Psikologi Pramoedya Ananta Toer Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam

27 Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya. “Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di masa perjuangan kemerdekaan”. 30 Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat Pram berusia 25 tahun.

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer

Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya yang berjudul Korupsi. Buku Korupsi yang terbit pada 1954 mengakibatkan hubungannya dengan pemerintahan Soekarno tidak baik. Karyanya Korupsi merupakan friksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Di masa itu pula ia mempelajari masalah penyiksaan terhadap Tionghoa di Indonesia, dan pada saat yang sama Pram berhubungan erat dengan para penulis di China. Ia kemudian menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia dalam buku Hoakiau di Indonesia. Karena buku tersebut, ia dipenjara oleh Orde Lama selama satu tahun. Kemudian dibebaskan karena desakan internasional. 30 den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas Bambu. 2008. hlm: 29 28

D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam

Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih nyata mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya. Pada tahun 1951 Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam, dari tahun tersebut dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulis novel ini sebelum tahun 1951, atau tepatnya menurut A. Teeuw pada saat sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 1950 31 . Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah. Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak yang pulang kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit dan diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku,. Dimulai dengan persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan, kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di Jakarta. Bab pertama merupakan ancang-ancang pada tema utama, yaitu kematian sang ayah, ayah yang juga merupakan korban ketaksamarataan di antara manusia yang dihasilkan oleh revolusi, dengan kata lain revolusi sosial yang gagal. Penghayatan Aku dalam Bukan Pasar Malam perjalanan itu sangat lama, sama sekali tidak 31 A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997. hlm. 112-113 29 menggairahkan, sebaliknya suram-muram, terutama sebab keterasingan dengan isteri yang baru dikawininya sudah mulai tampak emosi yang dialaminya ketika kereta api berjalan lewat daerah Jawa Barat tempat si Aku ikut berperang tidak dapat dibagikannya dengan isterinya, demikian pula ketika mereka mendekati daerah Blora isterinya tidak dapat ikut merasakan emosi kenang-kenangan masa mudanya. Lain daripada itu rasa berdosanya terhadap ayahnya menjadi ganjalan emosional. Ketika mereka tiba di Blora tidak ada yang menjemputnya, dan dalam perjalanan naik dokar ke rumah tak seorang pun keluarga atau kenalan kelihatan. Mulai bab keempat, cerita makin berpusat pada penyakit sang ayah, masa lampaunya, dan hubungannya dengan si Aku, walaupun sekaligus yang belakangan ini dan bersama dengan dia pembaca mendengar banyak cerita dari anggota keluarga lain tentang segala apa yang terjadi selama tahun-tahun belakangan. Namun cerita ini kurang hebat emosinya, antara lain karena jarak waktu antara yang diceritakan dengan penceritaannya. Yang dominan ialah penghayatan oleh pencerita tentang kematian sang ayah yang tak dapat tidak akan datang bahwa maut ’bukan pasar malam’. Bukan keramaian yang dialami bersama-sama, melainkan pengalaman yang ngeri, yang mendatangi setiap manusia dalam keadaan mutlak. 32 Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam... Seorang-seorang datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana... Toer, 2007: 5 Menurut Romo Mangunwijaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan paling disukainya. Sebabnya sederhana karena belum tersentuh oleh tangan- tangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia mengangkat hal ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Ini adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam. 32 A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997, hlm: 118-119 30 BAB IV ANALISIS NILAI SOSIAL NOVEL BUKAN PASAR MALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Gambaran Sosial Masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam