BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses awal pembentukan Negara Indonesia yang paling fundamental dan krusial ialah bagaimana menyepakati dan komitmen terhadap dasar Negara. Dalam
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUPKI, paling tidak ada empat persoalan pokok yang menjadi sorotan, yaitu : Pertama, persoalan
bentuk negara. Kedua, batas geografis negara. Ketiga, dasar filsafat negara dan keempat, persoalan yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Empat
persoalan tersebut berjalan dengan lancar, kecuali tentang persoalan dasar negara. Ketika dasar negara mulai disinggung, iklim politik pun menjadi hangat.
Di tengah arus dinamika politik dan nuansa pencarian jati diri bangsa, saat bendera kemerdekaan berkibar, Indonesia sangat berpotensi melahirkan konflik, baik
konflik karena SARA, kepentingan, dan bahkan idiologi. Proses pembentukan dan mempertahankan kedaulatan negara baru, seperti Indonesia, telah menimbulkan
pertarungan kepentingan dari berbagai kelompok yang saling bersaing memperebut- kan kekuasaan dan pengaruh. Persaingan ini pada gilirannya melibatkan pertarungan
kelompok ideologi utama yang tumbuh sejak zaman pergerakan kemerdekaan, peny, yaitu kelompok Islam, Nasionalisme Sekuler dan Komunisme.
1
Untuk perumusan pembentukan dasar negara, ketika itu para wakil rakyat Indonesia dapat dibagi atas dua kelompok besar, yakni mereka yang mengusulkan
Islam sebagai dasar negara dan mereka yang mengajukan agar negara Indonesia berdasarkan kebangsaan, termasuk golongan komunis
2
mendukung dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama Baca: sekuler. Kelompok ini diwakili oleh para
tokoh, seperti Dr. Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Profesor Supomo, Mohammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso dan Dr. Buntaran
Martoatmodjo, semua tokoh ini adalah hasil didikan Barat. Dari kelompok pembela dasar Islam diwakili oleh tokoh terkemuka, seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH.
Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar dan KH. A. Wachid Hasjim.
3
Kalangan agamis meyakini bahwa agama Islam dan politik tidak dapat dipisahkan integral, seperti yang diungkapkan dalam pidato Ki Bagoes
Hadikoesoemo pada tanggal, 31 Mei 1945, mengatakan: “…Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen,
bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang
muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia raya dan merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh,
1
Yusril Iza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama’at-Islami Pakistan, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 67.
2
Komunisme hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena peristiwa pemberonta- kan yang pernah dilakukannya, yaitu pada tahun 1926 di jawa Barat dan tahun 1927 di Sumatra.
Dengan peristiwa tersebut, maka dialog idiologis selanjutnya hanya melibatkan dua kelompok, yakni kelompok Islamis dan kelompok sekuler.
3
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir, Jakarta: Teraju, 2001, h. viii.
saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam...”
4
Sementara Soekarno dari kalangan nasionalis berpendapat, bahwa agama harus dipisahkan dari negara, karena untuk menjaga kemurnian, kesucian dan ke-
ilahi-an Islam dari tabiat manusia yang rusak budi pekertinya. Ketidak setujuan Soekarno dalam mengintegrasikan agama dan negara bukan untuk mendurhakai Islam
tetapi justru agar Islam dapat lepas dari belenggu yang menghalangi kemajuannya: “…maka kemerdekaan agama dari ikatan negara itu berarti djuga,
kemerdekaan negara dari ikatan anggapan-anggapan agama jang djumud, jakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham Islam
kolot jang sebenernja bertentangan dengan djiwa Islam sedjati, tetapi njata selalu mendjadi rintangan bagi gerak-geriknja negara kearah kemadjuan dan
kemoderenan. Islam dipisahkan dari negara, agar supaja Islam mendjadi merdeka, dan negarapun mendjadi merdeka. Agar supaja Islam berdjalan
sendiri. Agar supaja Islam subur, dan negarapun subur pula…”
5
Menanggapi pendapat Soekarno, Natsir mengatakan bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan agama dengan negara. Lebih lanjut, Natsir berkata; kemajuan adalah berhimpunnya kejayaan dunia dan kemenangan akhirat dan hidup duniawi
dengan hidup rohani tidak bisa dipisah dalam idelogi Islam,
6
walaupun demikian, Soekarno tetap teguh pada pendapatnya.
Dengan kerenggangan yang terjadi ketika itu, sungguh gagasan yang cerdas bagi Soekarno sebagai founding father memberi sebuah solusi pengikat sosial politik
yang dapat menjadi faktor kohesi yang mampu memberi ruang terhadap identitas
4
Iman Totok Rahardjo dan Herdianto WK ed, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 tahun Bung Karno, Jakarta: PT Grasindo, 2001, h.15.
5
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djakarta: Gunung Agung, 1965, h. 405.
6
Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 154.
nasional sekaligus melanggengkan entitas Indonesia. Faktor kohesi yang diistilahkan oleh Robert Bellah adalah sebagai “civil religion”. Jika idiom dari Bellah ini kita
tarik ke dalam perspektif keindonesiaan, akan tertuju pada perekat sosial yang kita kenal sebagai Pancasila.
Soekarno adalah seorang pemimpin bangsa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan intelektual tinggi, dengan ijtihad politiknya Soekarno menggali dari
berbagai arus pemikiran besar dari nasionalisme, sosialisme, kapitalisme dan paham keagamaan, yang disintesiskan menjadi apa yang disebut Pancasila.
7
Ia melakukan ini dengan penuh semangat, mengungkapkan gagasan-gagasan yang merupakan inti dari
pemikiran politiknya selama 20 tahun, yang dikemukakannya dengan beberapa tambahan dan beberapa tekanan baru, dalam bentuk lima prinsip dasar, Pancasila.
Pecetusan ide Pancasila berawal dari idenya tentang persatuan bangsa yang memiliki banyak aliran pemikiran, suku, agama dan keanekaragaman masyarakat. Ia
sangat yakin Pancasila sebagai landasan filosofi negara akan mampu merangkul semua aliran yang berbeda-beda dan memungkinkan terwujudnya persatuan, yang
begitu ia dambakan. Sehingga ia Soekarno ingin menetapkan asas bersama, agar dengan asas tersebut bangsa Indonesia dapat bersatu dan menerimanya. Soekarno
mengatakan dalam pidatonya: “…kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita harus
bersama-sama mencari persatuan philoshopisce grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju yang
saudara Yamin setuju, yang Ki Bagoes setuju, yang Ki Hadjar setuju, yang saudara Sanoesi setuju, yang saudara Abikoesno setuju, yang saudara Lim
7
Musa Asy’arie, NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan, Yogyakarta, LESFI, 2005, h. 43.
Koen Hian setuju, pendeknya kita semua mencari satu modus…”
8
Berkali-kali Soekarno mengupayakan pengembangan sebuah idiologi, termasuk juga apa yang dinamakan Marhaenisme, sebuah nama seorang petani yang pernah ia
ketemukan sekitar tahun 1930-an, yang kemudian oleh Soekarno di jadikan ideologi perjuangan atau sebagai counter ideology terhadap ideologi reaksioner yang
direpresentasikan oleh imperialisme Belanda ketika itu. Lebih dari itu, bahwa cita-cita marhaenisme bukan sekedar untuk mengusir penjajah Belanda, tetapi adalah untuk
mengenyahkan ideologi kapitalisme. Walaupun kemudian pemikirannya hanya menjadi suatu rumusan politik yang tidak menentu. Sebab ideologi marhaenisme disyaratkan
menjadi pembebas dan penebus segala kesengsaraan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme Belanda. Sekalipun memang, Marhaenisme pernah diterima secara
resmi oleh Partai Nasional Indonesia PNI sebagai idiologinya. Untuk kesempatan yang berbeda dalam sidang konstituante, Soekarno dalam
pidatonya mengatakan: “,…tetapi saya persoonalijk ada mempunyai doa kepada Allah swt., moga-
moga konstituante menerima pancasila sebagai dasar kekal dan abadi daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab saudara-saudara, sebagai tadi
saya katakan, saya tidak melihat jalan lain untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini diatas dasar lain dari pada pancasila…”.
9
Istilah Pancasila ditukil dari bahasa Sansekerta, yaitu; Panca artinya lima dan Sila artinya prinsip. Sebelum dibakukan sebagai dasar idiologi negara, Pancasila
8
Rahardjo dan Herdianto WK ed, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi, h. 25.
9
Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Jakarta: Media Prasindo, 2006, h. 89.
mengundang kontroversi seputar tentang siapa yang sesungguhnya merumuskan, karena sebelum Soekarno pidato pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Mumammad Yamin 1903-1962 pada sidang pertama BPUPKI lebih dahulu, tepatnya tanggal 29 Mei
1945, menawarkan lima prinsip untuk digunakan sebagai dasar negara, yaitu; Prikebangsaan, Prikemanusiaan, Priketuhanan, Prikerakyatan dan Kesejahteraan
Rakyat. Sementara Soekarno, dalam pidatonya,
10
menyampaikan prinsip-prinsip yang tidak jauh berbeda dari konsep Yamin, hanya saja yang membedakan penyusunan
atau urutan dari prinsip-prinsip tersebut. Prinsip tersebut menurut Soekarno ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Prikemanusiaan, Kesejahteraan
Sosial, jauh setelah empat prinsip tersebut dikemukakan secara panjang lebar, kemudian di susul dengan prinsip Ketuhanan. Seperti dalam pidatonya Soekarno
mengatakan: “saudara-saudara, apakah prinsip kelima ? Saya telah mengemukakan empat
prinsip:… Prinsip kelima hendaknya:… Prinsip Ketuhanan Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.,… Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip
kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu
sama lain…”.
11
Menanggapi tentang siapa yang pertama menggagas ide tersebut Pancasila,
10
Pidato tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
11
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia BPUPKI--Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Ghalia Indonesia
1995, h. 80-81. Keterangan ini juga dapat di lihat: Wawan Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali Pancasila “kumpulan pidato”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 28-29.
Bung Hatta, Ir. Rooseno, Baswedan, KH Masjkur, Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sayuti Melik dan Sunario. Para bapak negara-bangsa itu semua menyatakan bahwa
Pancasila itu dari Bung Karno.
12
Bahkan dengan kebesaran hatinya, Muhammad Yamin mengakui bahwa Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari
jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
13
Soekarno yakin, bangsa Indonesia akan besar dan maju jika kekuatan- kekuatan idiologi di Indonesia mau bersatu, seperti gagasan yang telah ditulis dalam
bukunya, Dibawah Bendera Revolusi, “…Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partj jang kini masih
“hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banjak partai-partai lain…itu masing-masing
mempunjai roch Nasionalisme, roch Islamisme, atau roch Marxisme adanja. Dapatkah roch-roch ini dalam politik djadjahan bekerdja bersama-sama
mendjadi satu roch jang besar, roch persatuan ?...”
14
Pancasila dalam Pemikiran politik Soekarno pada tataran praksis belum sepenuhnya dipahami dan diterima masyarakat. Sehingga yang sering muncul
dipermukaan adalah sikap eksklusifisme. Sikap inilah yang sangat rentan konflik yang kemudian mengakibatkan runtuhnya rasa persatuan, kebersamaan dan
keharmonisan bangsa Indonesia. Persoalannya sekarang adalah seberapa jauh kesungguhan kita terhadap
konsensus yang telah kita sepakati dalam Pancasila sebagai “kontrak sosial” yang
12
Slamet Soetrisno, Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, h. 3.
13
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dikutif dari M. Abdul Karim, “Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam”, Yogyakarta:
Surya Raya, 2004, h. 9.
14
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 3.
telah menginspirasi lahirnya Bangsa Indonesia ? Pancasila sebagai identitas kebangsaan membawa nilai integratif atau dalam istilah Soekarno, semua untuk
semua. Perdebatan mengenai penerapan dasar negara, tampaknya merupakan polemik
yang tak pernah berkesudahan. Selain perdebatan yang terjadi sejak BPUPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, persoalan ini muncul kembali melalui
perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD 1945, yang bergulir pada sidang tahunan MPR. Dua fraksi Partai Bulan Bintang F-PBB dan fraksi Partai
Persatuan Pembangunan F-PPP bersikeras untuk memasukan tujuh kata seperti apa yang pernah tertera dalam Piagam Jakarta.
Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara mengalami kemerosotan selama era reformasi. Hal ini menarik untuk ditanggapi, apalagi Otonomi Daerah telah bergulir,
seperti fenomena Aceh dengan Otonomi Khusus-nya, ini pun tidak menutup kemungkinan akan muncul fenomena politik yang memanipulasi sentimen
kedaerahan kesukuan dan aliran keagamaan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok tertentu.
Hal yang tidak menutup kemungkinan terjadi, Pancasila akan turut lengser dan hanya akan menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia, karena beberapa pengamat
menilai kecenderungan-kecendrungan politik akhir-akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan
resistance Pancasila sebagai dasar negara. Menurut pengamat politik, Arbi Sanit
menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman.
15
Jika dilihat fenomena sekarang ini, tidak terlalu salah jika Sanit berpendapat seperti itu,
apa lagi ketika Orde Baru lengser, era reformasi bergulir, meniscayakan munculnya kebebasan. Melalui kebebasan itulah, memungkinkan ideologi-ideologi yang pernah
di penjarakan oleh Orde Baru akan bebas berkeliaran mengguncang eksistensi Pancasila, yang menurut Din Syamsuddin sudah final.
Sebuah negara tidak bisa membiarkan perjalanan bangsa ke depan tanpa dasar negara yang kuat. Apalagi di sini Indonesia, sebuah negara yang paling heterogen di
dunia. Oleh karena itu, ancaman disintegrasi selalu merupakan ancamap baik rill maupun potensial, sehingga mau tak mau membicarakan konsep dasar negara
Indonesia dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara sangat relevan, agar dasar negara Pancasila tidak lagi menjadi slogan kosong dan alat legitimasi
kekuasaan sang rezim. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, dalam sekripsi ini penulis ingin
melihat lebih dalam tentang relevansi konsep dasar negara pancasila, dengan pendekatan pemikiran Soekarno.
15
Ahmad Suhelmi, dalam kata pengantar, Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S.M. Kartosoewirjo, tanpa kota: Darul Falah, 1999, h. xii.
B. Perumusan Masalah