Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH

34

A. Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya

Hadhanah diambil dari kata yang berarti sesuatu yang terletak antara ketiak dan pusat. 35 , sesuatu yang boleh dipeluk. 36 Para fuqaha’ telah berselisih pendapat dalam mendefinisikan hadhanah. Mereka antara lain : Mazhab Syafi’i mengatakan hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak mampu untuk mengurus diri mereka sendiri. Mazhab Hambali mengatakan hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau orang gila atau cacat atau orang tidak sadar. 37 Mazhab Hanafi mengatakan hadhanah untuk mendidik anak-anak yang sepatutnya mendapat hak penjagaan dan Mazhab Maliki berpendapat hadhanah 34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan , Jakarta: Kencana, 2006, cet. ke-1, h. 327. 35 Fuad Afram al-Bustani, Munjib al-Tullab, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973, h. 129. 36 Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-`Arab, Beirut: Dar Sadir,1968, juz.13, h. 122. 37 Muhammad ibn Ahmad al-Shirbini, al-Iqna` fi hall alfaz Abi Shuja`, Cairo: Mustafa al- Babi al-Halabi, 1940, juz 2, h. 193. sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan hak-hak kemaslahatan mereka dan melayani urusan mereka. 38 Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang hampir sesuai artinya dalam bahasa Indonesia adalah pengasuhan atau pemeliharaan anak. Hadhanah juga menjadi hak bagi anak-anak dan ahli-ahlinya saja yang mempunyai syarat-syarat kelayakan yaitu terdiri daripada keluarga anak-anak yang ada pertalian kerabat dan kasih sayang yang khusus dengan anak- anak supaya pengasuhan terhadap anak-anak ini dapat dilaksanakan dengan sempurna. Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama, yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah danatau ibunya. 39 Apabila dua orang suami-istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz belum mengerti kemaslahatan dirinya, maka istri- 38 Muhammad ibn Ahmad ibn `Arafah al-Dasuqi, Hashiyat al-Dasuqi `ala al-sharh al-kabir, Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-`Arabiyah, 1980, juz 2, h. 526 39 Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 327. lah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya. 40 Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya. 41 Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah 2 ayat 233: 6 7 A C 8 p B Artinya: “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. ” QS. Al-Baqarah, 2:233 Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Rasulullah SAW bersabda: A ﻡ N W5 ? gX B H ﺱC ی BیWﺙ = 8 B S 7 h = 8 b L = :ﺱ 8 BFﻡ 8 f ی p C B :a R 8 B3 H ﺱC H : 40 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam; Hukum Fiqh Lengkap, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, cet.ke-29, h. 426. 41 Ibid., h. 427. ﺱ ? B2J 6 ﻡ 8 +U R 8223 p p W h C 7 2 42 Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang memberi minumnya dan pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW, ‘Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum menikah dengan orang lain. ” Menurut ijma’ juga menceritakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab telah mencerikan istrinya yang bernama Jamilah seorang wanita anshor dan mereka meninggalkan seorang anak bernama Ashim. Mereka berebut tentang siapakah yang berhak untuk menjaga anak itu. Abu bakar memutuskan bahwa ibunya lebih berhak. 43

B. Orang yang berhak Hadhanah dan Syarat serta Rukunnya