a. Proses Kematian Anak
Putri kedua Vira, Siti, meninggal dunia karena adanya kelainan jantung sejak berada di dalam kandungan. Hal ini memang sudah diperkirakan
sebelumnya oleh dokter kandungan tempat Vira melakukan konsultasi. Setelah lahir, Siti dimasukkan ke dalam inkubator untuk membantu proses pernapasannya.
Namun kondisi Siti yang semakin kritis membuatnya harus dimasukkan ke ruang ICU. Di ruang inilah Siti akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir, dan
dalam waktu hidupnya yang singkat, ia tidak pernah bertemu dengan ibunya. Vira tidak pernah mengetahui kondisi anaknya setelah ia melahirkan. Dia hanya merasa
bingung, kenapa anaknya belum juga diantarkan untuk diberikan ASI. ”... Nangislah dia pas lahir jam 9 pagi. Jadi sekitar jam-jam 12 dia
dimasukkan ke inkubator. Cuma saya ga dikasitau, supaya saya ga sampe mengalami pendarahan. Tapi saya bingung, kenapa anak saya ini ga
pernah saya susui…”
R1.W1b.49-53hal.2 “…Sampelah jam 12 malam dia di ruang ICU itu, disitulah meninggalnya.
16 jam ajalah dia hidup setelah lahir. Dia belum sempat saya susui dan belum sempat saya gendong.”
R1.W1b.64-67hal.3
b. Proses Grief
1 Fase-fase Grief
a Fase Shock
Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama
kali menyadari terjadinya kehilangan. Vira mengalami state of alarm mengalami demam secara tiba-tiba, dan ketidakpercayaan karena tidak bisa melihat anak
Universitas Sumatera Utara
yang sudah ia kandung selama 9 bulan. Fase pertama ini dilewati oleh Vira seperti berikut:
Berita tentang kematian Siti membuat Vira sangat terkejut dan tubuhnya menjadi demam. Ia merasa seperti terkena sial karena kenyataan yang ia harus
terima tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. ” Demam saya dek. Pada waktu itu saya duduk, duduk saya, padahal saya
masih lagi sakit itu. R1.W1b.157-159hal.6
” Macamnya kayak ada petir di tengah malam. Ga nyangka gitu. Kenapa yang kuidamkan selama ini, yang kubanggakan selama ini, ga ada
kedatangannya gitu. Jadi kayaknya kena sial. Kenapa kek gitu jadinya...”
R1.W1b.144-148hal.5
b Fase Awareness of Loss
Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang
yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Pada fase ini, Vira mengalami separation anxiety saat mengetahui
bahwa harapan hidup untuk bayinya sangat tipis, dan conflict merasa penyebab kematian anaknya karena tekanan psikologis yang ia terima dari suami dan
mertuanya. Dari data yang diperoleh, Vira juga mengalami fase ini. Sebelum Vira melahirkan Siti, dokter memang sudah mengatakan bahwa
harapan hidup janin ini sangat tipis, karena mengalami kelainan jantung sejak dalam kandungan. Dokter memperkirakan antara ibu dan anak ada yang tidak bisa
bertahan hidup. Prediksi dokter ini membuat Vira hanya sedikit berharap untuk melahirkan anaknya dalam keadaan sehat dan tetap hidup.
” Pada waktu saya mengandung, memang harapan saya tipis. Karna memang ada kelainan waktu mengandung...”
Universitas Sumatera Utara
R1.W1b.32-34hal.2 ”...Jadi memang kata dokternya kan, kemungkinan diperkirakan kalo
bukan ibunya yang ga selamat, anaknya ga selamat...”
R1.W1b.39-42hal.2 Kematian Siti tidak diketahui oleh Vira, dan yang memberitahunya tentang
berita ini bukanlah suaminya tetapi abangnya yang juga pernah mengalami hal yang sama dengan Vira. Mendengar berita tentang kematian Siti membuat Vira
sangat sedih dan merasa belum siap untuk kehilangan putrinya. ” ...Tapi itupun saya bukan dikasitau sama bapaknya, tapi dari abang saya
yang juga udah pernah mengalami anak yang udah meninggal, cuma udah lama, udah ada sekitar 11 tahun yang lalu. Jadi saya disemangati karna
kehilangan..”
R1.W1b.69-74hal.3 ” ...Tapi ya saya belum siap, karna selama 9 bulan 10 hari saya kandung,
saya tahan-tahan selama 9 bulan itu, belum lepaslah...” R1.W1b.82-84hal.3
Ia belum pernah melihat dan menggendong anaknya dalam keadaan hidup. Harapan terakhir Vira sebelum Siti dimakamkan adalah ia ingin menggendong
dan mencium anaknya, meskipun sudah dalam keadaan tak bernyawa. Pada saat jenazah Siti akan dibawa, Vira tidak diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit
karena kondisinya yang masih lemah pasca operasi dan harus berada di bawah pengawasan para perawat. Kenyataan ini membuat kesedihan Vira semakin
dalam, karena ia tidak akan pernah lagi melihat anak yang sudah ia kandung selama 9 bulan 10 hari.
“Tapi saya minta gini, waktu terakhir-terakhir, sebelum saya juga pulang ke rumah, saya minta gendong anak saya, saya cium, untuk terakhir. Karna
kita ga pernah nengok dia lagi...”
R1.W1b.74-77hal.3 ”... Jadi dibawalah si adik itu pulang, saya masih di rumah sakit. Jadi
waktu dikebumikan pun saya ga liat, bapaknya lah yang liat.” R1.W1b.101-103hal.4
Universitas Sumatera Utara
Setelah kematian anaknya, Vira sama sekali sulit melakukan apa-apa. Ia jadi banyak melamun. Ia juga sering mengunjungi makam almarhumah putrinya,
tetapi ketika ia pulang ke rumah, ada sedikit penyesalan karena ia tidak mau meninggalkan anaknya sendirian di dalam kubur.
” Ga ada. Setelah dia meninggal, ya paling saya melamun, udah...” R1.W1b.171-172hal.6
“…Tapi sampai sekarang ini, saya tetap ziarah lah ke kuburannya. Tapi namun setelah saya pulang, hati saya miris, kenapa coba saya harus
pulang…”
R1.W1b.181-184hal.6 Vira benar-benar tidak menduga bahwa anaknya akan pergi secepat itu. Ia
mengharapkan anaknya bisa lahir dengan selamat dan sehat. Kematian anaknya membuat Vira mencari-cari apa yang menjadi penyebabnya. Ia menduga itu
terjadi karena tekanan psikologis dan kejanggalan-kejanggalan yang ia alami selama mengandung.
“...Memang banyaklah kejanggalan-kejanggalan selama mengandung dia ini. Abis magrib, saya pernah kedinginan kali, udah, itu sampe saya ga
sadarkan diri sangking menggigilnya itu...”
R1.W1b.125-129hal.5 ”... terus terang aja dek, faktor dari pihak si laki-lakilah maka saya jadi
gini. Karna ada kekerasan itulah maka anak saya lari. Orang hamil kan ga boleh banyak pikiran, iya kan? Karna pada saat mengandung itu, saya
banyak bergumul. Jadi makanya larinya jadi ke anak.”
R1.W1b.149-154hal.5 ”... Jadi pernah saya bilang, ”Udahlah dek, ngapainlah kau hidup. Bagusan
kau tolong mama”. Mungkin pas lewat malaikat maut itu, pas terucap. Bapaknya ini kasar, keras. Makanya anak ini yang jadi korban, karna
banyak berpikir Ibu...”
R1.W1b.248-252hal.8-9
Universitas Sumatera Utara
Vira juga merasa kesal dan marah dengan suaminya. Hal ini berlangsung dari sejak ia mengandung sampai ketika Siti meninggal. Ia berharap kematian Siti
dapat membuat suaminya sadar dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. “Supaya bapaknya ini sadar. Karena anak itu meninggal karna kesal saya
menghadapi bapaknya. Karena faktor-faktornya waktu saya hamil itu karena kelakuan bapaknya. Jadi saya itu jadi kesal...”
R1.W1b.215-218hal.7
c Fase Conservation and the Need to Withdrawal
Pada fase ini individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Individu merasa sangat kelelahan, memerlukan istirahat dan pemulihan
kembali. Vira mengalami withdrawal and the need to rest menghindari untuk menggendong anak kecil dan menolak untuk menghadiri pertemuan atau arisan
keluarga besar, helplessness setelah kematian bayinya, ia tinggal di rumah kakak tertuanya dan dirawat disana selama 2 bulan. Dari data yang diperoleh, fase
ketiga ini dilewati Vira seperti berikut: Setelah kematian putrinya, ia sempat menolak untuk mendekati dan
menggendong anak kecil. ”…ya saya asal ada anak kecil gitu kan, usahakan saya ga ada teringat...”
R1.W1b. 173hal.6 ” Dulu saya sempat ga mau gendong. Asal ada anak kecil gitu, saya lari...”
R1.W1b.178-179hal.6 Selain bekerja, Vira juga mengikuti arisan keluarga yang rutin diadakan
tiap bulan. Hanya saja selama Vira bekerja di perusahaan konveksi dan kesibukan berdagangnya, ia jarang mengikuti arisan tersebut, karena setiap hari minggu ia
harus belanja untuk kebutuhan dagangannya. Setelah kematian putrinya, Vira
Universitas Sumatera Utara
mengaku tidak sanggup datang ke arisan tersebut, meskipun arisan itu sekaligus pertemuan keluarga besar mereka.
” Sedih. Pernah Ibu diajak untuk pergi arisan nenek moyang kan supaya dikasi uang kemalangan. Tapi, untuk apalah uang kemalangan ya kan...”
R1.W1b.403-405hal.13 Dukungan yang paling besar yang ia terima selama berada dalam masa
berkabung adalah dari keluarga besarnya dan juga dari putri pertamanya. Selama 2 bulan pertama setelah kematian Siti, Vira tinggal di rumah kakaknya. Dia lebih
nyaman untuk tinggal disana daripada di rumah mertuanya. “Setelah 2 bulan, saya di Teladan, tempat kakak saya. Dijagain.
Keponakan-keponakan saya lah yang jagain. Terkadang dihibur orang itu kan.”
R1.W1b.288-290hal.10 “Ditemani setiap hari selama satu bulan itu. Kalo Ibu minta teh manis,
dibuatinnya...” R1.W1b.429-430hal.14
“Paling dia bilang, ”Mama kenapa nangis?”. Saya jawab, ”Ga ada, teringat adek aja”. Jadi dia sering peluk saya.”
R1.W1b.283-285hal.10
d Fase Healing
Fase ini merupakan awal pemulihan dari peristiwa grief. Individu mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Pada fase ini, Vira mengalami reaching
a turning point ia mulai bisa beraktivitas kembali, assuming control ia mulai bisa mengontrol dirinya untuk tidak terus-menerus bersedih atas kematian
bayinya, forming a new identity mulai bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, dan centering ourselves ia merasa bahwa
tidak ada satu orangpun yang dapat membangkitkan semangatnya kecuali dirinya sendiri. Pada Vira hal ini dapat dilihat dari data wawancara yang diperoleh:
Universitas Sumatera Utara
Agar ia tidak terus-menerus teringat dengan peristiwa yang menimpanya, Vira mencoba mencari kesibukan-kesibukan yang bisa menghindarkannya dari
ingatan tentang anaknya. Vira memilih untuk mengobrol dengan teman-temannya dan sebulan setelah kematian putrinya, ia mulai menjual peyek yang sudah ia
lakukan sejak ia mengandung Siti. ”... saya mending gabung sama kawan. Pokoknya diusahakan supaya ga
teringat-teringat lagilah.” R1.W1b.174-175hal.6
” Setelah saya melahirkan, saya jual-jual peyek. Jual peyek, baru saya titip ke kedai-kedai.”
R1.W1b.306-307hal.10 Vira merasa tidak ada yang bisa membantunya keluar dari perasaan sedih
yang ia rasakan dalam menghadapi peristiwa kematian anaknya. Ia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang harus segera bangkit dari kesedihannya demi
keluarga yang ia sayangi. ” Ga ada. Istilahnya aku harus tegar, aku harus kuat. Aku ga boleh larut
dalam kesedihan. Cemanapun namanya kita perempuan, harus berjuang untuk menghidupi keluargaku, untuk menghidupi anakku. Aku harus
tegar. Eceknya kalo ga bisa diharapkan dari bapaknya, dari aku harus bisa.”
R1.W1b.437-442hal.14 Tidak ada perubahan-perubahan yang Vira rasakan setelah putrinya
meninggal. Ia menyatakan bahwa setelah ia pulang dari rumah sakit, ia tidak pernah sekalipun melihat popok-popok putrinya yang sudah ia siapkan sebelum
kelahiran anaknya. ” Ga ada. Karna begini, setelah pulang dari rumah sakit, itu baju-bajunya,
popok-popoknya disimpan. Dari dodotnya, popoknya, semuanya disimpan. Jadi gitu saya pulang, udah ga nampak lagi popok-popoknya...”
R1.W1b.468-472hal.15
e Fase Renewal
Universitas Sumatera Utara
Pada fase ini individu mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah meninggal
dunia. Vira mengalami renewing self awareness putrinya yang masih hidup menjadi alasan utama baginya untuk bangkit dari perasaan sedihnya, accepting
responsibility for ourselves ia mulai bisa kembali mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri, dan learning to live without ia sudah
bisa menerima dan belajar menjalani hidup tanpa kehadiran bayinya. Dari data wawancara, didapati bahwa Vira juga mengalami fase ini, seperti yang diuraikan
di bawah ini: Pulihnya Vira dari kesedihannya karena ia melihat putri pertamanya. Ia
sadar, bahwa putrinya masih membutuhkan keberadaannya, dan dia masih memiliki tanggung jawab untuk membesarkan putrinya. Selain itu, iman Vira
kepada Tuhan dan beramal juga membantunya untuk semakin kuat. ” Saya pandang si Nisa. Dia kan punya kebutuhan. Nanti kalo dia minta
apa-apa, oh iya harus ada rupanya yang ku kasi sama anakku ini. Jadi kan memang tinggal dialah harapan awak. Kan anak kedua yang kita harapkan
ga bisa kembali lagi. Anak yang ada inilah dipelihara. Kalopun memang akhirnya anakku cuma ada satu, untuk inilah aku hidup. Kemanapun aku
mencari uang, harus ku rawat anakku. Mau siang malam pun aku mencari uang, ga ada artinya lah kalo anakku ga ada...”
R1.W1b.454-463hal.15 ” ...Karna kita punya iman. Jadi kita merasa anak itu titipan Tuhan. Tuhan
yang berkehendak. Itukan memang anak titipan. Itulah yang menjadi pedoman saya.”
R1.W1b.530-533hal.17 ” Ya itulah, dengan beramal. Kadang nanti ada ustadz yang bilang,
“Udahlah, jadi tabungan kaulah itu nanti”. Jadi aku berpikir, oh udah ada tabunganku untuk nanti di dunia akhirat...”
R1.W1b.535 -538hal.17 Sudah setahun Vira bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Sambil
bekerja, Vira juga berdagang, yang ia tawarkan kepada teman-teman sekerjanya.
Universitas Sumatera Utara
Ia menganggap ini adalah bantuan anaknya dan juga rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya.
”... Jadi sering saya bilang sama anak saya yang meninggal ini kan,”Inilah rejeki mu ya nak, inilah mungkin rejekimu”. Sekarang dialah yang nolong
mamanya. Mungkin sekaranglah Tuhan tu memberi saya kenikmatan ya, bukan kesenangan, tapi kenikmatan...”
R1.W1b.376-381hal.12-13 Sekarang Vira merasa bahwa kesedihannya tidak lagi sama seperti saat
pertama kali putrinya meninggal dunia. Meskipun ia menyatakan bahwa rasa sedih itu tidak akan pernah hilang, dan akan terus terbawa sampai kapanpun.
2 Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi reaksi Grief
a. Hubungan interpersonal antara ibu dan anak yang sudah meninggal
Vira merasa memiliki ikatan batin yang kuat antara ia dan anak yang ia kandung. Hal ini membuat Vira yakin bahwa semua yang dirasakan atau
diucapkannya akan didengar oleh bayi yang ada di dalam kandungannya. Masa mengandung selama 9 bulan tersebut juga membuat Vira tidak siap melepas Siti
begitu saja tanpa pernah merawat putrinya itu meskipun hanya sebentar saja. ”...Tapi ya saya belum siap, karna selama 9 bulan 10 hari saya kandung,
saya tahan-tahan selama 9 bulan itu belum lepaslah...” R1.W1b.468-472hal.15
“...Dulu saya pernah bilang sama anak saya ini, ”Udahlah dek. Ga berubah-berubah pun bapak kau dek”. Sambil nangis ini. ”Ajaklah mama
kesana dek, tertekan kali mama hidup di dunia ini”. Masih di kandungan aja kita udah bilang kayak gitu, apalagi pas udah lahir, terus kayak gitu.
Karna kan kami kayak ada komunikasi...”
R1.W1b.302-310hal.10
b. Latar belakang keagamaanfilosofis seseorang
Vira meyakini bahwa putrinya ini adalah anak titipan Tuhan, sehingga Tuhan memiliki hak untuk mengambil anaknya kapanpun Ia mau. Vira juga
Universitas Sumatera Utara
banyak beramal untuk tabungan di dunia akhirat dan tidak lupa untuk mendoakan Siti. Keyakinan ini membuat Vira lebih tegar dalam menghadapi peristiwa ini.
“...Karna kita punya iman. Jadi kita merasa anak itu titipan Tuhan. Tuhan yang berkehendak. Itukan memang anak titipan. Itulah yang menjadi
pedoman saya...” R1.W1b.668 -672hal.22
“…Ya itulah, dengan beramal. Kadang nanti ada ustadz yang bilang,
“Udahlah, jadi tabungan kaulah itu nanti”. Jadi aku berpikir, oh udah ada tabunganku untuk nanti di dunia akhirat. Ya, terus saya berdoa jugalah
untuk dia, untuk nanti di dunia akhirat. Boleh kita sedih, tapi jangan sampai larut dalam kesedihan itu…”
R1.W1b.674 -681hal.22
Universitas Sumatera Utara
Bagan Proses Grief Responden II Fase II
Awareness of Loss
Fase I
Shock
Fase III
ConservationWithdrawal
Fase II
Awareness of Loss
Fase III
ConservationWithdrawal
Fase IV
Healing
Fase V
Renewal
Universitas Sumatera Utara
C. Analisa Responden 3 Ida