BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Samuel P. Huntington, sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru pada dasarnya tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan
budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan.
1
Sedangkan budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat.
2
Yakni minat untuk berucap, bertindak, berkarya dan lain sebagainya. Perbedaan kebudayaan setiap bangsa memaksanya untuk saling bergesekan,
dengan tujuan budaya mereka semakin berkembang dan diakui oleh bangsa lain sebagai budaya yang kuat hingga akhirnya membuat suatu peradaban.
Konflik antara peradaban ini menjadi fase terakhir dari evolusi konflik dalam dunia modern, konflik-konflik dunia Barat pada umumnya berlangsung
antara raja-raja, antara kaisar, antara monarki absolut dan monarki konstitusional yang berusaha memperluas wilayah kekuasaan mereka,
memperluas birokrasi, angkatan bersenjata, dan kekuatan ekonomi. Yang dalam prosesnya sejak revolusi Prancis mereka membentuk negara-negara,
sehingga garis-garis prinsipil dari konflik itu merambah menjadi konflik antar bangsa-bangsa, bukan lagi antara raja-raja.
Peradaban sendiri adalah suatu entitas budaya, setiap bangsa yang berada di setiap belahan dunia mempunyai peradaban-peradaban. Karena itu,
1
M. Natsir Tamara dan Elza Peldi Taher ed., Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996 h.3
2
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat ed, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006, h. 18
suatu peradaban adalah pengelompokkan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga
membedakannya dari spesies lainnya. Ia dibatasi oleh unsur-unsur objektif seperti bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat, dan lembaga-lembaga, juga
dibatasi oleh unsur subjektif yang berupa identifikasi diri dari orang-orang itu.
3
Konflik antara Raja-raja, maupun Bangsa-bangsa dan antara ideologi berlangsung dalam peradaban Barat, ini terjadi pada perang dingin, dua
perang dunia, dan peperangan pada abad 17, 18 dan abad 19. Dengan berakhirnya perang dingin, politik internasional melewati fase Baratnya, dan
yang mewarnainya sekarang adalah hubungan antara peradaban Barat dan non Barat serta peradaban-peradaban non Barat itu sendiri.
4
Barat sekarang berada pada puncak kekuatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan peradaban lain. Lawan super powernya telah hilang dari
peta dunia. Budaya Barat banyak yang telah menembus dunia, tetapi pada tingkat yang dasar, konsep-konsep Barat berbeda secara mendasar dari
konsep-konsep peradaban lainnya. Ide Barat tentang individualisme, liberalisme, konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia, kesamaan, kebebasan,
pemerintahan berdasarkan hukum rule of law, demokrasi, pasar bebas, dan pemisahan negara dari gereja.
5
Namun, sekarang sudah banyak konsep- konsep tersebut terserap ke dalam negara-negara Timur.
Josef Van Ess dalam tulisannya berjudul Islam dan Barat dalam Dialog
dalam buku Agama dan Dialog Antar Peradaban menyatakan bahwa
3
M. Natsir Tamara, Agama dan Dialog Antar Peradaban, h. 3
4
Ibid., h. 3
5
Ibid., h. 4
Barat cenderung kepada universalisme yang agresif dan sama dalam pengungkapannya, itu sebabnya mengapa dalam politik Barat pemerintahan
dan masyarakat non Barat hak asasi manusia biasanya diperlakukan sebagai suatu standar, yang mereka anggap itu memang sudah seharusnya.
6
Begitu dominannya supremasi Barat terhadap negara-negara non Barat mengakibatkan timbulnya para pemberontak yang ingin melawan
ideologi Barat, berupa melakukan tindakan-tindakan kasar dan tidak lazim dari golongan Islam garis keras, yang akhirnya membuat negara-negara Barat
panik karena telah diancam atau telah diteror bom, ruang-ruang publik telah luluh lantak dihancurkan oleh bom, yang akibatnya menimbulkan chaos dan
ketakutan di mana-mana. Tindakan mereka ini pun sangat dikecam oleh semua golongan yang
benci terhadap kekerasan tanpa terkecuali oleh orang-orang Islam lainnya. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh beberapa golongan
itu tidak merepresentasikan umat Islam secara keseluruhan, tindakan mereka sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam yang cinta akan kedamaian
dan saling sayang menyayangi. Akibat dari perseteruan tersebut, terjadilah “perang ideologi” antara
Barat dan Timur, kedua blok tersebut melakukan berbagai cara dengan saling mengklaim bahwa ideologi yang mereka yakini adalah yang paling benar. Hal
ini ditunjang dengan adanya kecenderungan provokasi lewat media, menurut suatu studi yang disiarkan oleh kelompok British Muslim di London bahwa
6
Ibid., h. 160
Film Barat meningkatkan purwarupa negatif mengenai umat Muslim dengan menggambarkan mereka sebagai antagonis.
Contoh dari provokasi media secara gamblang terlihat melalui film Raiders of the Lost Ark pada tahun 1981, mereka menggambarkan tentang
seorang perempuan bercadar bergegas melewati pasar untuk menikmati musik, lalu pada tahun 1998, Film The Siege yang dibintangi Bruce Willis
dan Denzel Wahington, juga menambah kuat purwarupa monolitik mengenai orang Muslim, Palestina, dan orang Arab yang melakukan kekerasan.
7
Demikian pula setelah terjadinya ledakan menara kembar pusat WTC World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001
merupakan poin tersendiri dalam meneliti sikap media massa Barat terhadap Islam. Setelah peristiwa teror ini, banyak yang berpandangan bahwa
Hollywood menyajikan gambaran bahwa umat Islam yang tanpa logika
menyerang wanita, lelaki, dan anak-anak tak berdosa. Juga berulang kali dipertontonkan seorang muslim yang melakukan peledakan bom dan
pembunuhan biadab bersamaan dengan suara adzan dan shalat. Contoh lain yakni Film Executive Decision, film ini menayangkan
peristiwa penyanderaan sebuah pesawat yang dilakukan oleh sekelompok orang Arab Palestina. Film ini memperlihatkan para penyandera sebelum dan
selepas membunuh para penumpang tidak berdosa, terlebih dahulu menunaikan shalat. Adegan ini jelas sengaja dibuat dengan tujuan
menampilkan citra bahwa teror merupakan bagian dari perilaku yang telah ditetapkan dalam Islam.
7
Antara News, Film Barat Tingkatkan Citra Negatif Islam, Sabtu, 27 Januari 2007.
Lalu munculah, seorang anggota parlemen Belanda Geert Wilders pemimpin partai sayap kanan Belanda PVV Partij Voor De Vrijheid Party
For Freedom pada hari Kamis 27 Maret 2008 mempublikasikan film dokumenter yang berjudul Fitna, sebuah film yang menggambarkan Alquran
sebagai kitab yang mendorong kekerasan dan fasis, ia juga menyamakan Alquran dengan Mein Kempt karya Adolf Hitler yang menyuruh pengikutnya
untuk membunuh.
8
Tindakan Wilders tersebut dipengaruhi latar belakang kultural yang ada padanya. Menurut Jennifer Noesjirwan dalam tulisannya berjudul
Pengalaman Lintas Budaya dalam buku Komunikasi Antar Budaya,
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai sistem pengetahuan dari budayanya berupa realitas yang tak pernah dipersoalkan lagi, realitas ini
menyediakan skema interpretatif bagi seseorang untuk menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain.
9
Dalam ranah ilmu sosiologi, bahwa para pelaku yang mempunyai kebutuhan dan tujuan-tujuan tertentu, akan mencoba menggunakan sumber-
sumber yang ada untuk memuaskan dirinya, dalam suatu “kendala” yang dibangun lingkungan, termasuk norma-norma dan nilai-nilai budaya serta
kegiatan-kegiatan para pelaku pencari tujuan yang lain, kebutuhan tujuan itu sendiri terangkat dari sistem-sistem budaya, sosial, psikologis, dan biologis.
10
Wilders menggunakan film sebagai medium agar dapat diakses oleh semua orang untuk menyebarluaskan pandangannya. Film yang dibuat oleh
8
“Kaum Kanan di Eropa”, HU Republika, Senin 31 Maret 2008
9
Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, h. 178-179
10
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, h. 45-46
Wilders ini mendapat banyak tanggapan dari kaum muslimin di dunia, mereka mengecam ulah anggota legislatif ini yang telah menghina dan
melecehkan umat Islam. Film merupakan medium komunikasi yang sangat ampuh dalam
menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat, karena dengan kelebihan yang dimilikinya, pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah film disajikan
secara halus dan menyentuh relung hati tanpa merasa digurui.
11
Kasus peluncuran film yang kontroversial ini menjadi berita yang menarik bagi media massa untuk menyebarluaskannya kepada masyarakat,
baik negeri yang berpenduduk mayoritas muslim maupun tidak, termasuk di Indonesia, yang penduduk muslimnya terbanyak di dunia.
Salah satu HU nasional yang memberitakan masalah tersebut ialah Harian Umum Republika, HU berskala nasional ini selalu menyajikan
masalah tersebut secara intensif. Dan pemberitaan tentang Film Fitna di HU Republika ini layak untuk dikaji lebih jauh dan mendalam.
Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian ini karena wacana pemberitaan tentang film menarik untuk diperbincangkan. Apalagi berkaitan
dengan isu SARA suku, agama, ras dan antar golongan. Karena itulah
penelitian ini peneliti beri judul “Analisis Wacana Pemberitaan Film Fitna Karya Geert Wilders di Harian Umum Republika Edisi 29 Maret-
04 April 2008”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah