BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Proses terbentuk fatwa DSN-MUI No. 34DSN-MUIVIII2004 Tentang Ta’widh
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Namun, adakalanya dalam menjalankan trasaksi di lembaga keuangan syariah para pihak dihadapkan pada
sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian. Risiko tersebut di antaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan
menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya sangat kotradiktif dengan syariah Islam yang sangat
melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik Lembaga Keungan Syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan
hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam syariah Islam adalah mekanisme ta’widh pemberian ganti rugi kepada pihak yang hak-haknya dilanggar.
Sedangkan dimaksud dengan ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.
DSN-MUI memperbolehkan ta’widh berdasarkan beberapa ketentuan, salah satunya karena bank dalam melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan apabila
terjadi permasalahan dalam pembiayaan atau penundaan pembiayaan, maka dikeluarkan biaya riil untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pengenaan
ta’widh . Karena denda ta’zir yang selama ini diterapkan kepada nasabah yang
menunda – nunda pembayarannya tidak masuk ke dalam pendapatan bank melainkan masuk ke dalam dana kebajikan.
Dalam hukum Islam, Alquran surat al Maidah ayat 1, “Hai orang yang beriman Penuhilah akad-akad itu….”
dan dalam hadis
راﺮ و راﺮ
“
Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”
kaidah fiqh
لاﺰ راﺮ ا
“Bahaya beban berat harus dihilangkan”, dengan demikian ini dapat meyakinkan kepada kita agar selalu bisa menjaga suatu perjanjian
yang telah kita buat agar tidak saling membahayakan diri sendiri atau pun orang lain dan bahaya atau beban yang ditanggung harus dihilangkan.
Dalam prosesnya ta’widh beda dengan riba karena bukan sebagai tambahan pinjaman. Oleh karena itu, fatwa Ini dikeluarkan untuk kemaslahatan atas biaya-biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dalam rangka melindungi haknya. Misalnya untuk kebutuhan biaya transport, biaya telepon, makan, minum, dan lain-lainya yang
dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan, sedangkan pihak peminjam atau debitur haruslah mengganti itu semuanya sesuai yang dikeluarkan berdasarkan laporan atau
bukti-bukti yang ada
54
. Ketentuan khusus fatwa ini dikeluarkan bahwa ganti rugi yang diterima dalam
transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak pendapatan bagi pihak yang menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
54
Wawancara pribadi dengan bapak Kanny Hidayat, di kantor MUI, tanggal 4 Februari 2010
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatann para pihak, bisarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad, dan pihak yang cedera janji bertanggung jawab
atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara. Fatwa DSN No. 43DSN-MUIIX2004 tentang ta’widh yang telah
dikeluarkan oleh DSN-MUI juga didasari diantaranya oleh : - Fatwa DSN No.17DSN-MUIIX2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menyebutkan bahwa sanksi yang diterima berupa ta’zir denda dengan tujuan untuk mendisiplinkan nasabah
dalam menyelesaikan kewajibannya, tetapi dana yang diterima berupa denda dimasukkan ke dalam dana kebajikan non halal pada laporan keuangan bank
syariah. - Fatwa DSN No. 18DSN-MUIIX2000 tentang Pencadangan Penghapusan
Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah. Ini merupakan pencadangan sejumlah dana oleh bank syariah berdasarkan kualitas dari
pembiayaan yang telah diberikan dengan tujuan menciptakan stabilitas bisnis perbankan melalui pengelolaan aktiva produktif bank secara hati-hati prudent.
B. Penerapan ta’widh pada Proses Pembiayaan Murabahah