Ideologi dan Konsep Dasar Pemikiran Politik Soekarno NASAKOM

C. Ideologi dan Konsep Dasar Pemikiran Politik Soekarno NASAKOM

Atas dasar konsep kebangsaannya, Soekarno sering disebut manusia sintesa, karena ia merupakan personifikasi dari tiga aliran idiologi yang berkembang di Indonesia ketika itu: Nasionalisme, Islam dan Komunisme. 34 Menurut Hatta dan Sjahrir, idiologi Soekarno bersifat “Soekarnois”. Sementara yang menjadi dasar pemikiran politiknya yaitu berangkat dari penentangannya terhadap kapitalisme dan imperialisme. Kebencian ini dapat dilihat melalui kritikannya, menurut ia kapitalisme adalah: “…sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi…kapitalisme timbul dari cara priduksi yang tidak sampai ketangan kaum buruh, melainkan jatuh didalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi capital. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelending…” 35 pemiskinan. Kritik selanjutnya juga menghujani imperialisme, karena ia melihat bahaya imperialisme yang menyebabkan terjadinya segala kesengsaraan bangsa, pemiskinan dan bahkan ruang lingkup kebebasan maupun pembangunan di Indonesia sangat dibatasi. Ia mengidentikan imperialisme dengan kolonialisme, menurutnya, “imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengerian. Ia imperialisme, peny bukan B B pejabat, bukan pemerintah, bukan gezag penguasa, bukan badan apapun juga. Ia adalah satu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi 34 Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 48 35 Soekarno, Indonesia Menggugat: Pledoi Bung Karno dihadapan Pengadilan Kolonial Belanda, Jakarta: DPP Pakorba, 2001, h. 7-8. ekonomi bangsa atau negeri”. 36 Pandangan hidupnya selalu untuk perjuangan mempersatukan bangsa. Oleh karena itu, upaya memerangi kapitalisme dan imprealisme, Soekarno mencoba mengawinkan tiga entitas idelogis yang berkembang ketika itu, yakni Nasionalisme, Islam dan Komunisme atau yang kemudian lebih dikenal istilah NASAKOM. Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa oleh Badri Yatim, dibagi menjadi dua pengertian, yakni: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. 37 Bangsa dalam pengertian politis inilah yang kemudian oleh Soekarno dijadikan sebagai konsep dasar nasionalisme. Untuk merumuskan konsepnya nasionalisme, Soekarno mengutip pendapat Renan, bahwa syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, orang-orang merasa diri bersatu dan mau bersatu; menurut Otto Bauer, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib; dan menurut Ki Bagus Hadikusumo, bangsa adalah persatuan antara orang dan tempat. 38 Dari ketiga pendapat tersebut, oleh Soekarno dipadu menjadi satu pengertian, sehingga diakuinya sebagai konsepnya, bahwa nasionalisme ialah rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib serta persatuan antara orang dan tempat. Konsep Islamisme yang dimaksudkan Soekarno dapat dilihat dari pemaparan- nya, sebagai berikut: 36 Soekarno, Indonesia Menggugat, h. 8. 37 Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 57. 38 Semua ini telah terangkum dalam Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 60. “Islam jang sedjati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam jang sedjati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme jang luas-budi dan marxisme jang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim;… kita sama sekali tidak mengatakan jang Islam itu setudju pada Materalisme atau perbendaan…. Kita hanja mengatakan, bahwa Islam jang sedjati itu mengandung tabiat-tabiat jang sosialistis…”. 39 Islam yang dipahami Soekarno lebih bercorak rasional-liberal, gagasan rasionalisasi Islamnya timbul karena banyak mempelajari karya-karya orientalis pada waktu pembuangannya di Ende. Soekarno mulai berani melakukan reinterprestasi nilai-nilai dalam Islam, sehingga pemahamannya sangat berbeda dari tokoh Islam lainnya. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai marxisme juga dikandung dalam Islam, seperti prinsip-prinsip kesamarataan, demokrasi, baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Akibat cara pandang yang berbeda, Soekarno selanjutnya mendapat kritikan yang sangat tajam oleh Abdul Qahhar Mudzakkir dalam sebuah karyanya yang diberi judul, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menudju Persaudaraan Manusia, Mudzakkir mengatakan: “Soekarno memang tidak mengenal Agama Islam, peny, sebab Agama hanja diteropong oleh Soekarno dari djauh, dan Agama hanja didjadikan “topeng politik” oleh Soekarno…” 40 Lebih pedas lagi, Mudzakkir berkata tentang Soekarno: “Soekarno tidak mengenal baik Islam Soekarno hanja melihat Islam dari luar Soekarno hanja mengenal kulitnja Islam Soekarno hanja mengenal nama Islam, menjebabkan Soekarno tidak tahu Nasionalisme sedjati…”. 41 39 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 10. 40 Abdul Qahhar Mudzakkir, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menudju Persaudaraan Manusia, Sulawesi Selatan: toACCAe Publishing, 2005, h. 65. Kritikan tersebut sebetulnya tidak ada persoalan yang signifikan, cuma persoalannya terletak pada cara dan pendekatan dalam rangka memahami Islam. Soekarno lebih mendekatkan pada rasio dalam memahami Islam. Seperti, oleh Soekarno teori marxisme sudah dimodifikasi dalam bentuk yang lebih realistis dan toleran, marxisme yang ada di Indonesia adalah marxisme yang mempercayai keberadaan Tuhan, karena ia menggunakan teori marxisme hanya sebagai alat pergerakan perjuangan melepas rakyat dari penderitaan belenggu feodal. Munculnya ide pengawinan tiga ideologi ini, juga berawal dari rasa kekecewaan Soekarno atas terjadinya perpecahan di tubuh SI Syarikat Islam, yang berakhir dengan berdirinya Partai Komunis Indonesia. Jika dipotret secara kritis, kondisi objektif pada waktu itu menunjukan bahwa ideologi komunisme 42 merupakan ideologi yang memiliki kekuatan paling nyata di dunia dalam mendobrak belenggu rezim kapitalisme dunia. Menyaksikan situasi internal dari tokoh pergerakan yang sedang dilanda konflik, karena masalah-masalah ideologi Soekarno mengingatkan: “…pergerakan marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatja kepada pergerakan jang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan jang berazas ke- Islam-an. Malah beberapa tahun jang lalu, keinginan ini sudah mendjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, mendjadi pertengkaran saudara… bahwa dalam pertengkaran jang demikian itulah letaknja kekalahan kita…”. 43 41 Qahhar Mudzakkir, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, h. 65. 42 Di Indonesia ajaran komunisme mulai masuk sekitar tahun 1913, tepatnya menjelang perpecahan perang Dunia I, yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet. ia adalah seorang Belanda yang sebelumnya pemimpin organisasi Buruh angkatan dan anggota Social Democratische Arbeiders SDAP yang berhaluan marxisme. 43 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 17. Atas dasar itulah, Soekarno mencoba memberikan tawaran alternatif baru bagi wadah pergerakan perjuangan nasional Indonesia, dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia PNI pada tanggal 4 Juli 1927 yang berideologikan Marhaenisme. 44 Soekarno mengidentifikasikan marhaenisme sebagai marxisme yang disesuai- kan dengan kondisi Indonesia. Maka, ternyata ia terjebak pada kesulitan berfikir secara konsisten dalam alur pikir marxisme, akibatnya teori marhaenisme menjadi utopis dan kehilangan arah. 45 Hal tersebut berawal dari sebuah perbedaan subtansial masing-masing konsep, seperti marxisme akan melahirkan masyarakat sosialis dan pada tahap berikutnya akan menjadi masyarakat komunis, maka meniscayakan negara akan lenyap. Berbeda dari konsep marhaenisme Soekarno, negara sangat diperlukan. Hal ini pernah tertuang dalam amanat Pemuda Marhaenisme, pada 20 Desember 1966; “…,bahwa negara nasional adalah mutlak perlu bagi wadah, …negara adalah wadah. Negara apapun, negara adalah wadah…”. 46 Apalagi jika dilihat dari kacamata sosiologis, marhaenisme versi Soekarno tidak sesuai yang dicita-citakan sosialisme. Seorang Marhaen dari keterangan Soekano, bukanlah seseorang yang tidak memiliki alat-alat produksi tetapi dalam ukuran serba kecil, tanah kecil, modal kecil. Seorang marhaen sulit dinamakan 44 Marhaenisme adalah nama seorang petani miskin yang diketemukan oleh Soekarno pada waktu ia masih studi di Bandung. Lebih lengkap baca: Adams, Bung Karno, h. 87. 45 Wibowo, Marhainisme Ideologi, h. 78. 46 Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Bung Karno; Gerakan Massa dan Mahasiswa [Kenangan 100 Tahun Bung Karno], Jakarta: PT Grasindo, 2001, h. 86. seorang sosialis dan lebih tepat masuk kedalam Petit Gourgeoisie atau berjuasi kecil. 47 Walaupun demikian, bukan berarti konsep Marhaenisme merupakan sebuah konsep pemikiran semu yang tak berarti sebab dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip marhaenisme juga terangkum dalam Pancasila. Karena ide sentral dari marhaenisme yang mencakup aspek dari demokrasi politik dan ekonomi ialah partisipasi rakyat. Dengan begitu, dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi setiap rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam system politik, begitu halnya dengan demokrasi ekonomi, setiap orang memiliki hak yang sama atas kerja yang sama. Di sini, Soekarno memberi penegasan terhadap konsep sosio- nasionalisme dan sosio-demokrasi, yakni untuk membebaskan seluruh rakyat dari belenggu kemiskinan dan kesengsaraan. Hal ini diungkapkan oleh Soekarno yang dikutip oleh Yulianto Sigit Wibowo. Dalam pernyataannya, Soekarno mengatakan: “sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen dan menolak tiap bentuk borjuasi yang menjadi sebabnya kepincangan ekonomi masyarakat. Sosio- nasionalisme adalah suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki”. 48 Disamping itu, konsep marhaenisme telah diterima oleh kader-kader PNI yang didirikan Soekarno sebagai ideologi. Soekarno menjelaskan keadaan masyarakat Indonesia dan kenyataan yang terjadi, bahwa masyarakat Indonesia seringkali tertindas dan dihisap oleh kapitalistik, imprealisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, 47 Ignas Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas, 2000, h. 238. 48 Wibowo, Marhainisme Ideologi, h. 66. menurut Soekarno salah satu alat yang paling epektif untuk mendobrak penindasan tersebut ialah dengan menggunakan teori yang diidentikan dengan teori marxisme. Sebab marhaenisme menolak segala bentuk borjuasi yang merupakan produk masyarakat kapitalis. Penolakan terhadap bentuk borjuasi ini disebabkan oleh kecenderungan dari borjuisme dalam menciptakan kesenjangan masyarakat, yang dalam istilah Soekarno disebut sebagai kepincangan masyarakat.

BAB III KONSEP DASAR NEGARA