dan lain sebagainya. Dalam masyarakat yang pluralistis itu hampir setiap perubahan atau pembaharuan mudah membangkitkan konflik, tidak lain
karena posisi sosial dengan kepentingan menentukan sikap dan kelakuan politiknya”.
67
Konflik itu tidak saja mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan
masyarakat tetapi akan menyebabkan terhambatnya pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, Pancasila secara fungsional berakar pada etos yang dominan di
dalam masyarakat Indonesia yang semua itu didasari oleh kesatuan bangsa.
C. Soekarno dan Perumusan Dasar Negara
Pelajaran dan pengalaman dari sejarah dimasa lampau, serta realitas kondisi sosial masyarakat Indonesia, hampir tidak lepas dari perhatian dan pertimbangan
Soekarno. Sehingga rumusan Pancasila, merupakan refleksi dari kepribadian dirinya. Salah satu kekuatan Pancasila yang tak ternilai adalah berakar dalam dinamika
kebangsaan Indonesia.
68
Maka, secara tegas Soekarno menawarkan Pancasila yang dinilainya mampu menjadi ruang konsolidasi nasional yang terdiri dari berbagai suku,
ras, agama dan kompleksitas etnik dan budaya. Bukan saja persatuan secara geografis yang menjadi perhatian , tetapi ia juga
mengupayakan perdamaian di antara berbagai kelompok keagamaan di Indonesia dan keserasian ideologis. Soekarno tidak merasa yakin pada masa pascarevolusi untuk
67
Dikutif dari Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 95.
68
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila; Pertemuan Ideologi yang Menguntungkan, dalam kata pengantar M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam,
Yogyakarta: Surya Raya, 2004, h. xii.
mencapai kosensus politik yang melebihi prinsip-prinsip dasar Pancasila. Menurut Soekarno, pemerintahan yang harus bisa mencerminkan kebersamaan yang harmonis
antara aliran ideologi yang ada di Indonesia dan saling menghargai di antara para penganutnya. Seperti apa yang dikatakan Benedict Anderson dalam karyanya “The
Idea of Power in Javanese Culture”, yang dikutif oleh Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, kekuasaan pemimpin bergantung pada “kemampuan untuk mengatakan
perbedaan dan merangkul para pengikutnya”.
69
Begitupun juga, sebuah pemerintahan yang kuat dan efektif diperlukan untuk mengatasi dan merangkul aliran-aliran utama
dalam negeri. Menurut Soekarno, Pancasila memiliki dua landasan fundamental, yaitu
landasan politik dan landasan etika. Konsep nasionalisme merupakan landasan dari politik, sementara prinsip Ketuhanan basis etikanya. Makanya tak heran Soekarno
meletakan prinsip nasionalisme pada urutan pertama, selain prinsip internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Soekarno tidak menghendaki negara Indonesia berdasarkan agama, termasuk
Islam. Walaupun demikian, bukan berarti ia mengebiri eksistensi ideologi yang yang berbasiskan pada ajaran-ajaran agama Islam. Karena situasi dan kondisi ketika
itulah yang mengharuskan Soekarno bersikap tegas dalam menegakan Pancasila. Hal
69
Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, Subversi Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, cet II, Jakarta: PT Temprint, 2001, h. 50.
ini juga pernah disampaikan, Letnan Jendral H. Soedirman, seorang Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam PTDI, dalam tulisannya:
“karena keadaan situasi dan kondisi tanah air masih didalam mara bahaya, dimana sekutu sudah mengelilingi kita, akan mengembalikan kolonialisme
BelandaNICA untuk menjajah kembali negara kita…”.
70
Itulah sebabnya segala kepentingan ideologi dan perdebatan-perdebatan prinsip-
prinsip falsafah negara dikesampingkan lebih dahulu. Meskipun, jauh setelah UUD 18 Agustus 1945 ditetapkan, perdebatan tentang dasar negara dalam masa 1950 –
1955 terjadi di dewan konstituante, terutama ketika Soekarno menyampaikan pernyataan yang penuh kontraversi di Amuntai, Kalimantan Selatan, ia berkata:
“Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia, kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka
banyak daerah-daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai, dan juga Irian
Barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.
71
Dari pidatonya itu, Soekarno banyak mendapat kritik dari kalangan Islam. A. Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, salah
satunya, yang kemudian mengirim surat kepada Soekarno selaku presiden pada tanggal 13 April 1953. Dalam surat tersebut ada tiga buah probleemstelling
persoalan yang dipertanyakan oleh Ranuwihardjo, satu diantaranya ialah mengenai hubungan antara ideologi Pancasila dan ideologi Islam.
72
Untuk menjawab semua itu,
70
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 65.
71
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 68.
72
Lebih lengkap lihat, Soekarno, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, kuliah umum Presiden Soekarno, Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999, h. 5-9.
Soekarno memaparkan melalui kuliah umum pada tanggal 7 Mei 1953 di Universitas Indonesia dengan mengutif pendapat Natsir, menurutnya:
“Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa menyatakan lebih daripada itu dan mensitir mengutif Saudara Pemimpin Besar Masyumi,
Mohd. Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan
bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain, bahkan sama satu sama lain”.
73
Kemudian dari akhir pidatonya, Soekarno kembali mengutif pendapat Natsir: “Pakistan is Moslem country. So is my country Indonesia. But though we
recognize Islam to be the faith of the Indonesia people, we have not made an expressed mention of it in our Contitution. Nor have we excluded religion
from our national life Indonesia has expressed its creed in the Pancasila, or the five principles, which have been adopted as the spiritual, moral, and
ethical foundation of our nation and our state…”.
74
Pakistan adalah sebuah negeri muslim. Begitupun Indonesia. Walaupun kami mengakui Islam sebagai agama rakyat Indonesia, tapi kami tidak menyatakan
hal itu secara tegas dalam konstitusi kami. Akan tetapi, kami tidak menafikan agama dari kehidupan nasional kami. Indonesia telah menyatakan
keyakinanya yang tertuang dalam lima prinsip dasar Pancasila yang telah kami ambil sebagai dasar spiritual, moral dan etis bangsa…
Berkaitan dengan persoalan pemisahan agama dari negara, maka menurutnya Soekarno bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab rakyat dapat memper-
juangkan ajaran Islam kedalam kebijakan negara melalui DPR. Oleh sebab itu, Soekarno meyakini demokrasi sebagai alternatif bentuk dari negara Indonesia.
Sehingga negara yang menganut demokrasi, semua kelompok keagamaan dituntut menguasai parlemen, dengan begitu, menguasai lembaga berarti menguasai negara
73
Soekarno, Negara Nasional, h. 60.
74
Soekarno, Negara Nasional, h. 61.
dan pada akhirnya keinginan luhur para elit tokoh Islam dapat terlaksana. Hal ini seperti yang digambarkan Soekarno:
“Lagi pula, disesuatu negeri jang ada demokrasi jang ada perwakilan rakjat jang benar-benar mewakili rakjat, di negeri jang demikian itu, rakjatnja toch
dapat memasukan segala matjam “keagamaan” kedalam tiap-tiap tindakan negara, kedalam tiap-tiap politik jang dilakukan oleh negara, walaupun disitu
agama dipisahkan dari negara. Asal sebagian besar dari anggauta-anggauta parlemen politik agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu politiknja
politik Islam, maka tidak akan dapat berdjalanlah satu usul djuapun jang tidak bersifat Islam…”.
75
Untuk lebih meyakinkan tentang konsepsi politiknya, Soekarno dengan semangat mengatakan:
“…Gerakanlah Tuan punja propaganda dikalangan rakjat Tuan itu dengan tjara jang sehaibat-haibatnya, supaya rakjat Tuan itu mengirim sebanjak
mungkin wakil-wakil Islam dikalangan rakjat Tuan… dan badan-perwakilan itu akan dibandjiri dengan utusan-utusan jang politiknja Islam, hatinja
Islam… Maka negara itu dengan sendirinja menjadilah bersifat negara Islam…”.
76
Walaupun perhatian sesungguhnya terpusat pada keinginan terwujudnya suatu kesepakatan yang merangkul semua golongan yang ada ketika itu. Akan tetapi dalam
kenyataannya Soekarno tidak menginginkan golongan Islam berada dalam posisi kuat Islam sebagai dasar negara. Hal ini terlihat dari keterus-terangannya yang
mengatakan: “sebenarnya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam”. “kita berkata, 90
daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah….berapa persen umat Islam, peny memberikan suaranya kepada Islam…Bagi saya, hal itu adalah suatu
75
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djakarta: Gunung Agung, 1965, h. 407.
76
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 452.
bukti bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat”.
77
Bagaimana pun kesimpulan Soekarno, nampaknya alasan yang cukup sehat dan rasional. Akan tetapi, pernyataannya merupakan suatu tantangan dan kritikan
yang tajam bagi umat Islam itu sendiri, walau pada kenyataan bahwa sintesisnya baca: Nasakom, 1926 bukanlah bersifat merangkul, tetapi jelas bersifat memihak.
Dalam hal ini ialah kepentingannya sendiri.
77
Leggi, Sukarno Biografi Politi , h. 218.
BAB IV NILAI-NILAI DASAR NEGARA