Bukit Lawang (Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kec. Bahorok Kabupaten Langkat)

(1)

BUKIT LAWANG

Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap

Kelestarian Hutan di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kec.

Bahorok

Kabupaten Langkat

D I S U S U N OLEH

MINARTINA N. SARAGIH

050905043

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh

Nama : Minartina Noverinda Saragih NIM : 050905043

Depertemen : Antropologi

Judul : BUKIT LAWANG

(Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kec. Bahorok Kabupaten Langkat)

Medan, 6 Februari 2010

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

Antropologi

(Drs. Yance, M.Si) (Drs. Zulkifli

Lubis, MA)

NIP.19580315 198803 1 003 NIP.19640123 199003 1 001

Dekan FISIP USU

(Prof. DR.M.Arif Nasution,MA) NIP.19620703 198711 1 001


(3)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan Halaman

Abstraksi………..i

Kata Pengantar……….ii

Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar BAB I Pendahuluan 1.1.Latar Belakang……….1

1.2.Rumusan Masalah………...11

1.3.Tujuan dan Manfaat………....11

1.4.Tinjauan Pustaka……….12

1.5.MetodePenelitian……….17

1.6.LokasiPenelitian………..19

1.7.AnalisisData………20

BAB II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 2.1.Letak Geografis Desa………...21

2.2. Sejarah Desa………....21

2.3. Komposisi Penduduk 2.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………..23

2.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku……….23

2.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan………...24

2.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian………25

2.4. Kondisi Bukit Lawang Pasca Banjir Bandang………27

2.5. Sarana dan Prasarana Desa Perkebunan Bukit Lawang 2.5.1. Sarana Pendidikan ………....30


(4)

2.5.2. Sarana Tempat Ibadah………..31

2.5.3. Sarana Kesehatan……….32

2.5.4. Saran Listrik dan air bersih………..33

2.5.5. Sarana Rekreasi………33

2.5.6. Sarana Transportasi………..36

2.5.7. Sarana Komunikasi………..37

2.6. Kondisi Sosial Masyarakat Bukit Lawang………..38

BAB III. Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan 3.1. Hubungan Masyarakat Dengan Hutan………41

3.2. Kondisi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser………46

3.3. Manfaat Hutan Bagi Masyarakat Desa Bukit Lawang………51

3.4. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perambahan Hutan……….58

3.5. Aturan-aturan Dalam Pengelolaan Hutan………...61

BAB IV. Peran Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan 4.1. Pengetahuan Masyarakat Bukit Lawang Tentang Kelestarian Hutan.67 4.2. Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan di Bukit Lawang…..70

4.3. Bentuk Partisipasi Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan ………72

4.4. Tanaman Bambu Pengganti Kayu………...74

4.5. Pariwisata dan Kelestarian Lingkungan………...77

BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan……….79


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Tabel

Halaman

Tabel 1………23

Tabel 2………23

Tabel 3………24

Tabel 4………25

Daftar Gambar Gambar 1………34

Gambar 2………52

Gambar 3………53

Gambar 4………55 Peta Bukit Lawang

Surat Keterangan Izin Penelitian Surat Keterangan Kepala Desa


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang diberikan dalam penulisan skripsi ini. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1, bidang Antropologi Sosial di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi yang berjudul Bukit Lawang (Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan di Desa Perkebunan Bukit Lawang), dimana masyarakat sekitar memanfaatkan hutan dalam kehidupannya sehari-hari. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yakni :

1. Bapak Prof.DR.M.Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA sebagai ketua Departemen Antropologi FISIP USU dan sekaligus dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan pengetahuan dan membantu penulis dimulai dari awal perkuliahan.

3. Bapak Drs. Yance, M.Si sebagai Pembimbing Utama, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan berbagi pengetahuan kepada penulis, sehingga membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak DR. Fikarwin Zuska dan Dra. Sri Alem, M.Si sebagai dosen penguji dalam seminar proposal, yang telah banyak memberikan masukan ilmu pengetahuan yang sangat berarti kepada penulis.

5. Pegawai di Departemen Antropologi atas bantuannya dalam proses administrasi akademik.

6. Khusus untuk Bapak yang telah mendahului kami U. Saragih (†) terima kasih, ini ku persembahkan kepada bapak. Mama tersayang H. Br.Purba yang telah banyak mendukung secara moril dan finansial, serta selalu berdoa untuk penulis.

7. Abang dan kakak ku, kakak Betty H. Saragih, SH, Piere Adidasdo Saragih,ST, Delverida Saragih, SE, Diana Saragih,SS, yang terus mendukung penulis.


(7)

8. Spesial kepada Briptu Guntur Purba, atas perhatian, dukungan dan doa yang terus menerus diberikan kepada penulis sehingga memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Kakak Yanti Br. Ginting sekeluarga yang telah bersedia membantu penulis selama di lapangan. Terima kasih atas segalanya, penulis tidak akan melupakan kakak sekeluarga.

10.Seluruh masyarakat Desa Perkebunan Bukit Lawang, Bapak Muis selaku Sekdes, Bapak Warji selaku K.Unit TNGL, Bang Rain (HPI), Bang Hendrik, Bang Indra dan seluruh informan yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

11.Alumni Bang Sandrak H. Manurung, S.Sos, terimakasih atas pinjaman bukunya serta masukan yang banyak diberikan kepada penulis. Bang Palty Simanjuntak, S.Sos yang juga memberikan doa dan sara-saran dalam penulisan skripsi ini.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan ku di Antropologi 2005, Eva Yanthi Manurung, Naomi Nova Susanti Aritonang, Erna Dina Yanti Aritonang, Sulia Rimbi dan Alisha Yanaki Attar yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

13.Teman-teman satu angkatan 2005, Darwin Tambunan, Herry Manurung, Herry Sianturi, Dani, Kartika, Remaja, Tutty, Sriulina, Mei, Domi, serta angkatan 2006 Charles, makasih ya sudah mau jadi pembanding kemarin. Josep 2004 dan Ales 2004.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini dapat berguna bagi kemajuan Departeman Antropologi FISIP USU.

Hormat Saya


(8)

Abstaraksi

Minartina N. Saragih, 2010. Judul skripsi : Bukit Lawang, Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan di Bukit Lawang, Kec. Bahorok. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, 4 daftar tabel, 4 daftar gambar, serta lampiran yang terdiri dari surat penelitian dan surat keterangan.

Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang banyak mengandalkan keindahan alam, seperti hutan dan sungai. Hal ini membawa daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk berkunjung. Pada 2 november 2003, terjadi banjir bandang yang merenggut banyak korban jiwa dan materil. Asumsi masyarakat yang banyak berkembang menyebutkan, banjir bandang yang terjadi, disebabkan karena adanya kerusakan hutan di TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser). Perambahan hutan yang terjadi di daerah hulu sungai menyebabkan lonsor, karena pohon-pohon sudah tidak bisa lagi menahan air sungai di daerah hulu.

Hutan yang merupakan sarana pencegah banjir, kurang dijaga kestabilan dan kelestariannya. Disamping masyarakat sekitar hutan juga banyak mengambil manfaat dari hutan, seperti pembukaan lahan baru dan penebangan pohon untuk kebutuhan sehari-hari. Kejadian banjir bandang yang terjadi membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Penulis mencoba melihat bagaimana kehidupan masyarakat sekitar hutan serta bagaimana peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan masyarakat dengan hutan dan melihat peran masyarakatnya dalam menjaga kelestarian hutan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tehnik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Kemudian data yang diperoleh dianalisis untuk mencari hubungan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Bukit Lawang sangat bergantung pada hutan. Hutan yang digunakan sebagai sarana pariwisata sehingga peranan masyarakat dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan. Adapun peranan masyarakat sekitar Bukit Lawang adalah dengan melakukan kegiatan penanaman pohon di TNGL dan melakukan patroli di taman nasional bersama para ranger. Selain itu masyarakat juga memiliki kearifan lokal dengan menggantikan pohon kayu menjadi bambu untuk kebutuhan masayrakat sehari-hari, sehingga dapat mengurangi jumlah penebangan pohon kayu di sekitar hutan.


(9)

Abstaraksi

Minartina N. Saragih, 2010. Judul skripsi : Bukit Lawang, Studi Deskriptif Mengenai Peran Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan di Bukit Lawang, Kec. Bahorok. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, 4 daftar tabel, 4 daftar gambar, serta lampiran yang terdiri dari surat penelitian dan surat keterangan.

Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang banyak mengandalkan keindahan alam, seperti hutan dan sungai. Hal ini membawa daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk berkunjung. Pada 2 november 2003, terjadi banjir bandang yang merenggut banyak korban jiwa dan materil. Asumsi masyarakat yang banyak berkembang menyebutkan, banjir bandang yang terjadi, disebabkan karena adanya kerusakan hutan di TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser). Perambahan hutan yang terjadi di daerah hulu sungai menyebabkan lonsor, karena pohon-pohon sudah tidak bisa lagi menahan air sungai di daerah hulu.

Hutan yang merupakan sarana pencegah banjir, kurang dijaga kestabilan dan kelestariannya. Disamping masyarakat sekitar hutan juga banyak mengambil manfaat dari hutan, seperti pembukaan lahan baru dan penebangan pohon untuk kebutuhan sehari-hari. Kejadian banjir bandang yang terjadi membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Penulis mencoba melihat bagaimana kehidupan masyarakat sekitar hutan serta bagaimana peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan masyarakat dengan hutan dan melihat peran masyarakatnya dalam menjaga kelestarian hutan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tehnik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Kemudian data yang diperoleh dianalisis untuk mencari hubungan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Bukit Lawang sangat bergantung pada hutan. Hutan yang digunakan sebagai sarana pariwisata sehingga peranan masyarakat dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan. Adapun peranan masyarakat sekitar Bukit Lawang adalah dengan melakukan kegiatan penanaman pohon di TNGL dan melakukan patroli di taman nasional bersama para ranger. Selain itu masyarakat juga memiliki kearifan lokal dengan menggantikan pohon kayu menjadi bambu untuk kebutuhan masayrakat sehari-hari, sehingga dapat mengurangi jumlah penebangan pohon kayu di sekitar hutan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang terletak di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Bukit lawang yang terkenal dengan panorama dan keindahan alam yang banyak menarik wisatawan baik lokal maupun wisatawan mancanegara, dan juga merupakan kawasan konservatif dari hutan dan hewan langka di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Hutan Leuser kaya akan kehidupan flora dan fauna, dan kawasan ini juga kerap dinobatkan sebagai paru–paru dunia. Selain kawasan hutan yang membukit dan memiliki keanekaraganam pohon, Bukit Lawang juga memiliki hewan langka seperti, orangutan (pongo pygmaeus) yang harus dijaga kelestariannya dan dilindungi agar tidak punah. Hal ini yang dapat menggambarkan keindahan alam Bukit lawang.

Keindahan dan keunikan Bukit Lawang terusik, dengan terjadinya banjir bandang pada 2 November 2003 lalu. Banyak korban jiwa dan materil pada saat kejadian tersebut, kerusakan pada bangunan rumah penduduk, hotel yang berada di sekitar aliran sungai bahorok ikut rusak akibat bencana banjir bandang. Kondisi Bukit Lawang pada saat itu, sangat memprihatinkan. Keadaan pemukiman penduduk yang rusak total, dan kejadian ini banyak merenggut korban jiwa hingga ratusan orang. Pasca banjir bandang, masyarakat yang mengalami bencana terlambat mendapatkan bantuan dari pemerintah. Menurut masyarakat sekitar, bantuan yang diberikan oleh pemerintah berupa pemukiman baru untuk masyarakat yang telah kehilangan tempat tinggal dan uang tunai sebesar Rp 200


(11)

juta. 1

Hutan yang dalam hal ini sebagai sarana pencegah banjir, kurang dijaga kestabilan dan kelestariannya. Pemanfaatan atas hutan yang dilakukan berlebihan seperti sejumlah oknum memanfaatkan izin yang diberikan oleh pemerintah Data WALHI tahun 2003 menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Bukit Lawang telah mencapai 17.726 Ha dari luas Taman Nasional Gunung Leuser yang mencapai 1.095.192 Ha.

Sejumlah asumsi masyarakat dan pengamat lingkungan menyatakan, bahwa kejadian banjir bandang ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, serta adanya oknum-oknum tertentu yang juga merusak keseimbangan ekosistem hutan. Selain itu, adanya tindakan penebangan hutan dan pembukaan lahan baru bagi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk menggunakan lahan (dalam hal ini hutan) sebagai perkebunan, sehingga memungkinkan terjadinya banjir bandang. Menurut penduduk sekitar, pembabatan hutan yang dilakukan secara berlebihan di daerah hulu sungai yang perlahan tapi pasti itu mengancam kegiatan di daerah hilir, tetapi dibiarkan berlangsung bertahun- tahun. Inilah yang menyebabkan bencana longsor di daerah bukit yang merupakan aliran hulu sungai.

Longsor di tebing-tebing curam yang menyumbat aliran sungai di sebuah daerah aliran sungai bak sebuah bendungan. Penyumbatan-penyumbatan ini mengakibatkan penumpukan material hingga suatu saat "bendungan" tersebut tidak mampu menahan volume beban yang tertumpuk. Jadilah banjir bandang bermuatan lumpur, kayu, dan bebatuan. Fenomena ini bisa mencapai klimaks pada aliran yang secara perlahan atau cepat dapat terjadi di semua sisi bukit.


(12)

daerah setempat dan juga Dinas Kehutanan untuk menggunakan lahan hutan. Namun meski telah diberi izin, oknum-oknum tersebut juga membabat hutan yang tidak sepantasnya di tebang, seperti hutan yang mendekati kawasan Taman Nasional.

Dari data yang ada, terlihat bahwa 22 persen kawasan hutan dirambah oleh oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan hutan untuk keuntungan ekonomis semata, namun tidak memperdulikan akibat yang terjadi di masa depan. Salah satu akibat yang ditimbulkan bila melakukan eksploitasi terhadap hutan adalah seperti terjadinya banjir bandang yang terjadi pada november 2003 lalu.

Ketidak seimbangan inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang sejauh mana peran serta masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan dan sungai di Bukit Lawang. Mengingat kehidupan masyarakat yang bergantung dengan hutan, karena masyarakat memanfaatkan hutan dalam bidang pariwisata. Melalui bidang pariwisata, masyarakat dapat menjamin kehidupan ekonomi mereka dengan bantuan hutan yang kaya akan pohon dan hewan langka yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Keadaan hutan yang baik akan memberikan efek jangka panjang bagi kepentingan masyarakat, bukan hanya masyarakat sekitar Bukit Lawang saja, melainkan masyarakat secara keseluruhan yang ikut merasakan manfaat dari hutan tersebut. Fungsi dari hutan yang kaya akan pohon-pohon dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar hutan untuk kesejahteraan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menyatakan : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang


(13)

terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Sebagian besar laju pertumbuhan dan pembangunan negara dipengaruhi oleh pengusahaan sumber alam yang kaya, terutama minyak bumi, kayu, hasil pertanian dan lain-lain. Namun perhatian terhadap pengaruh lingkungan dari pengusahaan sumber daya itu masih langka, salah satunya dengan pemberdayaan hutan dan melestarikan hutan. Data Departemen Kehutanan pada tahun 2003 menyebutkan, 43 juta hektar dari total 120.35 juta hektar hutan Indonesia sudah rusak. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga berperan aktif dalam menegakkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelangsungan lingkungan. Sejauh ini kelestarian ekosisitem hutan belum terjamin khususnya hutan di Sumatera, salah satunya hutan lindung di Bukit lawang. Hal ini terlihat dari masih adanya praktek penebangan hutan di sekitar kawasan TNGL, walaupun para ranger menolak mengakui hal tersebut. Namun hal itu sudah menjadi rahasia umum yang tidak mungkin bermuara di media-media elektronik.

Untuk itu, peranan masyarakat lokal dan masyarakat lain yang tinggal di Bukit lawang sangat penting untuk menjaga dan melestarikan hutan. Kalau bukan masyarakat sekitar yang menjaga kawasannya, namun siapa lagi yang akan menjaganya. Kesadaran masyarakat mulai tumbuh untuk melestarikan hutan, setelah terjadi banjir bandang. Masyarakat lokal mulai menumbuhkan betapa pentingnya menjaga hutan sebagai sarana membantu menghijaukan bumi dan menahan air sungai agar tidak terjadi banjir lagi. Selain masyarakat lokal, peranan lembaga lain untuk membantu masyarakat menjaga hutan melalui program-programnya yang juga sangat diperlukan. Untuk itu, beberapa Lembaga Swadaya


(14)

Masyarakat dan organisasi masyarakat setempat mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga ekosistem hutan agar antara pemanfaatan dan pelestarian hutan seimbang.

Adapun yang dilakukan masyarakat luar dalam menjaga kelestarian ekosistem seperti adanya sejumlah LSM yang terdapat di Bukit Lawang, salah satunya adalah YEL2

Kerusakan hutan memungkinkan terjadinya banjir bandang, erosi dan bencana lainnya bila tidak menjaga kelestarian hutan dan kurang stabilnya kondisi hutan sebagai sarana pencegah banjir. Pasca banjir bandang pengawasan kawasan hutan mulai diperketat, para ranger

(Yayasan Ekosistem Lestari), ALIVE dan lain-lain yang memiliki sejumlah program dalam melestarikan lingkungan hidup. Lembaga-lembaga ini sedikit banyak memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara-cara melestarikan lingkungan. Terkadang mereka menberikan sejumlah penyuluhan pada masyarakat untuk menjaga hutan, melakukan penanaman pohon, serta memaksimalkan penciptaan penangkaran hewan-hewan langka seperti orangutan. Selain itu juga terdapat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang juga membantu sebagai tempat atau kawasan hutan lindung dalam melestarikan dan menjaga kawasan hutan agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang tertentu seperti penebangan pohon secara illegal.

3

2 YEL adalah salah satu dari sekian banyak Lembaga Swadaya Masyarakat di Bukit Lawang yang bergerak dibidang lingkungan, menawarkan konsep pariwisata alternatif pada masyarakat dan wisatawan untuk dapat berempati terhadap pelesterian lingkungan.

3 Ranger adalah sebutan bagi petugas yang menjaga dan mengawasi Taman Nasional

mulai melakukan pengawasan hutan, agar mencegah oknum-oknum tertentu melakukan penebangan hutan di kawasan Taman Nasional.


(15)

Bukan itu saja, peranan LSM dan juga masyarakat lokal dan organisasi lokal seperti HPI dalam bidang pariwisata juga sangat penting. Sebagai penunjang kemajuan wisata di Bukit Lawang pasca banjir bandang, masyarakat maupun LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, melakukan sejumlah pembangunan untuk kembali memajukan kehidupan wisata di Bukit Lawang. Untuk itu, dilakukan sejumlah perbaikan di sektor pariwisata seperti pembangunan hotel dan perbaikkan sarana penunjang pariwisata lainnya. Kebangkitan pariwisata kembali bermula dan dipelopori oleh pemuda dan pemudi yang menginginkan perubahan sosial dan ekonomi, dengan pengembangan pariwisata bukan hanya sungai tetapi hutan dapat menjadi tempat pariwisata seperti di Bukit Lawang. Berbagai aktivitas-aktivitas pembalakan kayu dan perambahan (yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri) harus dihentikan.

Gerakan pemuda-pemudi tersebut berubah menjadi sebuah gerakan sosial, mereka aktif dalam aktifitas sosial desa, musyawarah maupun berbagai kegiatan adat. Akhirnya menarik simpati kalangan orang tua, melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mendorong terciptanya sebuah gagasan baru. Gerakan ini, mempengaruhi banyak pola pikir baru masyarakat tentang nilai-nilai keorganisasian, karena semakin berkembangnya perilaku para cukong-cukong kayu (sebutan untuk pengusaha kayu). Dalam hal ini, diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi, sebab masyarakat banyak mengambil manfaat dan bergantung pada hutan dan sungai di Bukit Lawang, sehingga dalam hal itu diperlukan hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungan alamnya.


(16)

G. Geertz (1963) mengatakan bahwa ada pendekatan yang memisahkan antara karya manusia dan proses alam menjadi dua bidang pengaruh yang berlawanan yaitu kebudayaan adalah karya manusia, sedangkan lingkungan lebih merupakan proses alam dalam upaya melihat bagaimanakah hubungan keduanya secara dan saling mempengaruhi atau sejauh mana kebudayaan dipengaruhi oleh lingkungan, serta sejauh mana lingkungan dirubah oleh kebudayaan.

Masyarakat banyak berdatangan ke Bukit Lawang karena mereka menganggap Bukit Lawang cukup menjanjikan untuk dijadikan tempat hidup bagi masyarakat pendatang baik itu sebagai tempat mencari nafkah, dimana Bukit Lawang merupakan tempat pariwisata. Pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh masyarakat pendatang, sedikit banyak mengambil lahan hutan dan lagi-lagi hutan yang menjadi lahan tempat tinggal mereka. Pembukaan lahan baru tentu saja membawa dampak baru yang di adaptasikan oleh masyarakat pendatang tersebut di mana dari masing-masing individu mempunyai budaya sendiri dalam hubungannya dengan alam lingkungannya. Dimana menurut Spencer dalam bukunya The Survival of the Fittest, dalam Koentjaraningrat, 1985 : “ Hanya sifat egois dapat membuat sejenis makhluk sedemikian kuatnya, sehingga ia cocok dengan alam untuk dapat bertahan dan hidup secara langsung.”

Begitu manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam dan lingkungannya, seorang manusia memang bisa hidup hanya dengan bernapas dan makan serta minum untuk mempertahankan hidupnya, dan itu tidak terlepas dari hubungan manusia dengan alam. Manusia menggunakan unsur alam dan benda-benda atau alat-alat untuk memfasilitasi kehidupannya agar tetap bertahan hidup. Manusia memakan biji-bijian ia bernapas dengan udara, ia minum air yang disediakan


(17)

alam, demikian hubungan antara manusia dengan alam dan lingkunganya tidak dapat dipisahkan. Adaptasi atau penyesuaian adalah sebuah proses bangaimana manusia memanfaatkan secara efektif potensi energi yang terdapat di dalam habitatnya untuk tujuan-tujuan produktif (Cohen,1971 dalam Zuska,1995). Manusia beradaptasi dengan lingkungan alam untuk mempertahankan kehidupannya dengan kebudayaanya dan memanfaatkan alam secara efektif dan menggunakannya sebaik-baiknya. Pemanfaatan atas sumber daya alam dalam hal ini hutan, harus dilakukan secara tepat untuk mencegah timbulnya bencana. Sehingga antara pemanfaatan dan pelestarian harus seimbang, dan peranan manusia yang memiliki kebudayaan untuk melakukan kelestarian tersebut dengan cara yang bervariasi. Manusia memiliki gagasan yang tidak terbatas untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannnya. Contohnya masyarakat Dayak yang memanifestasikan adat tebang pilih. Mereka boleh menebang pohon untuk keperluan tertentu untuk membuat rumah misalnya, bila mendapat persetujuan dari tertua adat dan memilih pohon yang sudah tua, serta menanam kembali sejumlah pohon yang telah ditebangnya.

Masyarakat pendatang yang datang ke Bukit Lawang dan memasuki daerah baru dengan kebiasaan dan kebudayaan baru, maka mereka berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang akan ditempatinya. Atas dasar itu ia menyarankan perlunya dikaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya, antara lain dengan menganalisis hubungan tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan sehingga wujud dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan pada akhirnya mampu bertahan hidup.


(18)

Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mencari keselarasan dan keseimbangan dengan alam. Pandangan ini akan menghasilkan perilaku yang selektif dan bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam. Namun ada juga kebudayaan yang berpandangan bahwa alam dapat dan harus dikuasai secara maksimal. Kerusakan-kerusakan pada alam akan terjadi bila sebagian masyarakat berpandangan yang demikian. Hal inilah yang melandasi para cukong untuk terus mengekploitasi alam khususnya hutan.

Disamping karena HPH memiliki izin untuk melakukan penebangan dan membuka lahan baru sebagai tempat untuk lahan perkebunan, HPH juga melakukan pelarangan bagi masyarakat untuk memasuki kawasan HPHnya. Sehingga pemilik HPH menganggap izin tersebut boleh digunakan untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan tanpa harus memikirkan akibat yang akan ditimbulkan oleh kerusakan hutan tersebut. Tanpa harus takut dengan masyarakat lokal memasuki kawasan hutannya, karena mereka telah mengantongi izin membuka kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi oknum-oknum tertentu.

Akibat munculnya eksploitasi hutan dan sungai yang berlebihan yang dilakukan oleh sejumlah HPH dan oknum-oknum tertentu dapat memberikan dampak pada hilangnya sumber alam dan kerusakan lingkungan secara menyeluruh, karena bukan hanya pohon-pohon saja yang hilang. Dengan ketidak seimbangan ekosistem hutan maka segala kehidupan di hutan tersebut pun akan terancam termasuk manusia yang hidup di sekitar hutan. Jika dihitung secara ekonomis, nilainya tidak sesuai karena menyangkut musnahnya keseimbangan makhluk hidup di sekitar hutan. Dalam persfektif yang demikian hutan hanya dipandang sebagai sumber daya penghasil devisa negara. Namun dibalik itu


(19)

semua, ancaman terhadap spesies hewan dan tumbuhan, tapi juga mengancam musnahnya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang bergantung dari hutan tersebut.

Selain mengabaikan peranan penduduk dalam menjaga kelestarian hutan, seringkali kebijakkan pemerintah di sektor kehutanan membatasi akses penduduk lokal terhadap kepemilikkan sumber daya alam yang ada di kawasan hutan. Salah satunya, pemerintah setempat meberikan izin kepada HPH untuk menggunakan lahan hutan untuk kepentingan ekonomi. Namun penduduk sekitar yang membuka lahan untuk perladangan dan lain-lain, tidak diizinkan lagi mengolah lahan tersebut apalagi memasuki kawasan HPH. Hal ini tentu saja mengecewakan masyarakat sekitar yang juga memanfaatkan hutan untuk kehidupan ekonomi mereka, baik itu dibidang pariwisata dan juga bidang pertanian. Hutan salah satu wadah penghijauan bumi dan mencegah banjir, sehingga pengolahannya harus ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Untuk itu peranan masyarakat sangat diperlukan, dan pemerintah seharusnya juga mendukung pelestarian hutan agar kejadian banjir bandang 2003 lalu tidak terulang lagi.

Seiring dengan itu, pemandu wisata dari Bukit Lawang mulai membawa wisatawan mancanegara dengan memperlihatkan kawasan hutan lindung dan seiring dengan itu pula beberapa warga negara asing yang memiliki suami pemandu di Bukit Lawang ikut menyumbang akomodasi seperti hotel dan lain-lain. Sejak itu wacana maupun berita tentang Ilegal Logging mulai sampai ke dunia internasional seiring dengan promosi kawasan Tangkahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Sementara aktivitas pariwisata masih terus berjalan dengan tarik-menarik yang cukup kuat dalam pengolahannya. Tahun 1990-an,


(20)

pemuda-pemudi setempat bermusyawarah merumuskan agenda bersama untuk pemberantasan Ilegal Logging dan menggalakkan periwisata di Bukit Lawang, sehingga terbentuk Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI)

1.2. Rumusan Masalah

Seperti yang dijelaskan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, tentang sebagaimana manusia yang mempunyai gagasan dan pikiran untuk menjaga dan melestarikan hutan. Hutan sebagai aset yang penting bagi kehidupan masyarakat sekitar Desa Perk.Bukit Lawang, karena masyarakat dalam bidang pariwisata tergantung pada kelestarian hutan. Pasca banjir bandang yang banyak ‘menelan’ korban jiwa dan materi, masyarakat mulai sadar tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Peranan masyarakat yang dibutuhkan dalam hal ini yang sangat dibutuhkan untuk menjaga hutan agar tetap seimbang. Dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh penulis, maka rumusan masalah yang hendak diteliti adalah:

1. Bagaimana kehidupan masyarakat di sekitar hutan.

2. Bagaimana peran serta masyarakat dan organisasi lokal seperti HPI dalam menjaga dan melestarikan ekosistem hutan di Bukit Lawang, serta melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam melestarikan ekosistem hutan pasca banjir bandang.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan yang hendak dikemukakan dari adanya penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang sejauh mana peranan masyarakat dalam menjaga lingkungannya, serta bagaimana interaksi masyarakat dengan alam


(21)

sekitar, dalam hal ini masyarakat yang tinggal dekat hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan:

1. Kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan TNGL. Menggambarkan bagaimana hubungan masyarakat Bukit Lawang dengan hutan dan kawasan Taman Nasional.

2. Kebudayaan masyarakat yang dideskripsikan dari peranan masyarakat baik itu masyarakat lokal dan organisasi masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian ekosistem serta menjaga kelestarian hutan di Bukit Lawang. 3. Kinerja masyarakat dan LSM dalam melestarikan hutan, menggambarkan

apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk ekosistem hutan. Peranan dan kinerja dari masyarakat dan juga LSM ini terbentuk dari adanya ide dan gagasan yang merupakan bentuk kebudayaan mereka dalam menjaga dan melestarikan hutan agar tetap seimbang.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang bagaimana kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. 2. Hasil dari penelitian ini dapat berguna sebagai bahan bacaan bagi

masyarakat luas agar bersama-sama menjaga kelestarian hutan.

3. Memberikan manfaat bagi masyarakat untuk bersama-sama memberikan kontribusi yang berarti bagi kelangsungan ekosistem hutan dan memberikan pengertian bagi masyarakat tentang pengelolaan hutan

1.4. Tinjauan Pustaka

Secara umum kebudayaan berada dalam pikiran manusia yang didapat dari proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan


(22)

sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan yang berasal dari pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya terorganisisr dalam pikiran individu atau masyarakat tersebut (Spradley,1997 dalam Marzali,1997) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterprestasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terciptanya dan terwujudnya kelakuan. Dengan demikian kebudayaan merupakan pengetahuan yaitu sistem pengetahuan yang dipunyai oleh individu maupun masyarakat tanpa memperhatikan individunya, yang sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan atau pengetahuan tersebut didalam kehidupannya. Sejauh ini pengetahuan manusia pada masa awal adalah berburu dan meramu, berladang, pengembala ternak, dan pertanian. Manusia pada hakikatnya memang tidak bisa lepas dari alam begitupun saat ini dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Hutan merupakan salah satu bagian dari alam yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru. b.Hutan Lindung; dan c. Hutan Produksi.


(23)

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian ijin pemanfaatan kawasan,izin pemanfaatan jasa lingkungan dan lain-lainnya. UU No. 19 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan Yang Berada di Kawasan Hutan, dengan demikian kawasan hutan, terutama hutan lindung diijinkan dilakukan pertambangan dengan aturan tersebut, demi kepastian hukum dan investasi. Hal ini berarti hutan merupakan sumber daya yang mampu menciptakan sederetan jasa dan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya hasil hutan jelas merupakan sumber daya ekonomi yang potensial dan beragam. Di dalams setiap areal kawasan mampu menghasilkan sederetan hasil hutan serbaguna baik hasil hutan kayu maupun non kayu seperti hewan yang hidup didalamnya sebagai sarana pariwisata bagi masyarakat.

Hasil hutan sesungguhnya menjadi sumber daya yang mempunyai potensi dalam menciptakan benda, jasa serta aktifitas-aktifitas ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun sejauh ini hutan dijadikan sarana petumbuhan ekonomi bagi kelancaran perekonomian bagi segelintir orang saja tanpa mengetahui bagaimana hasil dari eksploitasi hutan secara berlebihan. Hal ini memberikan pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di desa Bukit Lawang, dimana banjir yang menewaskan banyak orang pada November 2003 lalu. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan yang dilakukan oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) setidaknya membuat masyarakat dan sejumlah LSM ingin menghentikan perambahan secara berlebihan.

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan


(24)

Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, pola pengelolaan hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia. Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya di satu Provinsi, yaitu Kalimantan Timur.

Hutan dipandang sebagai sumber daya penghasil devisa bagi Negara. Ancaman terhadap kerusakan hutan bukan hanya hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan tapi juga hilangnya pengetahuan lokal tentang melestarikan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Selain mengabaikan peranan penduduk lokal dalam menjaga kelestarian hutan, sering kali kebijakkan pemerintah di sektor kehutanan membatasi akses penduduk lokal terhadap kepemilikan sumber daya yang ada di kawasan hutan (Safitri, 1995). Peranan dan partisipasi masyarakat dalam penggarapan dan kepemilikan lahan sebagai wujud terselenggaranya kelestarian ekosistem dengan mempergunakan setiap hektar lahan untuk kebutuhan tertentu, tanpa melakukan eksploitasi hutan secara berlebihan.

Adapun inti dari pembinaan kawasan hutan dalam Pelita IV yaitu, mutu kawasan konservasi dan pelestarian alam yang ditingkatkan fungsinya dalam rangka perlindungan sistem penyanggah kehidupan. Menjaga keanekaragaman hayati yang dapat di peroleh secara optimal. Fungsi perlindungan terhadap mata air merupakan prioritas utama dalam pengolahan untuk hutan-hutan di wilayah padat penduduk. Sistem pengelolaan taman nasional, taman wisata alam dan hutan


(25)

wisata yang merupakan kawasan konservasi perlu disempurnakan dengan mempertimbangkan kepentingan pembangunan disektor daerah.

Kawasaan pelestarian alam dan kawasan hutan lindung dikembangkan dengan upaya menjamin pelestarian hutan tropis dan ekosistemnya, peningkatan objek wisata alam dan pendidikan sadar lingkungan bagi masyarakat luas. Peningkatan pengelolahan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam baik darat maupun laut termaksuk flora dan fauna serta keunikan alam dilakukan untuk melindungi dan melestarikan jenis spesies dan ekosistem, (Alam Setia Zain,1998)

Hutan sebagai sumber daya penting bagi kehidupan perekonomian nasional dan pelestarian lingkungan Indonesia. Sebagai mana dikemukakan oleh Spencer dalam bukunya The Survival of the Fittest, “Hanya sifat egois dapat membuat sejenis mahluk sedemikian kuatnya, sehingga ia cocok dengan alam untuk dapat bertahan dan hidup secara langsung”. Manusia menganggap dirinya kuat, dan untuk bertahan hidup maka manusia tersebut harus mengelola alam dengan sedemikian rupa agar dapat makan dan minum unuk mempertahankan hidupnya.

Fungsi ekosistem adalah agar kehidupan makhluk hidup yang ada didalamnya dapat bertahan hidup. Semua makhluk hidup harus mendapatkan masukan (input) yang terus-menerus materi dan energi. Memperoleh energi dan materi saja juga tidak akan membuat organisme hidup, harus ada output (pengeluaran) yang dihasilkan oleh organisme berupa panas dan limbah. Agar tetap hidup, organisme harus dapat menjaga keseimbangan antara input dan output materi dan energi. Begitupun dengan ekosistem hutan yang perlu dijaga


(26)

keseimbangannya antara penebangan dan penanaman hutan pohon kembali agar ekosistemnya tetap seimbang.

Hutan yang dikembangkan dengan sistem swadaya tetap berpedoman pada prinsip kelestarian hutan. Yakni hutan selain dapat dimanfaatkan kayunya juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap air dan menguatkan tanah agar terhindar dari banjir. Aspek mengurangi cara perladangan perpindahan dan dapat memenuhi kebutuhan pangan rakyat di kelestarian hutan, turut ditentukan oleh cara dan aturan teknis yang harus dilaksanakan para pengelola hutan maupun masyarakat lokal serta lembaga swadaya masyarakat yang turut berperan aktif dalam melestarikan hutan di Bukit Lawang.

Tujuan pelestarian adalah untuk mempertahankan ekosistem, luas ekosistem memungkinkan proses alam untuk terus berlanjut dengan sedikit mungkin campur tangan manusia. Pelestarian mempertahankan sebanyak mungkin habitat, oleh karena itu, pelestarian juga dilakukan untuk mempertahankan keragaman spesies. Pelestarian merupakan suatu proses pemeliharaan ekosistem, pengelolaan keragaman biologis dan lingkungan. Jadi, dalam melindungi suatu wilayah alam harus di pertimbangkan manusia disekitarnya, (Dr. Hayati, 2002).

1.5. Metode Penelitian a. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan


(27)

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode. Menjelaskan realitas sosial melalui observasi menghasilkan data deskritif berupa tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari masyarakat sekitar Bukit Lawang dan orang dalam pengelola Taman Nasional dari Gunung Leuser (TNGL).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskritif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan dan gejala suatu kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala-gejala lainnya. Metode penelitian kualitatif ini bersifat deskritif yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari informan. Informan merupakan orang yang menjadi tujuan wawancara untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat melalui wawancara dengan masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan dalam hal ini hutan untuk mendapatkan informasi mengenai peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam hal ini adalah tehnik wawancara dan observasi (pengamatan). Observasi (pengamatan) biasa yang dilakukan untuk mengamati sejauh mana kegiatan masyarakat dan melestarikan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari hal terkecil sekalipun yaitu tidak membuang sampah disungai atau contoh lain tidak menebang hutan sembarangan.

Selain itu peneliti menggunakan teknik wawancara dalam memperoleh informasi melalui wawancara mendalam dan wawancara biasa digunakan untuk


(28)

memperoleh informasi tentang peran seta masyarakat lokal maupun masyarakat luar dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan dan sungai serta mengetahui bagaimana kinerja mereka dalam melesarikannya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu dengan alat tulis berupa catatan yang menuliskan hasil dari wawancara tersebut.

Informan dalam hal ini adalah pengelola yang mengelola Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di desa Bukit Lawang dan pengelola LSM yaitu YEL (Yayasan Ekosistem Lestari) yang ada di desa Bukit Lawang ini. Kemudian informan lain adalah masyarakat lokal yang tinggal didesa tersebut, tentang bagaimana pandangan mereka tentang pelestarian lingkungan dan peranan masyarakat sebagai pengelola objek wisata di Bukit Lawang.

Menurut Koentjaraningrat (1989:30) dalam suatu masyarakat baru, tentu kita lebih dahulu memulai keterangan dari informan yang dapat memberikan keterangan yang kita butuhkan. Informan-informan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kegiatan pelestarian lingkungan, khususnya hutan yang ingin di kaji oleh peneliti.

1.6. Lokasi Penelitian

Peneliti dalam hal menentukan lokasi penelitian adalah di desa Perk.Bukit Lawang, terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Taman Nasional ini merupakan salah satu suaka margasatwa dan kawasan hutan lindung, serta tempat konservasi orangutan. Penelitian juga dilakukan pada masyarakat sekitar hutan yang bermukim dan menjadi pengelola tempat wisata Bukit Lawang, yaitu kawasan pantai (sebutan untuk daerah pinggiran sungai.


(29)

1.7. Analisis Data

Kegiatan analisis data dimulai dari peneliti mencatat setiap kejadian mengenai berbagai jawaban sebanyak mungkin yang menyangkut tentang masalah yang dikemukakan oleh peneliti. Kemudian hasil pencatatan tersebut, disusun dan berupaya menggabungkan dan menghubungkan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian, dan sesuai dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk bersikap objektif, data yang diperoleh tidak dikurangi, ditambah ataupun dirubah, sehingga tidak mengurangi keaslian data yang diperoleh oleh peneliti dilapangan.

Dalam menggunakan tehnik analisis data yang melakukan pengolahan data agar lebih mudah dipahami, karena data yang terdapat dilapangan diperoleh dalam keadaan tidak beraturan, sehingga penelitian melakuan analisis data, dalam upaya mencari hubungan antara data-data tersebut. Namun dari data di lapangan, peneliti juga mencoba beradaptasi dengan persoalan yang sedang diamati, mencari dan menimbulkan peluang terhadap munculnya data-data baru atau informan baru


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Letak Geografis Desa

Desa Bukit Lawang merupakan desa sekitar hutan yang membukit. Letak geografis desa adalah 2˚55’ -4˚05’ LU dan 98˚30’BT, dengan luas desa 192660 Ha. Ketinggian desa Perk. Bukit Lawang adalah 108 dml. Secara umum desa Bukit Lawang berbatasan dengan kabupaten lain dan berbatasan dengan propinsi lain. Untuk mencapai desa Perk. Bukit Lawang jarak yang harus ditempuh adalah 11 km dari ibukota kecamatan atau 30 menit perjalanan. Sedangkan, dari Medan menuju Bukit Lawang ‘memakan’ waktu perjalanan adalah sekitar ± 3 jam.

2.2. Sejarah Desa

Awal terbentuknya Desa Bukit Lawang ini adalah pada awal abad ke-19, saat perang Diponegoro pecah. Pada masa itu, saat pemerintahan Belanda berkuasa di Indonesia, areal perkebunan juga menjadi kekuasaan mereka. Belanda membuka lahan-lahan perkebunan hingga pelosok negeri. Sistem kerja dan tanam paksa yang diterapkan oleh belanda pada masyarakat Indonesia dengan penduduk dari pulau Jawa yang menjadi buruh kontrak pada saat itu.

Langkat yang pada saat itu merupakan salah satu bentuk kerajaan Kesultanan Langkat, juga tidak luput dari upaya belanda dalam memperluas daerah kekuasaannya. Belanda membuka kawasan perkebunan di kawasan Langkat, tepatnya di kawasan perbukitan. Buruh kontrak yang didatangkan dari pulau Jawa, dipekarjakan sebagai buruh di perkebunan yang dibuka oleh belanda. Buruh-buruh untuk tanam paksa itu disebut werek. Werek-werek tersebut


(31)

dikumpulkan di kantor pemerintahan Belanda, kemudian dihitung jumlahnya, lalu mereka dibawa menuju kearah sebelah perbukitan untuk membuka lahan baru.

Perjalanan memasuki kawasan perbukitan yang ditutupi oleh hutan lebat. Tibalah werek-werek dan pengawal belanda di satu goa. Goa tersebut adalah satu-satunya ‘Lawang’ (dalam bahasa jawa) yang artinya pintu untuk menembus ke tempat tujuan yaitu kawasan di bawah bukit. Goa yang merupakan lawang atau pintu ini yang masih ada hingga sekarang merupakan pintu untuk menembus ke kawasan bukit. Setelah keluar dari dari goa yang terlihat adalah hamparan pohon-pohon yang membukit. Sejak saat itu, buruh kontrak yang dipekerjakan di perkebunan hidup menetap dan membentuk desa yang disebut Bukit Lawang.

Menurut tokoh masyarakat, awal mula pekebunan di Bukit Lawang menjadi milik masyarakat desa adalah karena pemberian. Perkebunan milik pemerintah belanda yang berkisar 1000 Ha ditanami tembakau, namun menjelang panen, tembakau tersebut mengalami kerusakan karena adanya angin bahorok yang melanda perkebunan. Rusaknya perkebunan tembakau tersebut membuat pemerintah belanda merugi dan melihat kawasan tersebut kurang baik. Maka belanda memberikan lahan 1000 Ha tersebut kepeda masyarakat dengan perentara Sultan Langkat. Masyarakat mau menerima lahan tersebut dengan catatan, mereka dibuatkan irigasi oleh belanda. Akhirnya dibangunlah irigasi di Bukit Lawang yang disebut “kepala paret”. Irigasi tersebut masih ada hingga kini, namun penggunaanya bukan hanya sebagai pengiran ke sawah-sawah penduduk, tapi juga menjdi tempat pembuangan sampah penduduk.


(32)

2.3. Komposisi Penduduk

2.3.1. Komposisi Penduduk berdasarkan Agama Tabel. 1

No. Agama Keterangan Persentase (%) 1. 2. 3. Islam Kristen Protestan Kristen Katolik 1864 orang 133 orang 6 orang 93,06040 % 6,64003 % 0,29955 %

Jumlah total 2003 orang 100

Sumber : Data Kantor Kepala Desa 2007, dan dikelola penulis

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang beragama islam lebih banyak hingga mencapai 1864 orang. Namun hal tersebut tidak menimbulkan adanya fanatik agama diantara masyarakat. Terbukti kumpulan agama kristen tetap berjalan walaupun jumlah mereka tidak sebanyak masyarakat yang beragama islam. Kehidupan umat beragama masyarakat juga terlihat baik.

1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Tabel. 2

No. Suku Bangsa Keterangan Persentase (%) 1. 2. 3. 4 5 6 7 Batak Karo Jawa Melayu Tapanuli Banjar Minang Suku lain 223 orang 1498 orang 138 orang 59 orang 6 orang 28 orang 10 orang 11,36595 % 76,35066 % 7,03363 % 3,00713 % 0,30581 % 1,42711 % 0,50968 %

Jumlah total 1962 orang 100


(33)

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Desa Bukit Lawang adalah suku Jawa, yang berdasarkan sejarah desa menunjukkan bahwa suku Jawa pendatang dari pulau Jawa yang pertama berdiam di desa Bukit Lawang ini. Namun tidak menutup kemungkinan desa Bukit Lawang tidak berbaur dengan masyarakat dari suku lainnya. Terbukti, hingga saat ini berbagai suku bangsa sudah membaur dengan suku mayoritas, adapun suku lain yang terdapat di desa Bukit Lawang adalah suku Batak Karo, B. Toba, Minang, Banjar, Aceh, Alas dan lain-lain.

1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendididikan Tabel. 3

No. Pendidikan Keterangan Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. Belum Sekolah Tidak Pernah Sekolah Tamatan SD SLTP/Sederajat SMU/Sederajat Diploma-3 Sarjana 171 orang 10 orang 300 orang 84 orang 40 orang 5 orang 2 orang 27,94117 % 1,63398 % 49,01960 % 13,72549 % 6,53594 % 0,81699 % 0,32679 %

Jumlah 612 orang 100

Sumber : Data Kantor Kepala Desa 2007, dan dikelola penulis

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, jumlah masyarakat dengan tingkat pendidikan SD lebih banyak dari pada jumlah masyarakat yang tamat SMU. Jumlah tersebut sangat memprihatinkan di saat sekarang. Dimana, tingkat pendidikan sudah mencapai wajib belajar 9 tahun. Artinya masyarakat Indonesia


(34)

pada umumnya harus bisa menumpas buta huruf dengan memaksimalkan tingkat pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, minimal hinga tingkat SMU.

1.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Tabel. 4

No Mata Pencaharian Keterangan Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Petani Buruh Tani

Pegawai Negeri Sipil Pedagang

TNI/POLRI

Supir/penari becak motor Pramuwisata Lain-lain 125 orang 135 orang 51 orang 212 orang 8 orang 8 orang 20 orang 11 orang 21,92982 % 23,68421 % 8,94736 % 37,19298 % 1,40350 % 1,40350 % 3,50877 % 1,92982 %

Jumlah 570 orang 100

Sumber : Data Kantor Kepala Desa 2007, dan dikelola penulis Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat dengan tingkat mata pencaharian yang paling tinggi adalah di sektor pertanian. Jumlah petani yang jumlahnya mencapai 125 orang. Adapun pertanian yang dikelola oleh masyarakat setempat adalah berupa perkebunan karet dan sawit. Tamanan palawija lain seperti cokelat dan padi juga dikelola masyarakat namun jumlahnya tidak banyak. Untuk perkebunan karet, luas perkebunan adalah 1000 Ha, sementara luas perkebunan kelapa sawit adalah mencapai 800 Ha. Perkebunan kelapa sawit di kelola oleh PTP II dengan jumlah tenaga kerja 320 orang.

Masyarakat juga menanam durian, duku, rambutan, dan manggis. Selain itu, untuk menunjang kelestarian, masyarakat juga menanam pohon-pohon di ladang mereka. Jenis pohon mahoni, pohon ketapang dan pohon bayur adalah


(35)

jenis pohon yang banyak ditanam oleh masyarakat yang memiliki ladang. Mereka menganggap pohon jenis ini juga menguntungkan. Pohon tersebut bisa digunakan sebagai perlengkapan sehari-hari mereka seperti pembuatan kursi, meja dan lain-lain.

Meskipun mata pencaharian sebagian besar masyarakat dalam bidang pertanian, baik itu petani dan juga buruh tani, namun mata pencaharian sebagai pedagang juga banyak ‘dilakoni’ oleh masyarakat sekitar. Baik itu sebagai pedagang di pasar, pedagang makanan, dan pedagang kelontong. Untuk mata pencaharian lain-lain yang dapat di lihat diatas, adalah mata pencaharian lain seperti guru sekolah, pengrajin, buruh bangunan dan penjahit. Menurut masyarakat sekitar untuk mata pencaharian mereka kadang tidak menetap. Namun di desa Bukit Lawang, masyarakat tidak kehabisan akal untuk mencari nafkah. Penghasilan dari ‘ngarit’ istilah masyarakat sekitar dalam mencari sayuran pakis yang banyak tumbuh liar di ladang dan sekitar hutan. kemudian hasilnya bisa dijual ke rumah-rumah warga atau dikonsumsi sendiri.

Kebudayaan yang ada di masing-masing anggota masyarakat membentuk satu pengetahuan dan mencapai hasil yang berguna bagi masyarakat sekitar. Hal itulah yang diaplikasikan oleh masyarakat sekitar untuk bertahan hidup. Pola adaptasi masyarakat dengan lingkungan sekitar hutan yang membuat masyarakat tetap bertahan. Adaptasi atau penyesuaian adalah sebuah proses bagaimana manusia memanfaatkan secara efektif potensi energi yang terdapat di dalam habitatnya untuk tujuan-tujuan produktif (Cohen,1971 dalam Tesis S2 Fikarwin,1995). Adapatasi merupakan bentuk dari kebudayaan manusia untuk


(36)

mempertahankan hidup dan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada dalam lingkungan sekitarnya.

Sama halnya seperti kehidupan masyarakat Bukit Lawang yang hidup di sekitar hutan. Masyarakat memanfaatkan segala sesuatu yang dapat di manfaatkan untuk mempertahankan hidupnya. Salah satunya seperti memanfaatkan hutan dan sungai sebagai sarana pariwisata. Dengan demikian masyarakat mendapat keuntungan secara ekomomi dan memanfaatkan meteri tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar.

Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, masyarakat juga mendapatkan hasil dari peternakan. Beberapa masyarakat memiliki hewan ternak sebagai mata pencaharian sampingan, agar menjadi ‘pegangan’ sewaktu-waktu bila mata pencaharian utama tidak menghasilkan lagi. Hewan ternak yang dipelihara oleh masyarakat sekitar yaitu, sapi, ayam, kerbau, bebek, dan kambing.

2.4. Kondisi Bukit Lawang Pasca Banjir Bandang

Banjir bandang yang melanda Bukit Lawang pada November 2003 lalu sedikit banyak menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat desa. Betapa tidak air bah yang mampu dalam sekejap meluluh-lantahkan desa Perk. Bukit Lawang dan sekitarnya. Rumah-rumah penduduk, penginapan dan cafe-cafe disekitar sungai Bahorok yang jadi korban. Kejadian memilukan tersebut terjadi pada 2 November 2003 pada saat malam hari tersebut terjadi begitu cepat. Hingga para korban yang pada saat itu sedang tertidur tidak dapat menyelamatkan diri apalagi harta benda mereka.


(37)

Hujan deras sejak sore hari di kawasan pegunungan Bukit Barisan mengakibatkan meluapnya sungai Bahorok. Dalam sekejap air bah mencapai ketinggian 12 meter menyapu kawasan wisata hutan dan TNGL serta menelan ratusan korban jiwa termasuk wisatawan asing maupun lokal. Namun sebagian masyarakat berhasil menyelamatkan diri dari bencana yang memilukan tersebut.

Masyarakat setempat yang menjadi korban bencana alam tersebut saat ini mulai menata kehidupannya kembali. Bencana dasyat yang mampu membuat masyarakat sadar4

Kesedihan yang mendalam juga masih ‘menyelimuti’ masyarakat lainnya yang tinggal di sekitar sungai. Namun mereka tidak ingin mengingat kejadian itu lagi, sebab mereka harus melanjutkan hidup. Panataan pemukiman dan membangun kembali tempat wisata menjadi motivasi utama mereka. Pemerintah setempat memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 200 juta kepada masyarakat korban banjir serta bantuan bahan makanan dan pakaian. Pemerintah juga membangun kawasan pemukiman bagi masyarakat. Namun saat ini pemukiman

akan bencana yang bisa saja menghampiri kehidupan masyarakat kapanpun. Walaupun rasa traumatis masih ada dalam diri masing-masing orang. Tidak mau mengingat kejadian tersebut karena alasan ditinggalkan oleh anggota keluarga maupun sanak saudara mereka. Seperti yang dialami oleh Hendrik, 28 tahun yang kehilangan orangtuanya. Pemilik salah satu penginapan ini, tidak mau berbicara bila disinggung soal bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya tersebut. “Sakit rasanya ‘kalo’ ingat-ingat kejadian itu, aku cuma bisa liat rumah dan orangtuaku terbawa arus sungai”.

4

Kesadaran merupakan proses dimana masyarakat melakukan sesuatau terhadap dirinya dan lingkungan hingga membawa pengaruh yang positif terhadap lingkungan habitatnya. Dalam hal ini


(38)

tersebutkan dibiarkan begitu saja, karena menurut masyarakat pemukiman tersebut tidak layak huni. Dengan bantuan uang yang diberikan oleh pemerintah masyarakat mulai membangun kembali rumah-rumah mereka dan tak jarang bantuan dari pihak lain juga diberikan kepada para korban.

Saat ini kehidupan masyarakat sekitar sudah seperti semula, kegiatan pariwisata juga telah berjalan serta kegiatan pertanian juga telah dilakukan. Namun untuk kegiatan pariwisata yang menjadi pelaku utama adalah pihak asing yang bukan dari kalangan masyarakat sekitar. Beberapa penginapan dengan fasilitas kelas atas dimiliki oleh orang asing (orang luar negeri) seperti Rindu Alam. Selain itu, di dalam hutan didekat hulu sungai juga terdapat penginapan dengan harga Rp 200-300ribu/malam. Tentu hal tersebut sangat berbeda dengan standart penginapan bagi wisatawan lokal, pada dasarnya penginapan tersebut memang diperuntukan bagi wisatawan asing. Masyarakat sekitar yang berperan sebagai pemandu wisata sekaligus mengelola tempat tersebut, namun keuntungan tetap berpihak bagi pemilik penginapan-penginapan mahal tersebut. Masyarakat sekitar juga ada yang memiliki penginapan-penginapan dengan fasilitas dan harga yang standart.

Dalam hal guide, masyarakat lokal juga memiliki organisasi tertentu untuk membangun pariwisata yaitu HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia). Organisasi ini didominasi oleh pemuda-pemudi setempat. Mereka berupaya untuk menciptakan kelestarian lingkungan melalui bidang pariwisata. HPI adalah kumpulan guide-guide yang ada di desa Bukit Lawang. Organisasi ini sudah terbentuk sejak tahun 1990-an. Namun keorganisasiannya mulai tercipta pada kelangsuangan kehidupan ini sangat tergantung dari kondisi lingkungan yang ada dan


(39)

awal tahun 1998. Anggota dari HPI sendiri saat ini sudah berkisar 100 orang yang diketuai oleh Suhardi.

Melalui kegiatan keorganisasian ini masyarakat khususnya pemuda mengajak masyarakat sekitar untuk peduli kepada kelestarian hutan. Karena dari asumsi yang berkembang bahwa kejadian banjir bandang tersebut adalah karena rusaknya hutan akibat penebangan yang dilakukan masyarakat lokal ataupun oknum luar. Serangkaian kegiatan peletarian dilakukan oleh HPI, bukan hanya sekedar untuk memandu wisatawan untuk memperkenalkan wisata alam saja, namun kegiatan ini juga mendorong wisatawan yang mereka bawa untuk mencintai alam agar tidak merusak kelestariannya.

Kegiatan-kegian seperti disebutkan diatas adalah salah satu bentuk kesadaran masyarakat sekitar. Walaupun bentuk keorganisasian tersebut sudah ada sebelum banjir bandang, setidaknya hal tersebut memberi dampak yang baik terhadap kelestarian lingkungan, khususnya hutan karena masyarakat tinggal di kawasan sekitar hutan.

2.4. Sarana dan Prasarana Desa Bukit Lawang

Bukit Lawang yang terletak di kawasan perbukitan dan di belah oleh aliran sungai bahorok menjadikan desa Perk. Bukit Lawang menjadi kawasan pariwisata. Untuk itu, sebagian dari mata pencaharian masyarakat desa Bukit Lawang adalah di bidang pariwisata. Adapun sarana dan prasarana yang ada di tempat yang merupakan daerah wisata dapat dilihat sebagai berikut :


(40)

2.4.1. Sarana Pendidikan

Pendidikan di Bukit Lawang belum memadai, namun tidak menutup kemungkinan anak-anak di desa Bukit Lawang untuk melanjutkan sekolah. Sarana pendidikan yang ada di desa hanya TK (Taman Kanak-kanak) 1 unit, SD (Sekolah Dasar) dengan jumlah 2 unit, dan 1 unit SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Sementara untuk mencapai tingkat SMU (Sekolah Menengah Umum), anak-anak harus bersekolah di Kecamatan Bahorok. Kebanyakan anak-anak desa Bukit Lawang melanjutkan SMU di SMU yang ada di Kecamatan Bahorok atau diluar kecamatan, karena fasilitas sekolah yang ada di desa hanya sebatas TK, SD, dan SLTP saja.

Di desa Bukit Lawang menurut data dari kepala desa setempat menunjukkkan bahwa masih ada masyarakat desa yang buta huruf. Belum diketahui jelas alasan yang pasti beberapa orang masyarakat tidak dapat membaca. Jumlah yang ada menurut data dari kantor Kepala Desa adalah sekitar 12 orang. Jumlah ini akan terus bertambah bila keinginan masyarakat dalam hal bersekolah tidak besar. Untuk itu, diperlukan bimbingan orangtua dalam hal pengasuhan anak-anak. Untuk mencegah buta huruf di kalangan masyarakat. Mengingat fasilitas sekolah yang ada di desa Bukit Lawang terbatas hanya sampai tingkat SLTP saja.

2.4.2. Sarana Tempat Ibadah

Untuk sarana tempat ibadah, masyarakat yang beragama islam dapat memenuhi sholat mereka di masjid. Terdapat 5 unit masjid di Bukit Lawang yang jaraknya berjauhan, serta satu unit mushola. Masyarakat yang beragama kristen


(41)

yang ingin melakukan peribadatan mingguan, dapat dilakukan di gereja adat yang terdapat di Gotong Royong. Gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) Runggun Gotong Royong 1 unit, gereja tersebut merupakan gereja adat yang menggunakan bahasa daerah karo. Hanya itulah satu-satunya gereja yang terdapat di Bukit Lawang.

2.4.3. Sarana Kesehatan

Desa Perk. Bukit Lawang memiliki fasilitas kesehatan, walaupun jumlahnya tidak banyak. Untuk sarana kesehatan desa memiliki 1 unit Rumah Sakit Umum dengan 2 orang dokter umum, 2 unit Puskesmas, Balai pengobatan 1 unit, 1 unit toko obat dan 1 unit tempat praktek Dokter, serta 1 orang Bidan Desa. Selain itu, masyarakat juga memiliki 1 tempat dukun terlatih atau lebih dikenal dengan dukun patah.

Apotek atau tempat menebus resep dokter tidak tersedia di desa Bukit Lawang. Masyarakat masih mempercayakan kesehatan pada bidan desa dan balai pengobatan. Saat ini, di desa Bukit Lawang juga terdapat 4 unit posyandu untuk kesehatan anak-anak.

2.4.4. Sarana Listrik dan Air Bersih

Bagi Bukit Lawang, masuknya sarana listrik sudah cukup memadai. Hal ini terlihat dengan dibangunnya tiang-tiang penyalur listrik ke desa-desa dan rumah penduduk. Sarana listrik yang ada di desa Perk. Bukit Lawang adalah listrik milik PLN sehingga lebih memudahkan masyarakat dalam beraktifitas, walaupun akhir-akhir ini PLN sering mengadakan pemadaman listrik bergilir.

Sementara untuk sarana air bersih juga sudah memadai, karena alam menyediakan cukup air bagi masyarakat setempat. Air bersih yang digunakan oleh


(42)

masyarakat sekitar aliran sungai memanfaatkan air dari sungai Bahorok yang sangat jernih. Masyarakat kebanyakan membuat pipa-pipa dari sungai Bahorok yang mengalir membelah desa. Pipa tersebut di sambungkan dari sungai dan disemen agar tidak rusak, kemudian disambungkan ke rumah penduduk dan tempat-tempat penginapan sehingga masyarakat Bukit Lawang tidak akan kekurangan air bersih karena alam telah menyediakan air bersih untuk mereka.

Selain itu, masyarakat juga menggunakan air dari mata air galian atau sumur bor. Tanah digali, bila terlihat air, kemudian sumur di pasangi pipa penyedot air yang dapat digunakan dengan bantuan listrik. Fasilitas sumur bor ini banyak digunakan masyarakat sekitar 315 buah sumur bor yang terdapat di masing-masing rumah warga. Sementara masyarakat yang menggunakan air dari sungai sekitar 500 kepala keluarga.

2.4.5. Sarana Rekreasi

Bukit Lawang sendiri merupakan salah satu tempat wisata di Kabupaten Langkat, sehingga ditempat ini banyak hal-hal yang bisa dinikmati. Selain pemandangan sungai yang mengalir dengan jernihnya, pemandangan alamnya juga tidak bisa dipandang ‘sebelah mata’. Belum lagi perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Leuser yang menyegarkan, karena kita dapat memandangi hijaunya pepohonan di pagi hari dengan udara yang segar, serta keramahan masyarakat sekitar membuat kita lebih santai. Di Taman Nasional Gunung Leuser kita dapat melihat kelucuan orangutan yang sangat menghibur.

Wisatawan mancanegara tiap harinya selalu datang mengunjungi konservasi orangutan tersebut. Orangutan sangat menarik perhatian mereka,


(43)

karena di negara meraka tidak terdapat orangutan, hanya di Indonesialah orangutan terdapat. Kalaupun orangutan terdapat di luar negeri, adalah karena penelundupan atau penjualan orangutan keluar negeri. Saat ini jumlah orangutan yang ada di TNGL menurut data adalah sekitar 18 ekor, yang masuk kawasan konservasi. Sebagian besar masyarakat atau turis, bertemu dengan orangutan adalah satu pengalaman dan kebanggaan. Memang orangutan dapat dijumpai di kebun binatang, tapi nuansanya sangat berbeda ketika bertemu di alam bebas, habitatnya.

Untuk masuk ke kawasan TNGL, kita dapat berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai menuju hulu sungai. Setelah sampai di depan pintu masuk Taman Nasional, kita dapat menggunakan jasa perahu untuk penyebrangan ke TNGL. Biaya yang di keluarkan Rp 5.000 /orang untuk wisatawan lokal, sedangkan untuk wisatawan asing biaya yang dikenakan adalah Rp 15.000 atau lebih. Tarif tersebut dikenakan di waktu-waktu tertentu saja, seperti pada pukul 08.00 WIB dan pada pukul 15.00 WIB, karena pada waktu tersebutlah saat pemberian makan pada orangutan. Namun bila memasuki kawasan TNGL diwaktu lain, maka tarif yang dikenakan adalah sekitar Rp 50.000.


(44)

Gambar 1. Perahu Penyebrangan : Turis asing dan salah seorang ranger TNGL terlihat ‘tegang’ saat menaiki perahu yang di tarik menggunakan tali tambang yang di kaitkan ditiang yang di hubungkan di pohon.

.

Daya tarik objek wisata Bukit Lawang adalah pemandangan alam dan sungai Bahorok yang membelah desa. Diakhir pekan dan hari-hari besar wisatawan lokal sering menikmati sungai Bahorok dengan melakukan aktifitas mandi di sungai bersama teman ataupun bersama keluarga. Selain air sungai yang bersih dan sangat menyegarkan, bebatuan yang terdapat di sekitar sungai, juga memberikan keindahan tersendiri dari sungai Bahorok. Jangan takut tenggelam, karena sungai Bahorok tidak terlalu dalam. Selain itu, masyarakat sekitar juga menyediakan fasilitas ban karet sebagai sarana permainan air di sungai.

Fasilitas penginapan dan tempat makan atau kafe juga terdapat di sisi kanan dan kiri dari sungai Bahorok. Jadi lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. Penginapan-penginapan yang terdapat di Bukit Lawang diantaranya adalah Rindu Alam, Ecolog Cottege untuk kalangan atas dengan fasilitas VIP. Sibayak, Penginapan Yusman dan lain-lain bisa jadi alternatif untuk penginapan dengan harga standart.


(45)

Sarana penyeberangan yang menghubungkan antara sisi kanan dan kiri yang dilalui sungai, terdapat 2 buah jembatan penyebrangan. Walau terlihat tidak memadai, jembatan tersebut setidaknya sangat kokoh. Jembatan yang pertama kali dijumpai bila memasuki kawasan ‘pantai’ (sebutan untuk wisata sungai bahorok) agak sedikit goyang. Hal itu, dikarenakan jembatan dibuat agak kecil dan terbuat dari bambu dan besi-besi lunak. Jembatan tersebut hanya mampu dilalui oleh satu orang, jadi antara satu orang dan orang lainnya yang hendak menyebrang tidak bisa saling berpapasan. Sementara jembatan yang satunya dibuat agak besar dengan lebar 2 meter dan jembatan tersebut terbuat dari kayu dan besi.

Masih dari kawasan hutan, wisatawan baik lokal maupun mancanegara dapat melakukan wisata alam dan perkemahan di kawasan hutan, namun bukan di kawasan Taman Nasional. Kawasan Taman Nasional tidak terbuka untuk umum tanpa pemandu wisata. Selain perkemahan di kawasan hutan, para wisatawan juga dapat memanfaatkan jasa guide setempat untuk mencoba arena permainan air dengan ban. Wisatawan dapat merasakan pengalaman ‘mendebarkan’ dari arum jeram, serta permainan air dengan ban menyusuri sungai Bahorok. Untuk arena permainan ban, wisatawan juga harus dipandu oleh guide setempat, karena arus air sungai yang tidak menentu. Pemandu wisata akan mendampingi wisatawan selama permainan.

2.4.5. Sarana Transportasi

Bukit Lawang tidak sulit dijangkau menggunakan kendaraan umum. Melalui Terminal Pinang Baris di Medan, pengunjung harus menaiki bus jurusan Binjai. Perjalanan berikutnya dari Binjai menuju Kecamatan Bahorok akan


(46)

melewati jalanan yang rindang oleh deretan pohon karet dan kelapa sawit di perkebunan-perkebunan rakyat. Sesampainya di Desa Empus, Bohorok, pemandangan sekitar akan dihiasi hamparan sawah dan perumahan sederhana milik warga setempat. Seluruh perjalanan berjarak 96 kilometer itu ditempuh dalam waktu 3 jam.

Alat transportasi ke Bukit Lawang agak kurang memadai, terbukti dengan kurangnya alat transportasi menuju Bukit Lawang. Dari hasil pengamatan penulis dilapangan, bahwa sarana transportasi dari kota medan dapat menaiki 2 angkutan umum. Menggunakan bus umum dengan muatan penumpang 25 orang atau lebih, atau dengan menggunakan angkutan umum yang lebih kecil jenis L 300 menuju Bukit Lawang. Biaya yang dikeluarkan untuk angkutan L300 yang dapat kita jumpai di terminal Kamp. Lalang adalah sekitar Rp 12.000. Untuk bisa sampai ke “pantai” atau tempat wisata, harus menyambung dengan angkutan becak bermotor, dengan biaya Rp 5.000. Angkutan umum dari medan ke Bukit Lawang dan sebaliknya akan berhenti di terminal, dari terminal untuk mencapai tempat wisata, harus menyambung becak yang telah tersedia di terminal tersebut. Selain untuk tempat pemberhentian angkutan umum, terminal tersebut juga merupakan salah satu pasar atau masyarakat desa lebih mengenalnya dengan sebutan ‘pekan’. Pekan biasanya berlangsung setiap hari jumat.

* Kondisi Jalan Menuju Bukit Lawang

Akses jalan menuju desa Bukit Lawang cukup memadai, sebab kondisi jalan yang beraspal dan tidak ada lubang. Perbaikan jalan aspal tampaknya cepat dilakukan oleh pemerintah Langkat. Beberapa bulan sebelumnya jalan aspal menuju ke desa Bukit Lawang, keadaannya sangat buruk. Perjalanan disetiap


(47)

tikungan terganggu dengan adanya lubang di setiap jalan aspal. Panjang jalan aspal dari kecamatan Bahorok adalah sekitar 11 km, dan panjang jalan aspal di desa adalah 2700 meter.

2.4.6. Sarana Komunikasi

Untuk sarana komunikasi, desa Bukit Lawang cukup memadai. Penggunaan sarana komunikasi seperti telepon umum dan warung telepon sudah tersedia di desa. Kebanyakan masyarakat desa juga menggunakan telepon genggam atau handphone untuk memudahkan hubungan antara kerabat dan teman. Untuk pengadaan sinyal dari telepon genggam sendiri, masih kurang memadai. Bila berada di dalam rumah atau pada jam-jam tertentu, sinyal dari handphone akan hilang.

Seperti pengalaman penulis yang melakukan penelitian di desa Bukit Lawang. Untuk provider tertentu, bila dalam ruangan sinyal jarang ada atau bahkan hilang sama sekali. Provider seperti XL dan lain-lain, sinyal di dalam ruangan akan hilang, sehingga kebanyakan masyarakat sekitar menggunakan provider Telkomsel. Bila hendak ke kawasan Bukit Lawang sebaiknya gunakan provider yang benar-benar memiliki kekuatan sinyal yang memadai, agar tidak memutus hubungan telekomunikasi.

Sementara untuk pengguanaan televisi dan radio di desa telah memadai. Tidak seperti kawasan perbukitan dan kawasan hutan lainnya, desa Bukit Lawang tidak perlu menggunakan parabola untuk mendapatkan siaran televisi nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa keadaan komunikasi di desa sudah memadai.


(48)

2.4.7. Kondisi Sosial Masyarakat Bukit Lawang

Masyarakat desa Perk. Bukit Lawang memiliki pola kehidupan yang erat satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat saling berdampingan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka dalan bidang parawisata. Walaupun latar belakang suku mereka berbeda-beda, namun kehidupan bermasyarakat desa tidak pernah menimbulkan konflik antar suku ataupun antar agama.

Pembauran masyarakat yang terjadi di desa Bukit Lawang ini seperti tidak dapat dibedakan lagi dari kesukuan mereka. Orang-orang yang ada di desa ini, sangat mahir berbahasa Jawa dan Karo. Walaupun mereka bukanlah orang Karo ataupun orang Jawa, tapi dalam berkomunikasi, masyarakat sekitar sudah terbiasa dengan kedua bahasa ini. Sebenarnya hal tersebut terjadi bukan karena adanya dominasi kaum mayoritas kepada kaum minoritas. Namun lebih kepada kebiasaan yang terjadi di desa Bukit Lawang sehari-hari.

Antara tetangga saling berkumpul dan ‘bercakap-cakap’ menggunakan bahasa Indonesia, ketika berbicara dengan anggota keluarganya dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa suku bangsanya. Tetangga yang lain mulai mengikuti percakapan-percakapan yang di dengarnya sehari-hari, sehingga lama-kalamaan menjadi mahir. Berdasarkan pengamatan penulis, keakraban tersebut terjadi karena pemukiman masyarakat yang saling berdekatan. Sehingga menimbulkan hubungan yang erat antara anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.

Begitupun dengan hal keorganisasian setempat yang tetap ada walaupun masyarakat dari latar belakang suku yang berbeda-beda. Adapun organisasi adat


(49)

di desa Bukit Lawang adalah : 1). Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera); 2). Mabmi (Masyarakat Adat Budaya Melayu Indonesia; dan 3). Marga Silima, yang merupakan perkumpulan 5 marga suku karo yang terdiri dari marga, Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan Parangin-angin. Selain itu, organisasi kepemudaan pun terdapat di desa, yaitu Karang Taruna dengan jumlah anggota 26 orang. Di dalam organisasi karang taruna tersebut, segenap pemuda-pemudi yang menjadi anggota karang taruna bertujuan untuk menjalin keakraban melalui kegiatan-kegiatan positif seperti temu ramah dan lain-lain. Organisasi seperti serikat tolong-menolong yang layaknya terdapat di setiap daerah juga terdapat di desa Bukit Lawang. Saat ini jumlah anggota dari STM adalah 300 orang.

Kehidupan sosial masyarakat Bukit Lawang sangat erat, dapat dilihat golongan mayoritas beragama Islam dan kaum minoritas beragama Kristen. Namun masyarakat dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dalam hal ceremoni. Penulis mendapati suatu upacara perkawinan salah seorang anggota masyarakat yang beragama Kristen Protestan. Pada saat acara pemberkatan sesuai dengan aturan dari gereja, masyarakat yang beragama islam tidak ikut dalam upacara tersebut. Namun setelah acara di gereja selesai, masyarakat bersama-sama merayakan pernikahan tersebut. Layaknya pesta adat karo yang diadakan di Jambur5

yang terdapat di sentral desa. Masyarakat baik itu beragama kristen maupun islam, bersama-sama merayakan pernikahan tersebut, tanpa memandang agama. Bahkan masyarakat yang beragama kristen dan islam bersama-sama memasak makanan untuk perayaan tersebut.


(50)

Ternyata terdapat aturan-aturan dalam masyarakat agar terciptanya kebersamaan. Masyarakat yang beragama kristen, boleh merayakan pernikahan di desa dan di bantu oleh masyarakat dari agama lainnya, dengan catatan tidak menggunakan bahan makanan yang diharamkan oleh agama Islam. Bukan dalam perayaan-perayaan seperti itu saja penggunaan daging yang diharamkan itu dilarang. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-haripun daging tersebut tidak boleh masuk di desa Bukit Lawang. Penulis juga sulit membedakan mana agam islam ataupun agama kristen. Hal tersebut menunjukkan kehidupan sosial masyarakat yang berbaur.


(51)

BAB III

Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan

3.1.1. Hubungan Masyarakat dengan Hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, dan merupakan salah satu bagian dari bumi yang paling penting. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas dan memiliki kerapatan pohon yang sangat tinggi.

Hutan merupakan karunia dari Tuhan yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia karena dapat menghasilkan barang dan jasa serta menjaga kelestarian lingkungan. Sejak zaman dulu masyarakat sangat tergantung pada sumber daya hutan6

6

Manusia dapat bertahan karena kebutuhan manusia sudah disedikan oleh alam, manusia dapat makan, minum yang di dapat dari alam khususnya hutan. Hutan menyediakan kayu untuk

membuat rumah dan peralatan rumah-tangga, serta menyediakan hewan buruan untuk dikonsumsi , namun sekarang masyarakat tidak lagi menjaga keseimbangan antara apa yang diambil dari hutan dan yang ditinggal karena kelangsungan hidup mereka sangatlah tergantung pada apa yang tersedia di alam.

Hutan memiliki 2 fungsi yaitu: fungsi produksi (ekonomi) serta fungsi ekologi (perlindungan lingkungan). Adanya fungsi ini menuntut suatu pengelolaan hutan yang dapat mengakomodir keduanya yaitu manusia.


(52)

Hasil hutan berupa kayu dan hasil lainnya, mempunyai fungsi/nilai ekonomis yang tinggi dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Untuk mencapai semua itu manusia memiliki kebudayaan yang dapat membantu manusia dapat bertahan hidup di lingkungannya.

Selain itu tuntutan fungsi lingkungan seperti penyangga ekosistem, perlindungan lapisan tanah, perlindungan daerah aliran sungai dan produksi air bersih, penyedia habitat dan makanan bagi berbagai jenis flora dan fauna. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Semua tumbuhan dan satwa di dunia, dan juga manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Manusia adalah makhluk, dan seperti makhluk lainnya, harus menjaga hubungan adaptasi dengan ekosisitem mereka agar bisa bertahan hidup (Meggers,1971 dalam Keesing,1989)

Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Seperti halnya manusia yang hidup dengan segala keterbatasannya, namun untuk dapat terus bertahan (survive) manusia mengandalakan kebudayaannya. Dimana manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Walaupun manusia


(53)

mencapai adaptasi pada prinsipnya melalui mediun budaya, prosesnya sangat bergantung pada hukum-hukum yang sama dari seleksi alam yang mengatur adaptasi biologis (Meggers,1971 dalam Keesing,1989). Misalnya manusia ditempatkan di sekitar hutan bahkan di kaki gunung sekalipun, manusia dapat bertahan. Mengandalkan ide dan gagasannya untuk mencari cara bagaimana dapat hidup di lingkungan tertentu dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di alam.

Manusia adalah mahkluk sosial yang diberikan anugrah untuk dapat berpikir dan manusia tidak dapat hidup sendiri. Untuk itu manusia sebagai satu individu mebutuhkan individu lainnya. Kumpulan individu yang saling berinteraksi dalam satu daerah atau lingkungan tertentu dinamakan masyarakat. Semua komunitas yang secara politik dan ekonomi bertalian (dan oleh karenanya mengandung semacam sistem sosial keseluruhan) dapat dianggap sebagai suatu masyarakat (Keesing,1989). Berdasarkan ciri-cirinya, suatu masyarakat mempunyai suatu sistem sosial keseluruhan, dimana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan bahasa yang sama. Namun dalam suatu kehidupan sosial yang kompleks seperti halnya masyarakat Bukit Lawang, dapat terlihat golongan mayoritas etnis dan orang-orang pendatang yang kini saling berbaur namun tetap mempertahankan identitasnya sebagai satu suku.

Seperti masyarakat yang didominasi oleh suku Jawa, karena awal mulanya masyarakat Jawa yang berdomisili di Bukit Lawang walaupun daerah tersebut merupakan daerah kesultanan Melayu. Di kawasan Langkat memang didominasi oleh orang Melayu, namun di desa Bukit Lawang, masyarakat Jawa yang mendominasi. Hal tersebut tidak menyebabkan pengkotak-kotakan dalam


(54)

masyarakat yang dapat menimbulkan konflik. Antara masyarakat pendatang dan masyarakat yang mendominasi saling berbaur hingga membentuk satu masyarakat setempat yaitu masyarakat dari desa Bukit Lawang.

Menurut SK HKm yang menggunakan istilah ‘masyarakat setempat’ yang artinya kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama (Safitri, 2007).

Secara umum, manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hutan. Manusia bertahan hidup (survive) dengan mengumpulkan makanan alami dan berburu di lingkungan hutan dengan mengandalkan kebudayaanya. Kebudayaan (culture) merupakan hasil kreasi manusia, sebagai refleksi dari akumulasi pengalaman dalam menghadapi lingkungan fisik dan sosial (Herkovits,1967:33 dalam Rimbo Gunawan dkk) Setelah pengetahuan manusia semakin berkembang karena manusia memiliki kebudayaan berdasarkan pengalamannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada saat itu manusia hidup berpindah-pindah, namun lama-kelamaan manusia mulai berternak dan bercocok tanam, manusia tetap membutuhkan hutan secara langsung sebagai sumber berbagai macam keperluan, khususnya kayu untuk rekonstruksi rumah, alat-alat pertanian dan bahan bakar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebudayaan.

Memasuki era kehidupan dimana uang sebagai alat untuk pertukaran barang dan jasa, hutan pun tetap dibutuhkan oleh manusia. Sejak perhatian


(55)

masyarakat terorientasi pada pasar, telah terjadi perubahan pengelolaan hutan. Orientasi tanaman tidak sebatas untuk mencukupi kebutuhan pemiliknya. Pasar adalah orientasi utama hutan saat ini. Bisa dikatakan proses komersialisasi telah menggeser pola pengelolaan hutan. Yang awalnya manusia menggunakan hutan sebagai pemenuhan kebutuhan kehidupannya sehari-hari, kini beralih pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pasar dan orang-orang tertentu.

Masyarakat tetap membutuhkan jasa dari hutan, tetapi saat ini cara meperoleh hasil hutan tersebut adalah melalui kelompok lain atau lewat perantara yaitu pedagang dan penjual komoditas tersebut. Sekolah dan perkantoran membutuhkan kertas untuk kebutuhan masing-masing, namun mereka tidak butuh kayu ataupun ranting pohon. Sehingga dengan kebudayaan manusia membutuhkan pohon-pohon dari hutan, dan diproduksi sedemikian rupa hingga menghasilkan kertas. Rumah tangga membutuhkan alat-alat untuk menghiasi rumah, seperti kursi, meja dan lain-lain. Semua dihasilkan dari bahan baku kayu yang berasal dari hutan. Kesemua itu adalah rantai yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan saling menguntungkan. Dengan demikian hubungan antara masyarakat dengan hutan bersifat tidak langsung dan dalam kehidupan sehari-hari amat jarang diantara mereka yang melihat ataupun masuk hutan. Namun bila masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan hidup dengan memanfaatkan hutan, mereka tetap survive dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Seperti halnya masyarakat sekitar Bukit Lawang yang memanfaatkan hutan untuk tetap mempertahankan hidup mereka. Masyarakat memanfaatkan hutan untuk menarik wisatawan. Disamping itu, hutan di Bukit Lawang juga


(56)

merupakan kawasan TNGL. Masyarakat sekitar boleh memasuki kawasan hutan, namun di kawasan yang memang diperbolehkan seperti zona pemanfaatan dan zona penyangga. Hutan dalam kawasan zona penyangga dan zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Baik itu sebagai lahan pertanian maupun sebagai sarana pariwisata. Zona dalam kehutanan ada 2 yaitu zona budidaya dan zona lindung, dimana zona penyangga dan zona pemanfaatan termasuk kedalam zona budidaya.

Berdasarkan dari sejarah tentang awal mulanya masyarakat datang dan membentuk desa Perk. Bukit Lawang, masyarakat menentukan tempat hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu kawasan sekitar hutan. Masyarakat mencari cara bagaimana memanfaatkan lingkungan mereka untuk dapat bertahan hidup. Pilihan masyarakat dalam memanfaatkan hutan adalah sebagai lahan pertanian dan perkebunan serta untuk mengembangkan periwisata.

3.2. Kondisi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terbentang sepanjang lebih dari 100 km, mengikuti gugusan Bukit Barisan. Luas TNGL adalah 792.675 Ha, luas tersebut adalah menurut Menteri pertanian tahun 1980. Sementara menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 46/Kpts/VI-Sek/84 luasnya adalah 1.095.192 Ha, dengan ketinggian antara 0-3.381 m dpl.

Kawasan TNGL mempunyai perwakilan-perwakilan tipe ekosistem habitat yaitu hutan lumut dengan luas ± 13.480 Ha. Hutan pegunungan vulkanik dengan luas ± 101.000 Ha, hutan pegunungan kapur dengan luas ± 381.484 Ha. Hutan


(1)

Peranan masyarakat lokal dan pihak pengelola TNGL, sangat dibutuhkan dalam melestarikan ekosistem hutan. Partisipasi masyarakat tersebut, dituangkan dalam kebersamaan masyarakat dalam melakukan kegiatan yang bersifat melestarikan lingkungan khususnya hutan. Salah satu kegiatan yang diusung oleh HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) sebagai salah satu organisasi pemuda-pemudi daerah setempat ini adalah kegiatan Green Day.

Dalam kegiatan Green Day, seluruh anggota dan juga melibatkan para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk menanam 1000-2000 pohon di kawasan hutan TNGL dan hutan disekitar TNGL. Penanaman ini, dlakukan dibeberapa titik kawasan TNGL, hal ini dimaksudkan agar ‘merangsang’ kelestarian hutan. Kegiatan yang dilakukan tersebut dalam upaya partisipasi masyarakat dan organisasi lokal dalam melestarikan hutan.

Selain kegiatan bakti lingkungan tersebut, masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam penggunaan bambu. Masyarakat biasa menggunakan pohon kayu untuk membuat pondok-pondok maupun penginapan dalam hal pariwisata. Saat ini, masyarakat beralih menggunakan bambu untuk mengganti pengguanaan kayu. Hal ini dimaksudkan agar penebangan pohon kayu dari hutan dan ladang masyarakat. Namun peralihan tersebut juga memberikan manfaat yang berarti untuk menjaga kelestarian hutan.

Dari pemaparan diatas sehingga ditarik kesimpulan bahwa masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan, juga berperan dalam menjaga kelestarian hutan dengan cara mereka masing-masing. Beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dan organisasi masyarakat setempat adalah dengan mengadakan kegiatan penanaman 1000-2000 pohon di TNGL, serta melakukan


(2)

patroli bersama para ranger untuk mencegah terjadinya pembalakan liar di kawasan TNGL. Selain itu penggunaan pohon kayu dapat digantikan dengan menggunakan bambu yang juga memiliki keunggulan yang hampir sama dengan pohon kayu. Melalui pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat untuk menciptakan keselarasan antara pemanfaatan hutan dengan kelestariannya. Masyarakat bersama-sama dengan pengelola dan lembaga lainnya juga turut berpartisipasi dalam melestarikan hutan. Hal ini dilakukan agar kelangsungan hutan dan ekosistem didalamnya tetap dapat memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan begitupun sebaliknya.

5.2. Saran-Saran

Untuk menciptakan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, agak sulit dilakukan. Dengan menimbulkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan khususnya hutan bagi kehidupan masyarakat luas, maka masyarakat juga harus berperan dalam melestarikan hutan. Untuk lebih memaksimalkan terciptanya kelestarian hutan, penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Untuk masyarakat yang tinggal disekitar hutan, pemanfaatan terhadap hutan jangan terlalu berlebihan seperti menebang pohon untuk membuka lahan pertanian. Sedini mungkin masyarakat memberikan pemahaman


(3)

2. Keselaran dan saling mendukung pada setiap anggota masyarakat dan organisasi lokal yang ada, harus tetap dijaga keutuhannya. Agar menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tetap patuh terhadap peraturan pemerintah yang sudah ada tentang pengelolaan hutan serta menjaga kelestarian hutan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Budi Susilo, Y. Eko. “Menuju Keselarasan Lingkungan”. Averroses Press Malang: 2003

Bungin, Burhan, “ Analisis Data Penelitian Kualitatif “. PT. Raja Grafindo Pesada Jakarta: 2003

Dongoran, Rasyid Assaf. “Suara Rimba Alam:Lestarikan Leuser Kebanggaan Indonesia”.USU Press Medan: 2004

Gunawan, Rimbo, Juni Thamrin, dkk. “Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat”. Yayasan AKATIGA Bandung : 1998

Haryati, Dr, dkk, “ Manusia dan Lingkungan “. Buku Antar Bangsa : 2002

Ikhsan,Edi, Zulkifli Lubis, dkk, “Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional, Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis”.USU Press, Medan : 2005

Koentjaranigrat, “Metode-Metode Penelitian Masyarakat”. PT. Gramedia : 1977.


(5)

Poerwanto,Hari,Dr.“Kebudayaan dan Lingkungan, “Pustaka Pelajar Offset : 2000

Safitri, Myrna. “Hak dan Akses Masyarakat Lokal Pada Sumber Daya Hutan : Kajian Peraturan Perundangan-perundangan Indonesia”. Ekonesia : 1995.

____________ “Konstruksi Hutan Adat”. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat:2007

Sastro Supeno, M. Supriadi DRS. “Manusia, Alam dan Lingkungan,”Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:1984.

Setia Zain, Alam, SH, “Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifiksi Hutan Rakyat”. PT Rinka Cipta:1998.

Simon, Hasaru. “Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat”, Pustaka Pelajar,Yogyakarta: 2008

Sumber elektronik :

http://dewantilestari.multiply.com/journal/item/24 (22 agustus 2009)

http://www.matabumi.com/features/nilai-ekonomis-bambu-belum-meningkat (22 November 2009)


(6)

NAMA-NAMA INFORMAN

1. NAMA : RUSLINA 8. NAMA : HENDRIK UMUR : 45 TAHUN UMUR : 28 TAHUN

Pekerjaan : KEPALA DESA Pekerjaan : PEMILIK PENGINAPAN

2. NAMA : ABDUL MUIS 9. NAMA : LELA UMUR : 62 TAHUN UMUR : 42 TAHUN

Pekerjaan : SEK. DESA Pekerjaan : PEDAGANG NASI

3. NAMA : DARMA MENAYANG 10. NAMA : PAK SIREGAR UMUR : 41 TAHUN UMUR : 45 THUN Pekerjaan : GUIDE/ANGGOTA HPI Pekerjaan : PEMILIK WARUNG

4. NAMA : YANTHI Br.GINTING 11. NAMA : INDRA UMUR : 38 TAHUN UMUR : 27 TAHUN Pekerjaan : IBU RUMAH TANGGA Pekerjaan : Ranger TNGL

5. NAMA : RAIN UMUR : 31 TAHUN

Pekerjaan : GUIDE/ANGGOTA HPI


Dokumen yang terkait

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

21 157 59

Inventarisasi Jamur Makroskopis Di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara

16 150 131

Upaya Pengembangan Kawasan Wisata Bukit Lawang Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah...

0 70 2

Upaya Pengembangan Kawasan Wisata Bukit Lawang Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

1 73 2

HUBUNGAN OBJEK WISATA BUKIT LAWANG DENGAN KEGIATAN USAHA MASYARAKAT (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT BUKIT LAWANG KECAMATAN BAHOROK KABUPATEN LANGKAT).

0 3 27

Kontribusi Wisata Perairan Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Sumatera Utara

1 2 16

Pelatihan menjadi pemandu Wisata (Guide) Di desa Bukit lawang, Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat

1 6 60

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

0 0 9

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

1 1 6

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENJAGA PELESTARIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat) Skripsi

0 1 8