Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat dalam makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk memenuhi dua naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu : nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sini muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu manusia membutuhkan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu. Sebagai mahluk berakal, manusia membutuhkan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya itu. Sebagai mahluk beragama manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan menyempurnakan agamanya itu. 1 Segi kehidupan manusia yang diatur Allah tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok : pertama, hal-hal Penciptaannya. Aturan tentang hal ini disebut “hukum ibadat”. Tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara 1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004, h. 2. 2 Allah dengan hamba-Nya yang disebut juga hablun min Allah. Kedua, berkaitan dengan hubungan antar manusia dengan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut “hukum muamalat”. Tujuannya menjaga hubungan antara manusia dan alamnya atau disebut juga “hablun min al naas”. Kedua hubungan ini harus tetap terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah. 2 Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya. Harta benda yang diberikan Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Pemberi, juga antara lain untuk perekat hubungan persaudaraan atau ukhuah Islamiyah dam insaniyah. Berkaitan dengan hal yang disebut terakhir ini, seseorang yang kebetulan mendapat harta berlebih dianjurkan bahkan di satu kali diwajibkan untuk memberikan sebagian kepada saudaranya yang sedang membutuhkan. Di samping itu, dianjurkan pula untuk menghadiah- 2 Ibid . h. 3. 3 hadiahi diantara anggota masyarakat meskipun masing-masing pada dasarnya sedang tidak membutuhkannya. 3 Harta warisan bukan berarti tidak menjadi permasalahan bagi keluarga, karena sifat manusia yang memiliki naluri untuk bertahan hidup dengan cara apapun walau terkadang cara tersebut tidak dibenarkan oleh syari’at Islam. Berbagai kemungkinan timbulnya permasalahan disebabkan harta telah diantisipasi dengan adanya aturan-aturan ketat di bidang harta, seperti dapat dilihat dalam aturan jual-beli, utang-piutang, aturan hibah, wakaf, wasiat, mawaris dan sebagainya. Silang sengketa tidak dapat dihindarkan bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Namun, bilamana di satu kali silang sengketa tidak dapat dihindarkan, agar tidak berakibat putus atau retaknya hubungan persaudaraan, Islam mengajarkan supaya pihak-pihak yang bersengketa mampu mengendalikan emosi sehingga bersedia untuk berdamai. Adanya anjuran untuk berdamai adalah sengketa harta tidak berujung pada jauhnya jarak hubungan persaudaraan. Untuk mewujudkan perdamaian itu masing-masing pihak perlu menampakkan kesediannya untuk mengalah yang pada hakikatnya adalah untuk menang melawan nafsu serakah. 4 Di antara hal-hal yang sangat sering menimbulkan sengketa adalah masalah harta warisan. Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa 3 Ibid, h.4 4 Ibid ,h.4. 4 di kalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Dalam hukum Islam, pembagian harta warisan telah diatur dalam ilmu faraidh . Dalam ilmu ini telah diatur secara sistematis siapa saja yang berhak menerima harta warisan dan kadarnya. Aturan mengenai siapa saja yang akan mendapatkan harta warisan di antara kaum kerabat dekat pada prinsipnya antara lain didasarkan atas adanya sikap di antara kerabat itu untuk hidup serugi dan selaba, senasib dan sepenanggungan. Seseorang, jika senang menerima harta warisan, maka hendaklah juga ia mau merugi, artinya, ia diberi harta warisan, karena rela membantu si mati di masa hidupnya atau mau membantu keluarga yang ditinggalkannya. Dengan demikian berarti, selain antara ahli waris dapat saling mewarisi, juga saling memperhatikan nasib temannya. Begitulah antara lain landasan filosofis hukum waris. 5 Oleh karena itu, sikap mengintai kematian anggota kerabat untuk dapat mewarisi hartanya, tidak sejalan dengan ajaran Islam tersebut diatas. Namun hal seperti itu sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang masih rendah pengetahuan dan kesadaran hukumnya. 6 Bagi ummat Islam melaksanakan hukum-hukum Islam, Terutama masalah kewarisan adalah suatu keharusan, selama belum adanya nash-nash yang menunjukkan ketidak wajibannya. Namun 5 Ibid, h.5. 6 Satria Effendi M. Zein Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Jakarta : Kencana, 2004 h. 233 5 dalam masalah waris, nash-nash yang berkaitan dengan hukum membagi kewarisan tidak disebut, dan yang disebut adalah keharusan menetapkan besar kecilnya masing-masing bagian. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kewajiban disini, adalah ketika seseorang menyerahkan masalah kewarisan secara menurut faraidhilmu waris. 7 Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang masih bingung tentang masalah waris, bahkan banyak yang menjadi sengketa dalam warisan. Seperti halnya terjadi di Pengadilan Agama Cirebon, pada Putusan Pengadilan Agama Cirebon terdapat sengketa masalah waris dalam putusan no. 0028Pdt.P2008PA.Sbr. Hakim menetapkan putusan dengan memberikan bagian harta waris kepada ahli waris pengganti melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, dalam hal ini penulis menemukan kejanggalan pada putusan tersebut karena tidak sejalan dengan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indosesia ayat 2 yang berbunyi : “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.” Hal inilah menurut penulis menjadi bagian yang menarik dan perlu ditinjau serta dikritisi, hal-hal apa saja yang melatarbelakangi putusan tersebut. Dan penulis akan menuangkannya di dalam tugas akhir dalam rangka memenuhi standar kelulusan Strata satu S1 dengan judul “Status Hukum Ahli Waris Pengganti 7 Abta, Asyari. Djunaidi Abd. Syakur Ilmu waris Al- Faraidl Surabaya : Hikmah Perdana h. 6 Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Sumber,Cirebon”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah