Analisis akad murabahah marjin bertingkat dengan prinsip-prinsip syariah berdasarkan fatwa DSN-MUI

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

DWI ASTUTI HANDAYANI PUTRI 1110046100040

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014 M/ 1436 H


(2)

(3)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 November 2014


(5)

v

Dwi Astuti Handayani Putri. NIM 1110046100040. ANALISIS AKAD

MURABAHAH MARJIN BERTINGKAT BERDASARKAN FATWA DSN-MUI

NO. 84/DSN-MUI.XII/2012. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1435 H/ 2014 M.

Bank Syariah Mandiri merupakan Bank Umum Syariah yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi dari surplus unit ke defisit unit. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri adalah menghimpun dana, menyalurkan dana dan jasa. Dalam menyalurkan dana, Bank Syariah Mandiri melakukan kegiatan pembiayaan yang salah satunya menggunakan akad murabahah marjin bertingkat. Dengan akad murabahah marjin bertingkat, maka Bank Syariah Mandiri mendapatkan marjin (keuntungan) dari transaksi tersebut. Aplikasi akad murabahah marjin bertingkat dalam melakukan jual beli ini harus mematuhi peraturan fatwa DSN-MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan al Tamwil bi al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) Di Lembaga Keuangan Syariah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah content analysis dan metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Terdapat dua data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data


(6)

vi

primer dan data sekunder. Data primer dengan melakukakan wawancara, dan data sekunder yang berdasarkan draft kontrak, fatwa MUI, dan studi kepustakaan. Adapun objek yang diteliti adalah model penerapan akad murabahah marjin bertingkat dan kesesuaian akad murabahah marjin bertingkat berdasarkan dengan Fatwa DSN-MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan al Tamwil bi al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) Di Lembaga Keuangan Syariah.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isi akad murabahah terdiri atas pendahuluan, isi, dan penutup. Adapun kesesuaian akad murabahah marjin bertingkat di BSM pada fatwa adalah terdapat ketentuan yang belum terpenuhi, mengenai kepemilikan objek akad murabahah marjin bertingkat.

Kata kunci : Akad, Murabahah Marjin Bertingkat, Fatwa DSN-MUI.

Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, M. Ag.


(7)

vii

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. Segala puji

hanya untuk Sang Pemberi Kehidupan. Segala syukur senantiasa dipanjatkan kepada Sang Pemberi Nafas, Allahu Rabbi. Atas segala nikmat dan karunia yang tak pernah henti, selalu tercurah dalam izin-Nya menjalankan kehidupan ini. Atas segala kebahagian, kasih sayang dan keberkahan dalam setiap tarikan nafas ini. Alhamdulillah, atas segala izin dan ridho-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

Shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk manusia penyelamat dunia, Rasulullah SAW. Sang penyelamat dunia dari masa kegelapan dan masa kebodohan, menjadi masa penuh cinta kasih dan dikelilingi ilmu pengetahuan.

Tak lupa dalam penulisan penelitian ini peneliti mendapatkan begitu banyak dukungan, doa, bantuan materiil maupun non materiil dari pihak-pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini, dengan segala rasa hormat, ucapan terima kasih penulis ingin disampaikan kepada :


(8)

viii

1. Dr. H. JM Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

2. H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH dan Abdul Rouf, MA. Ketua dan sekretaris program studi Muamalat atas waktu, ilmu dan kesempatan menimba ilmu kepada peneliti.

3. Dr. Muhammad Maksum, M. Ag, MA, sebagai dosen pembimbing peneliti. Terima kasih atas ilmu, bimbingan, arahan, nasihat, kesabaran dan keikhlasan hati dalam membimbing peneliti. Semoga Bapak selalu diberikan kesehatan, selalu diberikan limpahan keberkahan dan perlindungan dari Allah SWT. 4. Segenap staff Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Financing Operation Division (FOD) PT. Bank Syariah Mandiri bagian Legal Division, kepada Pak Agung selaku Kepala Bagian, dan staff beliau, Pak Muammar dan Pak Mayo. Terima kasih atas kempatan untuk mendapat bimbingan dan berbagi ilmu dengan peneliti. Semoga segala kebaikan selalu dilimpahkan kepada Bapak dan keluarga.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah


(9)

ix

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sumardji dan Ibunda Menik. Terima kasih atas semua doa, dukungan materiil dan non materiil, kesabaran dan keikhlasan sehingga menguatkan dan meyakinkan peneliti untuk menyelesaikan kewajiban.

8. Kakak tercinta, Siti Solehah Ariani yang selalu jadi teladan peneliti. Terima kasih atas ilmu keteguhan hati dan mental baja dalam hidup ini. Adik tercantik, Rayhani Jastika yang selalu menghibur kepenatan.

9. Sahabat hati Naufal el Ramadhian yang selalu setia menemani tiap langkah penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas segala doa waktu, ilmu, dukungan, motivasi, bimbingan dan kesabaran.

10. Sahabat kebanggaan dan tercinta, Janitha Triana yang selalu mendoakan, memotivasi, mendukung dan menjadi pelipur lara peneliti. Terima kasih sahabat.

11. Sahabat-sahabat terhebat, acan tersayang, Nazahah Begum Suhaimi Khan, Gita Regita Dahmaniar, dan Jiehan Faradillah. Terima kasih untuk motivasi, doa dan kebersamaan kita.

12. Keluarga besar Perbankan Syariah FSH UIN Syahid, khususnya PS E angkatan 2010. Terima kasih atas waktu kebersamaan dan berbagi ilmu. Sukses selalu untuk kalian.


(10)

x

13. Sahabat seperjuangan, Nisrina Mutiara Dewi, Faridullah, Iqbal Ali Hamzah dan Annisa Nur Afifah. Terima kasih atas inspirasi dan saling menjaga keteguhan

14. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan penelitian ini yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu per satu, namun tidak mengurangi rasa hormat peneliti. Semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan dan keberkahan dalam hidup. Amin

Peneliti sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu besar harapan peneliti agar diberikan saran dan kririk yang membangun agar terwujudnya ilmu pengetahuan yang lengkap dan sempurna. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk literatur khazanah ilmu pengetahuan. Amin

Jakarta, November 2014


(11)

xi

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI xi

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 5

C. Pembatasan Masalah 7

D. Perumusan Masalah 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

1. Tujuan Penelitian 8


(12)

xii

F. Metode Penelitian 9

1. Pendekatan 9

2. Jenis Penelitian 9

3. Jenis dan Sumber Data 10

4. Teknik Pengumpulan Data 10

5. Subjek-Objek Penelitian 11

6. Metode Analisis 11

G. Sistematika Penelitian 12

BAB II LANDASAN TEORI 15

A. Konsep Akad 15

1. Definisi Akad 15

2. Rukun dan Syarat Akad 17

3. Struktur Akad 20

4. Berakhirnya Akad 28

B. Konsep Murabahah 29

1. Definisi Murabahah 29

2. Sumber Hukum Murabahah 30

3. Rukun dan Syarat Murabahah 32


(13)

xiii

BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 40

A. Gambaran Umum Bank Syariah Mandiri 40

1. Sejarah Singkat 40

2. Visi dan misi perusahaan 42

3. Dewan komisaris 42

4. Dewan pengawas syariah 43

5. Direksi 43

6. Profil dan informasi kepemilikan saham 43

7. Produk dan jasa 44

8. Emas 45

9. Haji dan Umrah 45

10. Bagan organisasi 45

11. Penghargaan 45

B. Aplikasi Akad Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri 48

1. Klasifikasi akad 48


(14)

xiv

BAB IV ANALISA PEMBAHASAN 57

A. Mekanisme Pembiayaan Akad Murabahah Marjin Bertingkat 57

B. Analisis Struktur Akad 58

1. Bagian pembukaan akad 58

2. Bagian isi akad 66

3. Bagian penutup akad 75

C. Analisis akad berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012 76

1. Ketentuan Umum 77

2. Ketentuan Hukum 87

3. Ketentuan khusus 88

BAB V PENUTUP 94

A. Kesimpulan 94

B. Saran 95


(15)

xv

1. Analisis struktur akad murabahah marjin bertingkat

2. Analisis akad murabahah marjin bertingkat dengan fatwa DSN-MUI 3. Fatwa DSN MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praktik murabahah di perbankan syariah menghadapi kendala prinsip syariah. Hal ini terjadi karena pada tanggal 7 Shafar 1433H atau 21 Desember 2012, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang metode pengakuan keuntungan al tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) di lembaga keuangan syariah. Fatwa ini menetapkan dua metode pengakuan keuntungan pembiayaan murabahah di lembaga keuangan syariah, yaitu metode proporsional (thariqah mubasyirah) dan metode anuitas (thariqah hisab al-tanazuliyyah/ thariqah al-tanaqushiyyah). Di dalam ketentuan khusus fatwa disebutkan bahwa pengakuan keuntungan al-Tamwil bi al-Murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh dilakukan secara proporsional dan secara anuitas1.

Metode keuntungan anuitas merupakan produk dari teori keuangan konvensional. Anuitas berarti jumlah pembayaran periodik yang tetap

1

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 84/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Metode Pengakuan Keuntungan Al Tamwil bi Al-Murabahah.


(17)

besarannya dan di dalamnya sudah terhitung pelunasan hutang dan bunganya. Sehingga dalam anuitas terdapat dua pihak, dimana salah satu meminjamkan dana dan pihak lainnya berkewajiban membayar pinjaman atau sering disebut dengan kreditur dan debitur. Di dalam rumus perhitungan anuitas, terdapat unsur bunga untuk menghitung besaran angsuran. Hal ini wajar dilakukan dalam ekonomi konvensional yang menganut sistem bunga, dan yang karena sistem bunga tersebut menjadikan adanya nilai waktu uang atau yang sering disebut dengan time value of money,yaitu dimana nilai uang hari ini tidak akan sama dengan nilai uang dimasa-masa berikutnya, sehingga nilai dan kemampuan uang terus berubah-ubah2.

Metode keuntungan anuitas yang berbasis bunga tidak dapat diterapkan pada lembaga keuangan syariah karena beberapa alasan. Pertama, perbedaan mendasar operasional Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah sistem pendapatan Bank Syariah tidak berbasis bunga (free interest based) dalam seluruh kegiatan operasionalnya. Maka dalam mendapatkan pendapatannya, Bank Syariah memperoleh dari nisbah bagi hasil, marjin jual-beli dan pendapatan jasa (ujrah). Karena akad murabahah termasuk ke dalam akad jual-beli, maka bentuk pendapatan yang diterima Bank Syariah berupa marjin yang telah disebutkan diawal akad dan disetujui oleh nasabah.

2

Time value of money (nilai waktu uang) maksudnya adalah bertambahnya jumlah uang

akibat dari besaran bunga yang dihasilkan. Sehingga, mengakibatkan menurunnya kemampuan atau daya beli uang.


(18)

3

Kedua, selain sistem operasional yang harus terbebas dari unsur bunga, hubungan antara Bank Syariah dengan nasabah pun berbeda. Akad murabahah adalah akad jual beli antara Bank Syariah dengan nasabah, maka tidak ada istilah kreditur atau debitur diantara kedua belah pihak. Sehingga, Bank Syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli yang menyepakati keuntungan yang didapat oleh Bank Syariah. Karena berdasarkan akad jual beli, maka penjual (Bank Syariah) berhak mendapatkan keuntungan atas barang yang dijualnya dan nasabah pun tidak memiliki hutang kepada Bank Syariah karena akadnya berdasarkan akad jual beli. Berbeda kreditur dan debitur, yaitu kontrak utang-piutang dimana peminjam berkewajiban untuk mengembalikan pinjamannya dalam waktu tertentu yang telah disepakati. Karena berbentuk kontrak utang piutang, maka tidak ada keuntungan atau penambahan dalam kontrak tersebut. Jika terdapat penambahan dalam utang piutang, Islam menyebutnya dengan riba.

Riba merupakan unsur yang harus benar-benar dihindari oleh Bank Syariah karena salah satu prinsip syariah yang harus ditaati lembaga keuangan syariah. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah dalam melakukan kegiatan operasionalnya, tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah3. Prinsip-prinsip syariah tersebut menjadi pedoman kegiatan operasional Bank Syariah agar tidak keluar dari aturan

3


(19)

syariah dan untuk tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan syariah. Prinsip utama yang harus dianut oleh Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya adalah seluruh kegiatan dipastikan harus terbebas dari unsur maghrib, yaitu terbebas dari maysir, gharar, haram, dzalim dan riba. Maka dari itu, Bank Syariah sebagai bank yang harus terbebas dari bunga atau riba4.

Adanya riba dalam bunga bank konvensional, para fuqaha telah berselisih pendapat karena praktek bunga bank belum terjadi secara institusional pada zaman Rasulullah. Akhirnya pada tanggal 16 Desember 2003, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia mengambil keputusan fatwa bahwa bunga bank termasuk kedalam riba nasiah, karena terjadi disebabkan adanya penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dengan demikian praktek pembungaan uang tersebut termasuk salah satu bentuk riba dan hukumnya haram. Bahkan bunga pada praktek perbankan konvensional lebih berat dikarenakan, riba merupakan tambahan yang dikenakan kepada peminjam karena peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu atau jatuh tempo, sedangkan bunga bank telah disebutkan dan disepakati sejak terjadinya transaksi. Maka jelas unsur dzalim sangat terlihat pada bunga bank.

4

Maysir adalah transaksi untung-untungan (spekulasi). Gharar adalah transaksi yang tidak

jelas atau tidak ada kepastian. Haram merupakan objek transaksi yang dilarang dalam syariah. Dzalim


(20)

5

Selain itu, salah satu perbedaan yang paling mendasar bagi Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah dimana setiap transaksi yang dilakukan meyakini adanya pertanggung jawaban berdimensi ganda, yaitu duniawi dan ukhrawi karena dilandaskan pada hukum Islam. Sehingga untuk menetapkan sah tidaknya suatu akad atau transaksi tidak hanya berdasarkan hukum positif, tetapi dikuatkan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariah.

Pada praktik Bank Syariah, Bank yang menggunakan metode keuntungan anuitas, menyebutnya dengan akad murabahah marjin bertingkat . Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, ada hal-hal yang menarik mengenai metode keuntungan anuitas untuk dikaji. Dari aspek-aspek tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk membahas masalah ini dari sudut pandang yang spesifik dengan judul “Analisis Akad Murabahah Marjin Bertingkat

Dengan Prinsip-Prinsip Syariah Berdasarkan Fatwa DSN-MUI”. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, yaitu :

1. Sejak kapan pembiayaan murabahah marjin bertingkat mulai beroperasional?

2. Apakah perbedaan metode keuntungan proporsional dengan metode keuntungan anuitas?


(21)

4. Apakah perbedaan metode keuntungan anuitas lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional?

5. Apa faktor-faktor yang menyebabkan Bank Syariah mengubah akad murabahah menjadi akad murabahah marjin bertingkat?

6. Apakah kerugian menjadi faktor utama yang mendasarinya?

7. Bagaimana tingkat keuntungan Bank Syariah setelah diberlakukannya akad murabahah marjin bertingkat?

8. Bagaimana manajemen resiko pada akad murabahah marjin bertingkat? 9. Apakah akad murabahah marjin bertingkat mengurangi resiko gagal

bayar?

10. Bagaimana akuntansi pada murabahah marjin bertingkat?

11. Bagaimana respon nasabah menyikapi akad murabahah marjin bertingkat?

12. Apakah akad murabahah marjin bertingkat memberikan win win solution bagi nasabah dan Bank Syariah?

13. Apa motif nasabah memutuskan memilih akad murabahah marjin bertingkat?

14. Bagaimana prosedur pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat? 15. Apa saja syarat-syarat pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat? 16. Siapa saja yang dapat melakukan akad murabahah marjin bertingkat? 17. Bagaimana jika nasabah telat atau tidak membayar angsuran pembiayaan? 18. Apa sanksi yang akan diterima?


(22)

7

19. Bagaimana likuiditas bank syariah jika terjadi gagal bayar (fraud) ? 20. Bagaimana jika nasabah pembiayaan meninggal dunia?

21. Bagaimana tentang perlindungan konsumen melindungi hak-hak nasabah? C. Pembatasan Masalah

Mengingat masalah yang diangkat peneliti begitu luas lingkupannya, maka peneliti perlu membatasi permasalahan yang akan dibahas agar masalah lebih terfokus dan spesifik, serta untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih dengan masalah lain diluar penelitian, yaitu tekait dalam aplikasi akad murabahah dengan marjin bertahap pada Bank Syariah Mandiri berdasarkan fatwa DSN-MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang metode pengakuan keuntungan al tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) di lembaga keuangan syariah.

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana model penerapan akad murabahah marjin bertingkat pada Bank Syariah Mandiri?

2. Apakah akad murabahah marjin bertahap sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah berdasarkan fatwa DSN MUI?


(23)

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan perumusan dan pembatasan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang akan menjadi tujuan penelitian ini dilakukan adalah :

a. Mengetahui dan menganalisa model penerapan akad murabahah marjin bertingkat pada Bank Syariah Mandiri.

b. Mengetahui dan menganalisa kesesuaian akad murabahah dengan marjin bertahap dengan prinsip-prinsip muamalah berdasarkan fatwa-fatwa DSN MUI.

2. Manfaat penelitian a. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan khususnya mengenai struktur atau model penerapan akad dalam akad murabahah dan kesesuaiannya dengan Fatwa DSN-MUI.

b. Manfaat praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis agar dapat digunakan sebagai informasi dan bahan masukan bagi praktisi Bank Syariah Mandiri dalam menerapkan struktur atau model penerapan akad-akad syariah, sehingga Bank Syariah Mandiri dapat terhindar dari hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah


(24)

9

F. Metode Penelitian

Pengumpulan data merupakan bagian terpenting di dalam sebuah penelitian, dalam hal ini sangat dibutuhkan data-data yang akurat serta relevan dalam persoalan yang akan diteliti. Adapun data yang diperlukan menggunakan metode sebagai berikut :

1. Pendekatan

Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan. Baik hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan Undang-Undang yang berlaku5. Pada penelitian ini, peneliti mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang metode pengakuan keuntungan al tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) di lembaga keuangan syariah.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak berdasarkan data-data angka, yang menghasilkan data deskriptif.

5

Roni Hantijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Semarang: Ghalia Indonesia, 1998), h. 11.


(25)

3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer (primary resources)dan data sekunder (secondary resources).

1) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari PT. Bank Syariah Mandiri.

2) Data sekunder (secondary resources) merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara karena telah diolah terlebih dahulu oleh pihak-pihak terkait.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berdasarkan orang individual dan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber yang relevan dengan analisis yang akan digunakan. 4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun instrumen-instrumen yang digunakan dalam rangka penelitian ini adalah :


(26)

11

Merupakan salah satu pengambilan data dan informasi dengan interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang melalui tatap muka6. Dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara. b. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi, yaitu dengan membaca literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini. Pengumpulan data berasal dari dokumen Bank Syariah Mandiri yaitu dokumen berupa kontrak akad murabahah marjin bertingkat.

c. Riset Kepustakaan

Yaitu dengan membaca jurnal dan mempelajari literatur yang memuat teori-teori, konsep-konsep dan informasi yang diperoleh sebagai landasan teori yang berkaitan dengan masalah penelitian. 5. Subjek-Objek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) sedangkan objek penelitian ini adalah akad murabahah marjin bertingkat pada Bank Syariah Mandiri (BSM).

6. Metode Analisis

a. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik content analysis. Teknik conten analysis, untuk menghasilkan inferensi terhadap data verbal dan simbolik yang dapat diulangi dan valid. Dimana analisis ini

6


(27)

berbentuk dokumen dan teks yang berupaya mengkuantifikasikan isi menurut kategori yang sudah ditetapkan, suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis. Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media masa. Metode yang meliputi semua analisis mengenai isi teks, tetapi disisi lain analisis isi juga digunakan untuk medeskripsikan pendekatan analisis yang khusus7

b. Teknik Penulisan Laporan

Teknik penulisan laporan pada penelitian ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2012.

G. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, peneliti menetapkan suatu kerangka dasar penulisan. Secara garis besar dapat memberikan gambaran sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan secara garis besar mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

7

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 155-156.


(28)

13

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini menjelaskan mengenai teori-teori berdasarkan tinjauan pustaka dan literatur yang terkait dengan pembahasan penelitian, standar syariah, ketetapan Fatwa DSN-MUI serta review studi terdahulu. BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI

Dalam bab ini akan dijelaskan secara terperinci tentang Bank Syariah Mandiri mengenai sejarah singkat, visi dan misi perusahaan, dewan komisaris, dewan pengawas syariah (DPS), direksi, profil dan kepemilikan saham, produk dan jasa, bagan organisai, penghargaan, serta proses pra-akad murabahah marjin bertingkat Bank Syariah Mandiri.

BAB IV ANALISIS AKAD MURABAHAH MARJIN BERTINGKAT DENGAN PRINSIP-PRINSIP FIQH MUAMALAH BERDASARKAN FATWA DSN-MUI

Analisis isi akad murabahah dan kesesuaiannya dengan Fatwa No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang metode pengakuan keuntungan al tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) di lembaga keuangan syariah.


(29)

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini akan disimpulkan jawaban dari perumusan masalah yang ada dan disertai dengan pemberian saran-saran yang tepat sehubungan dengan adanya permasalahan yang ditemukan selama penelitian.


(30)

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Akad

Saat kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan bertemu, maka terjadilah transaksi antara kedua belah pihak. Namun, sebelum terjadi transaksi, terdapat akad yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya tingkat kepuasan manusia tersebut. Maka dari itu, akad merupakan bagian terpenting dalam sebuah transaksi.

1. Definisi Akad

Akad secara istilah berasal dari kata al-‘aqdu. Kata al-‘aqdu merupakan bentuk jamak dari ‘aqada, ya’qidu, ‘aqdan yang berarti meyimpul, membuhul, mengikat atau mengikat janji1.

Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas)2. Adapun arti umum dari akad adalah “segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak

1

A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 129. 2


(31)

dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan”. Sedangkan arti khusus akad didefinisikan dengan3 :

”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.”

Menurut Wahbah Zuhaili, akad adalah ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi. Menurut istilah para ahli hukum Islam, aqad diartikan sebagai hubungan antara ijab dan Kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada objek perikatan4.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akad adalah kesepakatan antara para pihak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum tertentu sesuai dengan kehendak syariah. Maka dari itu, setiap akad yang dilakukan harus terbebas dari unsur-unsur yang telah ditetapkan oleh syar’i, yaitu Allah SWT dan Rasulullah, seperti akad yang tidak terdapat unsur riba dan hal-hal yang dilarang lainnya.

3

Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.51.

4


(32)

17

Akad terbentuk karena adanya ijab dan qabul antara pihak-pihak yang melakukan kerjasama. Dengan melakukan akad, maka akan timbul akibat hukum pada objek-objek akad. Jika akad jual-beli, maka akibat hukum yang timbul pada objek akad adalah perpindahan hak atas kepemilikan barang. Jika yang disepakati merupakan akad sewa-menyewa, maka akibat hukum yang timbul pada objek akad adalah perpindahan atas manfaat barang, bukan berpindah hak atas kepemilikan barang.

2. Rukun dan Syarat Akad

Akad harus memenuhi rukun dan syarat. Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada dan harus dipenuhi ketika akad berlangsung serta merupakan esensi dari akad tersebut. Sedangkan syarat adalah sifat yang melekat pada setiap rukun5. Menurut Jumhur Ulama yang termasuk kepada rukun akad adalah6 :

a. Shighat (formulasi) ijab dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis, sarana komunikasi modern, bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu akad yang umumnya dikenal dengan

al-mu’athah.

5

Saefuddin Arif dan Azharudin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2011), h. 27.

6


(33)

Ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan qabul dipandang sah, yaitu :

1) Ijab dan qabul harus secara jelas menunjukkan maksud kedua belah pihak.

2) Antara ijab dan qabul harus selaras, dan

3) Antara ijab dan qabul harus muttashil (berkesinambungan), yakni dilakukan dalam satu majelis ‘akad (tempat akad).

b. Pelaku akad disyaratkan harus seorang mukallaf (‘aqil baligh, berakal sehat dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan akad diserahkan kepada ‘urf atau peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para pihak. c. Objek akad harus memenuhi 4 (empat) syarat :

1) Objek harus sudah ada secara konkret ketika akad dilakukan; atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad salam, ishtishna’, ijarah dan mudharabah.

2) Objek harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan objek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan (mutaqawwam).

3) Objek harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika.


(34)

19

4) Objek harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidakjelasan objek akad-selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai objek akad- mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu objek akad ini, adat istiadat (‘urf) mempunyai peranan yang penting.

Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad :

salam, ishtishna’, ijarah, dan musaqah. Artinya keempat macam akad

ini tetap dinyatakan sah walaupun objek akad belum ada ketika terjadi akad.

d. Maudhu ‘al-‘aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian

penting yang harus ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan

maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan

(al-maqshad al-ashli alladzi syari’a al-‘aqd min ajlih). Menurut hukum Islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah

al-musyarri’ (yang menetapkan syariah, yaitu Allah SWT). Dengan kata

lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu , semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan dengan syara’ (hukum Islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum; misalnya menjual barang yang diharamkan seperti minuman kras


(35)

(khamr). Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual.

3. Struktur Akad

Dalam praktik penyusunan akad terdapat berbagai macam model struktur akad. Akan tetapi, struktur akad atau perjanjian yang lazim digunakan di Indonesia terdiri dari tiga bagian, yaitu pembukaan, isi/materi, dan penutup. Pada masing-masing bagian terdiri sub bagian yang selengkapnya dalah sebagai berikut :

a. Pada bagian pembukaan terdiri dari7 :

1) Tulisan Bismillahirrahmanirrahim dan terjemahannya

Tulisan basmalah dapat ditulis dengan menggunakan huruf arab maupun latin. Tulisan ini memang tidak bersifat mutlak atau harus ada (tergantung kebijakan). Akan tetapi, keberadaannya dalam konteks akad syariah penting untuk mengingatkan para pihak akan pentingnya memulai sesuatu dengan meluruskan niat hanya semata-mata karena Allah SWT.

2) Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits dan terjemahannya

7

Azharudin Lathif dan Saefudin Arif, Kontrak Bisnis Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2011), h. 54.


(36)

21

Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits serta terjemahannya yang ditulis dalam akad adalah yang langsung berkaitan atau menjadi dalil hukum akad tersebut.

3) Judul

Adalah menunjukkan dan sekaligus memberikan cakupan pengertian [okok tentang hakekat isi suatu kontrak. Judul ditulis dengan isi kesepakatan dan ditulis ditengah dengan menggunakan huruf kapital.

4) Kepala akad

Terdiri atas judul, nomor, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dibuatnya akad tersebut.

5) Komparisasi

Adalah penyebutan dan penjelasan mengenai identitas para pihak yang membuat akad/yang berkepentingan. Pada pihak dalam perjanjian adalah : pihak-pihak yang langsung terlibat, terdiri atas perorangan atau yang bersifat publik

6) Dasar diadakan akad (premisse)

Salah satu sahnya kontrak adalah bahwa kontrak tersebut dibuat atas dasar/kausa yang halal. Kausa/dasar dalam suatu kontrak biasanya dinyatakan sebagai keterangan pendahuluan mengenai dasar atau sebab dibuatnya kontrak yang bersangkutan.


(37)

Dasar hukum diambil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad (dalam konteks keindonesiaan adalah fatwa MUI). Di samping itu juga diambilkan dari perundang-undangan positif di Indonesia baik yang khusus mengatur hukum Islam maupun yang bersifat umum. Dasar hukum ini ditulis dalam bagian akhir promise.

b. Menurut Azharudin Lathif dan Saefudin Arif pada bagian isi/materi terdiri dari8:

1) Klausul definisi

Yaitu setiap kata/kalimat yang akan diatur/dituangkan dalam kontrak diberikan batasan/arti atau maknanya agar nantinya tidak menimbulkan salah pengertian dan tidak dapat ditafsirkan lain serta agar para pihak jelas dan paham benar apa maksudnya. 2) Klausul obyek akad

Yaitu menetukan apa yang dijadikn obyek akad dengan menyebutkannya secara jelas dan lengkap tentang nama barang, wujud/jenisnya, letaknya, luas/banyaknya dan bukti yang mendasari hak atas barang tersebut.

3) Klausul hak dan kewajiban

Yang menetukan hak dan kewajiban para pihak yang harus ditulis secara tegas dan jelas serta terperinci apa saja yang menjadi hak

8


(38)

23

masing-masing dan tentang hal-hal apa yang wajib harus dilakukan masing-masing pihak, secara seimbang dan timbal balik.

4) Klausul sanksi

Yaitu ketentuan yang mengatur pemberian sanksi akibat pelanggaran dan atau kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan isi kontrak yang berupa pelanggaran terhadap kewajibannya.

5) Klausul spesifik

Yaitu pengaturan tentang hal-hal yang spesifik/khusus yang dikehendaki pihak untuk dituangkan dalam akad.

6) Klausul pemilihan hukum dan domisili

Yaitu menentukkan hukum yang dipilih dalam melaksanakan dan menyelesaikan perselisihan jikalau timbul serta domisli dimana penyelesaian tersebut akan diselesaikan apabila terjadi sengketa dimasa yang akan datang.

7) Klausul jaminan pemilikan

Yaitu untuk menjamin tertibnya pembayaran kembali/ atau pelunasan Pokok Pembiayaan da margin serta biaya-biaya lainnya tepat pada waktu yang telah disepakati kedua belah pihak.


(39)

Menurut A. Wangsawidjaja pada bagian isi/materi terdiri dari9 : 1) Klausul tentang jumlah pembiayaan

Adanya klausul tentang jumlah pembiayaan penting dicantumkan dalam akad untuk menentukkan objek akad berupa besarnya maksimum pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah penerima fasilitas.

2) Klausul jangka waktu pembiayaan

Dalam suatu akad pembiayaan mutlak harus dicantumkan adanya jangka waktu pembiayaan atau jatuh tempo pembiayaan untuk kepastian hukum timbulnya hak Bank untuk menuntut pelunasan pembiayaan yang telah diberikan kepada nasabah.

3) Klausul tentang imbalan

Klausul tentang imbalan dalam akad pembiayaan merupakan hal yang penting dan harus dicantumkan secara tegas, kecuali untuk pinjaman tertentu yang tidak mensyaratkan adanya imbalan, seperti qardh.

4) Klausul tentang representation and warranties

Keputusan pemberian pembiayaan oleh bank syariah didasarkan pada analisis terhadap data yang disampaikan oleh nasabah kepada bank, baik data keuangan maupun non-keuangan. Untuk menjamin

9

A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.172.


(40)

25

dan meyakinkan bank bahwa data yang disampaikan oleh nasabah tersebut betul-betul valid dan benar, maka bank pada umumnya mensyaratkan adanya klausul tentang jaminan (representation and warranties).

5) Klausul tentang pre-disbursment atau conditions precedent

Klausul ini mengatur tentang syarat yang harus dipenuhi nasabah sebelum pembiayaan direalisasikan, misalnya wajib menyampaikan rician penggunaan dana, telah menandatangani pengikatan agunan, agunan telah ditutup asuransinya, dan sebagainya.

6) Klausul tentang affirmative covernant

Klausul ini mengatur tentang kewajiban-kewajiban nasabah penerima fasilitas untuk melakukan hal-hal tertentu, agar bank dapat melakukan pengawasan pasif terhadap kegiatan usaha nasabah dan mengantisipasi risiko selama fasilitas pembiayaan sebelum lunas.

7) Klausul tentang negativecovenant

Klausul ini memuat hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh nasabah penerima fasilitas yang dapat merugikan dan/atau menimbulkan kesulitan bagi bank selama perjanjian pembiayaan berlaku.


(41)

Klausul ini menetukan suatu peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk mengakhiri fasilitas pembiayaan secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus managih seluruh outstanding pembiayaan.

9) Klausul tentang agunan pembiayaan dan asuransi barang agunan dengan syarat banker’s clause

Klausul ini memuat informasi tentang agunan yang diserahkan oleh nasabah penerima fasilitas kepada bank berikut jenis pengikatannya, agunan pembiayaan dapat berupa barang tetap atau barang bergerak. Barang agunan yang insurable wajib ditutup asuransi dengan syarat banker’s clause oleh nasabah pada asuransi syariah yang disetujui oleh bank dan biaya premi asuransi atas beban nasabah.

10) Klausul tentang pemberian kuasa kepada Bank

Klausul kuasa (wakalah) ini memberikan hak kepada bank untuk mendebit rekening giro dan/atau rekening nasabah penerima fasilitas lainnya yang ada pada bank untuk pembayaran kewajiban nasabah, misalnya imbalan, denda, biaya asuransi dan ongkos-ongkos lainnya berkenaan dengan pembiayaan.

11) Klausul tentang hak-hak Bank melakukan pengawasan

Klausul ini memberikan kewenangan kepada bank untuk melakukan pengawasan, baik langsung maupun tidak langsung,


(42)

27

terhadap pembiayaan yang diberikan, misalnya meminta laporan, melakukan pemeriksaan di tempat (on the spot), memasuki gudang, memeriksa pembukuan debitur, dan sebagainya.

12) Klausul tentang penyelesaian perselisihan

Klausul ini lazimnya menyatakan bahwa apabila terdapat perselisihan dalam pelaksanaan akad pembiayaan maka akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat terlebih dahulu. Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah tersebut, maka sengketa akan diselesaikan melalui peradilan umum, peradilan agama, Badan Arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa.

13) Klausul lain-lain (miscellaneous)

Klausul ini memuat ketentuan-ketentuan lain yang disepakati dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, misalnya mengenai alamat surat-menyurat antara nasabah dan bank.

c. Pada bagian penutup terdiri atas :

1) Pernyataan para pihak tentang tiadanya hal-hal yang membatalkan akad


(43)

4. Berakhirnya Akad

Dalam konten hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut10:

a. Berakhirnya masa berlaku perjanjian atau akad.

Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak.

b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad.

Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan dapat menyangut obyek perjanjian (error in objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona).

c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku bagi ahli warisnya. Sebagai contohnya ketika seseorang yang membuat perjanjian pinjam uang,

10

Abdullah Jayadi, Beberapa Aspek Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011), h. 23.


(44)

29

kemudian meninggal maka kewajiban untuk mengembalikan hutang menjadi kewajiban ahli waris.

B. Konsep Murabahah

Dalam Islam, begitu banyak transaksi-transaksi ekonomi termasuk didalamnya adalah akad murabahah. Akad murabahah merupakan salah satu dari akad tijarah. Akad tijarah adalah akad yang bertujuan mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan merupakan akad bisnis11. Dengan alasan itu, maka saat ini lembaga keuangan syariah banyak menggunakan akad murabahah pada produk-produk lembaga keuangan syariah sebagai produk unggulan yang dianggap jelas memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.

1. Definisi Murabahah

Secara etimologi, dalam kamus Al-Muhith Murabahah berarti حْبرلا yang bermakna kelebihan dan tambahan (keuntungan), yang berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati12.

Secara terminologi, para ulama terdahulu mendefinisikan murabahah dengan jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui13.

11

Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 70.

12

Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Pada LKS, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 87.

13


(45)

Menurut Adiwarman A. Karim, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli14.

Dalam kodifikasi produk perbankan syariah, akad murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan marjin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli15.

Sedangkan Undang-Undang Perbankan Syariah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati16.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah jual beli suatu barang yang ditegaskan harga perolehan dan keuntungan (marjin) diawal perjanjian sehingga para pihak mengetahui seluruh informasi dan disepakati oleh para pihak.

2. Sumber Hukum Murabahah a. Al-Qur’an

14

Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.113.

15

Huruf B Angka III.b Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Lampiran SEBI No. 10/31/DPbs.

16


(46)

31

1) Firman Allah Q.S An-Nisa: 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (Q.S An-Nisa: 29)

2) Firman Allah Q.S Al-Baqarah: 275

“... Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba…” (Q.S Al-Baqarah: 275)

b. Hadits


(47)

Dari Abu Saidal Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR.

Al- Baihaqi dan Ibn Majah)

2) Hadits riwayat Ibn Majah

لاق مَّس مَّس هْيّع ها ىَّص َّبَّلا َّأ بْلا َّ ْيف ث اث

ر لجأ ىلإ عْيبْلا را مْلا

Nabi saw bersabda : “Ada tiga hal yang mengandung berkah : (1) jual beli tidak secara tunai, (2) mukharadah (mudharabah), (3) mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibn Majah dari Suhaib)

3. Rukun dan Syarat Murabahah

Rukun akad murabahah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah17 :

a. Ba’i (penjual)

b. Musytari (pembeli)

c. Mabi’ (barang/objek)

d. Tsaman (harga)

e. Sighat (ijab dan qabul)

17

Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Pada LKS, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 89.


(48)

33

Selain rukun yang harus dipenuhi dalam melakukan akad murabahah, beberapa syarat juga harus dipenuhi dalam berlangsungnya akad murabahah. Syarat-syarat murabahah adalah18 :

a. Harga awal harus diketahui oleh pihak pembeli, karena mengetahui harga barang adalah salah satu syarat sahnya jual beli.

b. Keuntungan ba’i murabahah harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat.

c. Modal ba’i murabahah harus proporsional, seperti takaran, beban dan jumlahnya.

Selain rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli murabahah, terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam jual beli murabahah meliputi hal-hal berikut19

a. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. b. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga

pembelian/kulakan) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli (capital outlay) pada suatu komoditi, semuanya harus

18

Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Pada LKS, h. 102. 19


(49)

diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat sah murabahah.

c. Ada informasi yang jelas tentang keuntungan baik nominal maupun persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.

d. Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan, karena pengawasan barang merupakan kewajiban penjual disamping untuk menjaga kepercayaan.

e. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.

4. Aplikasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Aplikasi akad murabahah pada lembaga keuangan syariah terdapat pada kegiatan usaha Bank Syariah dalam bentuk penyaluran dana atau pembiayaan. Pembiayaan murabahah merupakan jenis pembiayaan yang sering diaplikasikan dalam bank syariah, yang pada umumnya digunakan dalam transaksi jual beli barang investasi dan barang-barang yang diperlukan oleh


(50)

35

individu20. Dalam pembiayaan berdasarkan akad murabahah, Bank Syariah bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah21. Bank Syariah dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah ada kesepakatan antara Bank Syariah dan nasabahnya, dan akad pembiayaan murabahah telah ditandatangani oleh Bank Syariah dan nasabah, maka Bank Syariah wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah22.

C. Standar Syariah

Dalam menjalankan kegiatan usaha produk dan jasa syariah, Bank Syariah wajib tunduk pada prinsip syariah23. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah24. Sehingga dalam menjalankan seluruh kegiatan usahanya, Bank Syariah harus berpedoman kepada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini merupakan kewenangan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Ketentuan tersebut bersifat memaksa dan tidak dapat menyimpang karena merupakan perintah

20

Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 140. 21

A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.200.

22

A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, h. 201. 23

Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah 24


(51)

Undang25. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akan dikenakan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang26. Maka dari itu penting bagi Bank Syariah untuk menjalankan kegiatan usahanya berpedoman kepada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI, agar tetap sesuai dengan ketetapan syariah, karena Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia menjadi indikator sesuai tidaknya produk Bank Syariah dengan prinsip syariah.

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan Fatwa-Fatwa yang berkenaan dengan produk dan jasa pada lembaga keuangan syariah. Diantara Fatwa-Fatwa tersebut menetapkan ketetapan yang berkenaan dengan akad murabahah di lembaga keuangan syariah khususnya pada Bank Syariah. Fatwa-fatwa yang mengatur tentang akad murabahah tersebut adalah :

a. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah

c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah

25

Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah 26


(52)

37

d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah

e. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah

f. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (khashm fi al-murabahah)

g. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar. h. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang

Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah.

i. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.

j. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan al Tamwil bi al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) Di Lembaga Keuangan Syariah.

D. Ketetapan Fatwa DSN-MUI Mengenai Akad Murabahah Margin Bertingkat

Ketetapan mengenai akad murabahah marjin bertingkat diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan al-Tamwil bi al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) Di Lembaga Keuangan Syariah. Dalam Fatwa tersebut terdapat 2 (dua) metode pengakuan keuntungan murabahah di kalangan lembaga keuangan syariah,


(53)

yaitu metode pengakuan keuntungan secara proporsional dan metode pengakuan keuntungan secara anuitas. Metode anuitas dalam praktek perbankan syariah disebutkan dengan marjin bertingkat, yaitu karena tidak samanya marjin pada angsuran satu dengan angsuran lainnya.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Untuk mendukung materi dalam penelitian ini, berikut akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh :

1. Skripsi Maisaroh, S1 Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2012. Dengan judul skripsi “Kesesuaian Kontrak Murabahah Di Bank BNI Syariah Dengan Fatwa DSN”. Pada skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif dan perskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme murabbahah di Bank BNI Syariah dan mengidentifikasi struktur dan anatomi kontrak murabahah di Bank BNI Syariah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme dan substansi kontrak murabahah pada Bank BNI Syariah sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/200 dan peraturan Bank Indonesia (PBI). 2. Skripsi Ruri Siti Nurziah, S1 Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah

Tahun 2013. Dengan judul skripsi “Kesesuaian Akad Murabahah Di Tinjau Dari Fatwa DSN-MUI Dan Peraturan Terkait”. Skripsi ini merupakan jenis kualitatif dengan metode analisis deksriptif. Tujuan


(54)

39

skripsi ini adalah mengetahui kesesuaian penerapan fatwa DSN-MUI dan peraturan terkait pada akad pembiayaan murabahah di Bank BCA Syariah. Kesimpulan dari skripsi ini adalah masih terdapat ketidaksesuaian pada struktur kontrak yang dibuat oleh Bank BCA Syariah. Ditinjau dari proses realisasi pembiayaan murabahah terdapat ketidaksesuaian dengan regulasi (Fatwa DSN-MUI dan PBI). Dan penerapan regulasi pada akad pembiayaan murabahah masih ada ketidaksesuaian terkait pada denda.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengkaji akad murabahah dengan prinsip-prinsip muamalah serta mengetahui model penerapan akad murabahah dalam kegiatan operasional Bank Syariah. Fatwa DSN-MUI menjadi pedoman bagi peneliti untuk menentukan kesesuaian akad murabahah dengan prinsip-prinsip muamalah.

Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah perbedaan isu hukum yang menjadi permasalahan penelitian, yaitu pada penelitian sebelumnya yang dikaji adalah akad murabahah dalam kegiatan operasional Bank Syariah, sedangkan dalam penelitian ini menganalisis akad murabahah marjin bertingkat dengan prinsip-prinsip muamalah berdasarkan fatwa DSN-MUI.


(55)

40

A. Gambaran Umum Bank Syariah Mandiri 1. Sejarah Singkat

Kehadiran BSM sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah sekaligus berkah pasca krisis ekonomi dan moneter 1997-1998. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk di panggung politik nasional, telah menimbulkan beragam dampak negatif yang sangat hebat terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha. Dalam kondisi tersebut, industri perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami krisis luar biasa. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia.

Salah satu bank konvensional, PT Bank Susila Bakti (BSB) yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) PT Bank Dagang Negara dan PT Mahkota Prestasi juga terkena dampak krisis. BSB berusaha keluar dari situasi tersebut dengan melakukan upaya merger dengan beberapa bank lain serta mengundang investor asing.


(56)

41

Pada saat bersamaan, pemerintah melakukan penggabungan (merger) empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi satu bank baru bernama PT Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999. Kebijakan penggabungan tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai pemilik mayoritas baru BSB.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan merger, Bank Mandiri melakukan konsolidasi serta membentuk Tim Pengembangan Perbankan Syariah. Pembentukan tim ini bertujuan untuk mengembangkan layanan perbankan syariah di kelompok perusahaan Bank Mandiri, sebagai respon atas diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, yang memberi peluang bank umum untuk melayani transaksi syariah (dual banking system).

Tim Pengembangan Perbankan Syariah memandang bahwa pemberlakuan UU tersebut merupakan momentum yang tepat untuk melakukan konversi PT Bank Susila Bakti dari bank konvensional menjadi bank syariah. Oleh karenanya, Tim Pengembangan Perbankan Syariah segera mempersiapkan sistem dan infrastrukturnya, sehingga kegiatan usaha BSB berubah dari bank konvensional menjadi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan nama PT Bank Syariah Mandiri sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris: Sutjipto, SH, No. 23 tanggal 8 September 1999.


(57)

Perubahan kegiatan usaha BSB menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui SK Gubernur BI No. 1/24/ KEP.BI/1999, 25 Oktober 1999. Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia No. 1/1/KEP.DGS/ 1999, BI menyetujui perubahan nama menjadi PT Bank Syariah Mandiri. Menyusul pengukuhan dan pengakuan legal tersebut, PT Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sejak Senin tanggal 25 Rajab 1420 H atau tanggal 1 November 1999.

2. Visi dan Misi Perusahaan Visi

Memimpin pengembangan peradaban ekonomi yang mulia. Misi

1. Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan di atas rata-rata industri yang berkesinambungan.

2. Mengutamakan penghimpunan dana murah dan penyaluran pembiayaan pada segmen UMKM.

3. Mengembangkan manajemen talenta dan lingkungan kerja yang sehat. 4. Meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan. 5. Mengembangkan nilai-nilai syariah universal

3. Dewan Komisaris

Komisaris Utama : Ventje Raharjo Komisaris Independen : Zulkifli Djaelani


(58)

43

Bambang Widianto, P.hd Ramzi A. Zuhdi

Komisaris : Agus Fuad 4. Dewan Pengawas Syariah

Ketua : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. Anggota : Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec

Drs. H. Mohamad Hidayat, MBA, MH. 5. Direksi

Direktur Utama : Agus Sudiarto Direktur : Achmad Syamsudin

Agus Dwi Handaya Putu Rahwidhiyasa Fahmi Ridho

6. Profil dan Informasi Kepemilikan Saham a. Profil

Nama : PT. Bank Syariah Mandiri

Alamat : Wisma Mandiri I, Jl. MH. Thamrin No.5 Jakarta 10340 –

Indonesia

Telepon : (62-21) 2300 509, 3983 9000 (Hunting) Faksimili : (62-21) 3983 2989


(59)

Tanggal Berdiri : 25 Oktober 1999 Tanggal Beroperasi : 1 November 1999 Modal Dasar : Rp 2.500.000.000.000,- Modal Disetor : Rp 1.489.021.935.000,-

Kantor Layanan : 854 kantor, yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia

Jumlah Jaringan ATM : 909 ATM Syariah Mandiri, ATM Mandiri 11.454, ATM Bersama 53.722 unit (include ATM Mandiri dan ATM BSM), ATM Prima 66.770 unit, EDC BCA 196.870 unit, ATM BCA 10.596 dan Malaysia Electronic Payment

System (MEPS) 12.010 unit. b. Kepemilikan Saham

1) PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. : 231.648.712 lembar saham (99.999999%)

2) PT. Mandiri Sekuritas : 1 lembar saham (0.000001%) 7. Produk dan Jasa

a. Tabungan b. Giro c. Deposito

d. Layanan BSM Priority e. Pembiayaan Konsumer


(60)

45

f. Produk Jasa 8. Emas

9. Haji dan Umrah 10.Bagan Organisasi

11.Penghargaan

Tabel 1.1 Daftar Penghargaan

NO NAMA

PENGHARGAAN

PEMBERI

PENGHARGAAN ATAS PRESTASI TANGGAL

1 Service Excellence

Award 2014

Majalah Infobank bekerjasama dengan Marketing Research

Penghargaan atas:

1. Best Customer


(61)

Indonesia (MRI) Service 2. Best Teller. 3. Best ATM. 4. Best Satpam

2

Service Quality Award 2014 Category: Sharia

Banking

Carre Customer Satisfaction & Loyalty dan Majalah Service Excellence

For Achieving Exceptional Total Service Quality Satisfaction Based on Customer Perception Survey SQ Index 2014

5 Juni 2014

3 Corporate Image

Award

Majalah Tempo Media Group bekerjasama dengan Frontier Consulting Group

Penghargaan atas pengukuran:

1. Quality: perhatian tinggi terhadap konsumen, produk dan jasa berkualitas tinggi, perusahaan dapat dipercaya dan perusahaan yang inovatif

2. Performance: perusahaan yang memiliki peluang untuk tumbuh dan dikelola dengan baik 3. Responsibility: Perusahaan yang peduli dengan lingkungan dan memiliki tanggung jawab social. 4. Attractiveness:


(62)

47

Perusahaan merupakan tempat kerja idaman, dan perusahaan memiliki karyawan berkualitas.

4 Indonesia Bank Loyalty

Award 2014

Infobank bekerja sama dengan Markplus Insight

The Best of Indonesian Bank Loyalty Champion 2014 Category: Saving Account, Islamic banking

26 Februari 2014

5

The Most Profitable Islamic Full Fledge Bank 2014 : Equity IDR > 1 Triliun (BUKU

2)

Karim Business Consulting

Bank Syariah dengan kinerja terbaik dari sisi kinerja keuangan.

24 Februari 2014

6

The Most Efficient Islamic Full Fledge Bank 2014 : Equity IDR > 1 Triliun (BUKU

2)

Karim Business Consulting

Bank Syariah dengan kinerja terbaik dari sisi kinerja keuangan.

24 Februari 2014

7

The Best Islamic Full Pledge Bank 2014 : Equity IDR > 1 Triliun

(BUKU 2)

Karim Business Consulting

Bank Syariah dengan kinerja terbaik dari sisi kinerja keuangan.

24 Februari 2014

8 The Best Islamic Bank

in Indonesia 2014 Euromoney

Penghargaan atas The Best Islamic Bank in Indonesia

13 Februari 2014

9 Top Brand Award 2014

Category Sharia Bank

Majalah Marketing bekerjasama dengan Frontier Consulting Group

In Recognition of

Outstanding Achievement in Building the Top Brand


(63)

B. Aplikasi Akad Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri (BSM)

1. Klasifikasi Akad Murabahah

Akad murabahah pada Bank Syariah Mandiri digunakan sebagai produk dalam menyalurkan pembiayaan. Dalam melakukan pembiayaan melalui akad murabahah, Bank Syariah Mandiri, dibedakan antara korporasi, konsumer dan warung mikro. Untuk pembiyaan korporasi minimal dana pembiayaan dimulai dari 30M yang harus dilakukan di kantor pusat Bank Syariah Mandiri. Untuk pembiayaan konsumer minimal dana dimulai dari ratusan juta sampai kurang dari 30M yang dapat dilakukan di kantor cabang Bank Syariah Mandiri.

Untuk pembiayaan akad murabahah diatas Rp 250.000.000 diberikan akta notariil atau yang bentuk akad atau perjanjiannya berbentuk akta notaris. Untuk pembiayaan akad murabahah dibawah Rp 250.000.000, maka diberikan akad atau kontrak dibawah tangan, yaitu akad yang dibuat oleh pihak Bank Syariah Mandiri tanpa peran notaris.

10

Excellent Service Experience Award 2014

Category Sharia Bank

Bisnis Indonesia bekerjasama dengan Carre

For Excellent Performance in Delivering Positive Customer Experience Based on Mystery Shopping Research ESEI 2014


(64)

49

2. Prosedur Proses Pembiayaan Akad Murabahah

a. Prosedur Proses Pembiayaan Akad Murabahah dibawah Rp 250.000.000

Terdapat tahapan-tahapan pra-akad yang harus dipenuhi sebelum akad pembiayaan murabahah marjin bertingkat disepakati dan ditandatangani. Diawali oleh permohonan pembiayaan oleh nasabah yang datang ke Bank Syariah Mandiri. Setelah permohonan tersebut ada, maka Bank Syariah Mandiri melakukan pengenalan dan investigasi terhadap calon nasabah pembiayaan tersebut yang dilakukan oleh bagian unit bisnis. Begitu seluruh data calon nasabah tersebut telah terkumpul, unit bisnis akan membuat NAP atau Nota Analisis Permbiayaan untuk di kantor pusat, dan SKKP atau Surat Keputusan Komite Pembiayaan yang hanya terdapat di kantor cabang. Begitu NAP atau SKKP telah selesai dibuat, maka selanjutnya diserahkan ke komite untuk persetujuan pembiayaan. Komite merupakan pihak manajemen atau pihak direksi. Apabila komite menyetujui, maka unit bisnis akan membuat SP3 atau Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan. NAP dan SP3 kemudian diserahkan ke bagian legal untuk diteliti, dan diperiksa kelengkapan dokumen.

Dalam SP3 tertuang hasil kehendak antara pihak Bank Syariah Mandiri dan calon nasabah penerima pembiayaan, seperti jangka


(65)

waktu pembiayaan, objek pembiayaan, besaran pembiayaan, dan besarnya angsuran.

Setelah kedua pihak menyetujui SP3, maka perjanjian atau akad murabahah akan dilakukan akad, dimana isi akad murabahah merujuk pada kesepakatan isi SP3. Begitu akad murabahah disetujui, langkah selanjutnya adalah pencairan pembiayaan dan monitoring pembiayaan nasabah oleh Bank Syariah Mandiri.

Alur proses prosedur pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat pada Bank Syariah Mandiri akan diilustrasikan sebagai berikut :

Gambar 3.1

Alur Prosedur Proses Pembiaayan Akad Murabahah

YA

END

Permohonan pembiayaan nasabah yang datang ke Bank Syariah Mandiri

Pengenalan dan investigasi oleh unit bisnis

Pembuatan NAP ( Blacklist BI? )

Persetujuan Komite

Pembuatan SP3 ( Setuju? )


(66)

51

YA

TIDAK YA

TIDAK

b. Prosedur Proses Pembiayaan Akad Murabahah diatas Rp 250.000.000

Secara umum prosedur proses pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat diatas Rp 250.000.00 sama dengan prosedur prosess pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat dibawah Rp 250.000.000. Perbedaannya terletak pada keterlibatan pegawai umum (notaris) dalam pembuatan akad. Pada pembiayaan diatas Rp 250.000.000 diberikan akta notariil atau yang bentuk akad atau perjanjiannya berbentuk akta notaris.

Pembuatan SP3 (Setuju?)

Akad pembiayaan murabahah dibawah tangan (Setuju?)

Surat permohonan pencairan pembiayaan oleh nasabah

Pembuatan SP2

Pencairan pembiayaan

Monitoring pembiayaan

END

REVISI


(67)

Pada pembiayaan korporasi, setelah SP3 disepakati, akad dibuatkan akta notariil yang disebut line facility. Line facility disebut juga sebagai akad kesepahaman. Line facility mengatur secara umum pembiayaan akad murabahah yang akan dibiayai. Rincian secara khusus dan spesifik akan dituangkan dalam akad dibawah tangan sebelum pembiayaan dicairkan. Pada line facility menegaskan bahwa Bank Syariah Mandiri berjanji akan menyediakan fasilitas pembiayaan yang diajukan oleh nasabah. Maka dari itu, line facility merupakan

wa’ad dari Bank Syariah Mandiri kepada nasabah.

Setelah nasabah dan Bank Syariah Mandiri menyetujui dan menandatangani akta notariil yang dibacakan oleh notaris, selanjutnya nasabah mengajukan surat permohonan pencairan pembiayaan kepada Bank Syariah Mandiri. Selanjutnya, Bank akan membuat SP2 atau Surat Persetujuan Realisasi Pembiayaan, yang selanjutnya penandatanganan akad dibawah tangan. Begitu penandatanganan akad dibawah tangan, lalu pencairan pembiayaan dan monitoring pembiayaan.

Alur proses prosedur pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat pada Bank Syariah Mandiri akan diilustrasikan sebagai berikut :


(68)

53

TIDAK

YA YA

Gambar 3.2

Alur Prosedur Proses Pembiaayan Akad Murabahah

Permohonan pembiayaan nasabah yang datang ke Bank Syariah Mandiri

Pengenalan dan investigasi oleh unit bisnis

Pembuatan NAP ( Blacklist BI? )

Persetujuan Komite

Pembuatan SP3 ( Setuju? )

LINE FACILITY

AKTA NOTARIIL (Setuju? )

Surat permohonan pencairan pembiayaan oleh nasabah

Pencairan pembiayaan

Monitoring pembiayaan

TIDAK

TIDAK YA

REVISI

END

END


(69)

Dalam penjelasan prosedur proses pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat, dapat dipahami bahwa keberadaan NAP menjadi instrumen Bank Syariah Mandiri dalam menerapkan prinsip kehati-hatian Bank Syariah. Dalam melakukan pembiayaan, Bank Syariah Mandiri harus mengedepankan kehati-hatian pembiayaan guna menghindari potensi pembiayaan yang gagal bayar, karena kewajiban Bank Syariah yang harus bertanggung jawab mengembalikan dana yang disimpan oleh para deposan. Maka dari itu, semakin tinggi plafond atau jumlah pembiayaan yang akan diberikan, maka semakin tinggi pula proteksi Bank Syariah Mandiri mengamankan dana pembiayaan dengan cara menginvestigasi seluruh informasi calon nasabah pembiayaan secara detail dan terperinci untuk menghindari potensi gagal bayar.

Dalam NAP terdapat data dan informasi terkait calon nasabah pembiayaan. Data dan informasi tersebut tidak hanya berisi menyangkut calon nasabah pembiayaan secara personal, tetapi berikut informasi mengenai perusahaan, bidang usaha, dan lainnya. Secara lanjut kandungan yang terdapat dalam NAP dapat diuraikan dibawah ini, namun berkenaan dengan data konfidental Bank Syariah Mandiri, maka NAP yang diuraikan dibawah ini digambarkan secara umum.

NAP atau Nota Analisis Pembiayaan

1) Kepala NAP terdiri dari judul akad, nomor, tanggal, perihal, tujuan, nama pemohon, dasar usulan, komite pembiayaan, total permohonan fasilitas pembiayaan nasabah dan grup, dan wewenang komite pemutus


(1)

Wawancara Staff Financing Operation Divison Bagian Legal Division Bank Syariah Mandiri

Responden : Bapak Muammar

1. Bagaimana proses pra-akad akad murabahah marjin bertingkat?

Sebelum menganalisis akad murabahah marjin bertingkat, sebaiknya mengetahui proses pra-akad terjadinya akad murabahah. Tahapannya adalah nasabah datang ke Bank dengan mengajukan surat permohonan pembiayaan kepada Bank. Tahapan selanjutnya adalah pengenalan pihak nasabah yang dilakukan oleh bagian unit bisnis. Setelah selesai melakukan pengenalan dengan mengumpulkan seluruh data, lalu bagian unit bisnis membuat NAP atau Nota Analisis Pembiayaan pada kantor pusat, dan SKKP atau Surat Keputusan Komite Pembiayaan pada level kantor cabang. Begitu NAP atau SKKP selesai, maka selanjutnya diajukan kepada pihak komite. Komite itu biasanya adalah pihak manajemen atau direksi tergantung levelnya, mulai dari kepala divisi hingga dewan direksi. Setelah disetujui, bagian unit bisnis membuat SP3 atau Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan. NAP dan SP3 dikirim ke bagian legal yang akan dilihat, diperiksa, lalu mana saja dokumen-dokumen yang kurang lengkap untuk dilengkapi dokumennya.

Pada SP3 tertulis skim apa yang akan dipergunakan, baik itu murabahah, musyarakah, mudharabah atau skim yang lainnya. Pada SP3 pun tertuang hasil tawar-menawar antara pihak nasabah dan Bank. Setelah Bank dan nasabah menyepakati SP3, barulah melakukan akad yang dikenal dengan perjanjian, dimana perjanjian tersebut merujuk kepada SP3.

2. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dari nasabah mengajukan permohonan pembiayaan hingga tandatangan akad terjadi Pak?

Kalau untuk yang dibawah 30M, bisa diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Tetapi untuk di kantor pusat yang plafondnya semakin tinggi, maka waktu yang


(2)

dibutuhkan kurang lebih tiga bulan, dikarenakan semakin tingginya proteksi SP3 pembiayaan.

3. Apakah SP3 merupakan offering letter Pak?

Iya benar, itu memang offering letter. SP3 atau offering letter udah ada, maka jadilah line facility. Line facility mengatur tidak sedetail di akad turunan nanti. Line facility atau kamu kenal itu wa’ad lah, kesepahaman pada saat belajar teorinya. Cuma nama di dokumennya disini disebut line facility.

4. Apakah terdapat klasifikasi tertentu untuk akad murabahah marjin bertingkat?

Di BSM itu dibedakan antara korporasi, consumer dan warung mikro. Kalau di kantor pusat seluruh skim pembiayaan dimulai lebih dari 30 M, sedangkan kalau di cabang, setau saya sekitar ratusan sampai 30 M itu masih dapat dilakukan oleh cabang. Dan kontrak di BSM sudah standar, jadi mau sebesar apapun plafondnya, maka semakin besar juga proteksi SP3-nya. Jadi masing-masing SP3 tidak sama satu sama lainnya.

5. Apakah ada perbedaan untuk plafond yang diatas 30 M dengan yang kurang dari itu selain dari proteksi SP3-nya Pak?

Ada lagi, yaitu adanya peran notaris. Biasanya untuk pembiayaan diatas Rp 250.000.000 diberikan akta notariil atau yang bentuk akad atau perjanjiannya berbentuk akta notaris. Untuk pembiayaan dibawah Rp 250.000.000 diberikan kontrak dibawah tangan.

6. Bagaimana proses pencairan dana pembiayaan akad murabahah marjin bertingkat yang dilakukan oleh BSM?

Setelah akad terjadi antara Bank dan nasabah, selanjutnya nasabah membuat surat permohonan pencairan pembiayaan. Setelah nasabah menandatangani akad, maka diajukan pencairan dananya yang akan masuk ke unit bisnis, kemudian membuat nota


(3)

pencairan, dan berbarengan dengan memo yang akan dikirimkan ke bagian legal di divisi operation. Setelah diterima oleh OPD (operation division), kemudian OPD mengolah data nasabah yang di dalam NAP disebutkan syarat-syarat pencairan, kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dan hal-hal NAP yang dituangkan ke dalam akad.

Saat pencairan, OPD memastikan syarat-syarat yang tertuang di dalam SP3 telah dipenuhi oleh nasabah dan meminta bentuk dokumennya seperti apa dan jaminan telah diikat secara sempurna, baik penutupan asuransi dan lain-lainnya terpenuhi, maka bagian OPD menandatangani FRP (Formulir Review Pembiayaan), yang didalamnya tedapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Pada FRP harus ditandatangani oleh 2 unit kerja, yaitu unit bisnis dan FOD (Financing Operation Division). Setelah keduanya menandatangani FRP, tahapan selanjutnya adalah proses pencairan. Dimana nantinya FOD akan memberikan FRP tersebut kepada unit bisnis bahwa pembiayaan tersebut layak cair. Lalu unit bisnis akan membuat memo atau perintah cair yang berisi berapa cicilannya. Dan ada consumer facility sebagai underlying untuk proses pencairan yang dilakukan oleh OPD yang akan diinput ke dalam sistem. Setelah masuk ke sistem, maka baru pencairan pembiayaan masuk ke rekening nasabah, selanjutnya tinggal melakukan monitoring saja sampai akad berakhir.

Wawancara Staff Financing Operation Divison Bagian Legal Division Bank Syariah Mandiri

Responden : Bapak Mayo

1. Bank Syariah Mandiri memiliki banyak akad pembiayaan. Apakah skim murabahah margin bertingkat merupakan skim yang paling banyak digunakan dalam pembiayaan?

Ya, kalau kita berbicara frekuensi akad, ya murabahah itu sangat banyak dibanding dengan akad lain.


(4)

2. Pembiayaan akad murabahah lebih banyak digunakan untuk pembiayaan apa?

Macam-macam. Kalau kita kan kebetulan kita itu handle untuk korporasi perusahaan. Nah, kita ke PT-PT kalau untuk ditempat kita. Kalau di PT-PT itu untuk modal kerja misalnya untuk beli bibit ternak untuk perusahaan ternak, nah itu murabahah. Yaa pada intinya untuk yaa pembelian barang modal kerja maupun investasi itu lebih banyak kita pakai murabahah.

3. Bagaimana aplikasi akad wakalah pada akad murabahah margin bertingkat?

Kalau murabahah adalah jual beli, akad atas transaksi jual beli. Dimana harga pokok dengan marjin atau keuntungannya juga boleh dimasukkan. Ketika kita berakad murabahah, berarti Bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli karena pada murabahah itu hanya ada Bank dan nasabah. Bank sebenarnya tidak punya barang, jadi kalau dia sebagai penjual di akad murabahah itu akan diperjual belikan, sehingga diperlukan adanya satu akad lagi, yaitu akad wakalah. Jadi seperti ini, harusnya pada saat nasabah mengajukan pembiayaan, kita itu kasih uang plus akad wakalah. Wakalah ini kan mewakilkan. Seharusnya Bank berakad wakalah kepada nasabah dengan memberi uang. Memberi uang untuk beli ke supplier, tapi si nasabah itu membeli atas nama Bank, bukan atas nama dirinya. Jadi nasabah datang ke dealer, nasabah mau beli mobil lah anggap, tapi nasabah mewakili Bank, sudahlah mereka (nasabah dan supplier) berakad berarti barang tersebut adalah milik Bank. Setelah itu barulah muncul akad murabahah tersebut.

4. Setelah barang pesanan menjadi milik Bank, maka dokumen-dokumen kepemilikan atas barang tersebut menjadi atas nama Bank. Apakah proses selanjutnya kepemilikan atas barang tersebut diubah menjadi atas nama nasabah?

Ga, jadi ini kan prinsip. Jadi hukum itu ada dua, hukum positif yang pemerintah, sama hukum syariah. Hukum positif, jika perlakuannya seperti itu, maka kita harus balik nama kembali. Tapi kalau syariah kan tidak. Syariah kalau kita beli barang, mau barang


(5)

itu dilegalitasnya itu milik orang lain, tapi ketika sudah melakukan jual beli maka barang tersebut dapat dijual. Misalnya beli mobil, walaupun BPKBnya itu punya wiwid, kan kita udah beli misalnya, walaupun itu atas nama wiwid, tetap sudah menjadi milik saya karena kita sudah berjual-beli dalam syariah kan begitu, ga mesti balik nama kan ga. Tapi di pemerintah pun, bisa jug akita ga balik nama dulu, kayak saya ceritanya mau beli mobil dari wiwid, mobilnya kan atas nama wiwid, saya sudah beli nih, tapi kebetulan pajaknya masih panjang, jadi saya ga usah balik nama dulu, nanti saja. Abis itu saya jual lagi, kan bisa saja. Jadi prakteknya gitu, nasabah mewakili Bank, tetapi ini akan kita jual lagi.

5. Jadi nanti namanya pun bukan langsung nama nasabah ya pak? Langsung nama Bank? Ohh ga, langsung nama nasabah. Itu untuk menghemat biaya. Karena kalau ga, nanti kan kena biaya.

6. Apakah dilemma Bank dalam menerapkan akad murabahah adalah dari kepemilikan objek akad?

Iya, karena juga dulu kan awal Bank Syariah itu begitu, kena isunya seperti itu. Kalau dia dibalik dulu atas nama BSM, kan harusnya gitu. BSM beli dulu nih terus balik, nah itu kan dua kali, dulu kan kita dua kali bayar pajak. Nah akhirnya dengan akad wakalah ini, dimana tidak perlu dibalik namakan. Seperti itu, jadi langsung menjadi nama nasabah. Tapi secara teorinya begitu tadi, jadi karena Bank tidak punya barang, yasudah kita bilang, ‘nasabah mau beli barang yang mana?’. ‘Saya mau beli mobil yang ini’. Yasudah, saya kan ga punya waktu, ini saya wakalahin deh. Kalau kita berwakalah, seharusnya pada saat itu kita kasih duit, dia beli si nasabah atas nama Bank. Secara teorinya begitu, nanti secara praktek, ya prakteknya itu kita langsung, murabahah dan wakalah itu bareng, baru abis itu duitnya kita kasih.


(6)

Iya, ya susah. Kita kan mau membuat Bank Syariah dimana hukumnya kan terkadanag berbeda dengan hukum positif. Makanya tadi kan, ga perlu pake balik nama kan kita sudah berakad. Makanya akhirnya kita banyak melakukan inovasi-inovasi biar biayanya ga terlalu banyak, karena nanti kalau biayanya terlalu banyak ga bisa bersaing sama Bank konven. Tapi nanti memang akan banyak dicomplain, karena kan, pernah dengar hadits ini ga? Bahwa kita dilarang untuk menjual barang yang bukan miliknya dan barang tersebut belum kita kuasai.

8. Bagaimana dengan DPS Pak?

Yaa itu kan sudah disahkan, di Dewan Syariah Nasional pun juga. Tapi ya itu lagi, apakah itu menjadi satu hukum menurut hukum syariah, ya wallahu’alam, kita kan ga tau. Nanti lah kita menunggu pengadilan yang sebenarnya, karena kita mengakali akad, tapi Dewan Syariah Nasional pun tidak memerintah (untuk mengehentikan akad), ga menjadi keharusan, kadang-kadang murabahah atau wakalah. Dulu awalnya murabahah belum menggunakan akad wakalah, kemudian saya bilang ini seharusnya tidak begini, karena seharusnya karena jika kita memiliki barang, kita langsung bisa melakukan akad murabahah, tapi karena kita tidak memiliki barang, harus memakai akad wakalah. Makanya pada tahun 2012, kita sepakat bahwa setiap murabahah harus ada wakalahnya.