Konsep Ketuhanan NILAI-NILAI DASAR NEGARA

bangsa, satu kerangka nasional dalam mewujudkan cita-cita bersama baca: Nasional. Setiap selompok aliran bisa menafsirkan sendiri-sendiri, namun demikian bukan berarti harus menghilangkan identitasnya. Dalam artian, penafsiran tunggal tidaklah mungkin, karena jika itu dilakukan, maka sudah pasti akan terjadi ketegangan dan konflik terulang kembali. Atas dasar itulah, Soekarno sebagai penggali Pancasila memberikan sebuah rumusan diantara butir-butir yang terkandung dalamnya. Hal yang perlu digaris- bawahi mengenai susunan atau urutan Pancasila resmi, tidak sama dengan urutan yang dikemukakan dalam pidato Soekarno. Urutan tersebut baginya bukan hal yang prinsip, tetapi yang lebih utama ialah subtansi masing-masing sila.

F. Konsep Ketuhanan

Dalam Pancasila mengandung konsep Ketuhanan, seperti tergambar dari sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berasal dari kata Tuhan, Sang Pencipta segala sesuatu yang ada di alam raya ini. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tidak sekutu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Sila pertama ini merupakan karakteristik dari bangsa Indonesia itu sendiri, karena sejak dulu bangsa Indonesia beratus-ratus tahun lamanya sudah mengenal sang pencipta. Karena pada hakekatnya manusia adalah mahluk religius. Butir ini sebelumnya berada pada urutan kelima dalam pidato Soekarno. Dalam pidatonya ia mengatakan: “Marilah kita menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan , tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menyembah Tuhannya secara leluasa. Marilah kita amalkan, jalankan agama dengan cara berkeadabaan. Apakah cara yang berkeadabaan itu ? ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat menghormati satu sama lain”. 79 Dalam kesempatan lain, Soekarno mengatakan: “Nabi Muhammad saw., telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamhcid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukan verdraagzaamhcid, itu ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”. 80 Ia menginginkan seluruh bangsa Indonesia memiliki keyakinan beragama. Dengan itu, bangsa akan hidup dalam keadaan harmonis, kondusif, toleransi dan saling bahu-membahu satu dengan yang lainnya. Maka tak salah jika Soekarno memasukan sila ini ke dalam Pancasila. Karena yang membuat Pancasila ini unik dan khas adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah letak dari ruh Pancasila, yang menggambarkan dari kemajemukan keberagamaan di Indonesia. Oleh karena itu, bila menjalankan agamanya masing-masing dan toleransi dijunjung tinggi niscaya sila-sila lain dapat terwujud dengan baik. Tentang keberagamaan masyarakat secara umum, melalui pendekatan sosiologis, Soekarno membentangkan tingkat keberagamaan masyarakat menjadi lima fase. Yaitu fase pertama, Tuhan manusia polytheisme, peny menurutnya Tuhan 79 Dikutif dari Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cet. VII, Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001, h. 331. 80 Soekarno, Pancasila Azimat Revolusi: Nasakom, Pancasila, Manipol Usdek, Trisakti Tavip berdikari, Ciputat: Totalitas, tanpa tahun, h. 50. digambarkan, seperti “Tuhan guntur”, “Tuhan air sungai”, “Tuhan angin”. Manusia pada fase ini hanya sebatas merasakan apa yang terjadi pada fenomena alam. Melangkah fase kedua, manusia hidup dari peternakan totonisme, peny, karena masyarakat ketika itu berpendapat ia dapat melangsungkan hidupnya disebabkan oleh binatang, yang telah memberi susu, daging dan lain sebagainya. Fase ketiga, manusia hidup dari pertanian. Masa ini pertanian merupakan, istilah Soekarno onzekere factor, tergantung dari iklim. Masyarakat ini dapat dicirikan, ketika sudah menanam tanaman kemudian mereka masyarakat memohon dengan memberi sesaji. Inilah corak masyarakat agraris. Pada masa fase ini pula, “Tuhan” diwujudkan seperti manusia. Dalam ilmu pengetahuan, menurut Soekarno dinamakan anthropomorph 81 , yang berarti bentuk manusia. Selanjutnya, Soekarno menggambarkan fase keempat, dalam fase ini masyarakat sudah mulai kreatif, mereka sudah dapat membuat jarum, sabit, bajak walaupun masih sangat primitif. Dengan keadaan seperti itu, ada kegalauan dalam diri masyarakat, dibalik semua ini siapa penentu dari alam ini, merekapun menemukan jawabnnya yaitu akal. Oleh karena akallah yang menjadi penentu hidup mereka. “Tuhan” di fase ini tidak lagi berwujud. Dan fase terakhir, fase kelima industrialisme, zamanpun sudah modern segala sesuatu untuk kebutuhan hidup terdapat alat-alat canggih, komunikasi jarak jauh tanpa harus bertemu orangnya, membuat petir sampai menundukan bulan. Apa yang tidak bisa dilakukan manusia 81 Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta: Media Perssindo, 2006, h. 137. pada fase ini. Sehingga dalam fase ini seperti yang dikatakan Nietzsche “Tuhan telah mati”. Maka tak heran jika gambaran masyarakat yang dipaparkan Soekarno ini, “Tuhan ialah diri manusia itu sendiri”. Walaupun ia sendiri menolak pendapat ini. Seperti yang digambarkan Soekarno di atas, sebelum manusia mengenal agama, mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Jika demikian tingkat keberagamaan masyarakat yang dibentangkan Soekarno, lalu bagaimana dengan keberagamaan Masyarakat Indonesia ? Menurutnya: “…pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme,…tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama sekali ialah agraris, sebagian nejverheid, dan baru melangkah ke alam industrialisme”. 82 Tampaknya konsep ketuhanan yang dimaksud Soekarno bukanlah ketuhanan dalam perspektif Islam. Tuhan dalam konsepnya lebih bersifat sosiologis, sehingga konsep Tuhan disini sangat relatif. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lahir interpretasi-interpretasi lain yang beragam. Hal yang perlu digarisbawahi ialah Soekarno tidak mengatakan refleksi keagamaan atau begrip mereka masyarakat salah atau tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti halnya muslim lainya. Soekarno hanya menitik-tekankan bahwa masyarakat Indonesia seluruhnya mengakui 82 Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 141. adanya “Tuhan”. Bagi Soekarno yang membedakan corak keberagamaan masyarakat atau fase-fase tersebut diatas hanyalah begrip manusia yang berbeda-beda, Tuhan tetapTuhan. Sementara Soekarno sendiri meyakini bahwa agama yang dapat diterima oleh akalnya ialah Islam. Sebagaimana dalam suratnya yang disampaikan kepada A. Hassan, seorang tokoh pendiri Persatuan Islam Persis. “Tidak ada agama yang lebih rasional dan simplistis dari pada Islam”. 83 Sekalipun Soekarno menolak Islam sebagai dasar negara, akan tetapi ia berusaha mengakomudir pikiran-pikiran yang berkembang dikalangan umat Islam. ia pun meyakini bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan yang tidak bisa didefinisikan dan tidak berwujud. Oleh karena kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama, maka Ketuhanan Yang Maha Esa merupakah keharusan masuk dalam Pancasila sebagai dasar negara. Sebagaimana pidatonya mengatakan: “pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini… kalau kita tidak memasukan sila ini, maka kehilangan salah satu leistar yang utama. Sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini, …itulah sebabnya maka di dalam Pancasila, elemen Ketuhanan ini dimasukan nyata dan tegas”. 84 Meskipun Endang Saifuddin Anshari mengatakan, bahwa prinsip Ketuhanan Soekarno itu didapat dari-atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari 83 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djakarta: Gunung Agung, 1965, h. 327. 84 Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 144-145. pemikir Islam yang bericara mendahului Soekarno dalam Badan Penyelidik itu. 85 Maka dengan demikian jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan “prima causa” atau sebab pertama itu, sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidu’s- shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia. 86 Hal senada juga pernah disampaikan Cak Nur Nurcholish Madjid dalam bukunya “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” memandang Pancasila, melalui kias atau analogi sebagai “kalimat persamaan” kalimah sawa. Pancasila, sebagai social contract, dan aturan main yang merupakan kesepakatan yang mengikat seluruh masyarakat, antar golongan, untuk mendirikan sebuah negara, membangun masyarakat politik bersama. 87 Demikian, menurut Azyumardi Azra bahwa. Semua sila yang terkandung di dalam Pancasila serasi dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan manusia untuk hanya percaya kepada satu Tuhan, seperti yang biasa dengan gambelang terlihat pada kalimat syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk bersatu, untuk saling mengasihi, dan bermusyawarah dalam urusan social dan politik. Disamping itu, Islam sangat menekankan tegaknya keadilan social. 88 85 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945-1959, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h. 23. 86 Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 23. 87 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina, 1999, h. 75. 88 Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000, h. 82. Dari struktur Pancasila, sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menempati posisi yang paling tinggi. Oleh karena itu, tak heran jika Bung Hatta mengatakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa “menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain”. 89 Dengan demikian, sila pertama ini mempunyai hubungan organik dan tidak bisa dipisah-pisah dengan sila-sila lainnya.

G. Kemanusiaan