Anak Didik Manusia dalam Pandangan Islam

sifat tercela. 3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam menjalankan tugasnya. 4. Seorang pendidik hendaknya bersifat pemaaf dan memaafkan orang lain, sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya. 5. Seorang pendidik hendaknya mampu mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri. 6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya, seperti; pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya, 7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran dengan baik dan professional. Dari batasan kriteria karakteristik di atas, terlihat jelas bahwa menjadi seorang pengajar atau pendidik tidaklah mudah. Seorang pengajar hendaknya memiliki persyaratan tertentu sebelum profesi itu ditekuninya.

G. Anak Didik Manusia dalam Pandangan Islam

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran. ciri–ciri peserta didik : 46 1. Kelemahan dan ketak berdayaannya 2. Berkemauan keras untuk berkembang 46 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II, 2006, h, 40. 3. Ingin menjadi diri sendiri memperoleh kemampuan Syamsul Nizar sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu : 47 1. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri 2. peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan 3. peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada. 4. peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu 5. peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis Widodo Supriyono, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu Ulil Albab, dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah. 48 Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan 47 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006. h. 77. 48 Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, h. 171. kepada akal menerangkan ada tujuh kata yang digunakan : 49 1. Kata Nazara, dalam surat al-Ghasiyyah ayat 17 :        “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan” 2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :         “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” 3. Kata Tafakkara, dalam surat an-Nahl ayat 68 :               “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibuat manusia”. 4. Kata Faqiha, dalam surat at-Taubah 122 :                         “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya 49 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Pers, 2006, h. 72. kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” 5. Kata Tadzakkara, dalam surat an-Nahl ayat 17 :          “Maka apakah Allah yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. 6. Kata Fahima, dalam surat al-Anbiya ayat 78 : “Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”. 7. Kata ‘Aqala, dalam surat al-Anfaal ayat 22 :            “Sesungguhnya binatang makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun. Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi kelebihan akal.50 Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan: 50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2001, h. 436.     “Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya”. Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum- hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan. 51 Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:               “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal hati, manusia bisa menilai sebuah 51 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,………. h. 436. kebenaran etika dan keindahan estetika. Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.52 Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu : 53 1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. 2. Bersikap tawadhu’ rendah hati dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. 3. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran 4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi. 5. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar. 6. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. 7. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. 8. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. 9. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu 52 Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001, h. 117-121. 53 Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2004, h. 98 yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat. 10. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik. Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :54 1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. 2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan. 3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat. 4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. 5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah. Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu : 55 1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih. 2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah. 3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang. 4. Harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik. 54 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………., ..h. 110 55 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,…………..h. 110.

Bab III Seputar Penafsiran Kisah Khidir dan Musa QS al-Kahfi 60-82

QS al-Kahfi ayat 60-61                           Artinya, “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun 60. “Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” 61. Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang perjalanan Nabi Musa AS yang ingin menimba Ilmu dari Nabi Khidir AS. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir memang tidak dijelaskan secara detail kapan dan dimana tempatnya, akan tetapi kumpulan ayat-ayat yang membincangkan kisah mereka banyak mengandung pelajaran. Kisah tentang Musa dalam rangkaian ayat-ayat ini tidak disebutkan asal-muasalnya, namun dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dijelaskan sabab-musababnya. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa