F. Kerangka Teori dan Konsepsi
a. Kerangka Teori
Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini
berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum
yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan “ Konsep Sistem Peradilan
Pidana ”. Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi,
interkoneksi dan interpendensi interface dengan lingkungannya dalam peringkat- peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-
subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri subsystems of criminal justice system, salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah
“sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum. Selanjutnya sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai sistem terbuka open system sebab pengaruh lingkungan
seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya.
15
Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar
15
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, 1995, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Kombinasi antara Efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi masing-
masing subsistem dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. Efektivitas sistem peradilan pidana, secara umum antara lain dapat diukur melalui indikator-indikator
tingkat pengungkapan perkara oleh polisi clearance rate, tingkat keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaan conviction rate, kecepatan penanganan perkara
speedy trial, tingkat penggunaan alternatif pidana kemerdekaan rate of alternative sanction, menonjol atau tidaknya disparitas disparity of sentencing performance,
dan tingkat residivisme rate of recall to prison.
16
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada
kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya.
17
Tanpa kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana
hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaranjustifiksasi hukum yang
bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para oligarki penguasa.
16
Ibid, hal. 120.
17
Ibid, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 empat subsistem,
yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga
Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan
wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan
subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa pada
tahap prajudisial dan pengadilan pada tahap judisial. Berikut ini dilihat skema Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System berdasarkan UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Skema : 1 Criminal Justice System untuk tindak pidana biasa
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
KEPOLISIAN KEJAKSAAN
HAKIM LEMBAGA
PEMASYARAKATAN
Universitas Sumatera Utara
Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas,
penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu
hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya,
apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai
hukum pidana formal atau hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan
hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda.
18
Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, Kejaksaan, Kepolisan dan KPK sebagai
organisasi kenegaraan birokrasi diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial. Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer
menyatakan bahwa kini dalam masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu
18
Wirjono Prodjodikoro, Asas-AsasHukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern, dan kita tidak mungkin memahami kehidupan sosial masa kini kalau kita tidak
mengerti tentang bentuk lembaga ini.
19
Berikut skema Sistem Peradilan Pidana yang di dalamnya terlihat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Skema : 2 Criminal Justice System dalam Tindak Pidana Korupsi
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM TINDAK PIDANA KORUPSI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
HAKIM TIPIKOR
PENUNTUT UMUM KPK
PENYIDIK KPK
Sebagaimana digambarkan pada skema 2 di atas, untuk tindak pidana korupsi, seluruh prosesnya berada di bawah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
KPK, dengan proses peradilan pidana yang juga tersendiri. Di dalam prosesnya, penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh penyelidik dan penyidik KPK yang bisa
saja berasal dari Kepolisian, namun sementara bekerja sebagai Pegawai KPK, demikian juga halnya dengan Penuntut umum dan Hakim. Untuk Hakim, terkadang
19
M Blau ,Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, UI Press, Jakarta, 1987, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan juga pembentukan Hakim Ad Hoc yang khusus bertugas untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
Di Indonesia Sistem Peradilan Pidana setelah KUHAP mempunyai 4 empat subsistem, yaitu subsistem kepolisian yang secara administratif berada di bawah
Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Hukum dan Perundang-
undangan. Tujuan Sistem Peradilan pdana dapat dikategorikan sebagai berikut :
20
a. Tujuan jangka pendek, yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana ;
b. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dalam pencegahan kejahatan dalam konteks criminal
Criminal Policy ; c.
Tujuan jangka panjang apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat Sosial Welfare dalam konteks politik sosial Sosial Politic.
Di dalam sistem peradilan pidana Criminal justice system terdapat adanya suatu input – proccess – output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan
pengaduan tentang terjadinya tindak pidana, dan yang dimaksudkan dengan proccess adalah sebagai tindakan yang diambil oleh Kepolsian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
20
Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, 1988, Makalah pada Seminar Pembinaan Narapidana di Indonesia, FH-UI.
Universitas Sumatera Utara
Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”, mengungkapkan ada 2 dua model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model
Pengendalian Kejahatan Crime Control Model dan Model Perlindungan Hak Due Process Model. Packer mengajak kita untuk memahami betapa rumitnya proses
kriminal, dia berusaha mengambil karakteristik dari model-model yang berlawanan. Perbedaan kedua model itu akan terlihat pada saat penangkapan sampai orang itu
diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari Crime Control Model adalah efisiensi yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap dan diadili, seakan-akan
tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model, karakteristiknya adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan seseorang harus
melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat banyak mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model
menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam bekerjanya KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.
21
b. Konsepsi 1. Tindak