dari segi proses peradilan KPK juga bersinergi dengan lembaga penegak hukum yang lain.
Pembentukan KPK dan pengadilan tindak pidana korupsi ini tidak seluruhnya ditanggapi dengan positif, ada juga yang berpandangan negatif yang menyatakan
bahwa tugas dan wewenang KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tidak pada tempatnya karena
sebenarnya Kejaksaan masih mampu untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik, sehingga dengan diberikannya KPK tugas dan wewenang seperti itu, seperti
mengebiri kejaksaan. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan banyak dana dan tenaga untuk membentuk KPK serta sarana dan prasarananya. Kondisinya akan lebih lagi
kalau pemerintah membangun dan memperkuat lembaga kejaksaan baik dari segi finansial dan sumber daya manusia sehingga kejaksaan dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik.
133
E. Penerbitan Letter of Release and Discharge
Salah satu bentuk intervensi eksekutif terhadap penyelesaian kasus BLBI adalah penerbitan Inpres No 8 Tahun 2002 tentang release and discharge oleh
Presiden Megawati yang membebaskan obligor penerima SKL dari semua proses
133
Theodora Yuni Shahputri, Sinergi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam Pemberantasan Tindak P
.pemantauperadilan.com idana Korupsi, diakses dari situs : http:www
, tanggal 24 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
hukum. Sementara itu, ada pandangan yang menyatakan pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK bertentangan dengan asas nonretroaktif.
Sebagaimana diketahui, kasus BLBI sejak pemerintahan sebelumnya selalu enjadi ajang tarik ulur antara pemerintah dan obligor penerima BLBI. Substansi
ukum dalam kasus BLBI menempati prioritas yang paling buncit dalam upaya t ditambah lagi dengan kebijakan
Preside
ham yang dikenal sebagai release and dis
m h
penyelesaian menyeluruh dana BLBI. Hal tersebu n yang dikelarukan pada tanggal 30 Desember 2002. Presiden telah
menerbitkan Instruksi Presiden INPRES No 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya
atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Sa
charge.
134
Inpres No 8 Tahun 2002 menyatakan bahwa kepada para debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan
pembebasan atau Surat Keterangan Lunas, SKL release and discharge. Dalam hal ini debitur juga dibebaskan dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program
PKPS. Seluruh proses penyelidikan, penindakan danatau penuntutan oleh instansi penegak hukum dihentikan. Sedangkan kepada para obligor yang tidak
menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN, baik
134
Saldi Isra, Titik Terang Kasus BLBI, diakses dari situs : http:www.hukumonline.com, tanggal 2 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
dalam rangka MSAA, MRNIA dan APU, Pemerintah terus melakukan tindakan hukum yang tegas dan konkret.
ekonomi dan kondisi perbankan, terutama yang te
kooperatif.
135
Pada dasarnya sistem hukum Indonesia tidak mengenal institusi release and discharge. Yang dikenal dan biasa digunakan di Indonesia adalah pemberian acquit et
decharge AD dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian
ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana.
Letter of Release and Discharge dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati pada tahun 2002, yang menetapkan kebijakan-kebijakan untuk
melanjutkan penanganan dampak krisis rkait dengan pengambilalihan aset-aset obligor serta penjualan aset tersebut.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ditetapkan TAP MPR X2001 dan TAP MPR VI2002 yang mengamanatkan pelaksanaan kebijaksanaan MSAA dan MRNIA
secara konsisten sesuai dengan UU Propenas. Selanjutnya, pemerintahan Presiden Megawati menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan kepastian
hukum kepada obligor yang kooperatif dan sanksi kepada yang tidak Di dalam Inpres No 8 Tahun 2002 tersebut, di diktum pertama angka 1 dan
angka 4 berbunyi sebagai berikut, 1. Kepada para debitor yang telah menyelesaikan kewajiban pemegang saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, danatau Akta
t, hal. 8.
135
Keterangan Dan Jawaban Pemerintah RI Mengenai Penyelesaian Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI, …. ds
Universitas Sumatera Utara
Pengakuan UtangAPU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam perjanjian-perjanjian tersebut; 4. Dalam hal pemberian kepastian
hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitor dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan danatau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan
proses
1. Ran penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan pemberian “release and discharge” bagi para debitur nakal yang
melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002 telah memperlemah daya laku hukum pidana
untuk menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kebijakan yang tertuang dalam “Master Settlement and Acquisition Agreement
MSAA tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam penegakan supremasi hukum.
Ketika rakyat mempertanyakan alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini, pemerintah menjawab dengan alasan sebagai berikut :
136
gkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitalisasi perbankan, program PKPS, dan
136
Keterangan Dan Jawaban Pemerintah RI Mengenai Penyelesaian Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI Dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI Pada Rapat Paripurna DPR RI, Gedung
MPRDPR, Jakarta, Selasa, 12 Februari 2008, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
program divestasi, telah melalui proses politik saat itu dan mendapat landasan hukum yang sah, antara lain UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR
Nomor X tahun 2001, TAP MPR No VI2002 dan INPRES No 82002. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum, pemerintah saat ini menghormati
kep PN, termasuk tingkat
3.
an perbuatan melawan hukum.
Hab huk
merintah
mel ada
berlarut-larutnya penyelesaian kasus BLBI sehingga pemerintah lebih mengutamakan
dalam penyelesaian kasus BLBI ini, pemerintah lebih memilih untuk menggunakan utusan dan kebijakan sebelumnya yang sah.
2. BPK telah menyelesaikan audit terhadap kinerja BP pengembalian recovery aset pada tahun 2006. Hasil audit tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah saat ini untuk melanjutkan penyelesaian masalah BLBI. Pemerintah mengambil langkah-langkah lebih lanjut yang didasarkan pada
perkembangan situasi serta peluang dan kendala yang sekarang ada, dengan tetap mengikuti kerangka hukum yang berlaku. Pengembalian uang negara harus
diupayakan sebesar mungkin dan punitive actions hanya dilakukan kepada mereka yang tidak kooperatif serta yang melakuk
Dari proses penanganan kasus BLBI oleh pemerintah mulai dari pemerintahan ibie hingga pemerintahan SBY memperlihatkan adanya pelaksanaan penegakan
um yang diskiriminatif dan tebang pilih dimana dalam kasus BLBI ini pe lebih memprioritaskan pengembalian asset Negara yang telah di bawa lari ketimbang
akukan penegakan hukum terhadap para koruptor tersebut. Alasan pemerintah lah bahwa untuk menghindari kerugian negara yang semakin besar dengan
untuk mendapatkan pengembalian utang dari para konglomerat menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pen pad
t serta m
s bertentangan dengan
dekatan keperdataan daripada menyelesaikannya melalui proses pidana, yang a akhirnya telah mengabaikan prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyaraka
engaburkan pengertian “demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan penuntutan. Padahal tujuan hukum pidana adalah untuk menjerakan
para pelaku dan mencegah tindak pidana serupa terulang atau terjadi. Inpres No 8 Tahun 2002 tersebutlah yang menjadi titik simpul dari benang
kusut kasus BLBI ini. Inpres tersebut berisikan instruksi untuk membebaskan dan memberikan pengampunan terhadap sejumlah debitorobligor dari proses hukum
termasuk aspek pidananya. Padahal, telah diketahui bahwa para obligor tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan pemberian kredit yang
melampaui BMPK sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dan penyimpangan dana BLBI
yang telah merugikan keuangan negara. Intervensi terhadap proses hukum oleh Presiden dengan menerbitkan inpres merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat
dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan abuses of power atau melampaui batas kewenangan Presiden dan penerbitan inpres tersebut jelas-jela
UUD 1945, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta
bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
137
Yusuf L. Indra Dewa, Inpres No. 8 Tahun 2002 dan Penyelesaian R D, diakses dari situs :
137
http:www2.kompas.comkompas-cetak030114opini80695.htm, tanggal 4 Februari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam bab VIII buku I KUHP adalah apabila :
1. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama pasal 76 KUHP;
2. Terdakwa meninggal dunia pasal 77 KUHP; 3. Perkara tersebut daluwarsa pasal 78 KUPH’
4. Terjadinya penyelesaian di luar persidangan pasal 82 KUHP Jika berpedoman dengan dasar hukum di atas, maka pemberlakuan MSAA,
MRNIA atau APU sebagaimana yang terkandung dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah
kum”. Ketentuan
den arus sesuai dengan prosedur hukum. Kenyataannya
a Presiden telah mengintervensi n membebaskan seseorang yang
tau dengan kata lain Preside
UUD inkonstitusional dan tidak beralasan. Karena dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3
menyatakan: “ Negara Republik Indonesia adalah Negara Hu tersebut memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan
gan kekuasaan semata, tetapi h Inpres No.8 Tahun 2002 menunjukkan bahw
kekuasaan yudikatif dengan menginstruksika tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, a
n menyelesaikan permasalahan hukum dengan kekuasaan semata. Terlebih apabila berpegang kepada hirarki perundang-undangan, Inpres tersebut dapat
dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum, karena telah menyampingkan ketentuan undang-undang, yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan Inpres yaitu
45 Pasal 1 ayat 3, TAP MPR No.IXMPR1998, TAP MPR No.
Universitas Sumatera Utara
VIIIMPR2001, TAP MPR No. XMPR2001, UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Upaya untuk penyelesaian kasus BLBI oleh Kejagung terkesan diskriminatif
dan setengah hati. Nampaknya statement Hendarman Supandji Sehari setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, bahwa agenda utamanya adalah memprioritaskan penuntasan
kasus korupsi, khususnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI yang sampai saat ini masih mandek hanya retorik belaka. Pasalnya, Kejagung hanya
mentargetkan 3 kasus besar sedangkan kasus-kasus BLBI lainnya tidak di sentuh. Meskipun kasus-kasus BLBI lainnya dalam konteks merugikan Negara secara
nominal lebih kecil namun meskipun kecil tetap saja telah merugikan Negara dan merupakan bentuk pengkhianatan atas rakyat. Jika Kejagung memang mempunyai
itikad baik dalam proses penegakan hukum kasus BLBI, seharusnya semua kasus tidak melihat apakah itu besar ataupun kecil harus diungkap dan diadili semuanya.
Terlebih kasus BLBI ini sudah 10 tahun berjalan namun belum ada satupun koruptor yang mendekam di bui. Koruptor yang sekarang sedang di incar oleh Kejagung untuk
diungkap dugaan korupsinya adalah koruptor-koruptor yang secarapolitik berada di kubu lawan politik SBY. Belum lagi adanya tuntutan dari berbagai ormas dan
gerakan mahasiswa yang hanya memfokuskan tuntutan kepada kelompok salim Group. Tuntutan penanganan yang tendensius yakni hanya terhadap kelompok
tertentu Salim group mengindikasikan adanya konflik kepentingan dalam penanganan kasus BLBI ini. Hingga detik ini, Kejagung masih berkutat pada agenda
Universitas Sumatera Utara
pemerikasaan-pemeriksaan para obligor dan beberapa mantan pejabat yang diduga mengetahui atau terkait dengan kasus BLBI ini namun langkah kongkrit dari tindak
lanjut pemeriksaan berupa penegakan hukumnya belum ada. Oleh karena itu, langkah konkrit yang seharusnya diambil oleh pemerintah
adalah dengan membentuk lembaga ad hoc yang berfungsi melakukan penegakan hukum politik. Dengan kata lain, penyelesaian kasus BLBI ini tidak cukup hanya
dengan melakukan pendekatan personal ataupun pendekatan politik yang mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum.
Sejak kelahirannya, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK menjadi trigger mechanism institusi independen yang dapat memberdaya atas skeptisme publik
terhadap lemahnya penegakan hukum. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan amat luar biasa extra ordinary power yang tidak
dimiliki institusi lain. KPK bisa meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuang
esensial dengan penegak hukum lain dari sis
an tersangka tanpa izin Bank Indonesia, menyadapmerekam pembicaraan, tidak memerlukan izin untuk memeriksa pejabat negara, dan lainnya. Dengan extra
ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan bagian tatanan pemberantasan korupsi. Ini penting mengingat
lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan tem peradilan pidana.
Korupsi kelembagaan selalu merusak sistem ketatanegaraan dan perekonomian negara. Maka, diperlukan beberapa hal. Pertama, melakukan tindakan
terintegrasi lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, di antara penegak hukum harus memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan sama di antara para penegak hukum. Hal ini
untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan juga akan
menimbulkan disintegrasi penegakan hukum. Dalam sistem peradilan pidana, tingkat keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandasi integrated
criminal justice system, bukan menciptakan sistem diskriminasi kewenangan. Hal ini dimaks
udkan agar tidak terjadi penegakan hukum terpilah. Anekdot yang sering muncul, lebih baik disidik Polri dan Kejaksaan Agung daripada KPK. Tujuan
penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegakan hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang non
diskriminatif.
138
Kedua, selain itu independensi proses penegakan hukum merupakan wacana yang bersifat imperatif. Akan menjadi sulit bagi Polri dan Kejaksaan Agung untuk
memaksimalkan pemberantasan korupsi, selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status subordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi. Hal ini memunculkan
kesan, ada kekuasaan otoriter yang permisif. Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi penegak
hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan. Dengan demikian, selama masih ada hubungan subordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif, kehendak
138
Indryanto Seno Adji, Bangkitlah Penegak Hukum, diakses dari situs : http:www.unisosdem.orgekopol_detail.php?aid=10539coid=3caid=31, tanggal 14 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
menegakkan hukum korupsi akan selalu gamang dan minim hasilnya. Gangguan, serangan, dan intervensi terhadap institusi penegak hukum hadir begitu kuat. Pola
interve
prinsip legalitas subordinasi.
139
arakat. Perkem
nsi pun dikemas dalam bentuk independensi semu, seperti penempatan lembaga penegak hukum yang menjadi subordinasi kekuasaan, penegak hukum hadir
rutin dalam rapat kabinet sehingga polisi dan Kejaksaan Agung jarang terlihat memeriksa pejabat negara dalam pemberantasan korupsi. Semua ini memberi arah,
seolah ada justifikasi yang berlindung di balik Sikap nonsinergis, diskriminatif kewenangan di antara lembaga penegak
hukum Polri, Kejaksaan, dan KPK dalam memberantas korupsi justru melemahkan penegakan hukum. Balanced and equal of power adalah kebangkitan penegak hukum,
Polri, Kejaksaan, dan KPK sebagai voorportaal gerbang terdepan membuka tabir korupsi kelembagaan dalam konteks due process of law yang prospektif.
F. Tindakan Preemtif, Preventif dan Refressif dalam upaya penanggulangan