Iklim Persaingan Usaha di Indonesia setelah Lahirnya UU No. 5 Tahun

51 BAB III PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN MENURUT UU NO. 5 TAHUN 1999

F. Iklim Persaingan Usaha di Indonesia setelah Lahirnya UU No. 5 Tahun

1999 1. Berbagai peraturan perundang-undangan tentang persaingan usaha sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 Saat ini, bagi Indonesia, pengaturan persaingan usaha bersumber pada UU No. 5 Tahun 1999. Namun, sebelum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999, terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap praktik persaingan usaha curang dan praktik monopoli yang dilakukan oleh seseorang atau pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 382 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHPidana. 63 Unsur-unsur Pasal 382 bis KUHPidana lebih menekankan pada perbuatan penipuan dalam usaha perdagangan yang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara mengelirukan atau merugikan orang lain. 64 63 Pasal 382 bis W.V.S KUHPidana : “Barangsiapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling lama 1 satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp 13.500,00. 64 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 20. Demikian pula pesaing yang dirugikan akibat praktik-praktik dagang yang curang tersebut, dapat menuntut secara perdata berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 65 UUD 1945 juga tidak menghendaki adanya tirani minoritas dan free fight liberalism dalam artian negara melalui UUD 1945 tidak menghendaki sistem perekonomian yang hanya menguntungkan pelaku ekonomi kuat dan tidak memungkinkan ekonomi kerakyatan berkembang. Karena pada dasarnya sistem perekonomian yang dianut oleh bangsa Indonesia mengacu kepada pasal 33 UUD 1945. Didalamnya menjelaskan bahwa sistem perekonomian adalah usaha bersama berarti setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam menjalankan roda perekonomian dengan tujuan untuk mensejahterakan bangsa. Di dalam perekonomian Indonesia tidak dikenal adanya usaha monopoli dan monopsoni baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 13 ayat 2, memuat ketentuan bahwa pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. 66 Peraturan Pemerintah PP Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum, pada Pasal 15 Ayat 1 disebutkan, merger dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menteri Keuangan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyebutkan bahwa pemerintah harus menjaga iklim usaha erat kaitannya dengan persaingan untuk melindungi usaha-usaha kecil dan pemerintah harus mencegah pembentukan struktur pasar 65 Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” 66 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm.73. yang mengarah pada pembentukan monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 juga memuat ketentuan yang melarang penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu melalui tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi perseroan. Upaya pencegahan terhadap terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terdapat dalam ketetapan MPR, yaitu: 67 a. Ketetapan MPR RI No. IVMPR1973 tentang GBHN bidang Pembangunan Ekonomi; b. Ketetapan MPR RI No. IVMPR1978 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi pada Sub Bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah; c. Ketetapan MPR RI No. IIMPR1983 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Swasta Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah; d. Ketetapan MPR RI No. IIMPR1988 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Nasional. 2. Latar belakang lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 Persaingan usaha menjadi salah satu instrumen ekonomi sdalam perkembangan sistem ekonomi sejak saat reformasi digulirkan. Sebetulnya, sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. 67 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha : Teori dan Praktiknya di Indonesia Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 29. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena pengausa sering memberikan perlindungan ataupun privileges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. 68 Secara umum, latar belakang lahirnya UU No.5 Tahun 1999 dibagi dalam tiga bagian, yaitu : 69 a. Landasan yuridis Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 , jelas termaktub bahwa tujuan pembangunan nasional adalah “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Bidang perekonomian, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 menghendaki kemakmuran masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara individu. Secara yuridis melalui UUD 1945, sistem perekonomian yang diinginkan adalah sistem yang menggunakan prinsip keseimbangan, keselarasan, serta memberi kesempatan usaha bersama bagi setiap warga negara. Berdasarkan norma dasar negara di atas, maka pembangunan ekonomi Indonesia haruslah bertitik tolak dan berorientasi pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut diwujudkan melalui 68 Arie Siswanto, Loc.Cit. 69 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm. 19. demokrasi ekonomi sebagaimana dikehendaki berjalan seiring dengan kehendak rakyat Indonesia untuk berdaulat di negerinya sendiri. Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan. Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorangan. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan perorangan. Dengan kata lain, semua kegiatan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, sebenarnya aturan-aturan yang terkait dengan persaingan usaha juga telah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebelumnya, seperti pembahasan penulis pada sub bab sebelumnya, namun tentu belum terintegrasi dan komprehensif. b. Landasan sosio-ekonomi Secara sosio-ekonomi, lahirnya UU No.5 Tahun 1999 adalah dalam rangka utnuk menciptakan landasan ekonomi yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan “bebas” dari distorsi pasar. 70 Pada saaat orde baru sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, karena Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi sebagai 70 Ibid., hlm. 21. lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan itu diberikan perlakuan khusus. Implikasi dari persaingan usaha tidak sehat di Indonesia akhirnya terlihat ketika badai krisis moneter terjadi pada tahun 1997. Banyak perusahaan- perusahaan Indonesia yang akhirnya bangkrut. Hal itu disebabkan tidak kompetitifnya daya saing pelaku usaha di Indonesia karena kondisi persaingan usahanya yang cendering monopolistic. Kondisi ini semakin dipersulit dengan munculnya inflasi, infrastruktur ekonomi, defisit neraca pembayaran dan kebutuhan pangan yang belum tercukupi serta struktur pasar monopoli. 71 Krisis ekonomi dipandang sebagai momentum untuk melakukan berbagai deregulasi dalam dunia ekonomi. 72 IMF International Monetary Fund mau memberikan bantuannya dengan berbagai persyaratan yang salah satunya adalah dibuatnya Undang-Undang Antimonopoli. 73 c. Landasan politis dan internasional Permasalahan persaingan usaha di Indonesia juga menjadi perhatian serius dari IMF International Monetary Fund sebagai lembaga dunia yang mengucurkan kredit bagi negara-negara yang dilanda krisis moneter sehingga dalam memorandum tambahan tentang kebijakan ekonomi pada Memorandum of Understanding MoU antara IMF dengan Indonesia, pembuatan Rancangan Undang-Undang Persaingan Usaha adalah salah satu poin yang dipersyaratkan oleh IMF. 74 71 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 100. 72 M. Udin Silalahi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya Yogyakarta: CICODS FH-UGM, 2009, hlm. 9. 73 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 101. 74 Elyta Ras Ginting, Op.Cit., hlm. 3. Pada tanggal 15 Januari 1998 Pemerintah Indonesia dan IMF International Monetary Fund telah menandatangani Letter of Intent LoI yang kemudian dipertegas lagi dan dituangkan dalam Memorandum Tambahan mengenai Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Pemerintah Supplementary Memorandum of Economic and Financial PoliciesMEFP of the Government of Indonesia pada tanggal 10 April 1998. Hal tersebut membawa 34 tiga puluh empat anggota DPR dari 4 empat Fraksi dengan menggunakan hak inisiatifnya mengusulkan dan mengajukan Rancangan Undang-Undang Persaingan Usaha pada tanggal 2 September 1998. 75 3. Iklim persaingan usaha di Indonesia setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 Akhirnya pada tanggal 5 Maret 1999, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden dan baru berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa, “Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 satu tahun sejak tanggal diundangkannya.” Di Indonesia UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 5 Maret 1999. Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 satu tahun sejak tanggal diundangkan, yang berarti bahwa UU No.5 Tahun 1999 mulai berlaku efektif sejak tanggal 5 Maret 2000. Sejalan dengan diundangkannya UU 75 Elyta Ras Ginting, Loc.Cit. No.5 Tahun 1999, hukum persaingan usaha pun mulai dikenal dan berkembang di Indonesia. 76 Kehadiran UU No.5 Tahun 1999 tidak semata-mata memenuhi tuntutan dari berbagai pihak, tetapi yang lebih utama adalah sebagai landasan hukum atau rule of the game dalam upaya menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Setelah Indonesia mempunyai UU No.5 Tahun 1999 sebagai pengawal hukum persaingan usaha di Indonesia, persaingan usaha di Indonesia terus berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sesuai dengan tujuan dari hukum persaingan itu sendiri yaitu mendorong perkembangan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat consumer welfare, dalam penerapan UU No.5 Tahun 1999 pada kasus persaingan usaha, tidak saja menggunakan analisis hukum secara normatif tetapi juga menggunakan analisis ekonomi, yaitu apakah suatu dugaan pelanggaran UU No.5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh suatu pelaku usaha mempunyai akibat ekonomi baik bagi pelaku usaha lain danatau kepada konsumen. 77 76 M. Udin Silalahi, Op.Cit., hlm. 1. 77 Hermansyah, Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 56. Menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif, terutama di negara yang relatif baru mengatur persaingan usaha seperti di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Salah satu hambatan yang akan dihadapi adalah mengubah paradigma baik dari segi pembuat kebijakan Pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat. Untuk itu diperlukan adanya sosialisasi secara berkesinambungan terhadap UU No.5 Tahun 1999 agar dapat meningkatkan pemahaman kesadaran para pengambil kebijakan, penegak hukum, pelaku usaha, dan masyarakat. Persaingan usaha di Indonesia agar berjalan secara efektif tidak cukup hanya dengan membentuk UU No.5 Tahun 1999. UU No.5 Tahun 1999, tetapi juga sekaligus mengatur pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha selanjutnya disebut KPPU sebagai pengawas dan penegak hukum persaingan usaha. Pembentukan KPPU merupakan usaha untuk menampung aspirasi dunia usaha Indonesia yang menginginkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha. Setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1999, pasar yang protektif menjadi pasar terbuka bagi setiap pelaku usaha baik pelaku usaha kecil, menengah dan terjadinya persaingan yang sehat berdasarkan UU No.5 Tahun 1999. Bentuk- bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha besar dan pelaku usaha yang memiliki hubungan khusus ke Pemerintahan sudah dihilangkan. Keterkaitan antara persaingan usaha dan perlindungan konsumen tidak dapat dihindarkan. Keterkaitan hukum legal linkage antara persaingan usaha dan perlindungan konsumen menjadi sebuah terobosan apabila ditinjau dalam konteks UU No. 5 Tahun 1999 karena UU No. 5 Tahun 1999 tidak secara eksplisit mengatur keterkaitan antara larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai bentuk atau langkah untuk melindungi kepentingan konsumen. Pengutamaan pada kepentingan konsumen menjadi dampak akhir yang diharapkan bagi perkembangan hukum persaingan indonesia. Dimana selama ini kepentingan konsumen belum menjadi prioritas KPPU yang melatarbelakangi setiap keputusannya. Putusan-putusan KPPU cenderung fokus pada analasis pelanggaran ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 pendekatan per se illegal dan dampak dari perilaku usaha yang mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat pendekatan rule of reason. Penggunaan pendekatan rule of reason yang mengkaji keberadaan dampak perilaku usaha yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999 belum masuk pada ranah perlindungan konsumen. Salah satu penyebabnya adalah legal linkage antar dua ranah hukum tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang. Meskipun dapat dikemukakan argumen bahwa ranah perlindungan konsumen termasuk dalam terminologi kepentingan umum sebagaimana tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999. Beberapa putusan-putusan KPPU mendapat sorotan dari masyarakat, misalnya putusan KPPU No.03KPPU-L-I2000 tentang kasus Indomaret dan kasus penjualan saham Indomobil pada putusan KPPU No.03KPPU-I2001. Kasus ketiga yang menjadi perdebatan publik adalah kasus Temasek yaitu putusan KPPU No.07KPPU-L2007. Putusan ini disebut sebagai putusan terbaik dari KPPU karena putusan ini sangat kompleks. Dikatakan kompleks karena melibatkan beberapa perusahaan asing dan domestik secara bersamaan. Yang menjadi isu pelanggarannya juga memerlukan pembuktian yang baik dari aspek hukum dan aspek ekonominya.

G. Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999