Mengenai Arti Mawalli Dalam Al-Qur’an.

38 penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris seperti yang telah diuraikan diatas, dan penafsiran ini agaknya telah menjadi suatu sumber Hukum Kewarisan di Indonesia yang tertuang dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.

B. Mengenai Arti Mawalli Dalam Al-Qur’an.

Dalam hukum kewarisan Islam dalam Al-Qur’an ada ayat yang mengatur mengenai istilah wallidan dan aqrabun juga istilah mawali, yaitu dalam QS. An- Nissa ayat 33. Mawali itu adalah ahli waris, sedangkan yang dimaksud si pewaris disini ialah ayah atau ibu atau seseorang dari aqrabun. Jika ayah atau ibu yang mati maka istilah-istilah itu mempunyai timbalan berupa anak, anak yang mati atau pun anak yang menjadi ahli waris karena masih hidup. Jika tidak anak-anak, baik anak-anak yang mati terlebih dahulu maupun anak-anak yang masih hidup pada saat matinya si pewaris, maka si pewaris itu bukan ayah tetapi seorang daripada aqrabun. 61 Kepada anak-anak yang masih hidup telah mesti diberikan nasibnya sebagai ahli waris, tetapi disamping nasib bagi anak-anak ini mesti pula diberikan nasib kepada nawali yang diadakan Allah bagi si fulan, dengan kata lain mawali si fulan ikut serta sebagai ahli waris bagi ayah dan bukan si fulan sendiri. 62 61 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadits,Jakarta: Tintamas, 1982, hal. 28. 62 Ibid, h.28. 39 Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringi dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Hanya fulan tersebut mempunyai mawali yang juga berhak mewarisi. Dalam keadaan yang menjadi pewaris adalah orang tua ayah atau ibu maka menurut Hazairin, ahli waris adalah anak dan atau mawali anak. Jika anak-anak itu masih hidup, maka tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan surat An-Nissa ayat 11, sedangkan dalam ayat 33 ini, ada pula mawali dari anak yang berhak menjadi ahli waris. Mawali disini hanya mungkin dipikirkan sebagai keturunan dari anak yang telah meninggal terlebih dahulu. Demikian dikatakan, karena dengan disebutnya nama ayah atau ibu maka otomatis ahli warisnya adalah anak. Tidak ada kemungkinan lain selain daripada mengartikan mawali dengan keturunan dari anak yang telah meninggal dunia, karena hanya dalam keadaan inilah posisi ayah sebagai pewaris tidak akan bertukar. Ini lebih dikuatkan lagi karena Allah dalam ayat ini menggunakan kata ja’ala yang semakna dengan khalaqa untuk menetapkan mawali, yaitu dengan menciptakan dari tidak ada menjadi ada. 63 Dalam kewarisan, penciptaan tersebut hanya bisa dibayangkan melalui kelahiran, sehingga ada hubungan antara pihak yang diangkat menjadi mawali dengan ahli waris tersebut. 63 Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab , Jakarta: INIS, 1998, hal. 55-56. 40 Keadaan ini beliau terapkan kepada ahli waris lainnya. Jika pewaris adalah saudara aqrabun, maka ahli warisnya adalah saudara dan mawali saudara, yaitu saudara keturunan itu sendiri. Adapun ayah dan ibu, maka mawali-nya naik ke atas, yaitu orang tua dari ayah dan orang tua dari ibu leluhur derajat satu serta keturunan-keturunan mereka yang merupakan kerabat garis sisi kedua. 64 Mahmud Yunus tidak sepakat dengan Hazairin dalam mengartikan mawalli Q.S. An-Nisa : 33 sebagai ahli waris pengganti. Sebab meskipun arti mawalli jama’ mawla itu banyak, seperti: yang mempunyai, tuan, budak, yang memerdekakan dan lain-lain, namun dalam ayat tersebut arti mawalli, sebagaimana sudah disepakati para mufassir, ialah: anak, ahli waris, ashabah atau yang mempunyai hak dalam peninggalan. 65 Argumen pokok yang dipergunakan Hazairin dalam penafsiran terhadap ayat mawalli dalam surat an-Nisa:33 adalah bahwa ilmu bahasa Arab baru dimulai oleh ‘Ali Ibnu Abi Thalib dengan berpedoman pada bahasa Al-Qur’an kitab dari Yang Maha Agung. Hazairin menolak arti mawalli yang mujmal yang diartikan sebagai “tuan yang memerdekakan budak”, “budak yang dimerdekakan” dan “ashabah” , sama halnya menolak artinya yang lain, yaitu “bekas anak angkat” yang berlaku dalam adat Arab sebagaimana dimaksud dalam surat al- Ahzab: 5 64 Ibid., hal. 56. 65 Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’aniy, Beirut: Dar Ihya’it-Turats al-‘Arabiy, t.th, juz V, h.21. 41 ☺ Artinya: “Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara seagama dan maula- maulamu” yang kemudian dicabut dengan surat al-Azhab:4 “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri” . Jelasnya lembaga pengangkatan anak yang berlaku dalam hukum adat Arab yang berkaitan bahwa anak angkat yang selalu laki-laki itumenjadi ahli waris si pengangkat, dihapus oleh Al-Qur’an. Alasan penolakan itu ialah: 66 1. Lembaga perbudakan sudah dihapus oleh kesepakatan internasional semenjak pertengahan abad XIX 1860 dan harus tidak selaras lagi dengan Al-Qur’an. 2. Lafadz ‘ashabah dalam hadits Abu Hurairah pengertiannya telah terhapus dengan turunnya ayat-ayat waris dalam surat an-Nisa, sebab hadits tersebut mengandung pengertian klan yang tidak selaras dengan reformasi hukum dalam al-Qur’an. Hazairin menyatakan bahwa fatwa Ahl al-Sunnah dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan patrineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum 66 Al Yasa Abubakar, hal. 58. 42 berkembang sehingga mujtahid-mujtahid Ahl al-Sunnah tersebut belum mungkin memperoleh bahan perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan yang dapat dijumpai dalam berbagai bentuk masyarakat, karena wajar kiranya terjadi konflik antara sistem kewarisan yangdihasilkan Ahl al-Sunnah tersebut dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat di Indonesia. Konflik-konflik tersebut sebetulnya bukanlah suatu yang disengaja oleh al-Qur’an, tetapi timbul karena pemahaman manusia belaka. 67 Untuk mengatasi keadaan itu, Hazairin berusaha mencari kebenaran hakiki yang sesuai dengan kemauan Allah, dari ayat-ayat kewarisan itu, berdasar keyakinan bahwa kemauan Allah yang juga bersifat Tauhid, tentunya menginginkan satu macam kebenaran saja terhadap kemauan-Nya, suatu kebenaran yang tidak akan diperselisihkan karena merupakan kebenaran final. 68 Menurut Hazairin, kebenaran hakiki di bidang ini dapat didekati dengan cara menghimpun semua ayat dan Hadits yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya sebagai satu kesatuan yang saling menerangkan. Dalam kegiatan ini, hasil temuan ilmu Antropologi dimanfaatkan sebagai kerangka acu Frame of Reference dapat membantu menjelaskan pengertian dan konsep- konsepnya. Caranya, sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat manusia 67 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1982, h.2. 68 Ibid , h.3. 43 dikaji dan diperbandingkan satu sama lain, lalu dibawakan kepada Al-Qur’an untuk menentukan bentuk mana yang kiranya bersesuaian dan dingini oleh Qur’an. Secara lebih khusus, Hazairin memperhatikan sistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lalu diperbandingkan dengan sistem yang ada dalam masyarakat Arab. Dalam rangkaian ini, beliau juga mengkaji penafsiran para sahabat dan ulama mujtahid madzhab terhadap ayat-ayat kewarisan, lantas berkesimpulan bahwa pemahaman tersebut dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan masyarakat Arab. Bahkan sistem kewarisan Fiqh yang dikembangkan empat madzhab, masih dalam kerangka masyarakat Arab, walaupun telah mengalami beberapa perubahan penting. 69 Hazairin menjelaskan bahwa di Indonesia dikenal 3 macam sistem kewarisan, yaitu: Sistem kewarisan Individual, yang cirinya harta warisan dapat dibagi-bagikan pemiliknya diantara ahli waris; Sistem kewarisan kolektif, yang cirinya harta kewarisan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris secara bersama- sama yang merupakan semacam badan hukum, yang tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya diantara ahli waris, dan hanya boleh dibagikan pemanfaatannya kepada manusia: dan sistem kewarisan Mayorat, yang cirinya hanya anak tertua saat meninggalnya pewaris yang berhak mewarisi harta warisan atau sejumlah harta pokok dari satu keluarga. 70 69 Ibid, h.3. 44 Hazairin mengartikan mawalli Qs. An-Nisa’: 33 denagn ahli waris pengganti dari mendiang anak, mendiang saudara, mendiang datuk atau nenek yang mayit lebih dahulu sebelum pewaris. Hal itu bertalian dengan cara membaca, kata taraka ber fa’il al- walidani wal aqrabun, jadi pewaris itu ialah orang tua dan karib-karib terdekat seperti cucu atau saudara. Tetapi dalam pelbagai kitab tafsir mawalli diartikan semata-mata ahli waris langsung. Karena mengartikan surat An-Nisa’ ayat 33 hanya “jika ada mayat maka ada ahli waris langsungnya”. Tidak terpikir oleh para mufassir itu bahwa ada kalanya ahli waris langsung itu sudah tidak ada. Akan tetapi Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 33 mengadakan ahli waris lain dalam ahli waris langsung sudah tidak ada, yaitu ahli waris pengganti. 71 Hazairin menunjuk penafsiran beberapa kitab tassir seperti Ruhul Ma’ani, Al Kasysyaf dan Ibnu Katsir, bahwa pewarisnya dalam ketiga kitab tafsir ini ialah ibu bapak dan karib-karib terdekat, mawalli nya adlah anak dan karib-karib terdekat pula. Dalam kitab Fathul Qadir si pewaris adalah anak, sedang Mawalli nya adalah ibu bapak dan karib-karib terdekat. Dan al-Manar si pewaris adalah anak, dan mawalli nya ahli waris langsung adalah ibu bapak, karib-karib terdekat dan suami atau isteri. Tafsir al-Manar inilah yang diikuti Mahmud Yunus, kata Hazairin. Para mufassir lama itu menoleh 70 Ibid, h.15. 71 Majelis Ilmiah Islamiyah Jakarta, Perdebatan dalam seminar Hukum Nasional tentang Faraid, Jakarta. Tintamas, 1964, 93. 45 penafsiran surat An-Nisa’: 33 secara bilateral, tetapi mereka mengikuti tafsiran mereka yang steril itu dan menempuh jalan yang disediakan oleh Zaid ibnu Thabit dan Abu bakar dan kawan-kawan RA. Karena ajaran mereka itu berdasarkan hukum adat Arab yang patrilineal diskriminatif atau menambah jumlah dzaul faraidh. 72

C. Ahli Waris Pengganti dalam Fiqh