungguhnya. d. Penanganan
tindak pidana
korupsi mengandung unsur korupsi.
105
Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
e. Hambatan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif.
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian dan kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, pembatasan lain bagi KPK adalah selama menjalankan tugas dan
kewenangannya, KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Proses peradilan terhadap perkara tindak pidana korupsi dilaksanakan dengan menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP. UU No. 30 Tahun 2002 merupakan ketentuan khusus
mengenai hukum acara pengadilan tindak pidana korupsi. Sedangkan KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum dalam hukum acara pidana di peradilan
umum. Dalam pelaksanaannya ketiga undang-undang tersebut saling melengkapi. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 26 UU No. 31 Tahun 2009, Pasal 38 ayat
1, Pasal 39 ayat 1 dan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002.
106
106
Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi : Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan di atas menandakan berlakunya asas hukum lex specialis derogat legi generalis, karena ketentuan yang tidak ditentukan lain dalam undang-undang
yang bersifat khusus ini UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 akan tetap menggunakan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum KUHAP.
Untuk itu dalam hal ditentukan lain oleh undang-undang UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002, maka hal yang sama yang diatur dalam UU No. 8 Tahun
1981 tidak berlaku. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak ditentukan lain, maka yang berlaku adalah ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981. Pengecualian asas
ketentuan tertentu melalui penggunaan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.
KPK sebagai organ yang menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam pengadilan tindak pidana korupsi maka dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya mengikuti hukum acara yang berlaku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu, UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pasal 38 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 39 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan khusus lex specialis dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai ketentuan
umum lex generalis.
107
Merujuk pada ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa KPK akan mengambil alih fungsi dan tugas kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan dalam perkara-perkara korupsi. Oleh karena itu, terjadi perubahan besar dan mendasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
juga berarti perubahan di dalam hukum acara pidana, khususnya mengenai kasus- kasus tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang sebelumnya menjadi bagian
dari Kepolisian danatau Kejaksaan diangkat menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
108
Jadi, kondisi ini menunjukkan bahwa antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan memiliki sinergi dalam proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Demikian juga dengan proses peradilan, sebagai lembaga ad hoc hakim-hakim
karir juga diangkat menjadi hakim ad hoc untuk perkara-perkara korupsi, sehingga
107
Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 38 dan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002.
108
Pasal 39 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
dari segi proses peradilan KPK juga bersinergi dengan lembaga penegak hukum yang lain.
Pembentukan KPK dan pengadilan tindak pidana korupsi ini tidak seluruhnya ditanggapi dengan positif, ada juga yang berpandangan negatif yang menyatakan
bahwa tugas dan wewenang KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tidak pada tempatnya karena
sebenarnya Kejaksaan masih mampu untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik, sehingga dengan diberikannya KPK tugas dan wewenang seperti itu, seperti
mengebiri kejaksaan. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan banyak dana dan tenaga untuk membentuk KPK serta sarana dan prasarananya. Kondisinya akan lebih lagi
kalau pemerintah membangun dan memperkuat lembaga kejaksaan baik dari segi finansial dan sumber daya manusia sehingga kejaksaan dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik.
109
109
Theodora Yuni Shahputri, Sinergi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diakses dari situs : http:www.pemantauperadilan.com, tanggal 24 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV SINERGI TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG KPK, KEJAKSAAN DAN