Pengaruh Faktor Individu Dan Psikologis Terhadap Kinerja Petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Pada Fase Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir Di Kota Tanjungbalai

(1)

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN

BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR

DI KOTA TANJUNGBALAI

T E S I S

Oleh

FIBLIA 077035003/IKM 

         

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN

BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR

DI KOTA TANJUNGBALAI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FIBLIA 077035003/IKM 

 

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA

PENANGGULANGAN BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN

PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KOTA TANJUNGBALAI

Nama Mahasiswa : Fiblia Nomor Induk Mahasiswa : 077035003

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si) (Abdul Muthalib, S.H, M.A.P) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 28 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si Anggota : 1. Abdul Muthalib, S.H, M.A.P

2. Prof. Dr. Amri Amir, Sp.F(K), D.F.M, S.H, Sp.Ak 3. Suherman, S.K.M, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN

BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR

DI KOTA TANJUNGBALAI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2010

FIBLIA 077035003/IKM


(6)

ABSTRAK

Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana diantaranya banjir. Dampak yang ditimbulkan akibat banjir ini menyebabkan kerugian diberbagai aspek yaitu ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dll. Kinerja petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai sebagai wadah non struktural yang memiliki tugas dan fungsi dalam penanggulangan bencana perlu dianalisa kembali oleh karena tingginya dampak yang disebabkan bencana ini.

Penelitian ini merupakan survey eksplanatori dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan, latar belakang) dan psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, motivasi) terhadap kinerja petugas Satuan Pelaksanan Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai. Populasi penelitian ini adalah seluruh unsur petugas Satlak PB yang meliputi beberapa instansi diantaranya Kesbanglinmas, Kepolisian Daerah Resor Tanjungbalai, Pangkalan TNI AL-Tanjungbalai Asahan, Komando Rayon Militer 09 Tanjungbalai, Dinas Sosial Kota Tanjungbalai, Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai, Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informatika Kota Tanjungbalai, Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai, Rumah Sakit Umum Daerah, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tanjungbalai pada tahun 2010, berjumlah 43 orang. Pengambilan sampel secara total (sampel jenuh). Pengumpulan data melalui kuisioner terstruktur. Penelitan dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010. Analisis data menggunakan uji regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian (X6) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ= 0,002) terhadap kinerja petugas, motivasi (X8) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ = 0,000) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai. Sedangkan kemampuan, keterampilan, latar belakang, persepsi, sikap dan pembelajaran tidak berpengaruh terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai serta kinerja petugas Satlak PB dinilai tidak optimal.

Disarankan kepada Satlak PB agar dalam perekrutan anggota lebih mengutamakan faktor psikologis petugas yaitu kepribadian dan motivasi. Perlu dipercepat pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menggantikan peran Satlak PB.


(7)

ABSTRACT

Tanjungbalai city in this last some months of 2008,was facing some of disasters, one of them was flood.The effect because of it caused damages in many aspects such as economic,social,health,education and etc. Performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers as a non structural division was needed tobe analyse again because of a lot of effect by the disaster.

This study is an explanatory survey which aim is to analyse the influence of the individual factors (capacity, skill and background) and psychological factors (perceptions, attitudes, personality, learning and motivation) in the performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers.The population of this study are all elements of the Satlak PB officers that includes several agencies including Kesbanglinmas,Tanjungbalai police Resorts in the region, chips of the Base Naval-Tanjungbalai, 09 military command Tanjungbalai rayon, service Social Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of health, Office of communications and information technologies of the Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of public works, General Regional Hospital, the Indonesian Red Cross (PMI) city Tanjungbalai, in number of 43 people.The case sample were taken by total sampling. Data collection through structured questionnaire. The research activities carried out in February 2010 - March 2010. Analysis of data using multiple linear regression on the 95% level.

The results showed that personality (X 6) has a positive and significant ( ρ = 0.002) to the officials performance, motivation (X 8) has a positive and significant (ρ = 0.000)to the performance of Satlak Pb of Tanjungbalai city’s officials. While capacity, skills, background, perceptions, attitudes and the learning did not affect the performance of Satlak PB of Tanjungbalai city’s officials and the performance of Satlak PB is not optimize.

It is suggested to the Satlak PB in recruting the officials need to concentrate the psychological factors : personality and motivation so that the performance of Satlak PB can be optimize. Reform Satlak PB to BPBD as soon as posibble.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap alhamdulillahi rabbil’alamin, atas segala rahmat, karunia, ijin dan ridho-Nya, sehingga tesis yang berjudul: “Pengaruh Faktor Individu dan Psikologis terhadap Kinerja Petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) pada Fase Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir di Kota Tanjungbalai” dapat diselesaikan. Dalam menyusun tesis ini, peneliti mendapatkan berbagai masukan, saran, pendapat, kritik, bantuan, dorongan, bimbingan, dari berbagai pihak dan keluarga.

Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.

3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dan selaku dosen yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofis kepemimpinan yang baik dan benar.

4. Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si, selaku Ketua Pembimbing, dan selaku dosen yang dengan penuh kesabaran membimbing, memahamkan materi tesis


(9)

dan mengarahan ke arah pola pikir dan pola tindak dalam berproses sebagai peneliti yang baik dan benar.

5. Abdul Mutholib, S.H, M.A.P, selaku Anggota Pembimbing, dan selaku dosen yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan materi tesis dari aspek filosofi penanggulangan kesehatan bencana yang baik dan benar.

6. Prof. dr. Amri Amir, Sp.F(K), D.F.M, S.H, Sp.Ak selaku Pembanding, dan selaku dosen sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofi materi tesis yang baik dan benar.

7. Suherman, S.K.M, M.Kes selaku Pembanding, dan selaku dosen sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofi materi tesis dan metode penelitian yang baik dan benar.

8. Ibunda tercinta serta kakak, abang dan adik yang sangat besar peranannya dalam suka dan duka, yang selalu memberikan dukungan dorongan moril dan doa. 9. Direktur dan seluruh sejawat, rekan kerja di RSU Tanjungbalai dan RSU Hadi

Husada Tanjungbalai yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dalam membantu kegiatan operasional penyusunan tesis.

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 IKM minat studi Manajemen Kesehatan Bencana, yang selalu tukar pikiran dalam memberikan masukan demi penyempurnaan naskah tesis ini.


(10)

Peneliti menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dalam penelitian dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu mohon kritik dan saran demi perbaikan tesis ini.

Medan, September 2010 Peneliti,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Fiblia, lahir di Kisaran, 17 Februari 1982, beragama Islam, bertempat tinggal di jalan Pancakarsa Tanjungbalai, Sumatera Utara. Anak ke-3 dari empat bersaudara dari Ibunda Darwati Siregar dan Ayahanda M. Idris.

Riwayat pendidikan umum, SDN 013858 Kisaran (1994), SMPN 2 Kisaran 1997, SMAN 2 Plus Matauli Pandan Tapteng (2000), Sarjana (S1) Pendidikan Dokter USU Medan (2006).Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana (2007-sekarang)

Riwayat pekerjaan/jabatan, Dokter PTT Brigade Siaga Bencana 2007–2008, Dokter Kontrak Polda Sumut 2007–2008, Dokter Triase RSUD Dr. Tengku Mansyur Tanjungbalai 2008–sekarang. Dokter Umum RSU Hadi Husada Tanjungbalai, Dosen Akbid Bina Daya Husada Kisaran 2009-sekarang. Riwayat kepangkatan/Golongan, Dokter umum RSUD Dr Tengku Mansyur Tanjungbalai dengan golongan IIIb (2010).

Riwayat Organisasi: Anggota Palang Merah Indonesia cabang Kota Tanjungbalai (2010). Pelatihan yang pernah diikuti : Emergency Life Support (2008), Advance Trauma Life Support (2008), Advance Cardiac Life Support (2010), Pelatihan Manajemen Penanggulangan Bencana Sumatera Utara (2008), Simulasi Penanggulangan Bencana Dinas Kesehatan Kota Medan (2008), International Training Concortium Disaster Risk Reduction (2009), dll.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Hipotesis ... 12

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Kinerja Petugas ... 13

2.2.Faktor Individu yang Memengaruhi Kinerja Petugas... 18

2.3. Faktor Psikologi yang Memengaruhi Kinerja Petugas ... 19

2.4. Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir………... .. 37

2.5. Landasan Teori………... 42

2.6. Kerangka Konsep Penelitian……….... 44

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Jenis Penelitian... 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… . 45

3.3. Populasi dan Sampel……….. 45

3.3.1. Populasi……… 45

3.3.2. Sampel………. 46

3.4. Metode Pengumpulan Data……… 46

3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas………... 47

3.5. Variabel dan Definisi Operasional………. 53

3.6. Metode Pengukuran……… .. 57


(13)

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 64

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 64

4.2. Profil Responden ... 77

4.3. Deskripsi Variabel Penelitian ... 78

4.4. Uji Prasyarat untuk Regresi Linear Berganda ... 81

4.5. Uji Regresi Linear Berganda ... 84

BAB 5 PEMBAHASAN ... 92

5.1. Kinerja Petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai ... 92

5.2. Pengaruh Faktor Individu (Kemampuan) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 94

5.3. Pengaruh Faktor Individu (Keterampilan) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 95

5.4. Pengaruh Faktor Individu (Latar belakang) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 95

5.5. Pengaruh Faktor Psikologis terhadap Kinerja Petugas Satlak PB ... 96

5.6. Keterbatasan Penelitian... 96

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1. Kesimpulan ... 97

6.2. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Proses persepsi... 19

2.2. Faktor persepsi menurut Robins………... 20

2.3. Teori atribusi………. 21

2.4. Model teori kinerja Gibson………... 44

2.5. Kerangka konsep penelitian……….. 44

4.1. Struktur organisasi Kesbanglinmas………... 69

4.2. Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai... 70

4.3. Struktur organisasi penanggulangan bencana Lanal Tanjungbalai Asahan………...

72

4.4. Bagan prosedur penanggulangan bencana alam Lanal

Tanjungbalai Asahan………...


(15)

4.5. Struktur organisasi Dinas perhubungan Kota

Tanjungbalai………...

74

4.6.

4.7.

4.8.

Struktur organisasi Palang Merah Indonesia Kota

Tanjungbalai………...

Grafik normalitas data responden Satlak PB………

Grafik heteroskedastisitas………

75

82


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Master Tabel... ... 103

2. Kuisioner Tesis... 105

3. Tabel Distribusi Frekuensi Responden... 114

4.

5.

Tabel Hasil Uji Validitas ...

Tabel Hasil Uji Reliabilitas...

116

120

6. Tabel Hasil Uji Regresi Linear Berganda... 123  


(17)

ABSTRAK

Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana diantaranya banjir. Dampak yang ditimbulkan akibat banjir ini menyebabkan kerugian diberbagai aspek yaitu ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dll. Kinerja petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai sebagai wadah non struktural yang memiliki tugas dan fungsi dalam penanggulangan bencana perlu dianalisa kembali oleh karena tingginya dampak yang disebabkan bencana ini.

Penelitian ini merupakan survey eksplanatori dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan, latar belakang) dan psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, motivasi) terhadap kinerja petugas Satuan Pelaksanan Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai. Populasi penelitian ini adalah seluruh unsur petugas Satlak PB yang meliputi beberapa instansi diantaranya Kesbanglinmas, Kepolisian Daerah Resor Tanjungbalai, Pangkalan TNI AL-Tanjungbalai Asahan, Komando Rayon Militer 09 Tanjungbalai, Dinas Sosial Kota Tanjungbalai, Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai, Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informatika Kota Tanjungbalai, Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai, Rumah Sakit Umum Daerah, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tanjungbalai pada tahun 2010, berjumlah 43 orang. Pengambilan sampel secara total (sampel jenuh). Pengumpulan data melalui kuisioner terstruktur. Penelitan dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010. Analisis data menggunakan uji regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian (X6) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ= 0,002) terhadap kinerja petugas, motivasi (X8) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ = 0,000) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai. Sedangkan kemampuan, keterampilan, latar belakang, persepsi, sikap dan pembelajaran tidak berpengaruh terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai serta kinerja petugas Satlak PB dinilai tidak optimal.

Disarankan kepada Satlak PB agar dalam perekrutan anggota lebih mengutamakan faktor psikologis petugas yaitu kepribadian dan motivasi. Perlu dipercepat pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menggantikan peran Satlak PB.


(18)

ABSTRACT

Tanjungbalai city in this last some months of 2008,was facing some of disasters, one of them was flood.The effect because of it caused damages in many aspects such as economic,social,health,education and etc. Performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers as a non structural division was needed tobe analyse again because of a lot of effect by the disaster.

This study is an explanatory survey which aim is to analyse the influence of the individual factors (capacity, skill and background) and psychological factors (perceptions, attitudes, personality, learning and motivation) in the performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers.The population of this study are all elements of the Satlak PB officers that includes several agencies including Kesbanglinmas,Tanjungbalai police Resorts in the region, chips of the Base Naval-Tanjungbalai, 09 military command Tanjungbalai rayon, service Social Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of health, Office of communications and information technologies of the Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of public works, General Regional Hospital, the Indonesian Red Cross (PMI) city Tanjungbalai, in number of 43 people.The case sample were taken by total sampling. Data collection through structured questionnaire. The research activities carried out in February 2010 - March 2010. Analysis of data using multiple linear regression on the 95% level.

The results showed that personality (X 6) has a positive and significant ( ρ = 0.002) to the officials performance, motivation (X 8) has a positive and significant (ρ = 0.000)to the performance of Satlak Pb of Tanjungbalai city’s officials. While capacity, skills, background, perceptions, attitudes and the learning did not affect the performance of Satlak PB of Tanjungbalai city’s officials and the performance of Satlak PB is not optimize.

It is suggested to the Satlak PB in recruting the officials need to concentrate the psychological factors : personality and motivation so that the performance of Satlak PB can be optimize. Reform Satlak PB to BPBD as soon as posibble.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1-40 LU dan 980-1000 BT merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terletak di kawasan Palung Pasifik Barat. Luas wilayah ± 71.680 KM2, secara geografis terbagi atas wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat. Pantai Timur merupakan dataran rendah seluas 26.360 KM2 atau 36,8% luas dari seluruh Provinsi Sumatera Utara dengan kelembaban tinggi dan curah hujan yang relatif tinggi. Salah satu kota yang terdapat di Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Tanjungbalai.

Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana. Salah satu bencana yang intensitasnya tinggi yang terjadi di Kota Tanjungbalai adalah bencana banjir. Bencana banjir ini merupakan agenda besar untuk segera diberikan tindak lanjut dan bukan hanya sekedar perhatian, baik bagi pihak pemerintah maupun non pemerintah.

Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008, bencana banjir memiliki angka kejadian tertinggi diantara angka kejadian bencana alam yang lain yaitu sekitar 7 kejadian dari 10 kejadian yang ada. Adapun urutan angka kejadian bencana yang terjadi sepanjang tahun 2008 mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu : banjir, kebakaran, wabah DBD, kapal tenggelam, dll.


(20)

Fakta ini juga didukung oleh laporan Dinas Pekerjaan Umum daerah Kota Tanjungbalai, yang menyatakan bahwa telah terjadi 7 kali bencana banjir selama kurun waktu 2008 sampai 2009 di kota ini, namun tidak terjadi di seluruh kecamatan, hanya beberapa kecamatan tertentu diantaranya yaitu Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Datuk Bandar Timur. Begitu juga angka ketinggian air pada bencana banjir ini bervariasi, mulai dari 10 cm sampai dengan 70 cm.

Banjir di Tanjungbalai menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai terjadi akibat banjir kiriman yaitu dibukanya pintu air pembangkit listrik Sigura-gura dan mengalir ke Sungai Asahan, sehingga luapan airnya mengalir ke Sungai Bandar Jepang di Kota Tanjung Balai. Berbagai aspek lain yang juga menyebabkan Kota Tanjungbalai merupakan daerah rawan bencana banjir diantaranya adalah salah satu kota yang terletak pada ketinggian 0-3 m dari permukaan laut.

Kedudukan Kota Tanjungbalai secara geografis sangat khas oleh karena berada pada pertemuan dua sungai besar yaitu Sungai Asahan dan Sungai Silau. Selain itu juga Kota Tanjungbalai memiliki 23 buah anak sungai yang beresiko banjir. Luas daerah perairan sungai dan rawa ini mencapai lebih kurang 10% dari keseluruhan luas Tanjungbalai. Sebagian wilayah Kota Tanjungbalai berada di sepanjang tepi sungai berawa dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Profil Tanjungbalai, 2006).

Wilayah kota Tanjungbalai termasuk wilayah tropis dan dipengaruhi oleh 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan curah hujan tinggi rata-rata mencapai 1.647 mm dalam rata-rata 172 hari hujan sepanjang tahun pada bulan


(21)

Maret, April, Mei, Oktober, November, Desember (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Suhu udara luar berkisar antara 250-320C. Dengan kelembaban udara 50-90%. Topografi Tanjungbalai relatif datar dengan kemiringan 0-2% dengan dominasi tanah jenis alluvial, latosol dan pasir. Kondisi demikian yang menyebabkan Kota Tanjungbalai sangat berpotensi untuk terjadinya banjir (Profil Tanjungbalai, 2006).

Surat kabar baik lokal maupun nasional banyak memuat berita banjir di Kota Tanjungbalai. Salah satu surat kabar nasional yaitu Harian Analisa (2009) menberitakan sebagai berikut :

“ ribuan warga korban banjir di Kota Tanjungbalai mulai mengungsi, setelah dua minggu terendam air. Hujan deras di hulu Sungai Asahan terus menambah tinggi air di pemukiman penduduk, hingga air sudah merendam lebih dari 5000 rumah warga “.

Pemberitaan lain juga mengemukakan bahwa masyarakat sangat menyesalkan kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai. Korban banjir menyatakan bahwa Pemerintah Kota (PEMKO) Tanjungbalai tidak serius dalam menangani bencana banjir ini.

Penanggulangan bencana banjir di Kota Tanjungbalai ini merupakan dilema yang selalu dihadapi baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Dilema ini belum dapat teratasi oleh karena permasalahan dalam lingkup bencana sangat kompleks dan dalam penanggulangannya melibatkan multisektor. Prosedur tetap penanggulangan bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan sesuai keputusan Gubernur Sumatera Utara No.362/492 Tahun 2002, namun belum


(22)

terlaksana oleh karena sosialisasinya minimal kepada instansi terkait dan aplikasinya juga tidak optimal.

Hasil observasi sementara yang dilakukan peneliti menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat bencana banjir ini sangat banyak. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir. Namun, disadari bahwa kualitas terganggunya aspek kehidupan masyarakat ini tidaklah total dan hal ini sangat bergantung kepada besar kecilnya hazard (ancaman) bencana tersebut dan juga dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat yang ada serta ketidakmampuan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep pengurangan resiko bencana bahwa resiko bencana ditentukan oleh tiga konsep yaitu hazard (ancaman) x vulnerability (kerentanan) x ketidakmampuan (Benson & Twigg, 2007:103).

Rendahnya kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai dalam mengatasi hal ini disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah kinerja individu (petugas). Sesuai dengan pendapat Thoha (2007) yang yang menyatakan bahwa kinerja petugas merupakan salah satu hal yang dapat menggambarkan kinerja organisasi. Sehingga tingginya beban kerja yang menjadi kewajiban Satlak PB sebagai suatu organisasi resmi pemerintah untuk melaksanakan penanggulangan bencana sesuai dengan Peraturan Presiden No.83 Tahun 2005 harus dilaksanakan dengan optimal. Pada dasarnya resiko yang diakibatkan oleh bencana merupakan salah satu dampak dari rendahnya kinerja Satlak PB. Namun secara lebih jelas belum pernah dilakukan penelitian terhadap kinerja Satlak PB dikota ini. Kinerja Satlak, sangat berintegrasi


(23)

dengan kondisi masyarakatnya sendiri dan juga kondisi demografi, geografis dan potensi ancaman daerah tersebut.

Kondisi hazard (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) yang tinggi dan kapasitas yang rendah akan menimbulkan risk (resiko) bencana yang tinggi. Untuk itu upaya penanggulangan bencana harus melakukan penilaian awal terlebih dahulu terhadap ketiga faktor tersebut.

Bahaya (hazard) diartikan sebagai ”suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas manusia secara fisik yang mempunyai potensi yang merusak yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial, ekonomi dan kerusakan lingkungan (UN/ISDR, Geneva, 2004)”.

Kerentanan menurut Carter (1991:325) meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi dan kesehatan. Menurut Anderson & Woodrow (1998:9-26) yakni:

“ Pemetaan kerentanan adalah suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu”.

Proses ini lebih mengidentifikasi kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang rawan terhadap suatu ancaman. Vulnerability memiliki dua aspek yaitu : susceptibility yaitu tingkat pemaparan masyarakat terhadap hazard dan resilience yaitu kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh emergensi atau bencana ( Dirjen Yanmed, 2005:8).

Kerentanan di Kota Tanjungbalai meliputi aspek fisik meliputi kondisi geografi, geologi lingkungan dan infrastruktur, dll. Kerentanan aspek sosial meliputi


(24)

rendahnya persepsi tentang resiko bencana, sikap masyarakat dan Pemerintah Kota Tanjungbalai yang pasrah terhadap bencana banjir, pengetahuan masyarakat yang rendah serta budaya masyarakat yang masih tidak perduli dengan bencana banjir. Kerentanan ekonomi yaitu berupa tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan APBD Pemko yang rendah dalam pengalokasian untuk kesiapsiagaan bencana. Dan kerentanan kesehatan yaitu berupa rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga sangat rentan untuk menjadi sakit dalam kondisi bencana, begitu juga dengan kondisi kesehatan petugas Satlak PB yang masih perlu diperhatikan. Sedangkan dari segi kapasitas sendiri belum dapat dijelaskan. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor yaitu baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri.

Bencana banjir yang terjadi dalam beberapa bulan pada tahun 2008-2009 ini sangat mengakibatkan banyak kerugian. Sesuai dengan beberapa penjelasan di atas maka angka kerugian yang harus ditanggung baik oleh pihak masyarkat dan pemerintah sangat besar dan multikomples.

Hasil laporan sementara mengenai jumlah kerugian yang ada yaitu meliputi rusaknya pemukiman penduduk beserta isinya, fasilitas jalan, gedung-gedung sekolah dan sarana prasarana pemerintah dan non pemerintah lainnya, lahan pertanian masyarakat dan bermuara kepada rendahnya kondisi perekonomian masyarakat sehingga angka kemiskinan bertambah di kota ini. Hal ini juga berdampak pada kondisi kesehatan dan sosial masyarakat.

Tingginya angka kerugian yang diakibatkan bencana banjir disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana.


(25)

Baik pihak pemerintah maupun masyarakat masih belum menyadari arti pentingnya manajemen penanggulangan bencana sebagai suatu problem solving yang sangat efektif dan efisien. Fakta yang terdapat di masyarakat Kota Tanjungbalai mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengerti hak serta kewajiban mereka dalam wacana kebencanaan. Hal ini mengakibatkan masyarakat sebagai customer bencana tidak mengetahui kedudukannya sehingga penanggulangan bencana berjalan tidak seimbang karena hanya berharap penuh pada pemerintah atau lembaga non pemerintah saja. Kondisi yang lebih memprihatinkan lainnya adalah bahwa pemerintah sendiri sebagai badan resmi masyarakat yang melaksanakan penanggulangan bencana belum memiliki kinerja sesuai dengan yang diharapkan.

Indeks pembangunan manusia meliputi 3 hal yaitu indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam pembangunan sesuai dengan amanah good governance, maka penanggulangan bencana juga merupakan proses pembangunan yang berarah kepada prinsip-prinsip good governance.

Data yang dikutip dari konfrensi sedunia tentang peredaman bencana tahun 2005 di Kobe Jepang, dinyatakan bahwa terdapat rata-rata lebih dari 200 juta jiwa telah terkena bencana setiap tahunnya dalam dua dekade terakhir, sehingga Pemerintah Internasional mengambil sikap untuk melaksanakan suatu sistem kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Kerangka kerja Aksi Hyogo 2005-2015 memuat bahwa sasaran-sasaran pembangunan milineum (Millineum Development Goals/ MDGs) tidak akan tercapai tanpa pertimbangan resiko bencana, dan bahwa


(26)

pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan resiko bencana tidak diutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Kelembagaan penanggulangan bencana baik pusat dan daerah di Indonesia telah dibuat pemerintah sejak tahun 2001 yaitu berdasarkan Keputusan Presiden RI No.3 Tahun 2001, tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) serta disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.85 Tahun 2005. Landasan hukum terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah pada bulan April Tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 (pasal : 5, 12 huruf h, 18 dan 25) serta Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 pasal 63.

Kebijakan tersebut merupakan produk hukum baru yang dibuat pemerintah sebagai acuan sistem manajemen penanggulangan bencana. Dengan harapan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terlaksana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko dan dampak bencana. (PP No.21 Tahun 2008, pasal 2). Oleh karena UU No.24 Tahun 2007 dan PP serta Perpres terbaru ini telah diberlakukan namun belum diaplikasikan secara keseluruhan maka sistem penanggulangan bencana masih diemban oleh Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penangulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PB) pada daerah tingkat I (provinsi) dan Satlak PB pada daerah tingkat II (kabupaten/kota), sedangkan


(27)

pada tingkat pusat, Bakornas PBP telah digantikan tugas dan fungsinya oleh Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB).

Konsep penanganan bencana mengalami pergeseran dari konvensional menjadi holistik. Pandangan konvensional menggambarkan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak terhindari dan korban harus mendapat pertolongan, sehingga fokus penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan kegawatdaruratan (emergency). Tujuan penanganan bencana pada paradigma ini adalah menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan. Perkembangan paradigma ini berkembang terus melputi paradigma mitigasi, paradigma pembangunan dan paradigma pengurangan resiko bencana. Dengan terjadinya perubahan paradigma ini maka tujuan dan target penanggulangan bencana semakin realitas dan bermanfaat nyata bagi pihak manapun baik pemerintah maupun non pemerintah.

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi (Heru Susetyo). Indikator dalam kesiapsiagaan ada 5 meliputi (1) pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), (2) kebijakan dan panduan (policy statement), (3) perencanaan kedaruratan (emergency planning), (4) sistem peringatan (warning


(28)

system), (5) mobilisasi sumber daya.

Prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan amanah UU No.24 Tahun 2007 yaitu cepat, tepat, prioritas, koordinasi, keterpaduan, berdayaguna, hasil guna, transparansi, akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminatif dan non proletisi. Prinsip–prinsip ini demikian lengkap agar tujuan sistem penangulangan bencana dapat tercapai dan merupakan suatu indikator kinerja yang baik.

Kinerja Satlak PB sebagai suatu badan pemerintah yang berperan dalam penanggulangan bencana dipertanyakan kembali dengan adanya beberapa kejadian bencana banjir di kota Tanjungbalai ini. Mulai dari struktur organisasi maupun dari prosedur pelaksanaan serta kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung kinerja Satlak PB. Sesuai dengan pendapat Ilyas tahun 1993, bahwa kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dari agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi.

Teori yang dikemukakan oleh Gibson (1987) dan Simamora (1995:500) tentang kinerja bahwa dapat disimpulkan kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individu, faktor psikologi dan faktor organisasi. Yang termasuk pada faktor individu adalah terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Keterampilan adalah kecakapan yang


(29)

berhubungan dengan tugas.

Sedangkan yang termasuk kelompok faktor psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan.

Yang dimaksud sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecendrungan bertindak terhadap aspek lingkungannya (Milton, 1981). Sedangkan kepribadian menurut Robbins tahun 1993 adalah cara dengan mana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Motivasi juga dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Penelitian ini juga ingin mengeksplorasi lebih dalam lagi apakah kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai memiliki kinerja yang standar atau tidak dan faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kinerja petugas tersebut.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Apakah ada pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase


(30)

kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui dan menganalisa pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai.

1.4. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai.

2. Tidak terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai.


(31)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain 1. Manfaat teoritis

Dapat menambah sumber kepustakaan tentang manajemen penanggulangan bencana dan menjadi sumber ataupun sebagai pembanding bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Menjadi masukan bagi Satlak PB Kota Tanjungbalai pada khususnya dan Sumut pada umumnya dalam memperbaiki kinerja organisasinya dalam sistem penanggulangan bencana sehingga menjadi lebih baik.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Petugas

2.1.1. Pengertian kinerja petugas

Kinerja petugas merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang). Definisi kinerja petugas/karyawan yang dikemukakan Kusriyanto (1991: 3) adalah : “perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per jam).” Gomes (1995:195) mengemukakan definisi kinerja karyawan sebagai : “ungkapan seperti output, efisiensi serta efektifitas sering dihubungkan dengan produktivitas.” Selanjutnya, definisi kinerja karyawan menurut Mangkunegara (2000:67) bahwa “kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.” Oleh karena itu disimpulkan bahwa kinerja petugas adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai petugas persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kemudian menurut Sulistiyani (2003:223) “kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.” Mink (1993:76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang


(33)

memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya (1) berorientasi pada prestasi; (2) memiliki percaya diri; (3) berpengendalian diri; (4) kompetensi.

2.1.2. Penilaian kinerja

Penilaian kinerja menurut Mengginson (1981 dalam Mangkunegara 2000:69) adalah suatu proses yang digunakan pemimpin untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Selanjutnya Sikula (1981 dalam Mangkunegara 2000:69), mengemukakan bahwa penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan . Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa objek orang ataupun sesuatu.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi.

2.1.3. Tujuan penilaian kinerja

Adapun tujuan dilakukannya penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sumberdaya manusia (SDM) organisasi. Tujuan penilaian kinerja menurut Sunyoto (1999:1) adalah :


(34)

2) Mencatat dan mengakui hasil kerja seseorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

3) Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.

4) Mendefenisikan kembali atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.

5) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

2.1.4. Faktor–faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja

Menurut Mathis dan Jackson (2001:82), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu: (1) kemampuan; (2) motivasi; (3) dukungan yang diterima; (4) keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan; (5) hubungan mereka dengan organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2000), faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain : (1) faktor kemampuan, secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan) dan oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya; (2) faktor motivasi, yaitu motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan


(35)

kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David C.Mc Cleland (1997), seperti dikutip Mangkunegara (2001:68), berpendapat bahwa ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji.

Menurut Gibson (1987), ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja : (1) Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang; (2) Faktor psikologis : persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi; (3) Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

Menurut Simamora (1995:500), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individu, psikologis dan organisasi. Adapun yang termasuk ke dalam faktor pribadi adalah kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi. Faktor psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi. Sedangkan faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job design.

Menurut Timple (1992:31), faktor–faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dihubungkan dengan sifat–sifat seseorang. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor–faktor yang memengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan.


(36)

2.1.5. Aspek–aspek standar pekerjaan dan kinerja

Hasibuan mengemukakan bahwa aspek–aspek yang dinilai kinerja mencakup sebagai berikut : (1) kesetiaan; (2) hasil kerja; (3) kejujuran; (4) kedisiplinan; (5) kreativitas; (6) kerjasama; (7) kepemimpinan; (8) kepribadian; (9) prakarsa; (10) kecakapan; (11) tanggungjawab. Sedangkan menurut Husein (1997:266) membagi aspek–aspek kinerja sebagai berikut : (1) mutu pekerjaan; (2) kejujuran karyawan; (3) inisiatif; (4) kehadiran; (5) sikap; (6) kerjasama; (7) keandalan; (8) pengetahuan tentang pekerjaan; (9) tanggung jawab; (10) pemanfaatan waktu kerja.

Berdasarkan pendapat Gibson (1987), kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktifitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.


(37)

2.2. Faktor Individu yang Memengaruhi Kinerja Petugas

Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Menurut Gibson (1987), variabel-variabel individu terbagi tiga yaitu kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografik. Masing-masing variabel tersebut membantu menerangkan perbedaan-perbedaan individual dalam perilaku dan performa.

2.2.1. Kemampuan dan keterampilan

Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan terbagi dua yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengerjakan kegiatan mental. Berdasarkan penelitian terakhir bahwa inteligensia diuraikan menjadi empat sub-bagian : kognitif, sosial, emosi dan budaya. Yang dimaksud dengan kecerdasan kognitif adalah kecerdasan sesuai dengan tes-tes inteligensia. Sedangkan kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengindentifikasi, memahami dan mengelola emosi. Kecerdasan budaya adalah kesadaran atas keberagaman antar kebudayaan dan kemampuan untuk menjalankan fungsi secara sukses dalam situasi lintas budaya. Kemampuan fisik merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan karateristik-karakteristik serupa. Keterampilan adalah kecakapan yang berhubungan dengan tugas.


(38)

2.3. Faktor Psikologi yang Memengaruhi Kinerja Petugas

Adapun variabel-variabel psikologikal meliputi persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi

2.3.1. Persepsi

Persepsi menurut Robbins (2006:169) adalah proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan. Persepsi sangat penting untuk dipelajari dalam suatu perilaku organisasi karena perilaku manusia pada umumnya didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas yang ada, bukan mengenai realitas itu sendiri. Persepsi meliputi kognisi (pengetahuan), jadi dengan demikian persepsi mencakup penafsiran objek-objek, simbol-simbol dan orang-orang, dipandang dari sudut pengalaman penting. Persepsi terbentuk melalui proses memperhatikan, menyeleksi, mengorganisasikan dan menapsirkan stimulus lingkungan. Secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 2.1. Proses persepsi

Faktor–faktor yang memengaruhi persepsi menurut Robbins (2006:170) ada tiga faktor yaitu faktor pada pemersepsi, faktor dalam situasi dan faktor pada target. Ketiga faktor tersebut digambarkan pada gambar berikut :

stimulus lingkungan  perhatian dan seleksi  pengorganisasian  Penapsiran persepsi  stimulus  


(39)

Gambar 2.2. Faktor persepsi menurut Robbins (2006:170)

Ketika individu memandang ke objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi tersebut dan juga tergantung pada apa yang dipersepsikannya serta kondisi atau situasi saat melakukan persepsi.

Teori atribusi merupakan teori penilaian persepsi yang didasarkan atas faktor eksternal dan internal. Perilaku yang disebabkan faktor internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu tersebut. Sedangkan perilaku yang disebabkan faktor eksternal adalah dilihat sebagai hasil dari sebab–sebab luar yaitu orang tersebut dipandang terpaksa berperilaku demikian oleh situasi. Selain

Faktor pada pemersepsi  . Sikap 

. Motif  Kepentingan

Faktor pada target  . Hal baru 

. Gerakan  . Bunyi  Faktor  dalam situasi 

. Waktu 

Keadaan/Tempat kerja


(40)

didasarkan atas faktor eksternal dan internal, perilaku ini juga meliputi tiga hal yaitu; (1) keunikan; (2) konsensus; (3) konsistensi.

Keunikan merujuk ke apakah individu memperlihatkan perilaku–perilaku yang berlainan dalam situasi berlainan. Konsensus adalah jika setiap orang yang dihadapkan pada situasi yang sama bereaksi dengan cara yang sama. Dan konsistensi adalah apakah orang tersebut memberi reaksi yang sama dengan cara yang sama dari waktu ke waktu.

tinggi

rendah tinggi

rendah

tinggi

rendah

Gambar 2.3. Teori atribusi (teori penilaian persepsi yang didasarkan atas faktor eksternal dan internal)

Ada sejumlah tehnik persepsi yang sering digunakan dalam menilai orang lain. Namun tehnik persepsi ini angka kebenarannya masih diragukan. Yang termasuk kedalam tehnik ini adalah persepsi selektif, efek halo, efek kontras, proyeksi dan membuat stereotipe. Pada persepsi selektif, setiap karakteristik yang membuat

eksternal 

internal  eksternal 

internal 

eksternal 

internal  keunikan 

konsensus 

konsistensi  Perilaku individu 


(41)

seseorang objek atau peristiwa mencolok akan meningkatkan kemungkinan hal tersebut akan dipersepsikan. Orang akan secara selektif menafsirkan apa yang mereka lihat atas dasar kepentingan, latar belakang, pengalaman dan sikap mereka. Dari penelitian yang telah dilakukan dinyatakan bahwa setiap orang akan berpersepsi sesuai dengan kegiatan dan unitnya sendiri. Tehnik ini yang dianggap sangat dominan pada kondisi bencana

Efek halo yaitu menggambarkan kesan umum tentang individu berdasarkan karakteristik tunggal misalnya kecerdasan, kemampuan bergaul atau penampilan. Efek kontras adalah evaluasi terhadap karakteristik–karakteristik seseorang yang terpengaruh oleh perbandingan–perbandingan dengan orang lain yang baru masuk yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah berdasarkan karakteristik yang sama. Proyeksi adalah mencirikan karakteristik pribadi seseorang ke orang lain. Stereotipe adalah mengkatagorikan atau menilai seseorang hanya atas dasar satu atau beberapa sifat dari kelompoknya. Stereotipe seringkali didasarkan atas jenis kelamin, keturunan, umur, agama, sifatnya saja. Projection merupakan kecendrungan seseorang untuk menilai orang lain atas dasar perasaan dan sifatnya atau mekanisme pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih mampu menghadapi yang dilihatnya tidak wajar.

Persepsi memiliki hubungan dengan kinerja. Jika dalam suatu organisasi dilengkapi dengan petugas yang berkompetensi meskipun jumlahnya tidak besar maka peresepsi dalam kondisi ini akan menyatakan bahwa organisasi tersebut akan berkinerja baik. Persepsi juga sangat bermanfaat dalam evaluasi kinerja.


(42)

Dari penjelasan di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa persepsi merupakan salah satu faktor psikologis individu yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan inderawi untuk memberi makna pada lingkungan. Indikator dalam menilai persepsi yaitu sesuai teori atribusi adalah faktor internal dan eksternal dan juga bergantung kepada keunikan, konsensus dan konsistensi. Peran persepsi dalam suatu organisasi adalah sebagai alat dalam wawancara petugas, pengharapan kinerja, evaluasi kinerja dan upaya karyawan. Pada proses pengharapan dan evaluasi kinerja, persepsi merupakan hal yang penting. Persepsi juga berperan dalam pengambilan keputusan individu.

2.3.2. Sikap

Sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecendrungan bertindak terhadap aspek lingkungannya (Milton, 1981). Sikap seseorang tercermin dari kecendrungan perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang berhubungan dengannya. Adapun yang menjadi komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif sikap adalah segmen pendapat atau keyakinan dari sikap. Komponen afektif adalah komponen emosional atau perasaan seseorang. Komponen afektif dipelajari dari orang tua, teman, guru.

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Dari batasan-batasan sikap menurut (Krech et al,1982), (Cambell, 1950), (Allpor, 1954), (Cardno, 1955)


(43)

dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: (1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek; (3) kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap berita bencana yaitu terlihat dari kesediaan dan perhatiannya terhadap berita di media serta seminar.


(44)

b. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan berdiskusi mengenai suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang petugas yang mengajak petugas atau pihak lain untuk menilai resiko bencana yang ada didaerahnya masing-masing serta melakukan mitigasi terhadap resiko bencana tersebut.

d. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

Adapun tipe-tipe sikap menurut Robbins adalah (1) kepuasan kerja yaitu merujuk kepada sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Seorang yang memiliki sikap kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap dunia kerjanya; (2) Keterlibatan kerja yaitu mengukur derajat sejauh mana seseorang secara psikologis mengkaitkan dirinya dengan pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya penting bagi harga dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi terbukti berkaitan dengan rendahnya tingkat keabsenan dan pengunduran diri; (3) Komitmen pada


(45)

organisasi yaitu suatu keadaan dimana karyawan mengkaitkan dirinya ke organisasi tertentu dan sasaran-sasarannya serta berharap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu.

2.3.3. Kepribadian

Kepribadian adalah cara dengan mana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins,1993). Menurut para psikolog, kepribadian adalah konsep dinamik yang menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem psikologis seseorang. Sedangkan menurut Allport dalam Robinns (2006:126) kepribadian adalah organisasi dinamik dalam individu yang memiliki sistem psikologis yang menentukan penyesuaian uniknya terhadap lingkungannya.

Kepribadian manusia pada saat ini dipengaruhi oleh faktor keturunan, lingkungan dan diperlemah oleh kondisi situasi. Sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi kepribadian namun, situasi merupakan faktor yang selalu dapat mempengaruhi dampak kepribadian dan lingkungan pada kepribadian.

Indikator kepribadian yang paling banyak digunakan pada saai ini adalah indikator tipe Myers-Briggs (MBTI). MBTI merupakan tes kepribadian yang menggunakan empat karakteristik dan mengklasifikasikan orang ke dalam 1 sampai 16 tipe kepribadian. Sedangkan indikator lainnya adalah model “Lima Besar”. Faktor–faktor lima besar tersebut adalah ekstroversi, kemampuan untuk bersepakat, kemampuan untuk mendengarkan suara hati, stabilitas emosi dan keterbukaan dalam


(46)

pengalaman. Dari beberapa hasil penelitian yang menghubungkan dimensi kepribadian dengan kinerja pekerjaan adalah bahwa individu yang dapat dipercaya, andal, dll, cendrung memiliki kinerja tinggi. Individu yang juga memiliki suara hati yang tinggi menyumbangkan kinerja tinggi.

Atribut-atribut kepribadian utama yang mempengaruhi perilaku individu adalah lokus kendali, machiavelliansime, harga diri, pemantauan diri, pengambilan resiko dan kepribadian tipe A. Namun dalam suatu sistem penanggulangan bencana, atribut–atribut kepribadian ini tidak sesuai oleh karena konsep penanggulangan bencana adalah konsep sosial.

Penyesuaian syarat-syarat pekerjaan dengan karakteristik kepribadian diungkapkan dengan sangat baik dalam teori kecocokan kepribadian – pekerjaan yang dikemukaakan oleh John Holland. Holland menyajikan enam tipe kepribadian dan mengemukakan bahwa kepuasan dan kecendrungan untuk meninggalkan pekerjaan tergantung pada sejauh mana individu tersebut berhasil mencocokkan kepribadian mereka dengan lingkungan pekerjaan. Hubungan antara tipologi kepribadian dan pekerjaan yang kongruen dari Holland dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Tipologi kepribadian dan pekerjaan yang kongruen dari Holland dikutip dari Robbins (2006:140)


(47)

Tipe Ciri kepribadian Pekerjaan yang kongruen Realistis yaitu lebih menyukai

kegiatan-kegiatan fisik yang mensyaratkan keterampilan, kekuatan dan koordinasi

Investigasi yaitu lebih menyukai kegiatan- kegiatan yang

melibatkan pemikiran, pengorganisaian dan pemahaman

Sosial yaitu lebih menyukai kegiatan- kegiatan yang melibatkan pemberian

pertolongan dan pengembangan orang lain

Pemalu, tulus, stabil, patuh, praktis

Analitik,tulus, penasaran, independen

Supel, ramah, kooperatif, memahami

Mekanik, operator pengeboran, pekerja lini perakitan, petani

Ahli biologi, ekonom, ahli matematika, reporter berita

Pekerja sosial, guru,

konsultan, psikolog klinis


(48)

Konvensional yaitu lebih menyukai kegiatan -kegiatan yang berperaturan, tertata dan tidak bermakna ganda

Inovatif yaitu lebih menyukai aktivitas verbal yang

didalamnya terdapat peluang untuk mempengaruhi orang lain untuk meraih kesuksesan

Artistik yaitu lebih menyukai aktivitas – aktivitas yang bermakna ganda yang

memungkinkan ekspresi kreatif

Patuh, efisien, praktis, tidak imajinatif, tidak fleksibel

Percaya diri, ambisius, enerjik, mendominasi

Imajinatif, tidak tertata, idealistis, emosional dan tidak praktis

Akuntan, manajer korporasi, kasir bank, petugas administrasi

Pengacara, agen real estat, spesialis hubungan masyarakat

Pelukis,musisi, penulis, piñata interior


(49)

Dari tabel di atas terdapat tiga poin utama yaitu : (1) terdapat perbedaan-perbedaan intrinsik dalam kepribadian di kalangan individu; (2) terdapat jenis-jenis pekerjaan yang berbeda; (3) orang dalam lingkungan-lingkungan yang kongruen dengan tipe kepribadian mereka akan lebih puas dan berpeluang lebih kecil untuk mengundurkan diri dibandingkan dengan orang yang menduduki pekerjaan yang tidak kongruen.

2.3.4. Belajar

Belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan tanggapan-tanggapan dengan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsangan-rangsangan. Makin banyak dan sering diberikan stimulus maka makin memperkaya tanggapan pada subjek belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran menurut Robbins (2006:56) adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran melibatkan perubahan dan perubahan tersebut harus relatif permanen dan pembelajaran berlangsung ketika terjadi perubahan tindakan. Adapun teori proses belajar adalah sebagai berikut :

a. Teori stimulus dan transformasi

Perkembangan teori proses belajar yang ada dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok besar, yakni stimulus-respons yang kurang memperhitungkan faktor internal dan teori transformasi yang telah memperhitungkan faktor internal. Teori


(50)

stimulus kurang memperhitungkan faktor internal yang terjadi pada subjek belajar. Kelompok teori proses belajar yang kedua sudah memperhitungkan faktor internal, antar lain :

1) Teori transformasi yang berlandaskan pada psikologi kognitif seperti yang dirumuskan oleh Neiser, yang mengatakan bahwa proses belajar adalah transformasi dari masukan (input) kemudian input tersebut direduksi, diuraikan, disimpan, ditemukan kembali dan dimanfaatkan. Transformasi dari input sensoris bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan (memory). Meskipun teori ini dikembangkan berdasarkan psikologi kognitif tetapi tidak membatasi penelaahannya pada domain pengetahuan (kognitif) saja tetapi juga meliputi domain yang lain (afektif dan psikomotor). Para ahli psikologi kognitif juga memperhitungkan faktor eksternal dan internal dalam mengembangkan teorinya. Mereka berpendapat bahwa kegiatan belajar merupakan proses yang bersifat internal dimana setiap proses tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain metode pengajaran.

2) Teori Gestalt mendasarkan pada teori belajar pada psikologi Gestalt yang beranggapan bahwa setiap fenomena terdiri dari suatu kesatuan esensial yang melebihi jumlah unsur-unsurnya. Bahwa keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Didalam peristiwa belajar, keseluruhan situasi belajar itu amat penting karena belajar merupakan interaksi antara subjek belajar dengan lingkungannya. Selanjutnya para ahli psikologi Gestalt tersebut menyimpulkan, seseorang dikatakan belajar bila ia memperoleh pemahaman (insight) dalam


(51)

situasi problematis. Pemahaman itu ditandai dengan adanya : (1) suatu perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang tak berdaya menjadi keadaan yang mampu menguasai atau memecahkan masalah (problem); (2) adanya retensi; (c) adanya peristiwa transfer. Pemahaman yang diperoleh dari situasi, dibawa dan dimanfaatkan atau ditransfer ke dalam situasi lain yang mempunyai pola atau struktur yang sama atau hampir sama secara keseluruhannya (bukan detailnya). b. Teori-teori belajar sosial (Social learning)

Untuk melangsung kehidupan, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada 2 macam belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olah raga, mengendarai mobil, dan sebagainya serta belajar psikis. Dalam belajar psikis ini termasuk juga belajar sosial (social learning) dimana seseorang mempelajari perannya dan peran-peran orang lain dalam konteks sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan peran orang lain atau peran sosial yang telah dipelajari. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-respons adalah tingkah laku tiruan (imitation). Teori dengan tingkah laku tiruan yang penting disajikan disini adalah teori dari Millers, NE dan Dollard, serta teori Bandura A. dan Walter RH.

1) Teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan Dollard

Pandangan Millers dan Dollard bertitik tolak pada teori Hull yang kemudian dikembangkan menjadi teori tersendiri. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui prinsip-prinsip psikologi


(52)

belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (respons), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini saling mengait satu sama lain, yaitu dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi respons, respons menjadi ganjaran, dan seterusnya. Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme (manusia) untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat pada umumnya bersifat biologis seperti lapar, haus, seks, kejenuhan, dan sebagainya. Stimulus-stimulus ini disebut dorongan primer yang menjadi dasar utama untuk motivasi. Menurut Miller dan Dollard semua tingkah laku (termasuk tingkah laku tiruan) didasari oleh dorongan-dorongan primer ini. Isyarat adalah rangsangan yang menentukan bila dan dimana suatu respons akan timbul dan terjadi. Isyarat ini dapat disamakan dengan rangsangan diskriminatif. Didalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik yang langsung ditujukan orang tertentu maupun yang tidak, misalnya anggukan kepala merupakan isyarat untuk setuju, uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabat tangan. Mengenai tingkah laku balas (respons), mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai hirarki bawaan tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hirarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hirarki resultan (resultant hierarchy of respons).

Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba-ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana


(53)

seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat memberikan respons yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba-ralat. Ganjaran adalah rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku balas diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Menurut Miller dan Dollard ada 2 reward atau ganjaran, yakni ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer dan ganjaran sekunder yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder.

2)Teori Belajar Sosial dari Bandura dan Walter

Teori belajar sosial yang dikemukakan Bandura dan Walter ini disebut teori proses pengganti. Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi dari rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas (respons) tetapi dalam proses belajar sosial, hal ini tidak terlalu penting. Aplikasi teori ini adalah apabila seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model bereaksi secara tertentu terhadap rangsang itu maka dalam khayalan atau imajinasi orang tersebut, terjadi rangkaian simbol-simbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini merupakan pengganti dari hubungan rangsang balas yang nyata dan melalui asosiasi, si peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model. Terlepas dari ada atau tidak adanya rangsang, proses asosiasi tersembunyi ini sangat dibantu oleh kemampuan verbal seseorang. Selain dari itu, dalam proses ini tidak ada cara-coba dan ralat (trial and error) yang berupa tingkah laku nyata karena semuanya berlangsung secara tersembunyi dalam diri individu. Hal yang penting disini adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru. Menurut Bandura, pengaruh


(54)

tingkah laku model terhadap tingkah laku peniru ini dibedakan menjadi 3 macam, yakni :

a) Efek modeling (modelling effect), yaitu peniru melakukan tingkah-tingkah laku baru melalui asosiasi sehingga sesuai dengan tingkah laku model.

b) Efek menghambat (inhibition) dan menghapus hambatan (disinhibition) dimana tingkah-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model dihambat timbulnya sedangkan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat menjadi nyata. c) Efek kemudahan (facilitation effect), yaitu tingkah-tingkah laku yang sudah

pernah dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.

Akhirnya Bandura dan Walter menyatakan bahwa teori proses pengganti ini dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yang sama dengan emosi yang ada pada model. Contohnya seseorang yag mendengar atau melihat gambar tentang kecelakaan yang mengerikan maka ia berdesis, menyeringai bahkan sampai menangis ikut merasakan penderitaan tersebut.

2.3.5. Motivasi

Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Proses timbulnya motivasi seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan dan imbalan. Proses motivasi terdiri dari beberapa tahapan proses sebagai berikut; pertama, munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi


(55)

menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam diri seseorang dan berusaha menguranginya dengan berperilaku tertentu. Kedua, seseorang mencari cara untuk memuaskan keinginan tersebut. Ketiga, seseorang mengarahkan perilakunya kearah pencapaian tujuan atau prestasi dengan cara-cara yang dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan maupun pengalamannya. Keempat, penilaian prestasi dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain (atasan) tentang keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Kelima, imbalan atau hukuman yang diterima atau dirasakan tergantung kepada evaluasi prestasi yang dilakukan. Keenam, akhirnya seseorang menilai sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya. Jika siklus motivasi tersebut telah memuaskan kebutuhannya, maka suatu keseimbangan atau kepuasan atas kebutuhan tertentu dirasakan.

Motivasi juga dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.

Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2)


(56)

frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (output) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (teori kebutuhan); (2) Teori McClelland (teori kebutuhan berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (teori ERG); (4) teori Herzberg (teori dua faktor); (5) teori keadilan; (6) teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori harapan); (8) teori penguatan dan modifikasi perilaku; dan (9) teori kaitan imbalan dengan prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)


(57)

Tabel 2.2. Jenis- jenis teori motivasi

Jenis Karakteristik Teori

Teori Kepuasan

Teori Proses

Berkaitan dengan faktor- faktor yang membangkitkan atau memulai perilaku

Berkaitan dengan bagaimana

perilaku digerakkan, diarahkan, didukung atau dihentikan

Teori hierarki kebutuhan Teori Erg

Teori dua faktor Teori kebutuhan akan prestasi

Teori pengharapan Teori keadilan Teori penguatan Teori penetapan tujuan

Sumber: Robbins (2006)

2.4. Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir

Bencana sesuai dengan Undang–Undang RI No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,


(58)

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang memiliki intensitas tinggi.

Konfrensi Sedunia tentang peredeman bencana memiliki lima prioritas aksi yaitu : (1) memastikan bahwa peredaman resiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya; (2) mengindentifikasi, menjajaki dan memonitor resiko-resiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; (3) menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat; (4) meredam faktor-faktor resiko yang mendasari; (5) memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan suatu manajemen pelayanan publik yang harus ditingkatkan kualitasnya baik dalam segi waktu, kenggulan produk pelayanan sendiri, pengurangan biaya untuk memperoleh pelayanan serta perlakuan yang semakin menempatkan konsumen atau rakyat sebagai pihak yang memiliki martabat (Saefudin,1994:2 dalam waluyo,2007:132).

Penyelenggaraan penanggulangan bencana menurut UU No.24 Tahun 2007 adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah lembaga pemerintah non departemen yang menggantikan Satkorlak PB ditingkat pusat. BNPB mempunyai tugas : (1) memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha


(59)

penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara; (2) menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan; (3) menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat; (4) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; (5) menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional; (6) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (7) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan (8) menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) (PP No. 08. 2008).

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BNPB dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. BNPB terdiri atas : kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana dan unsur pelaksana penanggulangan bencana.

Dalam suatu siklus manajemen bencana memiliki tiga tahapan yaitu pra, saat tanggap darurat dan pasca bencana sesuai dengan UU No.24 Tahun 2007 pasal 33. Kesiapsiagaan merupakan suatu fase prabencana yang dilakukan pada situasi terdapat potensi bencana (UU No.24 Tahun 2007, pasal 44). Kesiapsiagaan menurut UU No.24 Tahun 2007, bab 1 pasal 1 ayat 7 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Menurut Susetyo, kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas


(60)

sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada fase kesiapsiagaan bencana banjir sesuai pedoman penanggulangan banjir yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Banjir (BAKORNAS PB) adalah (1) pemantauan cuaca; (2) pemantauan debit air sungai; (3) pengamatan peringatan dini; (4) penyebaran informasi; (5) inventarisasi kesiapsiagaan; (6) penyiapan peta rawan banjir; (7) penyiapan sumberdaya untuk tanggap darurat; (8) penyiapan alat-alat berat dan bahan banjiran; (9) penyiapan pompa air, mobil tangki air dan mobil tinja; (10) penyiapan tenaga medis dan paramedis dan ambulans; (11) penyiapan jalur evakuasi dan lokasi penampungan; (12) penyiapan keamanan.

Adapun kegiatan kesiapsiagaan secara umum adalah : (1) kemampuan menilai resiko; (2) perencanaan siaga; (3) mobilisasi sumberdaya; (4) pendidikan dan pelatihan; (5) koordinasi; (6) mekanisme respon; (7) manajemen informasi; (8) gladi/ simulasi.

Penjelasan dari hal–hal di atas adalah sebagai berikut : analisa resiko bencana meliputi identifikasi ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability), analisis resiko bencana, penentuan tingkat resiko, pembuatan peta resiko bencana. Rencana kontinjensi meliputi menentukan suatu ancaman, membuat skenario kejadian, menyusun kebijakan penanganan, mengkaji kebutuhan, inventarisasi sumberdaya, pembuatan perencanaan setiap sektor, uji kaji dan kemutakhirkan. Mobilisasi sumberdaya meliputi : inventarisasi semua sumberdaya yang dimiliki oleh


(61)

daerah/sektor, identifikasi sumberdaya yang tersedia dan siap digunakan, identifikasi sumberdaya dari luar yang dapat dimobilisasi untuk keperluan darurat. Pendidikan dan pelatihan meliputi : melakukan pendidikan di sekolah-sekolah, melakukan pelatihan secara kontinu yaitu manajerial dan teknis operasional. Koordinasi meliputi membentuk forum koordinasi, menyelenggarakan pertemuan berkala secara rutin, saling bertukar informasi, menyusun rencana terpadu. Peringatan dini meliputi : penyampaian informasi yang tepat waktu dan efektif, melalui kelembagaan yang jelas, sehingga memungkinkan setiap individu yang terancam bahaya dapat mengambil langkah untuk menghindari atau mengurangi resiko dan mempersiapkan diri untuk melakukan upaya tanggap darurat yang efektif. Mekanisme respon yaitu menyiapkan posko, menyiapkan Tim Reaksi Cepat (TRC), mempunyai prosedur tetap, menentukan incident commander, melakukan upaya penanganan di luar prosedur rutin. Manajemen informasi meliputi : menciptakan sistem yang mudah diakses, dimengerti dan disebarluaskan, informasi yang disampaikan harus : akurat (accurate), tepat waktu (timely), dapat dipercaya, mudah dikomunikasikan. Gladi/simulasi meliputi : untuk menguji tingkat kesiapsiagaan, perlu dilakukan uji lapangan berupa gladi atau simulasi. Gladi atau simulasi harus dilakukan secara berkala, agar masyarakat dapat membiasakan diri.

Strategi kesiapsiagaan memiliki tiga fokus yaitu : rencana teknis, manajemen logistik dan pelatihan (Canton, 2007 : 184). Rencana Teknis terdiri dari rencana-rencana dan prosedur penting untuk mendukung strategi. Hal ini mencakup rencana-rencana


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan mengenai pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan, latar belakang) dan psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, motivasi) terhadap kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) fase kesiapsiagaan penanggulangan bencana banjir sebagai berikut:

1. Kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) fase kesiapsiagaan penanggulangan bencana banjir bernilai negatif artinya dengan kondisi faktor individu dan psikologis normal ,kinerja petugas Satlak tidak ada dan merugikan pemerintah.

2. Faktor individu (kemampuan) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

3. Faktor individu (keterampilan) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

4. Faktor individu (latar belakang) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.


(2)

5. Faktor psikologis (persepsi) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

6. Faktor psikologis (sikap) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

7. Faktor psikologis (kepribadian) petugas Satlak PBP menunjukkan ada pengaruh yang positif dan signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai

8. Faktor psikologis (pembelajaran) petugas Satlak PB menunjukkan tidak ada pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

9. Faktor psikologis (motivasi) petugas Satlak PB menunjukkan ada pengaruh yang positif dan signifikan terhadap optimalisasi kinerja petugas Satuan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Kota Tanjungbalai.

10. Pengaruh faktor individu dan faktor psikologis terhadap kinerja berbeda pada penelitian organisasi pemerintah (nirlaba) dan organisasi non pemerintah (laba), dimana pada organisasi non pemerintah khususnya Satlak PB Kota Tanjungbalai faktor individu tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja ,dan hanya faktor psikologis yaitu kepribadian dan motivasi yang berpengaruh terhadap kinerja


(3)

6.2. Saran

Dari hasil penelitian ini maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Dalam rangka meningkatkan kinerja petugas Satuan pelaksana penanggulangan bencana (Satlak PB), faktor psikologis petugas yaitu kepribadian dan motivasi perlu untuk ditingkatkan oleh karena berpengaruh positif dan signifikan.

2. Sistem rekrutmen petugas Satuan pelaksana penanggulangan bencana (Satlak PB) sebaiknya lebih mengutamakan personil yang memiliki kepribadian dan motivasi tinggi oleh karena berpengaruh terhadap kinerja Satlak PB pada fase kesiapsiaagaan.

3. Optimalisasi sistem manajemen penanggulangan bencana khususnya penanggulangan bencana banjir dengan tidak mendualismekan antara Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.362/492 Tahun 2002 dengan amanah UU No. 24 Tahun 2007.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ant, (2009) 2000 Rumah di Tanjungbalai Terendam Banjir, Dalam Harian Berita Sore Antara.

Arikunto S, (2002) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Ed.Revisi V, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Bappennas, MAP-UGM & UNDP, 2007, Laporan Kajian Perumusan Rekomendasi Bagi Penyusunan Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) , hal : 2-4, Yogyakarta.

Bungin Burhan, (2008) Metodologi Penelitian Kuantitatif, Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Ed.1, Cet.3, Penerbit Kencana, Jakara.

Canton L, (2007) Emergency Management Concepts and Strategies for Effective Programs , United States of America : Wiley.

Departemen Kesehatan R.I, (2007) Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Mengacu pada Standar Internasional), Panduan bagi Petugas Kesehatan yang Bekerja dalam Penanganan Krisis Kesehatan akibat Bencana di Indonesia, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (2001) Kamus Besar Bahasa Indonesia , Ed.3, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.

Dharma S, (2005) Manajemen Kinerja Falsafah Teori dan Penerapannya, Cet.1, Pustaka Belajar, yogyakarta.

Dirjen Yanmed, (2005) Pedoman Penyusunan Peta Geomedik, Cet.2, Depkes, Jakarta.

Direktorat Perlindungan Masyarakat Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa, (2003) Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 131 Tahun 2003, Tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah.

Gibson J.L., Ivancevich J.M., Donnelly J.H.,(Dharma A), (1985) Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta.


(5)

Gsp, (2008) Banjir Makin Besar, Warga Tanjungbalai mulai mengungsi, Harian Analisa.

Istijono, (2008) Riset Sumber Daya Manusia, Cet.3, PT Gramedia, Jakarta.

Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI, (2007) Iptek Sebagai Asas Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia, Jakarta.

Kodotie & Sugiyanto, (2002) Banjir, Cet.1, Pustaka Belajar, Yogyakarta.

ISDR, (2005) Konferensi Sedunia tentang Peredaman Bencana, Kobe, Hyogo, Japan

Mangkunegara A.A.A.P, (1995). Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung .

Mulyadi E, Abdurahman O, Hilman P.M, Priatma, (2006) Mengenal Konsep Penanganan Bencana, Bahaya Geologi, dan Mitigasi Bencana Geologi di Indonesia, Warta Geologi, 1(4) : 16-47.

Profil Tanjungbalai, (2006) Profil, Potensi dan Peluang Investasi, Tanjungbalai Riduwan, (2006) Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Cet.4. Alfabeta, Bandung. Robbins S.P, (2006) Perilaku Organisasi, Ed.ke-10, Prentice-Hall International, Inc – Indeks, Jakarta.

Terry G.R, (2006) Asas-Asas Menejemen, Cet.5, Alumni, Bandung.

Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi , (2006) Data Bencana Indonesia Tahun 2002 – 2005, Jakarta

Sugiyono, (2004) Statistik Nonparametris untuk Penelitian, Cet.4, Alfabeta, Bandung Susanto A.B, (2006) Disaster Management, Di Negeri Rawan Bencana, Cet.1, Jakarta : Jakarta Consulting Group & Eka Cipta Foundation

Tim Reaksi Fokus Media, (2007) Undang – Undang Penanggulangan Bencana, Cet.1, Penerbit Fokus Media, Bandung.

Waluyo, (2007) Manajemen Publik, Cet.1, Mandar Maju, Bandung.


(6)

Winardi J, (2007) Teori Organisasi dan Pengorganisasian : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

UNDP, UNDRO, (1992) Tinjauan Umum Manajemen Bencana, Program Pelatihan Manajemen Bencana, Ed.2, Jakarta.

Peraturan perundang-undangan

Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor: 362/492/Tahun 2002, Tentang Prosedur Tetap Peanggulangan Bencana Banjir di Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 37 Tahun 1989, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Bagi Jajaran Pertahanan Sipil di Daerah.

No. 131 Tahun 2003, Tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah.

KepMenKes RI No. 1357/Menkes/SK/XII/2001, Tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi

No. 145/Menkes/SK/I/2007, Tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2007, Tentang Pedoman Penyiapan Sarana-Prasarana dalam Penanggulangan Bencana.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 , Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

No. 21 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana