pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.
49
” d.
Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi :
“ Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas
debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama
dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-
ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga nilai barang tersebut bila rusak.”
5. Perbedaan antara ta’widh, dan ta’zir
Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan
50
dengan ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh
pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi potensial
49
`Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996, h. 115.
50
Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h. 87
loss karena adanya peluang yang hilang opportunity lossal-fursah al-
dha’iah
51
. Ganti rugi dalam pandangan hukum perdata yakni menutup kerugian
atas segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak dan terjadi kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur begitu pula dengan kerugian berupa kehilangan keuntungan bunga yang sudah dibanyangkan atau dihitung oleh
kreditur.
52
Sedangkan ta’zir adalah sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau tidak ada kemauan dan
itikad yang baik untuk membayar hutangnya. Denda dapat berupa uang yang ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akan ditandatangani,
sedangkan hasil dari denda tersebut digunakan untuk dana sosial.
53
51
Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h. 831
52
Subekti., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001,cet.18,h.47
53
Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,h.65
BAB III Tinjauan Umum Tentang PT. Bank Syariah Bukopin
A. Sejarah Singkat Bank Syariah Bukopin
Perjalanan PT Bank Syariah Bukopin dimulai dari sebuah bank umum, PT Bank Persyarikatan Indonesia BPI, didirikan berdasarkan Akta No. 102
tertanggal 29 Juli 1990 dengan nama PT. Swansarindo Internasional yang dibuat dihadapan Dr. Wijdojo Wilami, SH., Notaris di Samarinda. Dalam
perkembangannya diakuisisi oleh PT Bank Bukopin Tbk untuk dikembangkan menjadi sebuah Bank Syariah yang kini menjadi PT. Bank Syariah Bukopin.
Dalam praktiknya, Bank Syariah Bukopin mulai beroperasi dengan melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah setelah memperoleh izin
operasi Syariah dari Bank Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2008 dan pada tanggal 11 Desember 2008 telah diresmikan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia. Komitmen penuh dari PT Bank Bukopin Tbk sebagai pemegang saham mayoritas diwujudkan dengan menambah setoran modal dalam rangka untuk
menjadikan PT Bank Syariah Bukopin sebagai bank syariah dengan pelayanan terbaik.
Pada semester kedua 2009, tepatnya, tanggal 10 Juli 2009 melalui Surat Persetujuan Bank Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk telah mengalihkan Hak dan
Kewajiban Usaha Syariah-nya kedalam PT Bank Syariah Bukopin. Dalam bisnisnya, PT. Bank Syariah Bukopin memposisikan sebagai bank yang fokus