BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pasangan yang mengambil keputusan untuk menikah pasti memimpikan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta kekal selamanya.
Namun, disebabkan berbagai masalah yang timbul disertai dengan tidak adanya kemampuan untuk menghadapinya, mahligai indah akhirnya punah dilanda
gelora. Jika pada saat bersama sering terjadi sengketa, maka perceraian juga semakin mempersulit keadaan apabila soal nafkah, mut’ah dan hadhanah dibawa
ke mahkamah pengadilan. Walaupun Islam menghalalkan talak, namun bukan berarti pasangan yang memilih untuk bercerai dibiarkan berselisih untuk
mendapatkan hak dan sebagainya. Sebaliknya, sikap ingin berdamai serta saling toleransi sangat dianjurkan
agar semua masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan cepat dan adil. Penyelesaian secara damai atau sulh sangat dianjurkan untuk menghentikan
perselisihan. Salah satu ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perdamaian adalah salah satu cara yang dianjurkan dan disyari’atkan untuk menyelesaikan
masalah adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 128 sebagai berikut:
ﻡ ﻡ + ,-. 0
+1 2 3
2 1ی 5 6
7 8 9 :;6 26
= ?
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang
sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki
pergaulan dengan isterimu dan memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap tak acuh, maka sungguh, Allah adalah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.”
QS. Al-Nisa, 4:128
Salah satu bentuk perdamaian adalah dengan proses sulh. Konsep ini dapat mencapai keadilan yang mana tidak ada pihak yang menang atau kalah karena
keputusan dibuat dengan persetujuan bersama. Bahkan, ijma’ ulama juga berpendapat bahwa penyelesaian secara sulh adalah lebih tepat dalam mencapai
keadilan karena kedua belah pihak lebih mengetahui hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Hal ini berbeda dengan keputusan melalui persidangan karena pihak yang lebih pandai beralasan cenderung untuk menang yang berarti memperoleh sesuatu
yang bukan haknya. Hal yang demikian itu mendapat ancaman berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
A B C D ﺱ FG
? 8
B3 H ﺱC H A
ﺱ :
B 1;I6 J
K 8;L2 2
Jی J0 M
NO ﻡ K
ﻡ P ﺱ ﻡ 2 B 8 Q0A. 8
R ﻡ 8 SA
C ﻡ DSA 8 PSA 9 . ﺵ 8 FU
R 8
U-;ﻡ
1 Artinya: “Dari Ummu Salamah r.a, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara kepadaku. Barangkali sebagian diantara kalian ada yang lebih pandai mengemukakan hujah daripada yang lain,
maka aku memberikan keputusan yang menguntungkannya berdasarkan yang aku dengar darinya. Barangsiapa yang aku berikan sepotong dari
1
Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007, h. 640
hak saudaranya, itu berarti aku memberikannya sepotong api neraka.” Muttafaq ‘alaih
Penyelesaian dengan cara sulh ini sangat dianjurkan karena adakalanya keputusan mahkamah tidak dapat memuaskan hati para pihak yang bersangkutan.
Sedangkan sulh adalah lahir dari rasa toleransi dan sukarela yang akhirnya membawa penyelesaian yang dibuat secara sepakat. Seandainya masalah-masalah
keluarga masih dapat diselesaikan secara musyawarah, maka sewajarnya jika diselesaikan tanpa melibatkan mahkamah. Ini akan menjadikan Mahkamah
Syariah yang telah ada menjadi tempat rujukan dan persidangan untuk persoalan- persoalan yang lebih berat dan kompleks.
Sulh menurut syara’ ialah suatu akad untuk mengakhiri persengketaan di
antara dua pihak yang bersengketa atau akad untuk menyelesaikan pertikaian dengan sukarela melalui ijab dan kabul.
2
Sulh dapat dilaksanakan dengan sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Dalam usaha menyelesaikan
persengketaan secara adil, perkara pertama yang perlu dilakukan oleh qadi atau hakim ialah menganjurkan pihak-pihak yang bersangkutan untuk berdamai.
Dengan demikian, semua pertikaian dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat tanpa rasa benci dan dendam.
Fenomena yang sering timbul di Mahkamah Syariah apabila terjadi perceraian adalah tuntutan pasca perceraian dari kedua belah pihak yaitu si suami
dan si istri dalam menuntut hak masing-masing. Di antara tuntutan yang diajukan
2
Syaikh Shaleh Bin Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Jakarta: Darul Falah, 2005, h. 590
adalah mut’ah, harta bersama, dan nafkah hutang. Selain itu, persoalan yang sering menimbulkan persengketaan suami-istri setelah pembubaran perkawinan
ialah hak penjagaan anak atau hadhanah. Sesuai dengan fitrah seorang ibu yang melahirkan dan menyusukan anak,
Islam memberikan keutamaan kepada mereka untuk mendapatkan hak penjagaan atau hadhanah. Meskipun demikian, bukan berarti apabila terjadi penceraian,
seorang ayah tidak berhak langsung karena dalam keadaan tertentu mereka juga diberi keutamaan. Adapun yang menimbulkan masalah ialah apabila mereka yang
terlibat dalam kasus pengasuhan anak menunjukkan keinginannya masing-masing untuk menang sehingga bisa menggunakan segala macam cara.
Di Malaysia, perceraian seolah-olah dijadikan alasan bahwa pengasuhan anak akan menjadi hak mutlak bagi satu pihak saja. Akhirnya, sikap tamak dan
ingin menguasai perhatian anak ini mendorong pihak yang menang untuk menghalang-halangi ayah atau ibu menjenguk anak-anaknya walaupun terdapat
perintah mahkamah mengenai perkara tersebut. Menurut penulis, hadhanah bukan sesuatu yang mutlak baik untuk ayah atau ibu. Semua itu bersifat
sementara karena anak adalah hak dan tanggungjawab bersama walaupun setelah terjadi perceraian.
Semua tuntutan atas hak-hak di atas memerlukan musyawarah antara kedua pasangan. Jika tidak ditangani dengan sebaik-baiknya maka akan
menimbulkan persengketaan. Hal ini dapat dilihat di Mahkamah Syariah, kebanyakan kasus-kasus Mahkamah adalah pertikaian yang berkaitan dengan
tuntutan hak masing-masing pihak. Oleh karena itu, bermusyawarah adalah langkah terbaik agar pertikaian dapat diselesaikan secara sulh antara kedua belah
pihak. Menyingkap masalah hak pengasuhan anak dari segi undang-undang
Islam, kasus-kasus yang pernah terjadi serta cara-cara mengatasinya. Penelitian ini semakin penting bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa sulh belum banyak
dikenal di kalangan publik, karenanya hasil penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan baik secara individu maupun institusi untuk memilih
sulh sebagai alternatif penyelesaian sengketa ADR yang terbaik. Inilah landasan
kuat bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan memilih judul :
“Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah Studi di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah