prinsip rule of reason dan per se illegal merupakan suatu usaha pengenalan prinsip tersebut yang telah digunakan sejak lama di Amerika sebagai konsekuensi
logis dari adopsi hukum. Kedua, kalaupun akhirnya para penulis mengemukakan bahwa ketentuan tertentu pada UU No. 5 Tahun 1999 termasuk dalam klasifikasi
tertentu dari kedua prinsip tersebut maka hal tersebut merupakan penafsiran sepihak dari para penulis. Dimana para penulis tersebut menggunakan rule of
reason dan per se illegal yang ada pada sistem hukum persaingan Amerika untuk dianalisiskan pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1999. Ketiga, berkaitan dengan dua
hal diatas perlu ditemukan ‘legitimasi’ karena pada saat pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 sering dikemukakan bahwa undang-undang tersebut merupakan
adopsi dari Sherman Act di Amerika. UU No. 5 Tahun 1999 sangat dipengaruhi oleh Antitrust Law Amerika Serikat dalam pembuatannya.
130
G. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Holding
Company yang Telah diputus oleh KPPU
1. Putusan KPPU No. 05KPPU-L2002 tentang Cineplex 21
Kasus ini berawal dari laporan sebuah LSM di Jakarta tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli. Laporan tersebut kemudian
ditindaklanjuti KPPU dengan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pelaku usaha di bidang importirdistributor film. Dari proses pemeriksaan dan
penyelidikan tersebut, KPPU mendapat 3 tiga pelaku usaha yang diduga
130
Ibid.
melakukan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Ketiganya termasuk dalam kelompok usaha Grup 21, mereka adalah :
a. PT. Camila Internusa Film PT.CIF, importirdistributor film.
b. PT. Satrya Perkasa Esthetika Film PT.SPEF, importirdistributor film.
c. PT. Nusantara Sejahtera Raya PT.NSR, pemilik bioskop Cineplex 21.
Data dan informasi lain yang didapatkan dari proses pemeriksaan dan penyelidikan tersebut adalah sebagai berikut :
131
a. PT. CIF dan PT. SPEF terintegrasi secara vertikal dengan PT. NSR dalam
rangkaian jasa pendistribusian dan penayangan film impor MPA Motion Picture Association, sebuah asosiasi produsen film-film terkenal sebagai
Major Companies, antara lain : Columbia Picture, 21th Century Fox, Buena Vista International, Metro Goldwin Meyer,dll, namun penguasaan
tersebut di bawah 50 lima puluh persen dari keseluruhan film impor sehingga bukan merupakan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud pasal
14 UU No. 5 Tahun 1999. b.
Perjanjian yang dibuat oleh PT. CIF atau PT. SPEF dengan beberapa anggota MPA tidak memuat persyaratan-persyaratan mengenai keharusan
untuk memasok kembali film kepada pihak tertentu dan atau pada tempat teretntu, atau mengenai keharusan PT. CIF dan PT. SPEF untuk bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pihak MPA, atau mengenai harga atau potongan-potongan tertentu dengan syarat membeli barang dan atau
jasa lain atau tidak akan membeli film dari produsen lain, sehingga
131
Ningrum Natasya Sirait 1, Op.Cit., hlm. 163-166
perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian tertutup sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999.
c. PT. CIF dan PT. SPEF telah menguasai distribusi film impor MPA, namun
penguasaan tersebut kurang dari 50 lima puluh persen keseluruhan film impor pada tahun 2001 dan 2002, sehingga kegiatan yang dilakukan
PT. CIF dan PT. SPEF bukan merupakan kegiatan monopoli sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999.
d. Jumlah film yang diimpor oleh PT. CIF dan PT. SPEF tidak lebih 50
dari keseluruhan film impor, sehingga bukan merupakan kegiatan monopsoni sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999.
e. Film-film impor yang ditayangkan di bioskop-bioskop milik PT. NSR
tidak bersifat sama sama eksklusif, artinay film-film tersebut bisa juga ditayangkan di bioskop non-21 pada saat bersamaan dan tidak ada paksaan
bagi importir film untuk memasok filmnya ke bioskop Grup 21, sehingga bukan merupakan kegaiatan monopsoni sebagaimana dimaksud Pasal 18
UU No. 5 Tahun 1999. f.
PT. CIF dan PT. SPEF mendistribusikan film-film impor kepada bioskop Grup 21 dan kepada bioskop non-21 berdasarkan pertimbangan teknis dan
ekonomis, sehingga bukan merupakan praktik diskriminasi sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999.
g. Penguasaan film impor oleh PT. CIF dan PT. SPEF adalah kurang dari
50, sehingga PT. CIF dan PT. SPEF tidak berada pada posisi monopoli
dan karena itu tidak berada pada posisi dominan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.
h. Meskipun PT. NSR berada dalam posisi dominan sebagaimana dimaksud
Pasal 25 ayat 2 di sebagian besar kota, namun tidak ditemukan bukti adanya penetapan syarat-syarat perdagangan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh jasa penayangan film yang bersaing atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain yang
berpotensi menjadi pesaingnya sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999.
i. Harris Lasmana dan Suryo Suherman menduduki jabatan rangkap pada
jabatan-jabatan strategis di beberapa perusahaan importir film dan atau perusahaan bioskop yang hal ini berpotensi besar untuk timbulnya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi sampai dengan berakhirnya pemeriksaan Majelis Komisi belum menemukan cukup bukti
untuk menyatakan perangkapan jabatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud
Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. j.
PT. NSR terbukti memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak di bidang perbioskopan yaitu PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu
Mitra di pasar yang bersangkutan yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop- bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih
dari 50 lima puluh persen pangsa pasar, sehingga kepemilikan saham PT. NSR tersebut memenuhi ketentuan Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.
k. Tidak ditemukan bukti bahwa PT. NSR melakukan kegiatan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.
l. Ada upaya Pemerintah Kota Makassar untuk mengatur tata edar film di
kota Makassar. m.
Pengunduran diri Harris Lasmana dan Suryo Suherman dari jabatan direksi di beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan erat dalam
bidang pendistribusian dan penayangan film patut dicatat sebagai suatau itikad baik untuk mengurangi potensi penyalahgunaan perangkapan
jabatan. Dari data dan informasi yang didapatkan, KPPU menjatuhkan putusan sebagai
berikut : a.
Menyatakan Terlapor I yaitu PT. Camila Internusa Film dan Terlapor II yaitu PT. Satrya Perkasa Esthetika Film tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 15,
132
Pasal 17,
133
Pasal 18,
134
Pasal 19,
135
Pasal 25,
136
Pasal 26,
137
Pasal 27
138
132
Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “1 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang menurut persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu. 2 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli
barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. 3 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok; a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. Tidak
akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”
UU No. 5 Tahun 1999.
133
Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “1 Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2 Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan
b. Menyatakan Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999.
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50
lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
134
Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “1 Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2 Pelaku usaha patut diduga
atau dianggap menguasai penerimaan penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
135
Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.”
136
Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “1 Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk : a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing,
baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan. 2 Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat 1 apabila : a. satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50 lima puluh persen atau lebih
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75 tujuh puluh lima persen atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.”
137
Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan tersebut: a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”
138
Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : “Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama, apabila
kepemilikan tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha usaha menguasai 50 lima puluh persen atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75 tujuh puluh lima persen atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
c. Menyatakan Terlapor I yaitu PT. Camila Internusa Film, Terlapor II yaitu
PT. Satrya Perkasa Esthetika Film, dan Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal
14 UU No. 5 Tahun 1999. d.
Menyatakan Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.
e. Memerintahkan kepada Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya
untuk mengurangi kepemilikan sahamnya di PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu Mitra dalam bentuk menjual atau mengalihkan saham
kepemilikannya kepada pihak lain atau mengambil tindakan lain sehingga tidak melanggar Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dalm waktu 48 empat
puluh delapan hari terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini. f.
Menghukum Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya untuk membayar denda Rp 1.000.000.000 satu milyar rupiah apabila Terlapor
III tidak melaksanakan diktum 5 lima di atas. g.
Menghukum Terlapor III yaitu PT. Nusantara Sejahtera Raya untuk membayar denda keterlambatan sebesar 0,1 nil koma satu persen dari
nilai denda yang dikenakan untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan diktum 6 enam hingga hari ke-30.
h. Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam diktum 7 tujuh
terlewat, maka putusan ini akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
i. Menyarankan Walikota Makassar untuk mencabut SK Nomor 542002
atau mengambil tindakan lain, sehingga tidak terjadi pengaturan tata edar film.
2. Putusan KPPU No. 07KPPU-L2007 tentang kepemilikan silang yang
dilakukan oleh Temasek holding company Kegiatan telekomunikasi di Indonesia awalnya dikuasai oleh negara
melalui Badan Usaha Milik Negara, yaitu PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. PT. Telkom Tbk. yang sampai tahun 2006 sahamnya dimiliki oleh pemerintah
sebesar 51,19 lima puluh satu koma sembilan persen dan memonopoli jasa layanan telekomunikasi domestik serta PT. Indosat Tbk. Pemerintah mengakuisisi
seluruh saham PT. Indosat Tbk. pada tahun 1980 dan memonopoli layanan jasa telekomunikasi internasional.
Revolusi teknologi telekomunikasi di Indonesia diawali dengan lahirnya PT. Satelit Palapa Indonesia Satelindo pada tahun 1993 yang mendapat lisensi
untuk Sambungan Langsung Internasional SLI, telepon seluler, dan hak penguasaan eksklusif atas beberapa satelit telekomunikasi. Satelindo
memperkenalkan layanan telepon seluler pada bulan November 1994. Sampai dengan tahun 2000, Satelindo merupakan perusaahaan joint venture antara PT.
Bimagraha Telekomindo, Detemobil Deustche Mobilfunk GmbH, PT. Telkom, PT. Indosat.
Pada tanggal 26 Mei 1995 lahir PT. Telekomunikasi Seluler Telkomsel sebgai penyedia jasa layanan telekomunikasi seluler sekaligus sebagai opertaor
pertama di Asia yang memberikan layanan kartu prabayar. Sampai tahun 2000, Telkomsel merupakan anak perusahaan Telkom dan Indosat.
Pada bulan Oktober 1996, PT. Excelcomindo XL mulai beroperasi di pasar seluler Indonesia dan ikut meramaikan persaingan layanan telekomunikasi
seluler disusul oleh PT. Indosat Multi Media Mobile IM3 pada bulan Mei 2001 mulai beroperasi Agustus 2001.
139
Pada tahun 1999 diterbitkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk mendorong industri
tekekomunikasi berkembang dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 dan penjelasannya.
140
Saham Telkomsel pada tahun 2001 yang dimiliki oleh KPN Netherland sebesar 17,28 tujuh belas koma dua puluh delapan persen dan yang dimiliki
oleh PT. Setdco Megacell Asia sebesar 5 lima persen dialihkan seluruhnya kepada Singapore Telecomunications Ltd. SingTel melalui Singapore Telecom
Pada tanggal 3 April 2001 PT. Indosat dan PT. Telkom sepakat menghilangkan kepemilikan
keduanya pada Telkomsel, Satelindo, dan Lintas Artha. Kesepakatan tersebut mengubah struktur kepemilikan di Telkomsel dan Satelindo. Telkom mendapat
tambahan saham di Telkomsel dari Indosat sebesar 35 tiga puluh lima persen sedangkan Indosat mendapat tambahan saham sebesar 22,5 dua puluh dua
koma lima persen.
139
Putusan Perkara No.07KPPU-L2007, hlm. 8.
140
Pasal 10 UU No 36 Tahun 1999 : 1 Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
di antara penyelenggara telekomunikasi. 2 Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas pasal ini adalah: Pasal ini
dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antarpenyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksananya.
Mobile Pte.Ltd SingTel Mobile dan diikuti dengan penjualan saham Telkomsel yang dimiliki oleh PT. Telkom Tbk. kepada Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd
pada tahun 2002, sehingga total kepemilikan saham Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd di PT. Telkomsel sebesar 35. Dalam hal ini Temasek Holding Company
merupakan pemegang 54,15 lima puluh empat koma lima belas persen saham di Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd.
141
Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara FSP BUMN BERSATU pada tanggal 18 Oktober 2006 membuat laporan tentang dugaan
terjadinya persekongkolan tender oleh pihak PT. Indosat Tbk. Namun pada tanggal 2 April 2007, pihak FSP BUMN yang melaporkan kasus ini justru
mencabut laporan soal monopoli Temasek Holding Company yang telah ditujukan kepada KPPU dengan berbagai alasan
142
a. Bukti-bukti tidak kuat dan tidak berdasarkan hukum.
yaitu :
b. Dampak berita yang keluar terkait laporan tersebut melebar, sehingga
pelapor khawatir digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan lain.
c. Menjaga iklim kondusif investasi yang tengah diupayakan secara sungguh-
sungguh oleh pemerintah demi memperbaiki perekonomian nasional. d.
Laporan tidak mendapat tanggapan KPPU selama lima bulan. Perkara yang ditangani KPPU didasarkan pada dua sumber yaitu: Pertama,
berdasarkan laporan masyarakat dan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1
141
Ibid., hlm. 9.
142
Satya Wijayantara, “FSP BUMN Bersatu cabut Laporan dugaan monopoli Temasek ke KPPU”,
www.fspbumnbersatu.wordpress.com2007042001fsp-bumn-bersatu-cabut-laporan- dugaan-monopoli-temasek-ke-kppu diakses tanggal 29 April 2015.
UU Nomor 5 Tahun 1999. Kedua, berdasarkan inisiatif KPPU sendiri.
143
KPPU berhak melakukan monitoring terhadap suatu kelompok usaha apabila sudah ada
laporan berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, KPPU menemukan bukti kuat bahwa
kelompok usaha Temasek memiliki saham mayoritas pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, sehingga melanggar Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999. Untuk itu, Tim Pemeriksa menerbitkan Keputusan Nomor: 152KEPKPPUVIII2007 tentang
Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor: 07KPPU-L2007 terhitung sejak tanggal 16 Agustus 2007 sampai dengan 27 September 2007 dengan hasil
bahwa Temasek Holdings, Pte. Ltd. bersama 9 perusahaan yang termasuk dalam kelompok usaha Temasek Holding secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal
27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.
144
143
Destivano Wibowo Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005, hlm. 8.
UU No. 5 Tahun 1999 dalam konteks ini mempunyai fungsi untuk mencegah agar tidak terjadi pemusatan kekuatan ekonomi pada satu perusahaan
atau satu kelompok usaha tertentu saja. Hal ini tentu sejalan dengan tujuan pembentukan UU tersebut. KPPU dalam hal ini telah memutuskan akibat dari
kepemilikan silang oleh Kelompok Usaha Temasek telah melanggar Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai kepemilikan silang. Putusan KPPU tersebut
kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung.
144
Budiyana, “Anotasi Kasus Temasek”, http:budiyana.wordpress.com20080124anotasi-kasus-temasek diakses tanggal 1 Mei 2015.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga independen dalam setiap putusannya wajib mengimplementasikan UU No. 5 Tahun 1999. Banyak
kalangan meragukan independensi KPPU. Selama ini KPPU telah mengalami banyak intervensi baik dalam bentuk institusi maupun keputusan, terutama dalam
menangani kasus dalam skala besar. Sebagai lembaga pengawas, KPPU menjalankan fungsinya dalam
menegakkan hukum persaingan usaha. Walaupun KPPU pada saat-saat berdirinya berada dalam kondisi nasional yang kurang mendukung secara kondusif dalam
iklim persaingan sehat. Pada awal berdirinya, KPPU telah mampu menghasilkan putusan perkara persaingan usaha yang terbilang besar. Misalnya penjualan saham
Indomobil, persekongkolan dalam penjualan 2 dua unit tanker pertamina, serta kasus Temasek. Bahkan beberapa tahun terakhir, KPPU berhadapan dengan
Badan Usaha Milik Negara, dan perusahaan rekanan pemerintah daerah. Dari catatan positif tersebut, KPPU sebagai lembaga yang keberadaannya baru
beberapa tahun belakangan sudah cukup berhasil dalam melaksanakan tugasnya.
H. Pencegahan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam