Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelahiran seorang anak adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh orangtua di awal pernikahan, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas pernikahan Hurlock, 1980. Anak menjadi begitu berharga bukan hanya disebabkan adanya hubungan darah, tetapi terdapat hubungan emosional yang lebih dalam. Ikatan emosional antara anak dan orangtua ini terbentuk sejak awal kehamilan, dimana orangtua mulai mencoba membayangkan dan menggambarkan anak mereka secara fisik, serta mulai mencari nama yang tepat bagi bayi mereka. Setelah anak lahir, ikatan antara anak dan orangtua semakin kuat. Orangtua mulai belajar bagaimana merawat anak dan tidak jarang mereka mengalami konflik dengan diri mereka sendiri dan pasangan saat mengasuh anak, seperti kurangnya waktu untuk beristirahat karena harus tetap siaga menjaga bayi mereka. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi orangtua dalam merawat anak, maka hubungan emosional antara anak dan orangtua semakin kuat. Hal ini disebabkan karena orangtua semakin merasakan adanya dorongan untuk melindungi dan bertanggungjawab bagi anak mereka Sanders, 1992. Selain adanya ikatan emosional yang kuat anatara orangtua dan anak, Dimatteo 1991 mengatakan anak adalah harapan dan masa depan orangtua. Saat anak lahir, orangtua mulai melihat diri mereka pada anak dan mulai merencanakan masa depan anak yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan orangtua. Orangtua mulai melihat karakteristik positif dan negatif mereka yang Universitas Sumatera Utara berkembang pada anak. Selain itu, Sanders 1992 juga mengatakan anak membawa orangtua kepada suatu kontak sosial yang baru, melalui aktivitas, sekolah, dan peristiwa-peristiwa yang dialami anak sehari-hari. Kehilangan anak menjadi peristiwa yang sangat sulit bagi orangtua karena harapan-harapan dan impian-impian mereka seakan lenyap seketika. Kehilangan anak dapat disebabkan karena anak lari dari rumah, adanya penculikan anak, atau kematian. Bagi orangtua, kehilangan anak tidak hanya diartikan sebagai hilangnya anak secara fisik, tetapi juga orangtua kehilangan aspek-aspek dari hidup mereka Sanders, 1992. Persepsi orangtua terhadap hilangnya anak kemudian menyebabkan terjadinya suatu proses reaksi psikologis, sosial, dan fisik. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan grief. Grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik sebagai persepsi dari kehilangan. Grief merupakan reaksi yang normal terjadi saat orangtua kehilangan anak Rando, 1984. Moules 2009 menambahkan bahwa grief adalah proses yang dialami seseorang untuk menarik diri dan memutuskan hubungan karena peristiwa kematian, kemudian memiliki keyakinan untuk keluar dari rasa kehilangan mereka dan belajar untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka kasihi. Menurut Sanders 1992, kematian anak merupakan grief yang sangat menyakitkan dan prosesnya berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Owen dkk dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin, 1996 melakukan suatu penelitian untuk membandingkan reaksi grief yang dikaitkan dengan tipe kehilangan loss yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua yang sedang berduka karena kematian anak lebih depresi dan memiliki reaksi grief yang secara umum lebih Universitas Sumatera Utara kuat daripada orang yang berduka karena kematian pasangan hidup atau anak yang berduka karena kematian orangtuanya. Beberapa peneliti dan terapis yakin bahwa seseorang yang mengalami grief memerlukan waktu paling sedikit 1 tahun untuk pulih dari keadaannya Hoyer, Rybash, Roodin, 1996. Karena grief bersifat sangat individual Attig Storebe dalam Hoyer, Rybash, Roodin, 1996, tentunya waktu yang diperlukan untuk menjalani proses grief juga berbeda- beda pada tiap orang. Kliman dalam Rando, 1984 menyatakan kehilangan anak menghadapkan orangtua pada banyak fakta. Orangtua merasa bahwa ada yang hilang dari diri mereka. Orangtua harus menghadapi kenyataan kehilangan anak, kehilangan mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang telah mereka tanamkan pada diri anak, dan orangtua juga harus kehilangan harga diri mereka sendiri karena merasa gagal untuk menjaga anak. Sanders 1992 juga menyatakan kehilangan anak parental grief dapat menyebabkan orangtua menjadi putus asa, cemas, marah, merasa bersalah, dan stres. Perasaan seperti ini timbul karena orangtua merasa bertanggungjawab untuk menjaga anak dengan baik, membuat mereka aman, dan melindungi mereka dari bahaya Dimatteo, 1991, sehingga kehilangan anak seakan-akan membuktikan bahwa orangtua telah gagal melakukan tanggung jawab tersebut. Orangtua juga mengalami frustasi karena kerinduan mereka yang begitu mendalam pada anak Sanders, 1992. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dialami oleh Wita bukan nama asli: “Aku sebenarnya belum bisa terima kalo anakku meninggal hanya karena dia demam biasa. Kalau seandainya saja dia cepat-cepat ku bawa ke rumah sakit malam itu, pasti bisa langsung ditangani sama dokter, jadi dia masih bisa disembuhin. Waktu itu aku mikirnya anakku itu cuma Universitas Sumatera Utara demam biasa, jadi ku kasi obat demam aja. Tapi karna aku sepele dengan demamnya, pergilah dia jadinya.” Komunikasi Personal, 24 Oktober 2009 Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Wijngaards-de Meiji dkk dalam Keesee, Currier, Neimeyer, 2008 pada 219 pasangan suami istri yang menghadapi kematian anak setelah 6, 13, dan 20 bulan, dikatakan bahwa penyebab kematian, jumlah anak yang masih hidup, dan usia anak yang meninggal memberikan variasi dan keunikan dalam pengalaman grief. Penelitian ini juga membuktikan bahwa seecara umum orangtua yang memiliki anak yang meninggal karena kecelakaan memiliki simptom grief yang lebih tinggi. Tetapi terlepas dari penyebab kematian anak, orangtua pasti merasakan bahwa kematian anak adalah suatu peristiwa yang sangat menyakitkan bagi mereka. Seperti yang telah diuraikan di atas, orangtua merasa kehilangan masa depan dan impian- impian mereka yang telah mereka rencanakan pada diri anak. Ayah dan ibu memiliki pengalaman grief yang berbeda-beda saat kehilangan anak. Ini disebabkan karena adanya hubungan yang unik dengan anak, yang tidak terlepas dari bagaimana peran mereka terhadap anak Sanders, 1992. Cacciatore dalam Corr, Nabe, Corr, 2003 menyatakan perbedaan pengalaman grief ini juga disebabkan karena perbedaan kepribadian yang mendasar antara ayah dan ibu. Sebagian besar ayah melihat “secara umum” sedangkan ibu lebih detail. Ayah menekankan pada pikiran, sedangkan ibu menekankan pada perasaan. Ayah berpikir secara logika dan realistis, sedangkan ibu lebih intuitif dan idealis. Ayah mengatasi stres dan grief secara internal, sedangkan ibu secara eksternal. Dalam peristiwa kematian anak, masyarakat menganggap bahwa seorang ibu akan lebih berduka, karena ibu dipandang lebih berperan dalam Universitas Sumatera Utara membesarkan anak dan memiliki kedekatan yang lebih dengan anak Yayasan Pulih, 2008. Secara khusus, ibu menganggap keluarga seperti sebuah lingkaran dimana ibu memiliki tanggung jawab secara emosional. Ibu berkomunikasi kepada setiap anggota keluarga dan membantu mereka berkomunikasi satu sama lain, baik antara ayah dengan anak, maupun antara anak yang satu dengan anak lainnya. Saat anak meninggal, ibu merasa lingkaran keluarga ini menjadi rusak, dan ia tidak bisa berperan seperti sebelumnya. Ibu tidak hanya mengalami grief karena kematian salah satu anaknya, tetapi juga karena kehilangan keseimbangan dalam sistem keluarga. Pada akhirnya, ibu merasa dirinya terisolasi dari lingkungan sosial, sulit memahami dan menerima perihal peristiwa kematian anaknya tetapi memiliki kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi untuk dirinya sendiri Sanders, 1992. Setiap individu memiliki caranya sendiri dalam menghayati grief dan melalui proses pemulihan. Proses ini sangat bergantung pada latar belakang budaya, kebiasaan, agama, serta dukungan dari orang terdekatnya Rando, 1984. Sanders 1992 menyatakan ada 5 lima fase yang dilewati seseorang selama ia berada dalam kondisi grief. Fase-fase tersebut adalah shock, awareness of loss, conservation and the need to withdraw, healing, dan renewal. Menurut Shlain dalam DiMatteo, 1991, proses grief mencakup pada perkembangan dari tidak percaya menjadi suatu penerimaan. Perubahan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan suatu proses yang panjang dimana seseorang yang mengalami grief bisa saja kembali ke keadaan sebelumnya kemudian maju lagi ke fase berikutnya, dari menolak untuk berpikir tentang Universitas Sumatera Utara kematian menjadi memiliki cara pandang yang lebih luas, dari menerima peristiwa kematian yang sudah lewat menjadi menenggelamkan diri pada dunia khayal dan mimpi-mimpi bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya masih hidup. Proses ini memakan waktu yang sangat lama sampai terbentuknya penerimaan secara emosional bahwa orang yang sangat dikasihi benar-benar sudah meninggal dunia. Proses ini secara normal terjadi antara 2 dua tahun sampai dua setengah tahun. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana ibu menjalani grief yang ia alami ketika menghadapi kematian anak dan bagaimana dampak fisik, psikologis, dan sosial grief tersebut.

B. Perumusan Masalah