BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1-40 LU dan 980-1000 BT merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terletak di kawasan Palung Pasifik
Barat. Luas wilayah ± 71.680 KM2, secara geografis terbagi atas wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat. Pantai Timur merupakan dataran rendah seluas 26.360 KM2
atau 36,8 luas dari seluruh Provinsi Sumatera Utara dengan kelembaban tinggi dan curah hujan yang relatif tinggi. Salah satu kota yang terdapat di Pantai Timur
Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Tanjungbalai. Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami
berbagai kejadian bencana. Salah satu bencana yang intensitasnya tinggi yang terjadi di Kota Tanjungbalai adalah bencana banjir. Bencana banjir ini merupakan agenda
besar untuk segera diberikan tindak lanjut dan bukan hanya sekedar perhatian, baik bagi pihak pemerintah maupun non pemerintah.
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Satlak PB Kota Tanjungbalai melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008, bencana banjir memiliki angka kejadian
tertinggi diantara angka kejadian bencana alam yang lain yaitu sekitar 7 kejadian dari 10 kejadian yang ada. Adapun urutan angka kejadian bencana yang terjadi sepanjang
tahun 2008 mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu : banjir, kebakaran, wabah DBD, kapal tenggelam, dll.
Universitas Sumatera Utara
Fakta ini juga didukung oleh laporan Dinas Pekerjaan Umum daerah Kota Tanjungbalai, yang menyatakan bahwa telah terjadi 7 kali bencana banjir selama
kurun waktu 2008 sampai 2009 di kota ini, namun tidak terjadi di seluruh kecamatan, hanya beberapa kecamatan tertentu diantaranya yaitu Kecamatan Datuk Bandar dan
Kecamatan Datuk Bandar Timur. Begitu juga angka ketinggian air pada bencana banjir ini bervariasi, mulai dari 10 cm sampai dengan 70 cm.
Banjir di Tanjungbalai menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai terjadi akibat banjir kiriman yaitu dibukanya pintu air pembangkit listrik Sigura-gura
dan mengalir ke Sungai Asahan, sehingga luapan airnya mengalir ke Sungai Bandar Jepang di Kota Tanjung Balai. Berbagai aspek lain yang juga menyebabkan Kota
Tanjungbalai merupakan daerah rawan bencana banjir diantaranya adalah salah satu kota yang terletak pada ketinggian 0-3 m dari permukaan laut.
Kedudukan Kota Tanjungbalai secara geografis sangat khas oleh karena berada pada pertemuan dua sungai besar yaitu Sungai Asahan dan Sungai Silau.
Selain itu juga Kota Tanjungbalai memiliki 23 buah anak sungai yang beresiko banjir. Luas daerah perairan sungai dan rawa ini mencapai lebih kurang 10 dari
keseluruhan luas Tanjungbalai. Sebagian wilayah Kota Tanjungbalai berada di sepanjang tepi sungai berawa dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut Profil
Tanjungbalai, 2006. Wilayah kota Tanjungbalai termasuk wilayah tropis dan dipengaruhi oleh 2
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan curah hujan tinggi rata-rata mencapai 1.647 mm dalam rata-rata 172 hari hujan sepanjang tahun pada bulan
Universitas Sumatera Utara
Maret, April, Mei, Oktober, November, Desember Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Suhu udara luar berkisar antara 250-320C. Dengan kelembaban
udara 50-90. Topografi Tanjungbalai relatif datar dengan kemiringan 0-2 dengan dominasi tanah jenis alluvial, latosol dan pasir. Kondisi demikian yang menyebabkan
Kota Tanjungbalai sangat berpotensi untuk terjadinya banjir Profil Tanjungbalai, 2006.
Surat kabar baik lokal maupun nasional banyak memuat berita banjir di Kota Tanjungbalai. Salah satu surat kabar nasional yaitu Harian Analisa 2009
menberitakan sebagai berikut : “ ribuan warga korban banjir di Kota Tanjungbalai mulai mengungsi, setelah
dua minggu terendam air. Hujan deras di hulu Sungai Asahan terus menambah tinggi air di pemukiman penduduk, hingga air sudah merendam lebih dari 5000
rumah warga “.
Pemberitaan lain juga mengemukakan bahwa masyarakat sangat menyesalkan kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai. Korban banjir menyatakan bahwa Pemerintah
Kota PEMKO Tanjungbalai tidak serius dalam menangani bencana banjir ini. Penanggulangan bencana banjir di Kota Tanjungbalai ini merupakan dilema
yang selalu dihadapi baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Dilema ini belum dapat teratasi oleh karena permasalahan dalam lingkup bencana sangat
kompleks dan dalam penanggulangannya melibatkan multisektor. Prosedur tetap penanggulangan bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan sesuai
keputusan Gubernur Sumatera Utara No.362492 Tahun 2002, namun belum
Universitas Sumatera Utara
terlaksana oleh karena sosialisasinya minimal kepada instansi terkait dan aplikasinya juga tidak optimal.
Hasil observasi sementara yang dilakukan peneliti menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat bencana banjir ini sangat banyak. Hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir. Namun, disadari bahwa kualitas terganggunya aspek kehidupan masyarakat ini tidaklah total dan hal ini sangat
bergantung kepada besar kecilnya hazard ancaman bencana tersebut dan juga dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat yang ada serta ketidakmampuan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan konsep pengurangan resiko bencana bahwa resiko bencana ditentukan oleh tiga konsep yaitu hazard ancaman x vulnerability kerentanan x
ketidakmampuan Benson Twigg, 2007:103. Rendahnya kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai dalam mengatasi hal ini
disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah kinerja individu petugas. Sesuai dengan pendapat Thoha 2007 yang yang menyatakan bahwa kinerja petugas
merupakan salah satu hal yang dapat menggambarkan kinerja organisasi. Sehingga tingginya beban kerja yang menjadi kewajiban Satlak PB sebagai suatu organisasi
resmi pemerintah untuk melaksanakan penanggulangan bencana sesuai dengan Peraturan Presiden No.83 Tahun 2005 harus dilaksanakan dengan optimal. Pada
dasarnya resiko yang diakibatkan oleh bencana merupakan salah satu dampak dari rendahnya kinerja Satlak PB. Namun secara lebih jelas belum pernah dilakukan
penelitian terhadap kinerja Satlak PB dikota ini. Kinerja Satlak, sangat berintegrasi
Universitas Sumatera Utara
dengan kondisi masyarakatnya sendiri dan juga kondisi demografi, geografis dan potensi ancaman daerah tersebut.
Kondisi hazard ancaman dan vulnerability kerentanan yang tinggi dan kapasitas yang rendah akan menimbulkan risk resiko bencana yang tinggi. Untuk itu
upaya penanggulangan bencana harus melakukan penilaian awal terlebih dahulu terhadap ketiga faktor tersebut.
Bahaya hazard diartikan sebagai ”suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas manusia secara fisik yang mempunyai potensi yang merusak yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial, ekonomi dan kerusakan lingkungan UNISDR, Geneva, 2004”.
Kerentanan menurut Carter 1991:325 meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi dan kesehatan. Menurut Anderson Woodrow 1998:9-26 yakni:
“ Pemetaan kerentanan adalah suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda dan lingkungan terhadap
efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu”.
Proses ini lebih mengidentifikasi kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang rawan terhadap suatu ancaman. Vulnerability memiliki dua aspek yaitu : susceptibility yaitu
tingkat pemaparan masyarakat terhadap hazard dan resilience yaitu kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi kerusakan yang
disebabkan oleh emergensi atau bencana Dirjen Yanmed, 2005:8. Kerentanan di Kota Tanjungbalai meliputi aspek fisik meliputi kondisi
geografi, geologi lingkungan dan infrastruktur, dll. Kerentanan aspek sosial meliputi
Universitas Sumatera Utara
rendahnya persepsi tentang resiko bencana, sikap masyarakat dan Pemerintah Kota Tanjungbalai yang pasrah terhadap bencana banjir, pengetahuan masyarakat yang
rendah serta budaya masyarakat yang masih tidak perduli dengan bencana banjir. Kerentanan ekonomi yaitu berupa tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan
APBD Pemko yang rendah dalam pengalokasian untuk kesiapsiagaan bencana. Dan kerentanan kesehatan yaitu berupa rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga
sangat rentan untuk menjadi sakit dalam kondisi bencana, begitu juga dengan kondisi kesehatan petugas Satlak PB yang masih perlu diperhatikan. Sedangkan dari segi
kapasitas sendiri belum dapat dijelaskan. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor yaitu baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri.
Bencana banjir yang terjadi dalam beberapa bulan pada tahun 2008-2009 ini sangat mengakibatkan banyak kerugian. Sesuai dengan beberapa penjelasan di atas
maka angka kerugian yang harus ditanggung baik oleh pihak masyarkat dan pemerintah sangat besar dan multikomples.
Hasil laporan sementara mengenai jumlah kerugian yang ada yaitu meliputi rusaknya pemukiman penduduk beserta isinya, fasilitas jalan, gedung-gedung sekolah
dan sarana prasarana pemerintah dan non pemerintah lainnya, lahan pertanian masyarakat dan bermuara kepada rendahnya kondisi perekonomian masyarakat
sehingga angka kemiskinan bertambah di kota ini. Hal ini juga berdampak pada kondisi kesehatan dan sosial masyarakat.
Tingginya angka kerugian yang diakibatkan bencana banjir disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana.
Universitas Sumatera Utara
Baik pihak pemerintah maupun masyarakat masih belum menyadari arti pentingnya manajemen penanggulangan bencana sebagai suatu problem solving yang sangat
efektif dan efisien. Fakta yang terdapat di masyarakat Kota Tanjungbalai mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengerti hak serta kewajiban mereka
dalam wacana kebencanaan. Hal ini mengakibatkan masyarakat sebagai customer bencana tidak mengetahui kedudukannya sehingga penanggulangan bencana berjalan
tidak seimbang karena hanya berharap penuh pada pemerintah atau lembaga non pemerintah saja. Kondisi yang lebih memprihatinkan lainnya adalah bahwa
pemerintah sendiri sebagai badan resmi masyarakat yang melaksanakan penanggulangan bencana belum memiliki kinerja sesuai dengan yang diharapkan.
Indeks pembangunan manusia meliputi 3 hal yaitu indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam pembangunan
sesuai dengan amanah good governance, maka penanggulangan bencana juga merupakan proses pembangunan yang berarah kepada prinsip-prinsip good
governance. Data yang dikutip dari konfrensi sedunia tentang peredaman bencana tahun
2005 di Kobe Jepang, dinyatakan bahwa terdapat rata-rata lebih dari 200 juta jiwa telah terkena bencana setiap tahunnya dalam dua dekade terakhir, sehingga
Pemerintah Internasional mengambil sikap untuk melaksanakan suatu sistem kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Kerangka kerja Aksi Hyogo 2005-2015
memuat bahwa sasaran-sasaran pembangunan milineum Millineum Development Goals MDGs tidak akan tercapai tanpa pertimbangan resiko bencana, dan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan resiko bencana tidak diutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Kelembagaan penanggulangan bencana baik pusat dan daerah di Indonesia
telah dibuat pemerintah sejak tahun 2001 yaitu berdasarkan Keputusan Presiden RI No.3 Tahun 2001, tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi BAKORNAS PBP serta disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.85 Tahun 2005. Landasan hukum terbaru yang
dikeluarkan pemerintah adalah pada bulan April Tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 pasal : 5, 12 huruf h, 18 dan 25 serta
Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 pasal 63. Kebijakan tersebut merupakan produk hukum baru yang dibuat pemerintah
sebagai acuan sistem manajemen penanggulangan bencana. Dengan harapan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terlaksana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko dan dampak bencana. PP No.21 Tahun 2008, pasal
2. Oleh karena UU No.24 Tahun 2007 dan PP serta Perpres terbaru ini telah diberlakukan namun belum diaplikasikan secara keseluruhan maka sistem
penanggulangan bencana masih diemban oleh Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penangulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Satkorlak PB pada daerah
tingkat I provinsi dan Satlak PB pada daerah tingkat II kabupatenkota, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
pada tingkat pusat, Bakornas PBP telah digantikan tugas dan fungsinya oleh Badan Nasional Penangulangan Bencana BNPB.
Konsep penanganan bencana mengalami pergeseran dari konvensional menjadi holistik. Pandangan konvensional menggambarkan bahwa bencana
merupakan kejadian yang tidak terhindari dan korban harus mendapat pertolongan, sehingga fokus penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan relief dan
kegawatdaruratan emergency. Tujuan penanganan bencana pada paradigma ini adalah menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan.
Perkembangan paradigma ini berkembang terus melputi paradigma mitigasi, paradigma pembangunan dan paradigma pengurangan resiko bencana. Dengan
terjadinya perubahan paradigma ini maka tujuan dan target penanggulangan bencana semakin realitas dan bermanfaat nyata bagi pihak manapun baik pemerintah maupun
non pemerintah. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna UU RI No.24 Tahun 2007. Kesiapsiagaan adalah setiap
aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana
terjadi Heru Susetyo. Indikator dalam kesiapsiagaan ada 5 meliputi 1 pengetahuan dan sikap knowledge and attitude, 2 kebijakan dan panduan policy statement, 3
perencanaan kedaruratan emergency planning, 4 sistem peringatan warning
Universitas Sumatera Utara
system, 5 mobilisasi sumber daya. Prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan amanah UU No.24 Tahun
2007 yaitu cepat, tepat, prioritas, koordinasi, keterpaduan, berdayaguna, hasil guna, transparansi, akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminatif dan non
proletisi. Prinsip–prinsip ini demikian lengkap agar tujuan sistem penangulangan bencana dapat tercapai dan merupakan suatu indikator kinerja yang baik.
Kinerja Satlak PB sebagai suatu badan pemerintah yang berperan dalam penanggulangan bencana dipertanyakan kembali dengan adanya beberapa kejadian
bencana banjir di kota Tanjungbalai ini. Mulai dari struktur organisasi maupun dari prosedur pelaksanaan serta kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung
kinerja Satlak PB. Sesuai dengan pendapat Ilyas tahun 1993, bahwa kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dari agregasi kinerja sejumlah
individu dalam organisasi. Teori yang dikemukakan oleh Gibson 1987 dan Simamora 1995:500
tentang kinerja bahwa dapat disimpulkan kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individu, faktor psikologi dan faktor organisasi. Yang termasuk pada faktor
individu adalah terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Keterampilan adalah kecakapan yang
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan tugas. Sedangkan yang termasuk kelompok faktor psikologis terdiri dari variabel
persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka
dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan. Yang dimaksud sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan
kecendrungan bertindak terhadap aspek lingkungannya Milton, 1981. Sedangkan kepribadian menurut Robbins tahun 1993 adalah cara dengan mana seseorang
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Motivasi juga dapat diartikan sebagai kekuatan energi seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri motivasi intrinsik maupun dari luar individu motivasi
ekstrinsik. Penelitian ini juga ingin mengeksplorasi lebih dalam lagi apakah kinerja
petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai memiliki kinerja yang standar atau tidak dan faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kinerja petugas tersebut.
1.2. Permasalahan