BAB II BIOGRAFI SOEKARNO
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Soekarno, dilahirkan pada saat fajar kebangkitan Bangsa Indonesia mulai menyingsing, yaitu di masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan nasional
mulai terpupuk. Tepatnya pada kamis pon tanggal 18 Sapar 1831 tahun Saka, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Ia adalah anak
kedua dari kandungan Ibu Idayu Nyoman Ray. Ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodiharjo, sedangkan kakaknya bernama Soekarmini.
16
Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodiharjo, satu dari delapan orang anak Raden Hardjodikromo, adalah anggota
golongan bangsawan Jawa kelas priyayi, seperti ditunjukan oleh gelar “Raden” itu. Lahir di tahun 1869, Soekemi menerima unsur pendidikan Belanda pada sekolah
Pendidikan Guru Pertama di ibu kota Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur.
17
Di Singaraja Raden Soekemi Sosrodihardjo bertemu Idayu Nyoman Rai, yang menurut Soekarno adalah putri salah satu keluarga Bali dari kelas Brahmana.
Perkawinan mereka orang tua Soekarno, masih menurut Soekarno, mengalami kesulitan. Soekemi adalah orang Jawa yang agama resminya Islam, sekalipun ia
menjalankan Theosofi. Perkawinan mereka tidak direstui oleh orang tua Idayu dan akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalankan perkawinan lari.
16
Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 5.
17
John D. Leggi, Sukarno Biografi Politik, cet IV Jakarta: Sinar Harapan, 2001, h. 27.
Setelah menikah, Soekemi dan istrinya tetap tinggal di Singaraja sampai anak pertamanya lahir Soekarmini. Dua tahun setelah kakak Soekarno lahir, Soekemi
pindah ke Surabaya dan di sanalah Soekarno dilahirkan. Hari kelahiran Soekarno ditandai oleh angka serba enam, yaitu tanggal enam
bulan enam. Hal ini tergambar dalam pengakuannya, yang ditulis oleh Cindy Adams: “…Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang
Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras
laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka
memaafkan, akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala. Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jeruji besi, namun demikian
aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar...”
18
Soekarno seorang sosok yang sangat kompleks. Kekomplekan tersebut erat
kaitannya dengan persoalan bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga ada sekelompok orang yang melihat Soekarno sebagai figur revolusi, bapak proklamator dan penggali
Pancasila serta pemimpin bangsa Indonesia. Sebelumnya, Soekarno diberi nama Keosno Sosro Soekarno.
19
Tetapi ketika ia masih kanak-kanak kedua nama pertama itu dibuang dan selanjutnya sesuai dengan
kebiasaan Jawa, ia hanya bernama Soekarno.
20
Dalam masa kanak-kanak ia Soekarno hidup sebagai anak yang berpenyakitan, ia pernah menderita malaria,
disentri dan penyakit lainnya. Itulah sebabnya orang tuanya memindahkan Soekarno
18
. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cet VII Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001, h. 25.
19
. Sumber lain menjelaskan, menurut pengakuan Soekarno, nama kelahirannya adalah Kusno, yang kemudian diganti oleh ayahnya dengan nama Karna. Sebuah nama yang terinspirasi oleh seorang
pahlawan dari cerita klasik Mahabarata. Lihat Adams, Bung Karno, h. 32.
20
Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 28.
ke kota Tulung Agung, mengikuti kakeknya yang notabene ahli ilmu hikmah dan pandai mengobati penyakit. Sebagai seorang cucu, Soekarno sangat disayang dan
bahkan seringkali dimanjakan. Oleh karena itu, inilah salah satu faktor penyebab Soekarno menjadi anak yang keras kepala. Masa usia enam tahun, kegemaran
ayahnya nonton wayang kulit, sudah mulai menurun kepadanya dan bahkan seringkali ia menonton wayang kulit sampai larut malam.
Sebagai sosok yang kompleks, Soekarno banyak dipengaruhi oleh orang- orang di sekelilingnya, selain didikan kedua orang tuanya, Sarinah, seorang pembantu
keluarga dan yang juga ikut membesarkannya, ikut mewarnai corak kepribadiannya. Nama Sarinah, yang kemudian hari dipuja sebagai lambang wanita Indonesia;
khususnya sebagai wakil “rakyat kecil” yang membentuk sebagian besar negeri ini.
21
Soekarno mengakui, akan pengaruh tunggal paling besar terhadap sosok Sarinah. “Dialah yang mengajariku untuk mengenal cinta-kasih, mencintai rakyat jelata
common people, peny”.
22
Di samping itu, Wagiman seorang petani miskin yang tinggal di dekat Mojokerto, seringkali di datangi Soekarno hanya untuk mendengarkan cerita-cerita
wayang, tentang Kumbakarna, Arjuna, Gatotkaca, Kresna, Semar yang lucu namun perkasa dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu lengkap dengan keunggulan-
nya dan wataknya masing-masing. Hal yang perlu digarisbawahi akan keterpengaruh- annya dengan wayang ialah ia sering mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh
21
Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 29.
22
Adams, h. 35, juga dapat dilihat Leggi, Soekarno Biografi h. 29.
Bima. Sifat dari Bima yang seringkali dijadikan rujukannya ialah tentang keberanian, kejujuran, galak yang tak kenal kompromi, kasar, meremehkan otoritas yang mapan
dan siap membantah. Pendidikan formal Soekarno, pertama kalinya diperoleh di Sekolah Dasar di
Tulung Agung. Dalam lingkungan keluarga yang memang melek pendidikan, sehingga mengantarkan Soekarno dalam kalangan masyarakat papan atas, seperti
pendapat Badri Yatim yang mengatakan: “Salah satu hal yang menentukan dan menempatkan Soekarno dalam kalangan masyarakat-atas di Indonesia adalah
pendidikan”.
23
Sangat memungkinkan bagi Soekarno menjadi anak yang cerdas, melalui bimbingan tambahan pendidikan dari seorang ayah, yang kebetulan ia
seorang guru. Soekarno dipaksa untuk terus belajar, meskipun ia telah belajar berjam- jam, namun tetap dipaksa untuk terus belajar membaca dan menulis. Setamatnya dari
Sekolah Dasar, ia kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School HBS tahun 1915 dan lulus pada 11 Juni 1921
24
. Melalui jasa baik seorang teman, yang juga tinggal di Surabaya, yaitu Oemar Said Tjokroaminoto, Soekarno berhasil diterima sebagai
murid HBS sampai tamat. Tidak hanya itu, Soekarno pun tinggal dirumahnya untuk beberapa lama. Dengan mondoknya Soekarno di rumah tokoh sekaliber
Tjokroaminoto, kelak akan membawa arti yang menentukan untuk masa depannya, karena Tjokroaminoto yang menjabat ketua Organisasi Massa Nasionalis Sarekat
23
. Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 8.
24
. Bernhard Dahm yang dikutif oleh Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir, Jakarta: Teraju, 2002, h. 19.
Islam adalah tokoh pusat nasionalisme Indonesia pada waktu itu dan Surabaya merupakan tungku dapur, peny pemikiran dan aksi nasionalis.
25
Mondoknya Soekarno dirumah Tjokro, merupakan kesempatan baik untuk mendengar, berdialog mengenai banyak hal yang berkaitan dengan politik, karena
setiap saat rumah Tjokro tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Bahkan setelah Soekarno resmi menjadi menantu Tjokroaminoto
dengan mengawini putrinya, Oetari, ia mendapatkan kesempatan kemanapun untuk mengikuti Tjokro pergi dalam pertemuan-pertemuan. Ketika, Tjokro berpidato,
Soekarno dengan serius memperhatikan semua isi pidato Tjokro yang berkharisma itu. Makanya, tidak heran bila Soekarno mengatakan bahwa Tjokroaminoto sangat
mempengaruhi hidupnya, bahkan dialah orang yang mengubah seluruh hidupnya. Dari Djokroamonoto pula, Soekarno mendapat banyak pengetahuan tentang konsep
politik Islam. Setelah tamat dari HBS pada tahun 1921, sebenarnya Soekarno dapat
langsung terjun ke masyarakat, semisal menjadi elit politik, karena bekal yang didapat sudah cukup kuat. Akan tetapi, ia lebih memilih melanjutkan studinya di
Technische Hogere School THS, yang sekarang ITB Institut Tekhnologi Bandung. Masa-masa ia menjadi mahasiswa hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk
membaca buku mengenai nasionalisme, marxisme, persoalan-persoalan internasional
25
Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 40.
dan sejarah yang tidak dapat diperoleh dari bangku kuliah.
26
Dalam mengarungi kegiatannya itu membaca, Soekarno merasa seakan bertemu dan berdialog secara
langsung dengan banyak tokoh, seperti: Gladston, Beatrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Beuer, Karl Marx, Frederich Engels, Lenin, Jean Jacquas Rousseau,
Jean Jaures, Danton dan Voltaire.
27
Walau keadaannya serba kekurangan miskin, namun hasratnya untuk belajar dan membaca mendapatkan dukungan dari
lingkungan tempat ia tinggal, karena ia berada dirumah seorang “raja yang tidak dinobatkan” H.O.S. Tjokroaminoto, termasuk istri Tjokro sangat memperhatikan
disiplin pelajar-pelajar yang tinggal di rumahnya. Berkaitan dengan keberagamaan Soekarno, sejak kecil ia sangat dipengaruhi
oleh latar belakang keagamaan kedua orang tuanya, dalam konteks agama Jawa, oleh Clifford Geertz dapat dimasukan dalam kategori “varian abangan”:
“…sistema keagamaan desa lazimnya terdiri dari suatu integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam…”
28
Ketiga unsur tersebut diatas diistilahkan dengan sinkritisme. Dalam kebudaya-
an jawa sinkritisme ketika itu sangat menonjol. Dengan sifat sinkritisme itulah memungkinkan Soekarno terpengaruh, selain orang tuanya juga lingkungannya, yang
memadukan apa yang baik dari dalam dirinya sendiri dengan apa yang dianggapnya baik dari luar. Pemahamannya terhadap Islam lebih banyak melalui buku-buku yang
26
Ong Hok Ham, Sukarno: Mitos dan Realitas, dalam Yanto Bashri dan Retno Suffanti ed, “Sejarah Tokoh Bangsa”, h.7
27
Adams, Bung Karno, h. 21.
28
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, h. 6.
dibaca, disamping itu ia pun acapkali berdialog atau diskusi tentang keislaman oleh tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan dan bahkan ketika ia belajar di
Bandung, ia bertemu dan berkenalan dengan A. Hassan, seorang tokoh pemikir Islam dan pendiri organisasi Persatuan Islam Persis. Dari perkenalan itulah kerapkali
terjadi percakapan dan dialog mengenai berbagai masalah, termasuk menyoal tentang Islam.
B. Aktivitas dan Karir Politik