Hubungan Induk dan Anak Perusahaan dalam Kaitannya dengan

F. Hubungan Induk dan Anak Perusahaan dalam Kaitannya dengan

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dunia usaha harus dan berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan uusaha yang sehat, serta terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu. Pembentukan perusahaan grup pada awalnya bertujuan untuk mempermudah jalannya perusahaan serta efisiensi biaya. Namun, seiring berjalannya waktu, perusahaan grup dianggap berpotensi melanggar hukum persaingan usaha. Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-anak perusahaan dalam suatu kesatuan ekonomi. Pimpinan sentral ini menggambarkan suatu kemungkinan melaksanakan hak atau pengaruh yang bersifat menentukan. Pelaksanaan pengaruh dalam perusahaan grup dapat bersifat mengurangi hak atau mendominasi hak perusahaan lain. Atas kewenangan induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan, induk perusahaan dianggap menjalankan fungsi sebagai holding company. Pengendalian induk terhadap anak perusahaan mengacu kepada aktualisasi kewenangan induk perusahaan melalui kebijakan atau instruksi untuk mengarahkan kegiatan usaha anak perusahaan dalam mendukung kepentingan ekonomi perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi Hubungan yang terjadi antara induk perusahaan dan anak perusahaan sangat berpotensi untuk menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan sejak proses pembentukan perusahaan grup, yakni melalui integrasi vertikal, perusahaan sudah berpotensi menguasai produksi. Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 melarang terjadinya hambatan persaingan usaha yang diakibatkan oleh perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk menguasai produksi. Suatu kelompok usaha yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar mampu mempengaruhi kelompok usaha lainnya untuk melakukan hal-hal yang dilanggar dalam UU No. 5 Tahun 1999 seperti melakukan perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan. Hubungan yang terjadi antara induk perusahaan dan anak perusahaan seringkali memicu terjadinya praktik monopoli san persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut dapat terjadi melalui 3 tiga bentuk. Bentuk pertama adalah melalui perjanjian yang dilakukan oleh tiap perusahaan, perbuatan mengikatkan diri antar perusahaan ini berpotensi untuk menyimpang menjadi perjanjian yang dilarang. 1. Perjanjian yang dilarang Pengertian perjanjian menurut versi hukum persaingan terdapat dalam Pasal 1 angka 7 UU No.5 Tahun 1999 “perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah dua pelaku usaha atau lebih dalam konteks strategi pasar. Dengan demikian esensi perjanjian adalah saling bersepakatnya antar pesaing tentang tingkah laku pasar mereka, baik seluruhnya ataupun menyepakati tingkah laku bagian tertentu dari keseluruhan tingkah laku pasar. Akibatnya pesaing tidak lagi tampil secara terpisah dan tidak lagi mandiri di pasar. 120 2. Kegiatan yang dilarang Jenis-jenis perjanjian yang dilarang terdapat dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999. Perjanjian yang sering terjadi diantara perusahaan grup adalah perjanjian penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, trust, integrasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Dalam praktik nyata, trust seringkali terjadi. Pada zaman orde baru, hal ini dianggap lumrah. Masing- masing konglomerat ingin membangun raksasa ekonomi. Namun semenjak reformasi, dan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1999, hal ini masih saja terjadi. Padahal Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 sudah secara jelas menyatakan bahwa tidak boleh ada pemusatan kekuatan ekonomi dengan menggabungkan atau membuat perusahaan yang lebih besar. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bentuk kedua adalah melalui kegiatan perusahaan. Induk perusahaan dan anak perusahaannya sebagai suatu kesatuan juga tidak jarang melakukan kegiatan yang menjurus pada kegiatan yang dilarang menurut UU No. 5 Tahun 1999. Hubungan yang dilakukan antara induk perusahaan dan anak perusahaan meliputi kegiatan usaha. Namun, perlu dicermati bahwa ada beberapa kegiatan 120 Hukum Persaingan Usaha, http:skullcmeira.blogspot.com201110hukum-persaingan- usaha.html diakses tanggal 28 April 2015. yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 yakni kegiatan monopoli, monoposoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. Ketentuan tentang kegiatan yang dilarang terdapat dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999. Kegiatan perusahaan grup yang paling sering dijumpai adalah kegiatan monopoli. Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu perusahaan saja dan perusahaan ini menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat. Artinya Pasar Monopoli terjadi dimana hanya ada satu penjual produk, dan tidak ada produk lain yang menjadi pengganti no substitutes dari produk yang diperdagangkan oleh si monopolis orang yang menjalankan monopoli. Seluruh pasar yang bersangkutan, dia sendirilah yang menguasainya, dengan kata lain, di pasar itu tidak terdapat barang lain yang sejenis, sehingga si monopolis tidak perlu mempertimbangkan pengaruh kelompok usaha lain terhadap ketetapannya mengenai harga maupun jumlah yang diperdagangkan. Namun, ada pengecualian bagi kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh PT. KAI yang merupakan badan Usaha Milik Negara BUMN yang menyelenggarakan jasa transportasi darat. PT. KAI tidak menghadapi persaingan secara langsung dari perusahaan kereta api lainnya karena sampai saat ini memang tidak ada penyelenggara jasa transportasi darat kereta api dari swasta, walaupun PT. KAI tidak mengalami persaingan secara langsung, tetapi PT. KAI akan menghadapi persaingan secara tidak langsung dari jasa transportasi darat lainnya, misalnya bus antar kota dan travel. Kegiatan PT. KAI ini tidak dianggap sebagai kegiatan monopoli. Bentuk ketiga adalah melalui posisi dominan. Posisi dominan menjadi hal yang paling terlihat mencolok sebagai bentuk nyata hubungan antara induk dan anak perusahaan. Posisi dominan dapat terjadi karena adanya jabatan rangkap, pemilikan saham, serta proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 3. Posisi dominan Suatu perusahaan disebut sebagai induk perusahaan apabila ia menguasai lebih dari 50 lima puluh persen saham pada anak perusahaannya. Hal ini memungkinkan direksi atau komisaris pada induk perusahaan merangkap sebagai direksi dan komisaris pada anak perusahaan. Polemik yang terjadi adalah kita harus memandang masing-masing perusahaan ini sebagai subjek hukum mandiri, padahal dalam kenyataannya mereka adalah satu kesatuan ekonomi. UU No. 5 Tahun 1999, Pasal 25 sampai Pasal 27 mengatur tentang dilarangnya posisi dominan dalam praktik penyelenggaraan perusahaan, karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa posisi dominan itu terkait dengan penguasaan pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan oleh satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai 50 lima puluh persen atau lebih, atau dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai 75 tujuh puluh lima persen atau lebih, sehingga mengakibatkan hanya ada satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar pada pasar bersangkutan. Penyebab posisi dominan yaitu adanya barrier to entry dan proses integrasi vertikal suatu usaha bisnis yang lahir dari penguasaan ke atas, yakni dari hulu ke hilir. Penguasaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha sebenarnya tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul pada pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair. 121 Hubungan yang kompleks antara induk dan anak perusahaan menciptakan potensi untuk terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Masalah yang terjadi adalah bagaimana suatu kegiatan, perjanjian, maupun posisi dominan dalam perusahaan grup dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, maupun posisi dominan, dimana ketiga hal tersebut dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999. Untuk mengatasinya, hukum persaingan usaha memiliki norma larangan atau pendekatan yang digunakan dalam melihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha, yakni larangan yang bersifat per se illegal dan pendekatan larangan yang bersifat rule of reason. Dasar pemikiran dari dua pendekatan ini adalah harus atau tidaknya seseorang dihukum karena melakukan perjanjian atau perbuatan yang dianggap membahayakan persaingan. Kedua pendekatan ini bertujuan akhir sama, yakni bagaimana Konsep hukum persaingan usaha menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif. 121 Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 510. tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan sehingga inefisiensi dan tindakan merugikan konsumen dapat dihindarkan. Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Pendekatan per se illegal ini adalah pendekatan yanng bersifat imperatif atau memaksa. Contoh nyata adalah seorang pengusaha dilarang membuat perjanjian atau kesepakatan dengan pesaingnya untuk secara bersama-sama menetapkan harga jual. Apapun alasan atau dampaknya, maka perbuatan secara bersama-sama menetapkan harga jual tersebut dilarang. Keunggulan dari pendekatan per se illegal ini adalah mendatangkan kepastian apakah suatu tindakan telah melanggar undang-undang, namun tidak selalu akurat apakah tindakan tersebut benar-benar menghambat persaingan dan merugikan konsumen. Prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan. 122 122 Suhasril dan Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit., hlm. 108-109. Atau dapat dikatakan secara lebih sederhana lagi, rule of reason merupakan suatu perbuatan dimana perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan obyektif, biasanya alasan ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu, keadilan dan pembuktian yang rumit serta unsur maksud intent, yang dapat membenarkan reasonable perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu pelanggaran. Rule of reason diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak bisa secara mudah dilihat legalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi persaingan. Jadi setelah diisyaratkan untuk mempertimbangkan alasan-alasan obyektif dan reasonable tersebut barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak. 123 Kedua pendekatan ini pertama kali tercantum dalam beberapa suplemen terhadap Sherman Act 1980, yang merupakan Undang-Undang Antimonopoli AS, dan pertama kali diimplementasikan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1899 untuk per se illegal dan pada 1911 untuk rule of reason dalam putusan atas beberapa kasus antitrust. Sebagai pioneer dalam bidang persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di AS juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya sebagai praktik kebiasaan customary practice dalam bidang persaingan usaha. 124 Perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bila pelaku usaha melakukan salah satu praktik yang dilarang, kemungkinan untuk melakukan praktik lainnya sangatlah besar. Untuk itu perlu kesadaran yang tinggi dari pelaku usaha untuk bersama-sama menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Peranan KPPU 123 Ibid., hlm. 110. 124 http:www.hukumonline.comklinikdetailpentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of- reason-di-uu-persaingan-usaha diakses tanggal 13 Juni 2015. juga sangat dibutuhkan dalam proses penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia. Keberadan rule of reason dan per se dalam UU No. 5 Tahun 1999 terdapat beberapa kategori yang diperoleh dari hasil penelusuran pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999, antara lain; a. Dilarang secara per se b. Dilarang secara rule of reason c. Antara per se dan rule of reason, dalam bagian ketiga ini rule of reason tidak tegas karena dipergunakan kata-kata ‘dapat’ mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya dengan melakukan klasifikasi perjanjian dan kegiatan yang dilarang mana saja yang dilarnag secara rule of reason dan per se illegal dengan menggunakan tabel. Tabel 1 Tentang Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang 125 No. Tindakan yang dilarang Pasal Rule of Reason Per Se Illegal 1. Oligopoli 4 RR dengan Presumsi 126 2. Penetapan Harga 5 s.d. 8 RR 127 dan PS 128 125 https:yakubadikrisanto.wordpress.com20080603prinsip-rule-of-reason-dan-per-se- illegal diakses tanggal 13 Juni 2015 126 Rule of Reason dengan Presumsi RR dengan Presumsi menggunakan pendekatan pengandaian atau interpretasi terhadap undang-undang seperti mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. 127 Rule of Reason RR dilihat dari kata-kata “mengakibatkan” terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 128 Per Se Illegal PS dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 3. Pembagian Wilayah 9 RR tidak tegas 129 4 Pemboikotan 10 RR 5. Kartel 11 RR tidak tegas 6. Trust 12 RR tidak tegas 7. Oligopsoni 13 RR dengan Presumsi 8. Integrasi Vertikal 14 RR tidak tegas 9. Perjanjian Tertutup 15 PS 10. Perjanjian Luar Negeri 16 RR tidak tegas 11. Monopsoni 18 RR dengan Presumsi 12. Penguasaan Pasar 19 s.d. 21 RR tidak tegas 13. Persekongkolan 22 s.d. 24 RR dan PS 14. Jabatan Rangkap 26 RR tidak tegas 15. Pemilikan Saham 27 RR 16. Merger. Akuisisi, dan Konsolidasi 28 s.d. 29 RR tidak tegas Keterangan : RR : Rule of Reason PS : Per Se Illegal Secara eksplisit dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan prinsip rule of reason dan per se illegal. Tetapi seperti sudah dikemukakan diatas, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 termasuk dalam kategori rule of reason dan per se illagal. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa hal, pertama, bahwa keberadaan 129 Rule of Reason tidak tegas RR tidak tegas karena dipergunakan kata-kata “dapat” mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. prinsip rule of reason dan per se illegal merupakan suatu usaha pengenalan prinsip tersebut yang telah digunakan sejak lama di Amerika sebagai konsekuensi logis dari adopsi hukum. Kedua, kalaupun akhirnya para penulis mengemukakan bahwa ketentuan tertentu pada UU No. 5 Tahun 1999 termasuk dalam klasifikasi tertentu dari kedua prinsip tersebut maka hal tersebut merupakan penafsiran sepihak dari para penulis. Dimana para penulis tersebut menggunakan rule of reason dan per se illegal yang ada pada sistem hukum persaingan Amerika untuk dianalisiskan pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1999. Ketiga, berkaitan dengan dua hal diatas perlu ditemukan ‘legitimasi’ karena pada saat pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 sering dikemukakan bahwa undang-undang tersebut merupakan adopsi dari Sherman Act di Amerika. UU No. 5 Tahun 1999 sangat dipengaruhi oleh Antitrust Law Amerika Serikat dalam pembuatannya. 130

G. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Holding