70
3.4. Aturan-Aturan dalam Pengelolaan Hutan
Pasca banjir 2003 lalu, proses pemulihan Bahorok, khususnya Bukit Lawang. Daerah ini merupakan daerah terparah terendam banjir bandang.
Pembangunan berfokus pada pembangunan jembatan, pondok latih, proteksi sumber-sumber air, serta mempertahankan potensi alam setempat, membangun
hubungan antar masyarakat untuk memberdayakan sumber daya yang ada, dan pendekatan kembali pada budaya-budaya setempat.
Pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah untuk kemajuan pariwisata di Bukit Lawang. bukan hanya di kawasan yang rusak saja
yang dibenahi, namun lahan hutan juga dibuka untuk membangun sejumlah penginapan. Seperti yang penulis amati beberapa bulan lalu di samping
penginapan Yusman, dulunya tidak terdapat bangunan penginapan. Pada saat penulis kembali ke lokasi penelitian, bangunan penginapan sudah dibangun. Hal
ini menunjukkan aturan-aturan dalam pengelolaan tanah oleh masyarakat dan pemerintah setempat sebagai pihak pengesah, tidak sesuai. Karena dari yang saya
lihat dan berdasarkan penuturan salah seorang masyarakat Lina, 42 tahun menyatakan : “Penginapan-penginapan yang dibangun di kawasan hutan
memang dibolehkan, tapi yang di lurusan Taman Nasional itu gak boleh, yang di seberang sungai baru boleh dibangun”. Penginapan yang baru dibangun itu,
terletak di seberang sungai yang juga merupakan zona penyangga yang dekat dengan TNGL.
Seharusnya, pembangunan penginapan di kawasan itu tidak boleh dilakukan, sebab lahan tersebut merupakan kawasan TNGL. Namun
kenyataannya pembangunan tersebut telah selesai, dan yang mengesahkan tanah
Universitas Sumatera Utara
71 tersebut adalah pihak Kecamatan. “Pengurusan tanah dilakukan di Camatlah dan
Camat yang mengesahkan,” seperti yang dituturkan oleh Pak Siregar. Kepemilikan dan penggunaan lahan diurus oleh pihak Kecamatan, namun seakan-
akan pihak kecamatan tidak melihat apakah kawasan tersebut merupakan kawasan TNGL atau tidak.
Kejadian seperti ini seharusnya tidak terjadi, bila pola pengaturan dalam menentukan lokasi pembangunan dapat dikordinasi dengan baik. Bukan hanya
oleh masyarakat tapi juga pemerintah setempat. Masyarakat tidak memiliki aturan-aturan dalam kepemilikan lahan, namun masyarakat hanya berpedoman
pada peraturan Pemerintah. Seperti penetapan zona-zona mana yang boleh di gunakan oleh masyarakat dan yang tidak boleh di pakai oleh masyarakat untuk
kesejahteraannya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat di sekitar Taman Nasional
peraturan pemerintah bukan hanya terjadi di Bukit Lawang, tapi juga masyarakat sekitar Taman Nasional lain di Indonesia. Seperti TNBG Taman Nasional Batang
Gadis yang ada di Mandailing Natal Sumatera Utara. Masyarakat sekitar hutan memang sudah sejak dulu memandang hutan sebagai hutan larangan atau
masyarakat mengenal dengan istilah ‘Harangan Rarangan’. “Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari hutan hutan kawasan milik suatu
kampung huta yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian atau kayunya tidak boleh diambil untuk keperluan perabot rumah Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis,
dkk,2005. Aturan-aturan tersebut tidak tercantum atau tidak dapat dibuktikan melalui
peraturan pemerintah. Namun hal tersebut merupakan aturan yang tidak tertulis
Universitas Sumatera Utara
72 tetapi aturan itu tercipta berdasarkan konsep masyarakat dalam memandang hutan,
sebagai hal yang dianggap keramat dan masyarakat mempercayai hal tersebut. Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan, yang dilembagakan melalui
mekanisme tabu dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di sekitarnya. Dalam kenyataan pada umumnya berada di tempat-tempat yang
sangat disignifikan bagi terpeliharanya kelestarian lingkungan Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis, dkk,2005.
Tidak jauh berbeda dengan konsep masyarakat dalam melestarikan hutan, khususnya hutan yang ada di TNGL. Walaupun aturan-aturan tersebut tidak
terkonsep dari budaya masyarakat dalam memandang hutan. Akan tetapi aturan yang bersumber pada peraturan pemerintah tentang zona-zona yang boleh dan
tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut oleh masyarakat sekitar tetap di hargai sebagai suatu hal dalam proses terciptanya
kelestarian hutan, karena sebagian masyarakat mencari nafkah dari hutan. Adapun peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan hutan, dan
tindak pidana bila merusak hutan yang harus dipatuhi oleh masing-masing masyarakat adalah :
1. Pasal I UU No. 19 tahun 2004 menyebutkan penambahan pasal 38A
“Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Pasal ini kemudian
memberikan makna bahwa segala bentuk perijinan di kawasan hutan akan tetap berlaku. Pasal 68 ayat 1 menyebutkan Masyarakat berhak menikmati
Universitas Sumatera Utara
73 kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Masyarakat dapat : a.
Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. Mengetahui rencana peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; d. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
2. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi
karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3.
Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 69 1 . Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan
hutan dari gangguan dan perusakan. 2. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta
pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
74 Pasal 70
1. Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. 2. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai
kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. 3. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan
pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. 4.
Tindakan pidana gangguan fungsi Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata yang dilakukan dengan sengaja yang melanggar UU
No. 5 Tahun 1990 Pasal 33 jo Pasal 40 maka dikenakan sanksi pidana 5 tahun atau denda paling banyak 100 juta rupiah
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1, menyatakan : 1.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dankesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
Universitas Sumatera Utara
75 keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan. 4.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi,
masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan tampung lingkungan hidup. 7.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.
Universitas Sumatera Utara
76
BAB IV Peran Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan
4.1. Pengetahuan Masyarakat Bukit Lawang Tentang Kelestarian Hutan
Melestarikan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga keseimbangan hutan. Hutan adalah salah satu bentuk konkret dalam
aktivitas melestarikan ekosistemnya, karena hutan mengandung banyak kelebihan bagi kehidupan manusia. Masalah kelestarian lingkungan pada umumnya atau
kelestarian hutan khususnya telah menjadi isu global yang menjadi perhatian banyak kalangan. Pemanasan global, efek rumah kaca dan segala persoalan akibat
kerusakan lingkungan telah dirasakan oleh seluruh bangsa di dunia. Seperti iklim yang tidak dapat diprediksi lagi serta suhu dunia yang kian
menghangat. Itu hanya segelintir akibat yang di timbulkan karena kerusakan lingkungan, khususnya hutan. Banyak elemen yang berpartisipasi dalam
pelestarian hutan dan lingkungan, tapi hal itu juga tidak serta merta menjadikan program penyelamatan dan pelestarian hutan berjalan mulus. Kabut asap akibat
kebakaran hutan pada musim kemarau, pembalakan liar dan penggundulan hutan untuk berbagai kepentingan masih terus berlangsung, baik karena kurangnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat, maupun akibat dari kebijakan pemerintah yang kurang melindungi kelestarian hutan.
Menurut masyarakat sekitar desa Bukit Lawang melestarikan hutan merupakan hal yang memang diperlukan agar hutan tidak rusak. Hal ini dapat
dilakukan bila masyarakat bersama-sama menjaganya, karena hutan bukan hanya kebutuhan perorangan, namun semua masyarakat membutuhkan hutan. Untuk itu,
diperlukan kumpulan masyarakat hingga membentuk satu organisasi yang
Universitas Sumatera Utara