9
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan
gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota
masyarakat di tempatnya masing-masing.
5
Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan
perubahannya.
6
Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra
dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.
7
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood 1972 dalam Faruk 1994 mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan
objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa
5
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 7
6
Dandi Sugono editor. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332
7
Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, Bandung: UPI Press, 2006, hlm. 2
10 masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu yang rumit.
8
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap
baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27 yang berjudul De la
literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales 1800. Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The
Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, dkk.
9
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis
strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus
difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,
memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
10
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan
Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari
kehidupan masyarakat manusia tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi peniruan.
Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan
8
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 1
9
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 331
10
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 332
11 dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian
dituangkannya dalam karya sastra.
11
”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang
memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya
yang independen dan berdiri sendiri”
12
Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota
masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadian- kejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang
diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh
pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra.
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat.
Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan
sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah
11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000, hlm. 6-7
12
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2005, hlm. 8
12 timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah
dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga
sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam
membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti
upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-
hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
13
Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖
tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini
hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan
sesuatu dengan cara menghibur.
14
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas
masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra dengan masyarakat.
13
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 1-2
14
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979, hlm. 3-4
13
B. Hakikat Novel