triliun. Namun setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Price Waterhouse Cooper pada 2000, nilai aset Sjamsul Nursalim hanya Rp 1,441 triliun.
120
LBI DPR RI pa
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa setidaknya terdapat 65 obligor kasus BLBI yang belum secara tuntas diselesaikan. Adanya prioritas yang hanya
menitikberatkan pada dua kasus di atas, mengindikasikan bahwa praktek tebang pilih masih mewarnai upaya penegakan hukum di Indonesia. Sementara itu, yang terlibat
di dalam kasus BLBI tersebut tidak hanya para obligor yang mendapatkan kucuran dana, tetapi juga para pengambil kebijakan baik di tubuh pemerintah ataupun Bank
Indonesia, bahkan jaksa yang pernah menangani kasus yang merugikan negara triliun rupiah tersebut juga harus diusut. Berdasarkan rekomendasi Panitia Kerja B
da Maret 2000 telah menyebutkan setidaknya 47 nama yang diduga mendapatkan bagian BLBI selain dari 48 bank yang terkait kasus tersebut.
121
Terlebih lagi, tarik-menarik kepentingan di sekitar kasus BLBI ini tidak hanya berputar pada aspek hukum dan ekonomi semata, tetapi juga telah menjadi sebuah
magnet yang memiliki daya tarik yang kuat terhadap kepentingan politik, tidak hanya pada tataran nasional tetapi juga internasional. Bahkan kuat sekali indikasi bahwa
kasus BLBI ini justru dijadikan komoditas politik para elit sebagai alat pencapaian kepentingan.
C. Pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK
D, Keadilan, Kepastian Hukum, dan Pertanggungjawabannya”, diakses dari situs : h
120
NN, “R ttp:els.bappenas.go.iduploadotherR.htm, 29 September 2009.
121
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Bertalian dengan kasus BLBI, ide yang diusung ICW yakni agar dalam putusannya majelis hakim pemeriksa perkara dalam setiap tingkatan Arthalita-Urip
memerintahkan kepada aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi KPK untuk kembali membuka kembali kasus BLBI yang terkesan “berlebihan”
memang harus dicermati secara cerdas dan dengan spirit pemberantasan korupsi. Maksudnya, penolakan atas ide yang “berlebihan” itu tidak sekedar atas dasar
pemberhalaan terhadap teori hukum maupun konstruksi teknis hukum pidana saat ini tanpa menangkap pesan yang jauh lebih substansial.
Sepintas benar, dalam konteks struktur pembagian kekuasaan bersifat checks and balances setara dan saling kontrol dan sistem peradilan pidana yang bersifat
integrated criminal justice system secara sepintas ide tersebut terasa mengandung banyak ‘kecacatan’. Selain karena berisi suatu keadaan yang melampaui
wewenangnya dan berpotensi mengacaukan doktrin mapan proses adjudikasi oleh hakim pengadilan dalam suatu perkara pidana, lebih jauh lagi apabila benar hal
tersebut bisa dikabulkan akan menjadi bomerang atau pisau bermata dua bagi penegakan hukum dikemudian hari. Disatu sisi saat ini mungkin akan bersifat
produktif karena kebutuhan yang mendesak untuk segera membongkar kembali kasus BLBI, namun disisi lain dikemudian hari sangat berpotensi menjadi senjata ampuh
untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Melihat muramnya wajah pengadilan kita saat ini yang sangat rentan dengan kondisi ‘jual beli’ dan kepentingan politis,
tentu saja selintas bayangan keraguan akan kebenaran yang terungkap di persidangan akan selalu muncul. Mengingat bagaimana banyaknya putusan lembaga sekelas
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Konstitusi yang kewenangannya sangat jelas diberikan oleh konstitusi bisa diabaikan begitu saja, maka bukan mustahil pula hal ini akan bernasib sama
bahkan lebih buruk. Adanya pembagian kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif yang
bersifat cheks balances jangan ditanggapi dengan sebegitu egoisnya tanpa memikirkan reasoning awal pembentukannya. Pembagian harus dimaknai sebagai
bagian dari pemberdayaan demi pencapaian tujuan yang jauh lebih besar yang apabila dilakukan tanpa pembagian cenderung gagal. Desain awalnya pembagian ialah demi
kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan, kemakmuran, kecerdasan, keadilan bagi rakyat. Walaupun secara teknis dan formal yuridis tidak diatur bahwa lembaga
pengadilan hakim mempunyai wewenang untuk memerintahkan aparat penegak hukum melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, haruslah dipahami bahwa hal
itu dilakukan demi kepentingan sebesar-besarnya bagi rakyat.
122
Hal tersebut setali tiga uang dengan prinsip integrated criminal justice system dalam sistem peradilan pidana kita dewasa ini. Pemisahan antar fungsi penegak
hukum bukanlah untuk tujuan bercerai berai separated berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan masing-masing. Pemisahan yang terintegrasi antar penegak hukum
dalam proses pidana integrated criminal justice system dilakukan demi tercapainya pemulihan keseimbangan ditengah masyarakat yang sempat terganggu.
Kwik Gian Gie, RD Apa Artinya Pelunasan dan Pembebasan?”, Harian Kompas, edisi 10 Desember 2002.
122
Universitas Sumatera Utara
Dua putusan Korupsi yang diberikan oleh Majelis Hakim Tipikor dengan ancaman pidana maksimal terhadap Jaksa Urip T.G dan komplotannya Arthalita
Suryani yang memunculkan banyak pihak, fakta yuridis dan fakta peristiwa menyangkut perkara BLBI seharusnya sudah lebih dari cukup bagi KPK untuk segera
melakukan aksi pembongkaran besar-besaran terhadap dua hal besar: Borok di tubuh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan juga mafia dalam mega skandal BLBI.
Tanpa perintah seperti yang diusulkan oleh ICW tersebut pun, seharusnya KPK sudah seharusnya bergerak maju. Kalau mau formil-formilan, dengan sangat gampang,
peristiwa out of court settelement yang dipertegas dengan Inpres bernuansa korup yang melegitimasinya yang secara nyata bertentangan dengan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 4 sudah cukup bagi KPK untuk mengambil langkah tegas.
Jika dianalisa lebih lanjut, pada dasarnya sangat banyak alasan bagi KPK untuk mengambil alih kasus BLBI. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar,
yang mencapai Rp. Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang dikucurkan; penyelewenangan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima;
beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI; kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan yang mulai
terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik agar KPK turun
tangan.
Universitas Sumatera Utara
Harus diakui, hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. ICW menilai, setidaknya
perdebatan hukum tersebut terpolarisasi menjadi beberapa poin sentral, yaitu :
123
1. KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30 Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan ini
hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan Bram Mannopo. Saat itu, didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara sebelum
27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU KPK harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau berlaku surut. MK menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68
yang berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal tersebut
jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif berarti KPK hanya
melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang berlaku surut atau tidaknya
kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara korupsi yang ada sebelum
KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan kewenangan pengambil alihan.Dengan demikian, poin pertama tentang kewenangan KPK yang terbatas
pada perkara yang terjadi setelah UU KPK terbentuk telah dapat dibantah.
123
Elwi Danil, “Analisis Hukum Kasus BLBI”, diakses dari situs http:elwidanil.multiply.comjournalitem1, 5 Juni 2008.
Universitas Sumatera Utara
2. KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU 202001 UU Tipikor
diundangkan, yaitu sejak 16 Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1 angka 1 UU KPK. Disebutkan; “tindak Pidana Korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999 dan
UU 20 Tahun 2001 UU Tipikor”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang
dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan pada konsideran “menimbang huruf a” hanya terbatas pada
pengertian tindak pidana korupsi yang diatur pada UU 311999 dan UU 202001.
Ada tiga catatan hukum yang dapat diajukan terhadap pandangan diatas.
Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan yang berada di wilayah
hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah hukum formil. Bagian yang mengatur tentang defenisi Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 angka 1 UU KPK dalam
posisinya sebagai ketentuan yang menunjuk ketentuan lain UU Tipikor merupakan
aturan hukum materiil. Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka 1 UU KPK yang merujuk
pad a UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif. Padahal,
merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh. Perhatikan Pasal 43A ayat 1 UU 202001
jo UU 31 Tahun 1999 UU Tipikor. Bagian yang terletak di Bab VI A, Ketentuan
Peralihan ini menyebutkan, ” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No.
Universitas Sumatera Utara
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Sehingga, dapat dikatakan UU
Tipikor juga menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU 3
Tahun 1971. Artinya, Pasal 1 angka 1 UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor
seperti yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 202001 sekaligus UU No. 3 Tahun 1971. Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh
menangani perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang
tidak melewati masa daluarsa penuntutan.
Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU 31 Tahun 1999, melainkan hanya
soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana terjadi sebelum UU 31 Tahun 1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK menggunakan UU 3
Tahun 1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap terdakwa. Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK dan
UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat 1, 68 UU KPK
dan Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum acara PidanaKUHAP. Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu:
kewenangan supervisi KPK dan pengambil alihan “proses” penanganan perkara. Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa
“penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, defenisi frasa tersebut dapat dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian tindakan”. Maka
jelaslah, kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada Pasal 68 UU KPK
Universitas Sumatera Utara
sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan. Artinya,
sepanjang KPK melakukan tindakan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi sebelum adanya UU
No. 31 Tahun 1999, maka KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan “serangkaian tindakan” berdasarkan
UU KPK yang telah ada sebelum “serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan.
Selain itu, penanganan BLBI juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti disebutkan pada Pasal 9 butir b. Dan,
mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9 bersifat alternatif yang ditunjukan dengan
penggunaan kata “atau“, maka tidak dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir
a sampai dengan f untuk melakukan pengambil-alihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK
mengambil alih kasus BLBI.
Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara
gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih kasus
BLBI.
D. Sinergi Tugas, Fungsi dan Wewenang antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam Proses penyidikan, penuntutan dan peradilan kasus BLBI
Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan ini terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada
Universitas Sumatera Utara
berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama
sekali. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pembentukan Korupsi KPK Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini merupakan salah satu
upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam
pel aksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi
terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, hubungan koordinasi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai sub sistem Peradilan Pidana Terpadu
Integrated Criminal Justice System dan juga tugas dan peranan KPK sendiri yang terkesan sebagai lembaga super body.
KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Disisi
lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka
KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam
Universitas Sumatera Utara
penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi kondisi ini pada akhirnya dianggap sebagai dualisme
kewenangan yang menyebabkan hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung menjadi kurang harmonis.
Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam
membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku
korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial review oleh pelaku korupsi yang
salah satunya judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat 1
UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum lex certa yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan
dalam pemberlakuannya”, dimana kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kekhawatiran terhadap kredibilitas
KPK sebagai lembaga baru adalah hal yang wajar, mengingat di tangan badan inilah harapan terakhir pemberantasan korupsi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya undang-undang sudah mengatur hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 43 UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas KPK dirinci dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tersebut,
yaitu : a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. d. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Berdasarkan tugas yang diemban oleh KPK tersebut, maka KPK diberi wewenang :
124
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Pasal 8 UU K.
124
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KP
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. c. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka adn seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 empat
belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
d. 3 dilakukan dengan membuat dan
Penyerahan sebagaimana
dimaksud pada
ayat menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam kaitannya dengan kasus BLBI, berdasarkan Pasal 6 huruf b UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa KPK mempunyai tugas untuk melakukan
supervisi terhadap instansi yang mempunyai kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Artinya, KPK dapat melakukan supervisi terhadap Kejaksaan Agung yang
melakukan penyidikan terhadap kasus BLBI yang dalam hal ini dinilai oleh banyak pihak tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya Pasal 8 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian,atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Sedangkan dalam ayat 2 dinyatakan bahwa KPK berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Selanjutnya Pasal 9 UU No 30
Tahun 2002 yaitu bahwa pengambilalihan penyidikan atau penuntutan dapat dilakukan oleh KPK dengan beberapa alasan di antaranya penanganan tindak pidana
korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Pasal 9 huruf b. Jadi, berdasarkan wewenang ini, KPK
berhak untuk mengambilalih kasus BLBI yang semula ditangani oleh kejaksaan ini. Selanjutnya dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum adanya UU 31 Tahun
1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut retroaktif jika KPK melakukan itu berdasarkan UU KPK, kecuali jika KPK mendasarkan
dakwaannya pada undang-undang hukum materiil yang belum ada ketika perbuatan tindak pidana BLBI dilakukan. Berdasarkan hal diatas, pembahasan
pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat dapat dilakukannya pengambilalihan. Dalam kasus
BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore 2 Maret 2008 menunjukan terkandungnya unsur korupsi dalam
penanganan BLBI. Dengan demikian unsur Pasal 9 butir d UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam penanganan kasus korupsi terdapat
unsur korupsi”.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya Pasal 9 huruf c. Sejumlah obligor
utama dan pejabat tinggi BI yang mengucurkan BLBI justru dihentikan proses penyelidikannya. Selanjutnya penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi.
125
Penanganan kasus BLBI oleh aparat penegak hukum sangat nyata terindikasi judicial corruption, yang kemudian terbukti dengan tertangkap tangannya
jaksa Urip Tri Gunawan saat menerima suap dari Artalyta. ”Selanjutnya adanya campur tangan eksekutif yang menghambat penanganan tindak pidana korupsi. Hal
ini makin memperkuat kewajiban KPK mengambil alih kasus BLBI.
126
Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 UU No. 30 Tahun
2002 seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari UU No. 30 Tahun 2002, bahwa KPK :
a. dapat menyusun jaringan kerja networking yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada.
b. sebagai ”counterpartner” yang kondusif.
c. tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
125
Pasal 9 huruf d UU No. 30 Tahun 2002.
126
Pasal 9 huruf e UU No. 30 Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
d. berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada alam pemberantasan korupsi trigger mechanism.
e. berfungsi untuk melakukan suprvisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisia danatau kejaksaan.
Dari penjelasan umum ini, maka disimpulkan bahwa komisi harus menjadikan kepolisian maupun kejaksaan sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dip
eradaan KPK tidak sampai pada daerah-daerah ahami mengingat keb
kabupatenkota. Apabila KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri akan mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan, pembengkakan biaya yang
sangat besar dan overlapping kewenangan. Sehingga untuk penyidikan dan pen
Kejaksaan yang secara teknis dan untutan dilaksanakan oleh Kepolisian dan
praktis bekerjasama dan disupervisi oleh KPK, walaupun penyidik kepolisian secara ad-hoc berubah menjadi penyidik KPK dan penuntut dari lembaga kejaksaan secara
ad- n pula tentang fungsi KPK untuk tidak memonopoli penyelidikan,
penyid hoc berubah menjadi penuntut KPK selama proses kasus korupsi berjalan.
127
Demikia ikan dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan
127
Ramelan, Koordinasi dan Pengawasan antar Instansi dalam Penyidikan dan Penuntutan Korupsi dalam Persfektif Kejaksaan, disampaikan pada diskusi panel Menuju Pengadilan Anti
Korupsi, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan British Council pada tanggal 15-16 September 2004, di Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
pemberdaya institusi dan fungsi melakukan supervisi dan memantau instansi yang telah ada, menandakan bahwa dalam hubungan fungsional antara KPK dengan
kejaksaan danatau Kepolisian akan tetap memberikan peran yang sangat besar kepada kedua lembaga terdahulu itu untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Hal ini jelas sudah dapat dilihat dari proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sudah dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan
dalam kasus BLBI. Berdasarkan hasil penyidikan kepolisian, setidaknya ada 50 tersangka kasus BLBI yang didalamnya juga terlibat para elit Bank Indonesia, seperti
Aulia
tetapi tidak ada upaya yang serius, bahkan cenderung tutup mata terhadap kebijakan Pohan, Taslim Tajuddin, Maman H Soemantri, dan Bunbunan Hutapea.
Anthony Salim, dan sebagainya. Proses penyidikan kasus ini juga sudah dilakukan oleh Kejaksaan. Pada tahun 2007, Kejaksaan Agung menyiapkan 35 Jaksa yang
secara khusus disiapkan untuk menangani kasus BLBI. sampai akhirnya menghentikan proses penyidikan SP3.
Dalam proses penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan, banyak hal-hal yang menimbulkan kontroversi sehingga rakyat Indonesia berharap kasus ini segera
ditangani oleh KPK sebagai lembaga yang diyakini dapat lebih independen. Beberapa hal yang menjadi kontroversi, antara lain :
128
Pertama, dari sisi kebijakan tampak ada inkonsistensi. Para jaksa di Gedung
Bundar terlihat sibuk melakukan pemeriksaan dengan memanggil banyak saksi. Akan
128
Mencari Keadilan dalam Kasus BLBI, diakses dari situs : http:danangwd.wordpress.com20080408mencari-keadilan-dalam-kasus-blbi, tanggal 15 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
resmi pemerintah dalam penyelesaian BLBI. Adalah Inpres No. 8 Tahun 2002 yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan pidana bila telah mengantongi surat
keterangan lunas SKL. Keberadaan Inpres No. 8 Tahun 2002 menunjukkan bagaimana Jaksa tampak tidak serius menegakan hukum. Seharusnya, sebelum
melaku
gka tertentu saja. Pada bulan Desember 2007 la
nnya, tidak tampak upaya Kejaksaan untuk
meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan terhadap mantan Direktur Bank Indonesia, kan pemeriksaan, Jaksa bisa meminta Presiden untuk mencabut Inpres yang
kontradiktif dengan hukum positif di Indonesia karena pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghilangkan aspek pidana.
Kedua, Jaksa hanya memanggil tersan
lu, yang dipanggil adalah Anthony Salim yang mewakili Keluarga Soedono Salim, mantan pemilik BCA. Bagaimana dengan tersangka yang lain, ada lebih dari
50 tersangka dalam kasus BLBI tetapi tidak semua diperlakukan sama oleh Kejaksaaan. Bahkan ada obligor yang belum mengantongi SKL tidak pernah
diperiksa secara terbuka oleh Kejaksaaan.
Ketiga, dalam kasus korupsi ada istilah “it takes two to tango”. Korupsi selalu
melibatkan lebih dari satu pihak, baik yang diperkaya secara tidak sah maupun pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan. Kasus BLBI tidak hanya
melibatkan pengusaha yang merugikan negara, tetapi juga otoritas perbankan yang mengucurkan dana BLBI. Dalam perkembanga
mengejar pertanggungjawaban otoritas perbankan yang memberikan BLBI tanpa melakukan pengawasan dengan benar. Bahkan Kejaksaan Agung juga tidak
Universitas Sumatera Utara
padahal pada saat yang sama media massa dengan gencar mempersoalkan korupsi dana BI yang diduga juga dipergunakan untuk kepentingan pejabat BI.
Keempat, persidangan kasus BLBI juga tidak menunjukkan keseriusan
pemerintah dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap tersang
:
129
a. Lap ka kasus korupsi paling besar dalam sejarah republik ini. Coba lihat statistik
penanganan kasus korupsi BLBI, tampak tidak ada pemidanaan yang menjerakan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan,
hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari
50 dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan
ada pula yang tidak jelas status hukumnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, undang-undang juga telah memberikan
persyarakatan terhadap perkara yang dapat diambil alih oleh KPK, yaitu oran masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
d. Penanganan tindak
pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
129
Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
e. Hambatan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif.
f. Kea dapat
kew an surat perintah penghentian
a tindak pidana korupsi dilaksanakan dengan ak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Aca men
gadilan tindak pidana korupsi. Sedangkan KUHAP merupa
2009, Pasal 38 ayat 1, Pas
daan lain yang menurut pertimbangan kepolisian dan kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, pembatasan lain bagi KPK adalah selama menjalankan tugas dan
enangannya, KPK tidak berwenang mengeluark penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Proses peradilan terhadap perkar menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tind
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum ra Pidana KUHAP. UU No. 30 Tahun 2002 merupakan ketentuan khusus
genai hukum acara pen kan ketentuan yang bersifat umum dalam hukum acara pidana di peradilan
umum. Dalam pelaksanaannya ketiga undang-undang tersebut saling melengkapi. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 26 UU No. 31 Tahun
al 39 ayat 1 dan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002.
130
130
Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi : Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan di atas menandakan berlakunya asas hukum lex specialis derogat legi generalis, karena ketentuan yang tidak ditentukan lain dalam undang-undang
yang bersifat khusus ini UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 akan tetap menggunakan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum KUHAP.
Untuk itu dalam hal ditentukan lain oleh undang-undang UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002, maka hal yang sama yang diatur dalam UU No. 8 Tahun
1981 tidak berlaku. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak ditentukan lain, maka yang berlaku adalah ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981. Pengecualian asas
ketentuan tertentu melalui penggunaan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.
KPK sebagai organ yang menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam pengadilan tindak pidana korupsi maka dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya mengikuti hukum acara yang berlaku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu, UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pasal 38 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 39 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 berbunyi : Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan khusus lex specialis dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai ketentuan
umum lex generalis.
131
Merujuk pada ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa KPK akan mengambil alih fungsi dan tugas kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan dalam perkara-perkara korupsi. Oleh karena itu, terjadi perubahan besar dan mendasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
juga berarti perubahan di dalam hukum acara pidana, khususnya mengenai kasus- kasus tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang sebelumnya menjadi bagian
dari Kepolisian danatau Kejaksaan diangkat menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
132
Jadi, kondisi ini menunjukkan bahwa antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan memiliki sinergi dalam proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Demikian juga dengan proses peradilan, sebagai lembaga ad hoc hakim-hakim
karir juga diangkat menjadi hakim ad hoc untuk perkara-perkara korupsi, sehingga
131
Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 38 dan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002.
132
Pasal 39 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
dari segi proses peradilan KPK juga bersinergi dengan lembaga penegak hukum yang lain.
Pembentukan KPK dan pengadilan tindak pidana korupsi ini tidak seluruhnya ditanggapi dengan positif, ada juga yang berpandangan negatif yang menyatakan
bahwa tugas dan wewenang KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tidak pada tempatnya karena
sebenarnya Kejaksaan masih mampu untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik, sehingga dengan diberikannya KPK tugas dan wewenang seperti itu, seperti
mengebiri kejaksaan. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan banyak dana dan tenaga untuk membentuk KPK serta sarana dan prasarananya. Kondisinya akan lebih lagi
kalau pemerintah membangun dan memperkuat lembaga kejaksaan baik dari segi finansial dan sumber daya manusia sehingga kejaksaan dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik.
133
E. Penerbitan Letter of Release and Discharge