Pemikiran Pramoedya Ananta Toer

25 paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00 WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer

Pram tidak memberatkan simpatinya pada suatu –isme, kecuali pada humanitas. Misalnya dalam ”Dia yang Menyerah” hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, imperalis dan sebagainya. Sangat realistis sekali lukisan-lukisannya tentang kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak. 26 Pram mengaku bahwa Idrus adalah sastrawan yang pertama dikaguminya. 28 Ia bahkan menganggap Idrus adalah ”guru besarnya”. Menurutnya, Idrus adalah seorang stylist yang belum tertandingi. Tulisan Idrus, katanya, ”tidak ada satu kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Ia juga mengagumi Steinbeck, pengarang Amerika. Ia belajar cara menulis plastis, agar tulisan itu memunculkan gambaran seperti film dibenak pembaca. Pram belajar dari William Saroyan cara membuat tulisan agar menimbulkan perasaan haru, dengan menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam pertemuan antar manusia. Ia juga belajar dari Maxim Gorki. Menurutnya, Gorki kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semua berubah dan bergerak. Pengarang yang dikagumi Pram yang banyak memberinya inspirasi tentang kemanusiaan adalah Multatuli. Multatuli mendirikan kemanusiaan dengan mengorbankan segala-galanya. Bahkan Pram sering mengutip ucapan Multatuli, ”It is the duty of human beings to become human”. kewajiban manusia adalah menjadi manusia. 29 Intinya Pram banyak menyuguhkan gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan pelacuran karena kemiskinan dalam karyanya. Dua perempuan, dua pahlawan. Ibu dan neneknya dari sosok dua perempuan inilah Pram banyak mendapat inspirasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Karena pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang menarik Pram untuk menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebagai barisan Srikandi yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Berbeda dengan hal di atas, novel Bukan Pasar Malam yang dibuat oleh Pram lebih memperhatikan tokoh ayah. Dilukiskan tokoh ayah seorang guru dan nasionalis jatuh sakit lantaran kekecewaannya terhadap pemerintahan yang ada pada saat itu. 28 Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum. Pemimpin Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu. 2004. hlm. 740-744 29 Max Lane. Esei “Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925- 2006” Editor: Astuti Ananta Toer dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa., Jakarta: Lentera Dipantara, 2009, hlm.74 27 Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya. “Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di masa perjuangan kemerdekaan”. 30 Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat Pram berusia 25 tahun.

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer