Orang yang berhak Hadhanah dan Syarat serta Rukunnya

ﺱ ? B2J 6 ﻡ 8 +U R 8223 p p W h C 7 2 42 Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang memberi minumnya dan pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW, ‘Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum menikah dengan orang lain. ” Menurut ijma’ juga menceritakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab telah mencerikan istrinya yang bernama Jamilah seorang wanita anshor dan mereka meninggalkan seorang anak bernama Ashim. Mereka berebut tentang siapakah yang berhak untuk menjaga anak itu. Abu bakar memutuskan bahwa ibunya lebih berhak. 43

B. Orang yang berhak Hadhanah dan Syarat serta Rukunnya

Dalam membicarakan orang yang berhak menjaga penjaga kanak-kanak, tidak dapat dinafikan penjaga yang paling baik ialah ibu bapa kanak-kanak itu sendiri yang masih dalam masa perkawinan. Tetapi jika berlaku penceraian siapakah yang lebih baik antara keduanya. Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa wanita lebih berhak sebagai pengasuh anak-anak dan lebih baik lagi ialah ibunya sendiri. Hak ini diutamakan 42 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul as-Salam Syarh al-Kahlani, Bandung: Dahlan, tth, juz III, h. 227. 43 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-shakhsiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, 1957, h. 367. kepada ibu karena ibu lebih mampu untuk mengurus anak-anak kecil dan ibu biasanya merupakan seorang lemah-lembut, penyayang dan tekun dalam mengurus hal anak-anak dibanding dengan seorang ayah. 44 Ini dapat dilihat dalam sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa telah datang seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa dia telah diceraikan dan mantan suaminya ingin mengambil anaknya. Kemudian Nabi SAW bersabda yang artinya: “Engkaulah yang lebih berhak mengasuh anakmu selama mana engkau belum berkahwin dengan orang lain ” 45 Dalam menetapkan susunan atau urutan orang-orang yang berhak menjadi pengasuh anak-anak hendaklah dilihat apabila sekiranya ibu itu hilang kelayakan untuk menjadi pengasuh, seperti menikah lagi, meninggal dunia atau semisalnya, maka hak ini akan berpindah kepada penjaga lain dari kaum wanita juga. Syara’ telah menetapkannya sebagaimana berikut : 1. nenek dari ibu ke atas 2. nenek dari ayah ke atas 3. saudara perempuan sekandung 4. saudara perempuan seibu 5. saudara perempuan seayah 6. anak saudara perempuan sekandung 7. anak perempuan dari saudara perempuan seibu 8. ibu saudara perempuan sekandung 44 al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu, h. 720. 45 Al-Kahlani, Subul as-Salam, h. 227. 9. ibu saudara perempuan sebapa 10. anak dari saudara lelaki dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian seayah 11. bibi dari ayah dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian seayah 12. ibu saudara seibu sebelah ibu. 13. ibu saudara sebelah ibu yang sebapak 14. emak saudara sebelah bapak yang sebapak 15. ibu saudara sebelah bapa yang seibu. 46 Tetapi sekiranya tidak terdapat penjaga dari kaum wanita, penjagaan atau Hadhanah ini akan berpindah kepada kaum lelaki yang menjadi ashabah sesuai tingkat keutamaan sebagai berikut : 1. ayah 2. kakek sebelah ayah ke atas 3. saudara laki-laki sekandung 4. saudara laki-laki seayah 5. anak saudara laki-laki sekandung 6. anak saudara laki-laki seayah 7. ayah saudara dari ayah sekandung 8. kakek saudara sekandung 9. kakek saudara seayah 10. saudara sepupu laki-laki sekandung 46 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1970, juz 3, h. 304. 11. saudara sepupu laki-laki dari ayah yang seayah 47 Dan sekiranya semua pihak yang tersebut berkumpul baik dari pihak laki- laki atau wanita, maka susunannya seperti berikut : 1. ibu 2. nenek dari ibu 3. ayah 4. nenek dari ayah 5. saudara perempuan 6. anak saudara perempuan 7. saudara laki-laki 8. anak saudara laki-laki 9. bibi 10. paman 48 Dari susunan di atas dapatlah disimpulkan bahwa syara’ telah meletakkan kedudukan kaum wanita itu lebih utama dari kaum lelaki dalam masalah pengasuhan atau hadhanah terhadap anak-anak ini. Pengasuhan anak itu berlaku dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan 47 Ibid, h. 304 48 Al-Sharbini, al-Iqna’, h. 194. ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu danatau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri. 49 Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan. 2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain. 3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya. 4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil. 50 Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh mahdhun itu adalah: 49 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 328. 50 Ibid., h. 329. 1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun. 51 Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bwah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama. 52 Alasan yang dikemukakan di samping perasaan kasih sayang sebagaimana di atas juga dari sepotong hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud: Artinya: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata Nabi: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, puting susu saya yang mengairinya dan haribaan saya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW bersabda: Engkau lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum kawin. ” 53 51 Ibid., h. 330. 52 Ibid., h. 329. 53 Muhammad ibn Ismail al-Kahlaniy, Subul as-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, Bandung: Dahlan, tth, juz.3, h. 227. Dari hadis di atas jelaslah bahwa keutamaan hak ibu itu ditentukan oleh dua syarat, yaitu: dia belum kawin dan dia memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, umpamanya ia telah kawin atau tidak memenuhi persyaratan maka ibu tidak lebih utama dari ayah. Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengsuahan pindah kepada urutan yang paling dekat yaitu ayah. Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dan Imam Syafi’i. 54 Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada sepotong hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Ahmad dan empat perawi hadis: A ﻡ 8 Q C ی X B ? H ﺱC ی - WA B cXgی Wی ی B 8 B n ﻡ B :ﺱ B R ﺱ 8 B3 +Q5 H : = L ? w gX G x ی nﺵ Fی W gI [+ﻡ hgX K 8 : S 8Fﻡ W g R h C D Cl W bgﻡ ; 8223 55 Artinya: “Seorang perempuan berkata kepada Nabi SAW: Ya Rasulullah, sesungguhnya suami saya ingin membawa anak saya, sedangkan dia banyak membantu saya dan menimbakan air dari sumur Abu Unbah, 54 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.330. 55 Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, h. 227. kemudian suaminya datang. Nabi berkata: Hai anak, ini ayahmu dan ini ibumu; ambillah salah satu tangan di antara keduanya yang kamu senangi. Anak itu mengambil tangan ibunya dan berlalu bersama ibunya itu. ” Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat 56 , yaitu: Pertama , kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak, maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu. Kedua , si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih untuk si anak. Sebagian ulama di antaranya Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat tidak diberikan hak pilih kepada si anak. Namun di antara keduanya berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Abu Hanifah berpendapat bahwa bila si anak telah dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Imam Malik berpendapat bahwa ibu yang lebih berhak sampai selesai masa asuhannya. 57 Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah bahwa yang menjadi 56 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.331. 57 Abu Muhammad Abdillah Ibn Ahmad Ibn Mahmud Ibnu Qudamah, al-Mughniy, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth, juz-7, h. 379 tujuan dari hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai usia tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada di bawah ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu. 58 Imam Syafi’e berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagaimana yang berlaku pada anak laki- laki. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai dia kawin atau haid. Menurut Imam Malik, ibu lebih berhak sampai dia kawin atau bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk memilih. 59 Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap di tempat, maka yang menetap di tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik kerena tidak ada resiko tersebut bagi si anak. Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu ra’yi Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakannya perkawinan, ibu yang berhak tetapi bila pindah ke tempat lain, ayahlah yang 58 Ibid., h. 341. 59 Ibid., h. 341. berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah. 60 Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama 61 adalah: 1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas; 2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas; 3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas; 4. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas; 5. Saudara-saudara perempuan dari ibu; 6. Saudara-saudara perempuan dari ayah. Lain dari urutan yang disebutkan di atas ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak hadhanah itu beralih. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya. 62 60 Ibid., h. 341. 61 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.332. 62 Ibid., h. 333. Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak. Disebabkan pentingnya penjagaan peringkat awal ini, maka syara’ telah menentukan kepada seorang penjaga hendaklah 63 : 1. Sempurna akal, seorang yang gila atau tidak sadar secara permanen atau sementara adalah hilang hak penjagaannya. 2. Merdeka, seorang hamba tidak mempunyai hak hadhanah sekalipun telah diizinkan oleh tuannya. 3. Beragama Islam, seorang kafir tidak berhak menjadi penjaga anak muslim, karena pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan aqidah anak-anak itu. 4. Amanah dan dapat dipercaya, seorang penjaga itu harus bias menjaga diri dan kehormatannya dari melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’. 5. Penjaga itu harus bermukim di tempat anak-anak itu tinggal. Sekiranya salah seorang dari mereka berpindah ke tempat lain, maka orang bermukim dengan anak-anak itu adalah lebih berhak terhadap hadhanah anak-anak itu. 6. Tidak menikah lagi bagi ibu yang bercerai. Sekiranya perempuan itu menikah lagi, maka hak hadhanah akan gugur walaupun mantan suaminya mengizinkan dia memelihara anak-anak itu. 63 Ibid., h. 334. 7. Penjaga atau hadhinah menjadi ibu susu di mana anak-anak itu menyusu. Jika Penjaga itu enggan atau tidak mempunyai susu badan, maka hadhanahnya itu tidak sah. 8. Penjaga itu juga tidak mempunyai penyakit yang permanen seperti batuk kering, lumpuh dan sebagainya. 9. Penjaga itu bukan seorang yang buta. 10. Penjaga itu bukan seorang yang lalai. 11. Penjaga itu adalah seorang dewasa. 64

C. Masa Hadhanah