46 tikungan terganggu dengan adanya lubang di setiap jalan aspal. Panjang jalan
aspal dari kecamatan Bahorok adalah sekitar 11 km, dan panjang jalan aspal di desa adalah 2700 meter.
2.4.6. Sarana Komunikasi
Untuk sarana komunikasi, desa Bukit Lawang cukup memadai. Penggunaan sarana komunikasi seperti telepon umum dan warung telepon sudah
tersedia di desa. Kebanyakan masyarakat desa juga menggunakan telepon genggam atau handphone untuk memudahkan hubungan antara kerabat dan
teman. Untuk pengadaan sinyal dari telepon genggam sendiri, masih kurang memadai. Bila berada di dalam rumah atau pada jam-jam tertentu, sinyal dari
handphone akan hilang. Seperti pengalaman penulis yang melakukan penelitian di desa Bukit
Lawang. Untuk provider tertentu, bila dalam ruangan sinyal jarang ada atau bahkan hilang sama sekali. Provider seperti XL dan lain-lain, sinyal di dalam
ruangan akan hilang, sehingga kebanyakan masyarakat sekitar menggunakan provider Telkomsel. Bila hendak ke kawasan Bukit Lawang sebaiknya gunakan
provider yang benar-benar memiliki kekuatan sinyal yang memadai, agar tidak memutus hubungan telekomunikasi.
Sementara untuk pengguanaan televisi dan radio di desa telah memadai. Tidak seperti kawasan perbukitan dan kawasan hutan lainnya, desa Bukit Lawang
tidak perlu menggunakan parabola untuk mendapatkan siaran televisi nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa keadaan komunikasi di desa sudah memadai.
Universitas Sumatera Utara
47
2.4.7. Kondisi Sosial Masyarakat Bukit Lawang
Masyarakat desa Perk. Bukit Lawang memiliki pola kehidupan yang erat satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat saling
berdampingan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka dalan bidang parawisata. Walaupun latar belakang suku mereka berbeda-beda, namun
kehidupan bermasyarakat desa tidak pernah menimbulkan konflik antar suku ataupun antar agama.
Pembauran masyarakat yang terjadi di desa Bukit Lawang ini seperti tidak dapat dibedakan lagi dari kesukuan mereka. Orang-orang yang ada di desa ini,
sangat mahir berbahasa Jawa dan Karo. Walaupun mereka bukanlah orang Karo ataupun orang Jawa, tapi dalam berkomunikasi, masyarakat sekitar sudah terbiasa
dengan kedua bahasa ini. Sebenarnya hal tersebut terjadi bukan karena adanya dominasi kaum mayoritas kepada kaum minoritas. Namun lebih kepada kebiasaan
yang terjadi di desa Bukit Lawang sehari-hari. Antara tetangga saling berkumpul dan ‘bercakap-cakap’ menggunakan
bahasa Indonesia, ketika berbicara dengan anggota keluarganya dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa suku bangsanya. Tetangga yang lain
mulai mengikuti percakapan-percakapan yang di dengarnya sehari-hari, sehingga lama-kalamaan menjadi mahir. Berdasarkan pengamatan penulis, keakraban
tersebut terjadi karena pemukiman masyarakat yang saling berdekatan. Sehingga menimbulkan hubungan yang erat antara anggota masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain. Begitupun dengan hal keorganisasian setempat yang tetap ada walaupun
masyarakat dari latar belakang suku yang berbeda-beda. Adapun organisasi adat
Universitas Sumatera Utara
48 di desa Bukit Lawang adalah : 1. Pujakesuma Putera Jawa Kelahiran Sumatera;
2. Mabmi Masyarakat Adat Budaya Melayu Indonesia; dan 3. Marga Silima, yang merupakan perkumpulan 5 marga suku karo yang terdiri dari marga, Karo-
karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan Parangin-angin. Selain itu, organisasi kepemudaan pun terdapat di desa, yaitu Karang Taruna dengan jumlah anggota 26
orang. Di dalam organisasi karang taruna tersebut, segenap pemuda-pemudi yang menjadi anggota karang taruna bertujuan untuk menjalin keakraban melalui
kegiatan-kegiatan positif seperti temu ramah dan lain-lain. Organisasi seperti serikat tolong-menolong yang layaknya terdapat di setiap daerah juga terdapat di
desa Bukit Lawang. Saat ini jumlah anggota dari STM adalah 300 orang. Kehidupan sosial masyarakat Bukit Lawang sangat erat, dapat dilihat
golongan mayoritas beragama Islam dan kaum minoritas beragama Kristen. Namun masyarakat dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dalam hal
ceremoni. Penulis mendapati suatu upacara perkawinan salah seorang anggota masyarakat yang beragama Kristen Protestan. Pada saat acara pemberkatan sesuai
dengan aturan dari gereja, masyarakat yang beragama islam tidak ikut dalam upacara tersebut. Namun setelah acara di gereja selesai, masyarakat bersama-sama
merayakan pernikahan tersebut. Layaknya pesta adat karo yang diadakan di Jambur
5
5
Jambur adalah tempat untuk merayakan acara-acara adat dalam masyarakat karo.
yang terdapat di sentral desa. Masyarakat baik itu beragama kristen maupun islam, bersama-sama merayakan pernikahan tersebut, tanpa memandang
agama. Bahkan masyarakat yang beragama kristen dan islam bersama-sama memasak makanan untuk perayaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
49 Ternyata terdapat aturan-aturan dalam masyarakat agar terciptanya
kebersamaan. Masyarakat yang beragama kristen, boleh merayakan pernikahan di desa dan di bantu oleh masyarakat dari agama lainnya, dengan catatan tidak
menggunakan bahan makanan yang diharamkan oleh agama Islam. Bukan dalam perayaan-perayaan seperti itu saja penggunaan daging yang diharamkan itu
dilarang. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-haripun daging tersebut tidak boleh masuk di desa Bukit Lawang. Penulis juga sulit membedakan mana agam islam
ataupun agama kristen. Hal tersebut menunjukkan kehidupan sosial masyarakat yang berbaur.
Universitas Sumatera Utara
50
BAB III
Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan
3.1.1. Hubungan Masyarakat dengan Hutan