Biografi Pramoedya Ananta Toer

21 BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam

1. Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek, adalah nama kepengarangan yang kini menjadi standar bagi dia. Perjalanan dari nama Pramoedyo ke nama Pramoedya Ananta Toer, tidak sangsi lagi, merupakan sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Tidak heran, Mas Moek merasa perlu menuliskannya dalam satu uraian panjang berjudul ―Memoar−Hikajat Sebuah Nama‖ di tahun 1962. Paling tidak ada sembilan nama yang pernah digunakannya, sebelum akhirnya ia mantap menggunakan nama Pramoedya Ananta Toer. Itu dapat dilacak dari berbagai tulisan yang dimuat dalam májala dan suratkabar pada zamannya, yaitu: a. Pramoedya Tr., dalam ―115 Boeah Wasiat Madjapahit‖, penerjemah Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947 b. Ananta Toer, dalam Lode Zielens: ―Bunda untuk apa kami dilahirkan‖, penerjemah Sadar, No. 5 Th. II, 13 Juni1947 c. M. Pramoedya Toer, dalam ―Hoeroef‖ Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947 d. Pr. Toer, dalam ―Kalau Mang Karta di Djakarta‖ Sadar, Mei 1947, “ORI di Djakarta” J. 23-5-1947, Sadar 1947 e. Pr. A. Toer, dalam ‖Dajachajal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu‖ J. 11- XI-1952, Pemuda, No. 1 Th. IV, Januari 1954 f. Pramoedya Toer, dalam ‖Bingkisan: Untuk adikku R.‖ Sadar, No.6 Th. II, 13 Juni 1947 g. Pram Ananta Toer, dalam ‖Keluarga Mbah Rono Djangkung‖ sumber tak jelas h. Pramudya Ananta Tur, dalam ‖Lemari Buku‖ Mimbar Indonesia, [1951], ”Keadaan sosial para pengarang Indonesia” Star Weekly, No. 576, 12 Januari 1957 , ”Sepku” Mingguan Politik Pelopor, 27 Januari 1952 22 i. Pramudya Ananta Toer, dalam ”Kalil siopas kantor”, ”Yang tinggal dan yang pergi Gelanggang, April 1955, dan akhirnya j. Pramoedya Ananta Toer, dalam ”Anak Tumpahdarah” sumber tak jelas. 24 Pramoedya Ananta Toer lahir di tengah-tengah keluarga guru yang gandrung akan kemerdekaan. Mamuk adalah nama kecil dari Pramoedya Ananta Toer, ayahnya bernama Imam Mastoer, ia dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 6 Februari 1962. Nama Pramoedya sendiri memiliki makna “yang paling pertama dalam peperangan”, makna dari nama tersebut sesuai dengan suasana waktu itu pada zaman penjajahan. Ibunya pernah menerangkan bahwa para yang berarti ’yang terutama’ atau ’paling pertama’, sedangkan moedya berarti ’peperangan’, jelas yang paling pertama dalam peperangan. 25 Ayahnya bernama Mastoer adalah seorang guru. Selain itu ayahnya juga seorang tokoh Politik PNI cabang Blora yang juga mampu menulis. Hal ini banyak berpengaruh terhadap Pram. Apalagi ia pernah bersekolah di sekolah yang berpaham kebangsaan. Paham kebangsaannya itu tumbuh dan berkembang saat Belanda ingin memulihkan kekuasaannya di Indonesia. Pram bergabung dengan kaum nasionalis, dengan bekerja di radio dan menerbitkan majalah berbahasa Indonesia. Pada saat itulah ia mulai menulis cerita. Tulisannya yang pertama adalah cerita pendek berjudul Kemana di majalah Pancaraya tahun 1947. Selanjutnya namanya mencuat melalui novel Kranji-Bekasi Jatuh pada tahun 1947. Pram mengaku menulis sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar SD, satu di antaranya pernah dikirimkan ke penerbit Tan Koen Swie, Kediri, tetapi ditolak. Anak sulung ini pernah menempuh pendidikan di Radio Volkschool Surabaya 1940, Taman DewasaTaman Siswa 1942-1943, Sekolah stenografi 1944- 1945, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta 1945. Pernah menjadi juru tik di Kantor Berita Jepang Domei 1942-1945, Letnan dua dalam Resimen 6 Divisi 24 Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, hlm. viii 25 Koesalah Soebagyo Toer, “Pengantar Koesalah Soebagyo Toer” di dalam Menggelinding I. Editor: Astuti Ananta Toer, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, hlm xxi 23 Siliwangi 1946, Redaktur Balai Pustaka 1950- 1951, Pimpinan ”Literary Features Agency Duta ” 1951-1954, Redaktur bagian penerbitan ”The Voice of Free Indonesia ” 1954, anggota Pimpinan Pusat Lekra 1958, Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet 1958, Anggota Dewan Komite Perdamaian Indonesia 1959, redaktur ”Lentera” 1962-1965. Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Republika, Jakarta sekarang Universitas Trisakti, dan dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta. Pada saat di Penjara Bukit Duri, tahanan dilarang untuk menulis, Pram mencari cara untuk tetap bisa menulis, yaitu memakai arang yang diruncingkan. Ia menulis sambil jongkok di atas kaleng margarin, dengan alas sepotong papan, bermeja ambin beton yang biasa digunakannya untuk tempat tidur. Ia pun tetap menulis di kala malam, sambil tengkurap di ambin tempat tidurnya dengan penerangan pelita. 26 Di Pulau Buru pun ia mendapat pelarangan yang sama. Namun, ia tetap mengatur untuk menulis. Tubuh Pram memang terpenjara. Namun tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di Pulau Buru lah empat buku novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang merupakan karya terbesar Pram Tetralogi Pulau Buru. The Quartet Buru. Proses penciptaan buku tersebut itu pun sangat luar biasa. Pram khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan empat bukunya itu. Lalu ia memutuskan untuk mengarang empat novel tersebut di dalam kepalanya, dan menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya sesama tahanan politik di Pulau Buru. Pada tahun 1960an ia ditahan kembali oleh pemerintahan Orde Baru rezim Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, dan akhirnya di Pulau Buru selama sepuluh tahun Agustus 1969- 12 November 1979. Penjara, penderitaan, penyiksaan, penghinaan tidak membuat Pramoedya Ananta Toer “mati”. Kreativitasnya bergolak dan semuanya itu dibalasnya dengan karya-karya besar yang mampu menembus dunia. Dari 26 Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru, Jakarta: Lentera. hlm. 70 24 penjara inilah karya-karyanya dikenal sampai ke luar negeri. Pramoedya Ananta Toer memang ditakdirkan untuk menulis. Bahkan di penjara di mana ada larangan untuk menulis, Pram menggunakan segala cara untuk bisa menulis. Kehidupan pengarang yang satu ini tak lepas dari kontroversi. Ketika Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award tahun 1995 diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsaysay. Mereka merasa penghargaan tersebut tidak pantas diberikan kepada Pramoedya, karena Pram pernah dituding sebagai jubir Lekra yang paling galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsanya meralat pemberitaan tersebut. Katanya bukan menuntut pencabutan, namun mengingatkan siapa Pramoedya itu. Katanya banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Maka dari itu pemberian Ramon Magsaysay dikatakan sebagi suatu kecerobohan. Di lain pihak, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Begitu pula dengan HB. Jassin. 27 Pengarang yang bersahabat dengan penjara ini merupakan penulis yang produktif. Terbukti ia telah menulis lebih dari 40 karya seperti: novel, cerita pendek, drama, sejarah, kritik sastra dan lebih dari 400 essai dalam surat kabar. Pram seorang humanis, sebagaimana ia sangat mengagumi Multatuli. Ia seorang nasionalis, sangat cinta kepada kemanusiaan dan kepada bangsanya. Oleh karena itu, karya-karyanya selalu membela kemanusiaan, tentang penderitaan anak-anak bangsa karena penjajahan. Dari kecintaannya kepada kemanusiaan inilah lahir sejumlah karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga Tetralogi Bumi Manusia. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa ia ke RS. St. Carolus. Ia didiagnosis menderita radang 27 Astuti Ananta Toer editor, dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009. hlm.4-5 25 paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00 WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer