Pelindungan Hukum Bagi Konsumen Pemegang Kartu Kredit

D. Pelindungan Hukum Bagi Konsumen Pemegang Kartu Kredit

Dunia memang telah berubah. Jika dulu utang dianggap sesuatu yang memalukan, kini perkara utang justru menempatkan seseorang pada “status sosial” yang lebih tinggi ketimbang masyarakat golongan lain. Para penyandang “pengutang” merasa bangga bahwa dirinya adalah golongan masyarakat yang dipercaya oleh sebuah institusi perbankan, dan hal tersebut ditunjukkan dengan sederet kartu kredit dari berbagai provider bank penyelenggara jasa kartu kredit ketika mereka melakukan transaksi. Di antara pengguna uang, mungkin hanya sebagian kecil yang mampu memanfaatkannya secara benar, sebagai alat pembayaran yang praktis. Di tahun 2003, jumlah pemegang kartu kredit mencapai 4,5 juta orang dan dikeluarkan oleh 17 bank penyelenggara provider. Kartu kredit Visa dan Master masih mendominasi pasar. Benarkah tunggakan kartu kredit dari para konsumen di Indonesia masih dalam batas wajar ? Atau dengan kata lain tunggakan itu belum berdampak signifikan dan mengkhawatirkan? Untuk menjawabnya, pertama-tama pertanyaan ini ditujukan kepada siapa? Kepada provider ataukah kepada negara mengenai adanya perilaku masyarakat konsumen yang semakin banyak terjebak dalam iming-iming kemudahan kredit? Pertanyaan ini amatlah penting melihat persoalan dari sudut yang berbeda, tentu saja akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. 111 Bagi penerbit kartu kredit, adanya tunggakan pembayaran dan juga macetnya pembayaran cicilan sampai kapan pun akan tetap menguntungkan. Pasalnya sederhana saja. Semakin lama tunggakan tidak dibayar, bunganya akan berjalan seiring dengan waktu. Bahkan, tidak mustahil tunggakan yang hanya beberapa ratus ribu rupiah saja akan membengkak menjadi angka jutaan rupiah. Apabila konsumen kartu kredit, sengaja maupun tidak, belum atau bahkan tidak mampu lagi melunasi 111 http:hendrihartopo.infocetak.php?id=59, Diakses terakhir tanggal 3 September 2009. Universitas Sumatera Utara sisa pembayaran kreditnya, segala upaya akan dilakukan pihak provider melalui pihak ketiga debt collector untuk menekan hingga mengancam para konsumennya. Tidak hanya terbatas pada pemegang kartu kredit yang bersangkutan, bisa hingga ke seluruh keluarga, relasi, kantor tempat bekerja, dan lainnya. Perkara macam ini tentu pada akhirnya akan menyudutkan posisi konsumen dan menyerah pada tekanan- tekanan yang melebihi batas kewajaran. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan hal yang mesti di jawab oleh pemerintah, karena saat ini bagi pemegang kartu kredtit hampir tidak ada. Ibaratnya, konsumen kartu kredit yang ”dibobol kantongnya” oleh bank akan diam saja, pasrah. Dari pada menanggung malu berkepanjangan, berapa pun akhirnya akan dibayar. Dalam praktik sehari-hari, sesungguhnya keuntungan yang diperoleh bank atau provider penerbit kartu kredit dari berbagai pungutan yang mereka berlakukan kepada konsumen, jika dijumlahkan, dapat melebihi pembayaran kredit macet karena ulah konsumen. Pasal 2 UUPK memberikan batasan mengenai asas perlindungan hukum bagi konsumen yaitu, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait baik masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas: asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, dan asas kepastian hukum. ”Untuk mewujudkan perlindungan terhadap konsumen, maka Pasal 44 Bab IX UUPK telah diatur tentang lembaga perlindungan konsumen. Salah satu lembaga yang ada dalam Universitas Sumatera Utara mewujudkan perlindungan konsumen tersebut adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI. 112 YLKI menilai ada kesalahan pengertian dari apa yang disampaikan YLKI yang beredar di beberapa media massa dan yang ditanggapi Asosiasi Kartu Kredit Indonesia. YLKI mempersoalkan, Pertama, kekhawatiran tentang tingginya nilai outstanding balance. Artinya, jumlah nilai tagihan yang tidak dilunasi secara penuh pada waktunya karena konsumen misalnya hanya membayar tagihan sebesar minimal 10 persen dari total yang ditagihkan bulan tersebut mencapai hampir Rp.10 triliun, tepatnya Rp 9,8 triliun rupiah sesuai data Bank Indonesia tahun 2003. Kedua, tentang banyaknya 25-30 persen atau sekitar 113.000 pemegang kartu kredit mendapat ”penalti” Rp.25.000 late penalty charge karena terlambat membayar. Dalam hitungan Bank Indonesia, total transaksi jumlah pembelanjaan konsumen kartu kredit pada tahun 2003 mencapai 6.679.810 kali transaksi. Volume transaksi senilai Rp.28 triliun konsekuensinya kira-kira sepertiganya, yaitu Rp 10 triliun akan terkena bunga oleh bank karena mereka tidak akan membayar tagihan secara penuh. Kalau bicara soal ”kredit macet”, akan dijaga sampai maksimum 10 persen dari dana yang dikucurkan. Ini berarti bukan Rp.1 triliun, tetapi hampir Rp 3 triliun. Ini merupakan jumlah yang merisaukan. Oleh karena itu, perlu pengaturan jumlah pembayaran minimum yang harus dibayarkan. 113 Bagi organisasi konsumen, ini adalah sebuah indikasi kalau kartu kredit tidak digunakan secara bijaksana oleh penggunanya dan juga provider tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dalam memasarkan produknya. Dari perspektif perlindungan konsumen yang berasal dari data resmi Bank Indonesia inilah YLKI patut memberikan peringatan kepada publik secara luas. Bunga bank yang tinggi atas pemberian kredit komersial atau umum dengan maksimum jumlah kredit yang diberikan sama dengan kartu kredit di mana bank mengambil keuntungan yang diperoleh dari tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu berkisar 6-7 persen per tahun. Adapun tingkat suku bunga untuk kartu kredit 112 Dodit W. Purbojakti, Harian Kompas, Edisi Rabu, Tanggal 13 April 2004, hal. 8. 113 Ibid, hal. 8. Universitas Sumatera Utara ditetapkan antara 2,25 dan 3,5 persen per bulan untuk ritel dan 2,75-6 persen per bulan untuk cash advance. Ini berarti bunga kartu kredit berkisar 28,8-42 persen per tahun untuk ritel dan 33-72 persen per tahun untuk cash advance. Bandingkan dengan bunga deposito sekarang yang ditawarkan hanya 5-6 persen per tahun. Selain bunga yang cukup tinggi untuk pengambilan uang tunai cash advance, konsumen masih harus dibebani biaya administrasi yang cukup besar. Dengan demikian, bila ditotal, tagihan mencapai angka yang luar biasa besarnya atau secara kasar hampir dapat di samakan dengan praktik ”lintah darat”, atau ini seolah merupakan rentenir yang dilegalkan. Iuran tahunan salah satu pemasukan utama bank setelah bunga kartu kredit atau iuran tahunan bank yang dibebankan ke konsumen dan menjadi sumber pendapatan bank. Keuntungan mengelola iuran ini relatif menguntungkan dibandingkan dengan kredit umum yang maksimum kreditnya seperti kartu kredit. Pada tulisan di Jakarta Post, 7 Februari 2004, menyatakan, untuk late penalty charge, kira- kira besarnya Rp 25.000 per bulannasabah, dalam setahun perolehan penyedia kartu kredit di Indonesia mencapai 4.billion US kira-kira 0,4 billion USD atau Rp.340 miliar, yang berarti melibatkan sekitar 25 persen pemegang kartu kredit atau 113.000 orang telat membayar. Bagi bank penerbit, hal itu sesuatu yang menggembirakan karena semakin banyak pengguna kartu kredit yang terlambat membayar, berarti semakin besar pula pendapatan bank. Dari sudut lain YLKI melihat bahwa pendidikan kepada konsumen Universitas Sumatera Utara terhadap kedisiplinan tidak diterapkan provider kartu kredit terhadap konsumennya, namun cenderung dibiarkan saja karena hal itu sumber pemasukannya. Ada pula denda bagi yang menggunakan kartu kredit yang melebihi pagu kredit yang diberikan, ini dapat juga dikatakan sebagai suatu jebakan karena pihak bank penerbit sebenarnya dapat membuat suatu sistem transaksi untuk membatasi jumlah transaksi debitur sesuai pagu kredit yang diberikan, sehingga konsumen pengguna kartu kredit terhindar dari denda. Tagihan credit shield dan asuransi jiwa debitur selalu muncul dengan biaya bervariasi setiap bulan, tergantung transaksi yang tampak dalam tagihan bulanan. Alasan pembebanan biaya ini adalah untuk menjamin perlindungan bagi pemegang kartu kredit jika mereka terkena Pemutusan Hubungan Kerja PHK atau meninggal dunia, dan dalam tagihan masih ada tunggakan yang harus diselesaikan. Dengan demikian, sebenarnya bank penerbit telah meminimalkan resiko kerugian yang dapat dideritanya apabila hal tersebut terjadi. Namun, dari pengalaman yang sering terjadi hal tersebut tidak selalu diberitahukan kepada konsumen sehingga apabila konsumen mengalami PHK atau meninggal dunia bank tetap melakukan penagihan kepada debitur pemegang kartu kredit. Masalah biaya transaksi dengan mata uang asing foreign currencies, bank- bank tidak memiliki standar atau aturan yang baku mengenai berapa biaya tambahan yang dikenakan bank untuk pembelanjaan dengan mata uang asing yang harus dibayar konsumen. Sehingga sering menimbulkan kerugian di pihak konsumen atau debitur pemegang kartu kredit. Universitas Sumatera Utara Dalam hal promosi, tampaknya instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini tidak mengatur ketentuan promosi. Sehingga yang sering dilakukan oleh bank penyedia jasa kartu kredit adalah melakukan promosi yang menarik minat namun disisi lainnya bisa menjebak konsumen sebagai calon debitur kartu kredit. Kalau diamati iklan-iklan mereka, seperti ”Gunakan kartu kredit kami, Cicilan yang ringan akan membantu Anda karena Anda hanya membayar lima persen dari tagihan Anda bulan ini....” Iklan semacam itu awalnya tampak menolong dan meringankan, namun akhirnya malah akan memberatkan dan merongrong konsumen karena sisa cicilan yang 95 persen itu terpaksa dibebankan bunga yang makin hari makin besar jika tidak dilunasi pada bulan yang bersangkutan. Seorang konsumen pemegang kartu kredit mengadu ke YLKI karena pada 20 Januari 2004 terdapat tagihan kartu kreditnya yang belum dibayar pada transaksi 1 Februari 2003 dan 22 Maret 2003. Ini artinya 10 bulan lebih baru ditagih. Bagaimana ini terjadi, padahal setiap transaksi, katanya, otomatis segera akan masuk ke rekening pemegang kartu kredit. Lain lagi pengalaman LN di Jakarta Pusat, yang mengklaim pihak bank melakukan penagihan ganda, dan tagihan itu tak dapat dikembalikan dengan alasan tagihan dapat diproses maksimal hanya empat bulan terakhir. 114 Kasus-kasus demikian semakin menunjukkan ketimpangan antara kekuatan produsen dan konsumen. Inilah salah satu alasan yang dikemukakan YLKI mengapa diperlukan intervensi pemerintah atau Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam hal regulasi dan pengaturan pelaksanaan pembiayaan dan fasilitas kredit dengan produk kartu kredit guna memberikan perlindungan kepada konsumen. Juga penyediaan ”Biro Mediasi Bank” yang bertugas mengawasi dan membantu penyelesaian masalah yang timbul antara bank dengan debitur. 114 http:hendrihartopo.infocetak.php?id=59, Op. cit, Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan di dalam penelitian ini, yang disimpulkan sebagai berikut: 1. Hak dan kewajiban para pihak dalam hal perlindungan konsumen telah ditetapkan didalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen memiliki beberapa hak, yaitu hak untuk kebebasan memilih, memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dari produk atau jasa yang dipergunakan. Dan apabila terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi, sampai memperoleh ganti rugi. Hak-hak konsumen ini secara otomatis menjadi kewajiban bagi pihak produsen atau pelaku usaha. Sedangkan kewajiban konsumen yang menjadi hak dari produsen atau pelaku usaha adalah mematuhi dan mengikuti segala peraturan dan prosedur yang ditetapkan, beritikad baik, melakukan pembayaran sesuai kesepakatan dan mengikuti upaya-upaya penyelesaian secara hukum apabila terjadi sengketa. Semua kewajiban pelaku usaha disisi lain dapat dipandang sebagai hak dari konsumen, begitu juga sebaliknya seluruh hak dari pelaku usaha dapat dipandang sebagai kewajiban dari konsumen. Universitas Sumatera Utara