Pancasila sering disebut dasar falsafah, philosofische grondslag, dan ideologi negara Indonesia. Dalam pengertian ini, Pancasila merupakan dasar negara atau dasar
untuk mengatur penyelenggaraan negara, Pancasila sering disebut weltanschaunng, yang berarti ideologi atau pandangan hidup. Sementara, pengertian Pancasila sebagai
dasar negara dapat dilihat melalui bunyi Pembukaan UUD 1945. Karena dilihat dari sisi morfologi bahasa Indonesia kata “berdasar” berasal dari kata dasar, yang berawal
ber menjadi berdasar. Seperti yang secara tegas berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
undang-undang dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:…”
52
Dengan demikian, sebagai dasar negara Pancasila dituntut untuk tetap
konsisten, koheren dan koresponden, termasuk juga, Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horizontal, yakni antar masyarakat dengan
masyarakat lainnya dan vertikal adalah antara pemerintah dan masyarakat bawah.
B. Sejarah Kelahiran dan Perumusan Pancasila
Rumusan dasar negara Indonesia berawal dari sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI atau
Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai,
53
yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni
52
Rumusan resmi Pancasila, lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945-1959, Jakarta: Gema
Insani Press, 1997, h. 161.
53
Badan ini didirikan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 28 April 1945, karena sebelumnya, sekitar Oktober 1944, Perdana Mentri Kuniaki Kaiso mengumumkan bahwa Indonesia
akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat. Lebih lengkap lihat, George McTurnan Kahin, Refleksi
1945, Badan tersebut membahas prinsip-prinsip dasar negara yang akan didirikan. Ada pertanyaan fundamental dari dr. Radjiman, yang kebetulan pada waktu itu ia
sebagai ketua dari badan tersebut. Pertanyaan tersebut dilontarkan dalam pidato pembukaan sidang, yaitu apakah dasar negara yang akan dibentuk itu ?
Ternyata pertanyaan tersebut mendapat respon positif, sehingga para anggota sidang dengan jumlah 60 orang, selain ketua dan wakil ketua, ikut berpartisipasi
dalam merumuskannya. Ternyata perbedaan pendapat pun tidak bisa dielakan, seluruh perwakilan seperti para golongan priyayi Jawa, pedagang Sumatera, golongan
Petani, kelompok Islam dan nasionalis. Semua kelompok mempunyai gagasan sendiri-sendiri yang sulit untuk dipertemukan. Namun paling tidak, terdapat dua
kelompok besar yang saling berbeda paham ketika itu dan tetap bersikokoh mempertahankan landasan negara yang mereka usung, yakni kelompok Islam; yang
menginginkan Islam menjadi dasar dan rujukan dalam sebuah negara Indonesia. Kelompok lain, yaitu kelompok sekuler menghendaki dasar negara ialah kebangsaan.
Sekitar tiga hari perdebatan tajam itu terus berhujam, maka pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan gagasan dalam pidatonya, yang kemudian
menjadi amanat terkenal dengan sebutan Lahirnya Pancasila. Soekarno menawarkan lima prinsip sebagai jalan keluar: Indonesia bukan negara agama dan bukan negara
sekuler, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.
54
Menurut Kahin, Soekarno
Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, cet. II, tanpa kota: UNS Press, 1995, h. 145.
54
Eka Darma Putra, Pancasila: Identitas dan Modernitas; Tunjauan Etis dan Budaya, cet. VI, Jakarta: Gunung Mulia, 1997, h. 105.
menggali lima prinsip dasar, Pantja Sila, yang dirasakan akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar filsafat suatu Indonesia yang merdeka.
55
Pidato Soekarno dalam dokumen risalah BUPKI dan PPKI :
“…Saudara-Saudara “Dasar-Dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Darma ? Bukan nama Panca Darma tidak tepat
disini. Darma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya.
Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa lagi yang lima bilangannya ?... sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ke-Tuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa-namanya ialah Panca Sila. Sila
artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi...”.
56
Kelima dari dasar Pancasila, menurut Soekarno bisa diperas menjadi tiga prinsip tri sila. Dua prinsip pertama, yaitu nasionalisme dan internasionalisme atau
peri kemanusiaan, menurut Soekarno bisa diperas menjadi satu prinsip, yakni sosio- nasionalisme. Begitupun selanjutnya, dua prinsip berikutnya demokrasi atau
permusyawaratan dan keadilan social dapat diperas menjadi satu prinsip ialah prinsip sosio-demokrasi. Hiangga yang ada kini menjadi tiga perinsip adalah sosio-
nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, ketiga perinsip tri sila ini masih bisa diperas menjadi satu perinsip eka sila, yaitu perinsip
“Gotong royong”. Seperti yang pernah diungkapkannya:
55
Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, h. 154-155.
56
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia BPUPKI--Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Ghalia Indonesia
1995, h. 61.
“…Jika saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong
royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong alangkah hebatnya negara gotong royong...”
57
Untuk mengungkapkan istilah ini gotong royong, Soekarno melanjutkankan
pidatonya dengan mengatakan: “Gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari
“kekeluargaan”, saudara-saudara. Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, satu amal, satu pekerjaan,… Gotong royong adalah membanting tulang
bersama, memeras keringat bersama, pekerjaan Bantu-membantu bersama. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama itulah prinsip gotong
royong
Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang miskin, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan
yang menjadi bangsa Indonesia…”.
58
Pidato tersebut ternyata mendapat respon yang hangat dan positif oleh para anggota, Soekarno berhasil memberi jalan keluar dari kebuntuan, polemik dan
desakan waktu yang amat dekat ketika itu. Dalam pernyataan itu, maka usaha-usaha Soekarno telah mencapai klimaks-nya dalam bentuk nyata. Dipotret dari sisi
intelektualitas, sesungguhnya pidato Soekarno tidak jauh berbeda dengan pemikiran- pemikiran sebelumnya, yakni nasionalisme, Islam dan marxisme, tetapi dengan
tambahan pada penekanan pentingnya keadilan sosial dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip dasar.
57
Dikutif dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 17. juga dapat dilihat Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 216.
58
Dikutif dari Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, Subversi Politik Luar Negeri, h. 159-160. Dapat juga dilihat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia BPUPKI, h. 82.
Segera setelah pidato Soekarno di depan para anggota badan penyelidik yang menjadi cikal bakal kelahiran pancasila, membentuk panitia kecil yang terdiri dari
sembilan orang.
59
Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali pancasila berdasarkan pidato Soekarno dan mempergunakan teks tersebut untuk memprok-
lamirkan Indonesia Merdeka. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil membentuk sebuah rumusan yang kemudian terwujud dalam istilah
Muhammad Yamin dengan sebutan “the Jakarta Charter” Piagam Jakarta, sedangkan Soekiman menyebutnya sebagai Gentlemen Agreement semacam perjanji-
an luhur yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Segera setelah Piagam Jakarta terbentuk, pada tanggal 10 Juli 1945 dalam sidang paripurna BPUPKI,
Soekarno menyampaikan hasil dari pembicaraan panitia sembilan itu: “…dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
60
Adapun rancangan preambul yang diperuntukan untuk memproklamasikan Indonesia telah disetujui sebulat-bulatnya oleh panitia sembilan. Isi preambul ini
yang kelak akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 sebagai wujud bahwa kemerdekaan Indonesia semuanya tidak terlepas atas berkat Tuhan Yang Maha
Kuasa. Preambul yang berisikan empat alinea ini disebutkan adanya dorongan yang
59
Panitia kecil tersebut nama-namanya ialah: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abdul Kahar Muzzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid
Hasjim dan Muhammad Yamin.
60
Dikutip dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 30.
penuh, agar supaya bangsa Indonesia merdeka. Dengan tujuan bahwa bangsa Indonesia menjadi sebuah pemerintahan yang membentuk dan melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Akhir dari alinea inilah sebuah rumusan dasar negara Indonesia yang dikenal
Pancasila. Namun saja, Pancasila dalam preambul ini belum sepenuhnya dijadikan hasil kesepakatan untuk dijadikan dasar negara Indonesia. dikarenakan, dalam
Piagam Jakarta terdapat tujuh kata sakral bagi umat Islam, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, tujuh kata inilah yang
menjadi bahan sorotan, baik golongan non Islam maupun golongan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan banyak terpusat pada kata-kata itu. Sehari setelah ada
kesepakatan terhadap kata tersebut, yakni pada 11 Juli 1945, Latuharhari, seorang protestan dan anggota Badan Penyelidik, menyatakan keberatannya atas tujuh kata
sacral bagi umat Islam, “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”.
61
Disamping itu, tujuh kata tersebut tidak dilengkapi dengan pemaparan yang lebih luas dan lengkap, sehingga menimbulkan persoalan lain selain yang dimaksud
Latuharhari, seperti pertanyaan Legge misalnya, apakah kewajiban ini berlaku hanya untuk orang Islam yang shaleh atau bagi semua yang namanya saja penganut Islam ?
Apakah pelaksanaan kewajiban ini dilaksanakan oleh orang Islam secara perorangan
61
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 32.
ataukah harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang negara ?
62
lebih lanjut tendas Legge, apakah ini berarti di sebuah negara ada undang-undang yang terpisah untuk
orang Islam dan non Islam. Cukup disayangkan, persoalan ini tidak diselesaikan secara signifikan.
Terdapat lima rumusan resmi dasar negara dalam sejarah Indonesia, sejak Piagam Jakarta sampai kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar. Yakni Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan yang mencantumkan isi Pancasila resmi itu, dijadikan
sebagai landasan kuat sebuah ideologi bangsa. Pencantuman yang bertuliskan empat alinea ini tidak lain adalah isi dari Piagam Jakarta. Tetapi yang membedakannya ialah
dengan menghapus tujuh kata sakral “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan penambahan kata “Yang Maha Esa”, setelah kata
“Ketuhanan”. Asas Pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 itulah yang
dianggap resmi hingga sekarang,
63
walaupun dalam perjalanannya mengalami berbagai persoalan yang fundamental. Seperti halnya yang terjadi pada konstitusi
RIS. Didalam Konstitusi RIS Republik Indonesia Serikat dan Mukadimah UUDS
62
John D. Leggi, Sukarno Biografi Politik, cet. IV Jakarta: Sinar Harapan, 2001, h. 219.
63
Yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
1950, Pancasila dirumuskan dengan kalimat: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sementara Mukadimah UUDS 1950 sebenarnya
berasal dari Pembukaan UUD 1945. Namun asas ini hanya sebatas catatan sejarah yang memang memberikan ide-ide dasar tersebut, oleh karena ini tidak berlangsung
sampai satu tahun, karena terjadi demonstrasi massa yang menginginkan agar negara- negara bagian segera bergabung dengan Republik Indonesia. Maka pada tanggal 17
Agustus 1950, menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatasi oleh M. Natsir tampil dengan mengajukan mosinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Federal parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950.
64
Mosi tersebut kemudian dikenal dengan “mosi integral Natsir”.
Lima tahu setelah itu, bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum Pemilu pertama kalinya yang dilaksanakan pada tahun 1955, dan pada tanggal 10
Nopember 1956 konstituante memulai persidangannya yang pertama, akan tetapi cukup disayangkan sidang konstitusi ini tidak berjalan lancar. Persoalan yang
dihadapi anggota konstituante masih tetap pada persoalan dasar negara. Apakah Indonesia akan berdasarkan Pancasila atau Islam ? Pemilu itu ternyata tidak bisa
mengantarkan kedua kelompok pro Pancasila-pro Islam mencapai puncak sebagai penentu dari dasar negara, oleh karena keduanya tidak berhasil meraih 23 suara yang
diperlukan. Hingga pada akhirnya, para anggota konstituante menemukan jalan
64
Mosi tersebut ditandatangani oleh M. Natsir, Subandio Sastrosatono, Hamid Algadri, Sakiman, Ki Werdojo, A.M. Tambunan, N. Hardjosubroto, B. Sahetapy Engkel, Tjokronegoro, M.
Tauchid, Amelz dan Sirajuddin Abbas. Mereka adalah perwakilan aliran-aliran politik terbesar didalam DPR. Lihat Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 122.
kebuntuan yang tidak terlihat titik akhir dari perdebatan. Menghadapi situasi seperti ini, perdebatan konstituante selama dua setengah tahun tidak terlihat recover, maka
pada tanggal 5 Juli 1959, di depan istana merdeka Jakarta presiden Soekarno mengumumkan “Dekrit Kembali ke UUD 1945”, yang berbunyi sebagai berikut:
“DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAPANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAPENGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG, Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat
Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagaian besar anggota- anggota Sidang Pembukaan Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri
lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelematkan negara proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAPANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran konstituante; Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar
Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia Presiden Republik IndonesiaPanglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno”
65
. Walaupun sebagian orang mengatakan, bahwa dekrit tersebut adalah sebuah
tindakan yang tidak demokratis ternyata mendapat dukungan luas. Beberapa pertimbangan dari dukungan tersebut ialah. Pertama, oleh karena ternyata badan itu
gagal untuk mencapai mufakat. Kedua, oleh karena perdebatan yang terjadi itu dirasakan atau paling sedikit dikuatirkan akan mengganggu kesatuan dan keserasian
di dalam kehidupan bangsa.
66
Pertarungan yang bersifat ideologis itu, menurut Sartono Kartodirdjo, adalah karena:
“Struktur masyarakat Indonesia sejak masa pergerakan nasional sudah menunjukan kecenderungan kearah faksionalisme atau penggolongan-
penggolongan berdasar factor-faktor etnis, religius, ideologi, sosio cultural
65
Dikutif dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 110-112.
66
Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, cet VI Jakarta: Gunung Mulia, 1997, h. 112.
dan lain sebagainya. Dalam masyarakat yang pluralistis itu hampir setiap perubahan atau pembaharuan mudah membangkitkan konflik, tidak lain
karena posisi sosial dengan kepentingan menentukan sikap dan kelakuan politiknya”.
67
Konflik itu tidak saja mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan
masyarakat tetapi akan menyebabkan terhambatnya pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, Pancasila secara fungsional berakar pada etos yang dominan di
dalam masyarakat Indonesia yang semua itu didasari oleh kesatuan bangsa.
C. Soekarno dan Perumusan Dasar Negara