Proses Kematian Anak Data Wawancara

sesekali terhenti karena Sandi sempat mencoba mengambil alat perekam yang diletakkan di antara peneliti dan Pipit. Diakui Pipit, Sandi memang sangat senang jika ada tamu yang datang ke rumahnya, sehingga Sandi akan mencoba mencari perhatian pada setiap tamu yang datang. Akibatnya, Pipit sering terganggu ketika akan menjawab pertanyaan karena harus menghentikan ulah Sandi, sehingga jawaban sering diberikan secara berulang-ulang. Rumah Pipit yang bersebelahan dan sangat rapat dengan rumah-rumah tetangganya mengakibatkan Pipit sering berkomunikasi dengan para tetangganya dengan suara yang keras, dan mereka sering mengobrol dari rumah ke rumah tanpa bertatap muka. Hal ini membuat wawancara harus dihentikan sementara karena Pipit harus menanggapi apa yang dikatakan oleh tetangganya, tetapi wawancara dapat dilanjutkan kembali dan bisa diatasi dengan mengulang pertanyaan. Pipit cukup kooperatif selama pengambilan data. Setiap pertanyaan dijawab dengan panjang lebar dan jelas serta detail. Bahkan terkadang Pipit memberikan uraian yang panjang tanpa ditanya oleh peneliti.

3. Data Wawancara

a. Proses Kematian Anak

Pipit sangat membanggakan almarhum Wibi dari kedua anaknya yang lain. Ia mengatakan bahwa putranya ini sangat ganteng, putih, dan pintar. Karena keramahannya, Wibi disukai banyak orang, khususnya oleh para tetangga Pipit. Proses melahirkan Wibi juga cukup mudah, tidak memerlukan waktu yang sangat lama untuk mengeluarkannya dari rahim. Sejak Pipit mengandung putra keduanya ini, ia mengaku tidak banyak memiliki keluhan seperti ibu-ibu hamil lainnya. Universitas Sumatera Utara Selain berharap agar anak yang ia kandung ini dapat lahir dengan selamat dan sehat, ia juga mengharapkan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan berprestasi, sehingga dapat membantu kedua orangtuanya. Wibi lahir dengan keadaan yang normal, sama dengan anak-anak yang lainnya dan terlihat tidak ada kelainan yang mengkhawatirkan. Di umurnya yang kedua, barulah terlihat bahwa mata Wibi seperti tidak bersinar. Hanya saja Pipit menganggapnya sebagai hal yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang-orang pada umumnya. “...Udah gitu pernah periksa kan, ”Bu, itu kok ga ada cahayanya Bu? Ibu coba periksa Bu” kata dokternya...” R1.W1b.95-97hal.4 ”... Ketauannya waktu dia berumur 2 tahun. Jadi orang bilang kok ga ada sinar di matanya. Kakak bilang, ’biasa itu, dia bisa ngeliat orang halus lho’.” R1.W1b.84-87hal.3 ” Iya. Dia memang bisa nampak. Cuma kita ga taulah kenapa ya kan...” R1.W1b.89-90hal.3 Semakin hari kondisi mata Wibi semakin parah. Ada semacam benjolan yang tumbuh di dekat telinganya, dan kalau ditekan, maka akan mengeluarkan cairan semacam selai. Cairan ini tidak hanya keluar melalui benjolan tersebut, tetapi juga melalui mata Wibi. Melihat ini, Pipit dan suaminya mencoba menutup mata anak mereka dengan perban, dan mencari bantuan ke kantor Lurah agar mereka dapat membawa Wibi ke rumah sakit tanpa harus dikenakan biaya, karena kondisi keuangan keluarga Pipit yang tidak memungkinkan. Setelah sebelumnya berkonsultasi dengan seorang dokter, Pipit dan suaminya akhirnya membawa Wibi untuk diperiksa di rumah sakit. Dokter menyarankan agar mata Wibi dioperasi, tetapi operasi belum bisa dilakukan karena pada waktu itu bertepatan Universitas Sumatera Utara dengan akan datangnya Hari Raya Haji. Sebulan Pipit berada di rumah sakit untuk menunggu operasi dilakukan, sementara mata Wibi terus-menerus mengeluarkan cairan dan akhirnya biji matanya keluar. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Wibi juga pernah dibawa ke pengobatan alternatif karena kondisi keuangan rumah tangga Pipit yang tidak mencukupi untuk membawa ke rumah sakit. Menurut Pipit, semasa putranya ini masih hidup, ia sering bertanya-tanya di dalam hati kalau-kalau anaknya dipanggil oleh Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dirinya. Pikiran seperti ini muncul ketika ia sedang melihat anaknya. ”... Udah gitu kalo tidur, kakak sering bilang gini ’Ya Allah ya Tuhanku, anakku ini ganteng kali. Kalo diambil dariku, bisa gila aku ini. Misalnya tiba-tiba diambil, bisa gilalah aku’...” R1.W1b.169-172hal.6 ”... Kalo misalnya dia maen jungkit-jungkit kan, ada terpikir ’Panjang ga umur anakku ini ya’. Ada firasat kayak gitu...” R1.W1b.174-177hal.6 Menjelang kematiannya, Wibi sering meminta hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Pipit. Ini membuat Pipit semakin merasa bahwa hidup anaknya tidak akan lama lagi. Perkataan dokter yang menyuruh ia memberikan apapun yang diminta oleh Wibi, membuatnya semakin sering berpikir tentang kematian anaknya. ”... Kata dokternya gini, ’Bu, nanti anak Ibu minta apa aja, kasi aja Bu. Tidak ada pantangan’ katanya. Dari situ kakak udah mikir gini, ’Ih, ya Allah ya Tuhanku, orang ini kok udah bilang gini ya? Apa anakku udah mau meninggal ya?’...” R1.W1b.204-209hal.7 ”... Biasanya ga mau dikasi roti, minta terus. Kakak kasi terus dia makan. Habis itu dibilangnya gini, ‘Bu, jangan jual TV ya Bu. Nanti Bibi mau nonton’. Trus datang kakak, bilang ‘Gapapalah Nak, dijual, biar untuk obat Wibi’. Jadi kakak sedih kali disitu, kenapa lah anakku ini bilang kekgini…” R1.W1b.212-218hal.7 Universitas Sumatera Utara Menjelang kematiannya, Wibi dipangku oleh ayah dan ibunya. Wibi meminta kepada ayah dan ibunya untuk membawa ia pulang, karena ia lebih suka meninggal di rumah daripada di rumah sakit. Karena sudah lama berada di rumah sakit, Wibi sering melihat bagaimana perlakuan dokter saat ada pasien disana yang meninggal dunia. Hal itu membuatnya takut untuk meninggal di rumah sakit karena ia takut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya. Pipit mengatakan bahwa pada waktu itu Wibi melihat malaikat dan tidak mau diajak pergi oleh malaikat itu. Setelah itu, Wibi pun akhirnya meninggal dunia.

b. Proses Grief