8 masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah
tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan.
Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari
nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan marga. Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena
masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga lain.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II berisi Kajian teoretis, yang membahas hakikat sosiologi sastra, hakikat
novel, hakikat nilai sosial, dan hakikat pembelajaran sastra. Bab III berisi Profil Pramoedya Ananta Toer, yang membahas penulis novel
Bukan Pasar Malam, karya-karya dan penghargaan Pramoedya Ananta Toer.
Bab IV berisi Analisis nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, yang membahas tinjauan terhadap novel Bukan Pasar Malam,
Sinopsis Bukan Pasar Malam, gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam, temuan penelitian dan analisis nilai sosial dalam
novel Bukan Pasar Malam, implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah. Bab V berisi Penutup, yang membahas simpulan dan saran.
9
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan
gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota
masyarakat di tempatnya masing-masing.
5
Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan
perubahannya.
6
Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra
dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.
7
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood 1972 dalam Faruk 1994 mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan
objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa
5
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 7
6
Dandi Sugono editor. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332
7
Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, Bandung: UPI Press, 2006, hlm. 2
10 masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu yang rumit.
8
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap
baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27 yang berjudul De la
literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales 1800. Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The
Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, dkk.
9
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis
strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus
difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,
memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
10
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan
Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari
kehidupan masyarakat manusia tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi peniruan.
Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan
8
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 1
9
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 331
10
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 332
11 dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian
dituangkannya dalam karya sastra.
11
”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang
memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya
yang independen dan berdiri sendiri”
12
Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota
masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadian- kejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang
diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh
pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra.
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat.
Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan
sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah
11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000, hlm. 6-7
12
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2005, hlm. 8
12 timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah
dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga
sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam
membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti
upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-
hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
13
Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖
tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini
hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan
sesuatu dengan cara menghibur.
14
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas
masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra dengan masyarakat.
13
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 1-2
14
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 3-4
13
B. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’novel’ berarti karangan prosa
yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella yang dalam bahasa Jerman: novelle. Secara harfiah novella berarti
’sebuah barang baru kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa’ Abrams, 1981: 119
Dalam novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya roman
waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini
juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan
Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Di Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau tidak
menggunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Karya Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut
novel walaupun di Rusia dinamai roman.
15
Unsur-unsur yang membangun sebuah novel secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1 Struktur luar ekstrinsik dan 2 Struktur dalam
intrinsik. Struktur luar ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut,
misalnya: faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam
intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut, seperti: tema, tokoh, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.
16
15
Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988, hlm. 32
16
Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988, hlm. 35
14
C. Hakikat Nilai Sosial
Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya
kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di
sisi lain, ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial.
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai
contoh, orang menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas
harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu terdapat perbedaan tata nilai
antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan
muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu
keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
1. Nilai dan Sosial
Nilai menurut Horton dan Hunt 1987 adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan
perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
17
Kata ’nilai’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Kata ’nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau
berguna dalam kehidupan manusia. Sedangkan k ata ’sosial’ memiliki arti
berkenaan dengan masyarakat. Jadi, nilai sosial merupakan hal-hal bersifat
17
J. Dwi Narwoko, dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, Jakarta: Media Group, 2004, hlm. 55
15 penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat.
2. Pengertian Nilai Sosial
Berikut ini definisi nilai sosial menurut pendapat para ahli:
a. Alvin L. Bertrand
Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.
b. Robin Williams
Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial
dijunjung tinggi oleh banyak orang.
c. Kimball Young
Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting dalam masyarakat.
d. Clyde Kluckhohn Dalam bukunya Culture and Behavior , Kluckhohn menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang diinginkan. Artinya nilai bukan hanya diharapkan, tetapi diusahakan
sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain.
e. Woods
Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-
hari.
16
f. Koentjaraningrat
Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
g. Green
Kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek. Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum
dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain
itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk
mewujudkan harapan
sesuai dengan
peranannya. Contohnya
ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan
nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok
akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas kontrol perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat
tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
18
3. Ciri Nilai Sosial
Beberapa ciri nilai sosial di antaranya adalah sebagai berikut: a.
Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antaranggota masyarakat
b. Nilai sosial disebarkan di antara anggota masyarakat bukan bawaan lahir
c. Nilai sosial terbentuk melalui sosialisasi proses belajar yang berlangsung
sejak dari masa kanak-kanak dalam keluarga d.
Nilai sosial merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia
e. Nilai sosial dapat memengaruhi pengembangan diri sosial dalam
masyarakat, baik positif maupun negatif
18
Anonim, ”Nilai Sosial” di dalam http:id.wikipedia.orgwikiNilai_sosial diunduh pada Jumat, 1 April 2011 pkl 21:24 WIB
17 f.
Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda pada antaranggota masyarakat
g. Nilai sosial bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan
yang lain h.
Nilai sosial cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam suatu masyarakat.
19
4. Macam-macam Nilai Sosial
Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap patuh atau
menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolok ukurnya. Nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat.
Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
1. Etika
Etika menjadi tolok ukur untuk menganggap tingkah laku atau perbuatan seseorang dianggap baik atau menyimpang. Etika adalah suatu nilai tentang
baik atau buruk yang terkait dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bersama. Misalnya, dalam berbicara, sopan atau tidakkah seseorang dalam
bertutur kata. Jika seseorang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa mereka akan menggunakan kromo madyo atau kromo inggil kepada orang
yang lebih dihormati, misalnya: ‖Punopo bapak sampun dhahar?‖ Apakah
Bapak sudah makan?
2. Moral
Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai
moral menjadi tolok ukur untuk menganggap perilaku seseorang, bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Misalnya, mencuri, tidak jujur, dan ingkar janji
merupakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan moral. Tindakan pemerkosaan, melakukan kebohongan, dan memfitnah adalah tindakan yang
tidak bermoral.
19
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1Jakarta: Yudhistira, 2006, hlm. 36
18
3. Agama
Nilai sosial terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang
menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak menjalankan kewajiban keagamaannya secara baik.
4. Hukum
Nilai hukum sangat terkait dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum biasanya memiliki kepastian tentang nilai-nilai yang diatur di dalamnya dan
sanksi yang diberikan terhadap pelanggarnya. Nilai hukum terkait dengan hak asasi manusia atau terkait dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan akan
masuk dalam hukum pidana. Pelanggarnya secara otomatis dilaporkan oleh pihak kepolisian untuk diadili.
20
D. Hakikat Pembelajaran Sastra
Secara umum tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: 1 agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa; 2 peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi
kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra puisi, prosa, drama baik karya asli maupun saduranterjemahan sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks
lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu
melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi
20
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1Jakarta: Yudhistira, 2006, hlm. 36-37
19 kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati puisi, prosa, drama
dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.
Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang
hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam Kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar
Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah:
1. kecakapan mengenal diri self awareness atau kecakapan personal;
2. kecakapan berpikir rasional thinking skill;
3. kecakapan sosial social skill;
4. kecakapan akademik academic skill;
5. kecakapan vokasional vocasional skill.
21
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan
masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat,
bukan dengan cara teknik akademis melisankan melalui tulisan sastra.
22
Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan
emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca.
Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada
siswa. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.
21
Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra Jakarta: 2008, hlm. 171-173
22
Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra Jakarta: 2008, hlm. 67
20 Karya sastra sangat bermanfaat bagi pembaca apabila ia bersedia
mengapresiasikannya. Apresiasi mengandung arti memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Obyek apresiasi lain, mengalami sendiri atau dari
membaca buku. Salah satu buku yang juga memuat pengetahuan adalah novel. Karya sastra yang berbentuk novel, memuat kisah-kisah tentang kehidupan
yang disampaikan dengan menggunakan bahasa secara halus yang bersifat imajinatif oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca pun mesti menggunakan
pikiran kritis dan kepekaan perasaannya untuk karya sastra. Pemahaman sensitif lebih mengacu pada aspek afektif kemampuan seseorang daripada aspek kognitif.
Menurut Oemarjati mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang dikandung
karya yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya
memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran sastra di
sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.
23
23
Boen, S. Oemarjati, ―Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar,‖,
dalam Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pengajaran, ed., Bambang Kaswanti Purwa Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 58
21
BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER
A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam