Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999

G. Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 7 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 terdapat 10 macam perjanjian yang dilarang untuk diadakan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, 78 1. Perjanjian yang bersifat oligopoli yaitu : Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian dengan Luar Negeri. Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perusahaan seringkali terjadi melalui perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pelaku usaha. Perjanjian yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Oligopoli adalah penguasaan pangsa pasar yang besar dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaku pasar. 79 Bentuk pasar oligopoli ini berada diantara monopoli dan pasar persaingan sempurna, dimana pasar memperdagangkan barang-barang yang sifatnya Ketentuan Pasal 4 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999 mencantumkan larangan perjanjian yang bersifat oligopoli karena dapat menimbulkan penguasaan pasar kolusif bersatu, yang dikuasai beberapa pelaku usaha untuk jenis komoditi homogen. 78 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 191. 79 Munir Fuady 2, Op.Cit., hlm. 217. homogen. Dalam pasar oligopolistik barang homogen biasanya terjadi keterkaitan reaksi, karena apabila ada seorang pedagang yang menaikkan harga barang dagangannya, maka pedagang lainnya ikut menaikkan harga. 80 2. Perjanjian penetapan harga price fixing agreement Perjanjian penetapan harga dibedakan menjadi 4 empat kategori, menurut Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu : 81 a. Penetapan harga price fixing Penentuan suatu harga umum untuk suatu barang dan jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara bersama-sama, atau sebaliknya atas pemasok yang menetapkan harga sendiri secara bebas. b. Diskriminasi harga price discrimination Penetapan harga kepada satu konsumen berbeda dari harga yang ditetapkan pada konsumen lain atas suatu barang danatau jasa yang sama dengan alasan yang tidak terkait dengan biaya produksi. c. Penetapan harga dibawah harga pasar predatory pricing Strategi yang biasa dilakukan perusahaan yang dominan untuk menyingkirkan pesaingnya di suatu pasar dnegan cara menetapkan harga atau harga penjualan yang sangat rendah dan umunya dibawah biaya variabel. d. Penetapan harga jual kembali resale price maintenance Kesepakatan antara pemasok dan distributor tentang pemasokan barang danatau jasa tertentu yang didasarkan pada kondisi kesepakatan bahwa pihak 80 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 195. 81 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 118. distributor akan menjual kembali pada harga yang ditetapkan secara sepihak atau ditentukan oleh pihak pemasok. 3. Perjanjian pembagian wilayah Ketentuan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, dengan pengaturan secara per se illegal. Perjanjian pembagian wilayah dpat bersifat vertikal atau horizontal, dan yang dilarang oleh Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian horizontal antara sesama pelaku usaha atau antara para pelaku usaha pesaing. 82 4. Perjanjian pemboikotan Salah satu bentuk perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian pemboikotan. Larangan pemboikotan terdapat dalam Pasal 1o UU No. 5 Tahun 1999. Bentuk perjanjian pemboikotan tersebut adalah sebagai berikut : 83 a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang danatau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut merugikan atau membatasi 82 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 84. 83 Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 92. pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang danatau jasa dari pasar bersangkutan. 5. Perjanjian kartel Kartel cartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli. 84 6. Trust Larangan membuat perjanjian kartel ini terdapat dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Trust adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar yang bertujuan untuk mengontrol produksi danatau pemasaran atas barang danatau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 85 7. Oligopsoni Larangan perjanjian trust terdapat dalam ketentuan Pasal 12 UU No.5 Tahun 1999. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oligopsoni adalah situasi pasar yang sebagian pembelinya dapat mempengaruhi pasar secara tidak seimbang. Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur ketentuan oligopsoni yang melarang pelaku usaha dengan pelaku usaha lain melakukan perjanjian yang bertujuan secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan. 86 84 ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi Elips Jakarta: Proyek ELIPS, 1997, hlm. 21. 85 Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm. 92. 86 Ibid. 8. Integrasi vertikal Secara umum, yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah suatu penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. 87 9. Perjanjian tertutup exclusive dealing Ketentuan mengenai larangan integrasi vertikal terdapat dalam Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999. Namun yang harus dipertegas dalam pasal ini adalah penguasaan perjanjian produksi bukan distribusi. Dengan kata lain, pasal ini melarang terjadinya hambatan persaingan usaha yang diakibatkan oleh perjanjian- perjanjian yang bertujuan untuk menguasai produksi. Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari satu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau pada perspektif lain, dalam rangka memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalurkan kepada pihak lain. 88 10. Perjanjian dengan luar negeri Ketentuan mengenai perjanjian tertutup terdapat dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Permasalahan yang muncul dari rumusan pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 adalah keharusan adanya perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam 87 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm. 129 88 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 130. negeri dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian diantara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini. 89 Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia BRTI dan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia ATSI pada bulan Juni 2007 menghasilkan keputusan yang meminta kepada seluruh anggotanya untuk membatalkan kesepakatan harga SMS. Namun, KPPU tetap tidak melihat adanya perubahan harga SMS off-net. Fakta yang ditemukan KPPU bahwa konsumen mengalami kerugian yang dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitih Praktik perjanjian yang dilarang dalam penyelenggaraan perusahaan dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Salah satu contoh praktik perjanjian yang dilarang adalah kasus kartel tarif Short Message Service selanjutnya disebut SMS di tahun 2007. Pada kasus ini, para operator telekomunikasi ternyata menyepakati tarif SMS yang harus dibayar oleh konsumen masing-masing. Fakta ini muncul setelah KPPU melakukan pemeriksaan terhadap 9 sembilan operator seluler di Indonesia yang diduga melakukan penetapan harga SMS off-net SMS antar operator pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008. Operator yang diduga melakukan pelanggaran tersebut adalah PT. Excelkomindo Pratama Tbk, PT. Telekomunikasi Seluler, PT. Indosat Tbk, PT. Telkom Tbk, PT. Huchison CP Telecommunication, PT. Bakrie Telecom, PT. Mobile-8 Telecom, PT. Smart Telecom, dan PT. Natrindo Telepon Seluler. 89 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 362. SMS off-net setidak-tidaknya sebesar Rp 2.827.700.000,00 dua milyar delapan ratus dua puluh juta tujuh ratus ribu rupiah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha akhirnya memutuskan bahwa PT. Excelkomindo Pratama Tbk, PT. Telekomunikasi Seluler, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT. Bakrie Telecom, PT. Mobile-8 Telecom, PT. Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 dan dihukum untuk membayar denda yang telah ditentukan.

H. Kegiatan yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999