Kerangka Teori Kerangka Teori dan Konsepsi

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Untuk menganalisis data mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, penulis menggunakan 2 dua teori yakni teori tentang sistem hukum dan konsep hukum. Menurut Lawrence Meir Friedmann, ”teori tentang sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu : elemen struktur structure, substansi substance, dan budaya hukum legal culture.” 10 Aspek struktur structure dirumuskan bahwa sistem hukum legal system bersifat dinamis dan terus berubah, namun kecepatan elemen-elemen sistem itu berubah berbeda-beda satu dengan yang lainnya, ada yang memiliki pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem hukum yang berada di sini kemarin atau bahkan pada abad yang lalu akan tetap berada disitu untuk jangka waktu yang panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, elemen yang tetap bertahan, elemen yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan sistem tersebut. Struktur dari keadaan sistem hukum itu terdiri dari beberapa unsur : ”jumlah dan ukuran pengadilan, yuridisnya, cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal The Federal Trade 10 Lawrence M. Friedman., Editor: Wisnu Basuki., Hukum Amerika : Sebuah Pengantar American Law : An Introduction, Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 7. Universitas Sumatera Utara Commission, apa yang boleh secara sah atau tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh Departemen Kepolisian, dan sebagainya.” 11 Dari rumusan di atas, maka beberapa unsur yang telah diuraikan merupakan elemen dalam sistem hukum, yaitu sebagai berikut : Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang struktur alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Depperindag baik pusat maupun daerah serta ketentuan tentang pelaksanaan tugas dari masing-masing institusi tersebut merupakan aspek struktur dari Sistem Hukum Perlindungan Konsumen. 12 Selain itu, jika dikaitkan dengan judul dari tesis ini tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, maka yang menjadi elemen dari struktur dalam permasalahan ini adalah Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia, bank-bank umum sebagai lembaga keuangan yang diberikan izin dan kewenangan sebagai bank penerbit kartu kredit dan pengaturan tata laksananya serta lembaga-lembaga lain yang diberikan kewenangan seperti bank umum dalam penerbitan kartu kredit sebagai suatu lembaga keuangan selain Bank. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum substance, yang dimaksud Friedman dengan : ”substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai hukum. Itulah substansi hukum.” 13 11 Ibid, hal. 8. 12 Innosentius Samsul, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 12-13. 13 Lawrence. M. Friedman, Op. cit. hal. 7. Universitas Sumatera Utara Karena perkembangan kartu kredit masih terbilang relatif baru dibandingkan dengan alat bayar lainnya, seperti uang tunai, cek, bilyet giro dan sebagainya, maka tentang berlakunya kartu kredit tidak ditemukan dasar hukum yang tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang digunakan di Indonesia. ”Baik Kitab Undang- undang Hukum Dagang maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak ada menyebut-nyebut istilah Kartu Kredit ini.” 14 Oleh karena itu, yang menjadi dasar hukum atas legalisasi pelaksanaan kegiatan kartu kredit di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Perjanjian Antara Para Pihak Sebagai Dasar Hukum Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum kita menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada Pasal 1338 ayat 1 ini, maka asal saja dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian lisan maupun tertulis yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut. Pada kenyataannya memang ada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang berhubungan dengan penerbitan dan pengoperasian kartu kredit tersebut. Karena itu Pasal 1338 ayat 1 ini dapat digunakan sebagai salah satu landasan hukum berlakunya. Dengan demikian, pasal-pasal tentang perikatan dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit, secara mutatis-mutandis. 2. Perundang-undangan Sebagai Dasar Hukum Seperti telah disebutkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang tidak secara langsung dan tegas memberikan dasar hukum bagi keberadaan kartu kredit. Akan tetapi ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebutkan dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini, yaitu sebagai berikut : 14 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Cetakan. I, hal. 180. Universitas Sumatera Utara a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan. Pasal 2 ayat 1 dari Keputusan Presiden ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian barang dan jasa dengan mempergunakan kartu kredit. Selanjutnya menurut pasal 3 dari Keputusan Presiden tersebut, yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut, termasuk kegiatan kartu kredit adalah : 1 Bank; 2 Lembaga Keuangan Bukan Bank; 3 Perusahaan Pembiayaan. b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251KMK.0131988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Pasal 2 dari keputusan ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga Pembiayaan adalah udaha kredit. Selanjutnya dalam Pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa. c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan Selama berhubungan dengan dunia perbankan, maka yang berkenaan dengan kartu kredit mendapat legitimasi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah menyelenggarakan usaha kartu kredit. 15 Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan, bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab perlindungan konsumen akan selalu mengalami dinamika dan perkembangan yang berbanding lurus dengan dinamika dan perkembangan yang ada di masyarakat serta sampai pada terbentuknya sebuah undang-undang yang materinya dapat melindungi kepentingan konsumen secara keseluruhan. 15 Ibid., hal. 180-182. Universitas Sumatera Utara Sedangkan mengenai budaya hukum Legal Culture yang merupakan elemen ketiga dari sistem hukum, Friedmann mengartikannya, ”sebagai sikap masyarakat terhadap hukum dari sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, pemikiran, serta harapan masyarakat tentang hukum.” 16 Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedmann menggambarkan sistem hukum sebagai : ”suatu proses produksi, dengan menempatkan mesin sebagai struktur, kemudian produk yang dihasilkan sebagai substansi hukum, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen budaya hukum. Ketiga elemen ini dapat digunakan untuk mengurai apapun yang dijalankan oleh sistem hukum.” 17 Teori tentang konsep hukum yang menggambarkan fungsi dari hukum menurut Gunarto Suhardi yang dikutip dari Antony Allot dalam The Limit of Law menguraikan berbagai arti fungsi dari hukum yaitu, ”hukum adalah ketentuan dan informasi yang bersifat abstrak tetapi berpengaruh, pengertian hukum berupa norma- norma hukum positif dan selanjutnya hukum sebagai proses atau akibat berlakunya hukum itu sendiri.” 18 Batasan-batasan hukum adalah sebagai berikut : Pertama, ada kekuatan-kekuatan sosial yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan. Hal ini sesudah membentuk hukum yang bersifat abstrak. Kedua, hukum positif yang berupa struktur dan aturan-aturan. Ketiga, 16 Lawrence M. Friedmann, Op. Cit, hal. 8. 17 Lawrence M. Friedmann. Op.Cit, hal. 14. 18 Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002, hal. 4. Universitas Sumatera Utara pengaruh dari hukum terhadap perilaku nyata. Teori tentang konsep hukum adalah untuk memahami kebiasaan-kebiasaan dalam dunia usaha yang disebut etika bisnis dan akhirnya berkembang menjadi hukum dalam berbagai transaksi bisnis yang dikemudian dipatuhi dan menjadi kekuatan sosial dalam masyarakat. Teori ini juga berguna untuk memahami pengaruh sosial dari suatu peraturan hukum sehingga akibat hukumnya dapat diprediksi predictable sebagai nuansa yang sangat penting dalam transaksi bisnis di mana para pelaku usaha dapat membuat perhitungan perbandingan biaya dan keuntungan dari suatu usaha. 19 Selanjutnya, substansi hukum sebagai obyek dari penelitian ini difokuskan pada beberapa teori tentang substansi hukum perlindungan konsumen, yaitu tentang eksistensi atau keberadaan, perubahan, dan karakteristik dari hukum perlindungan konsumen. Bismar Nasution yang mengutip dari Adam Smith menyatakan bahwa : Eksistensi substansi hukum perlindungan konsumen, sebenarnya berakar pada teori ekonomi tentang hukum pasar yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu, Pertama, Bahwa individu masing-masing yang didorong oleh kepentingan sendiri yang menentukan pekerjaan termasuk produk-produk yang diperlukan oleh masyarakat. Pemikiran ini merupakan inti dari paham individualisme, dimana Adam Smith adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, Kedua, Adam Smith yakin bahwa harga ditentukan oleh pasar itu sendiri, sehingga tidak perlu ada peraturan yang menetapkan harga produk tertentu. Harga suatu barang akan terus bergerak ke level harga alamiah atau natural level, Ketiga, Produsen akan menghasilkan sejumlah barang sesuai dengan kebutuhan konsumen. 20 Dengan demikian, agar memperoleh keuntungan maka produsen selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan konsumen. Ilustrasi terhadap ketentuan ini dicontohkan sebagai berikut : Seorang produsen menghasilkan dan menjual dua jenis baju yang dapat diganti satu sama lain substansi, yaitu jenis A dan B. Katakanlah harga sebenarnya dari A adalah Rp. 20.000,- sedangkan B Rp. 15.000,-. Seandainya permintaan terhadap jenis A meningkat, maka akan 19 Ibid., hal. 3. 20 Bismar Nasution., Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Sabtu, 17 April 2004, hal. 2. Universitas Sumatera Utara berdampak pada meningkatnya harga baju jenis A tersebut. Sebaliknya permintaan terhadap produk B akan menurun. 21 Teori ekonomi yang dikembangkan oleh Adam Smith berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen, yang kemudian melahirkan teori besar, yaitu ”pertama, perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah unregulated-market placedan kedua, perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar government regulated market place. Perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa ada aturan dan intervensi pemerintahnegara atau lembaga legislatif yang mengeluarkan peraturan dalam bentuk undang-undang dikenal dalam dua teori, yaitu teori pasar bebas free market theory dan teori kedaulatan konsumen consumer sovereignty theory. 22 Unregulated market place dijiwai oleh prinsip laissez-faire yang menjunjung tinggi kebebasan berusaha dan kekuatan pasar atas peraturan perundang- undangan sebagai alat untuk mengawasi kegiatan ekonomi. Dalam struktur pasar yang demikian, kedudukan dan peran konsumen sangatlah kuat atau berkuasa sovereign, sehingga melahirkan teori kedaulatan konsumen consumer sovereignty theory. Menurut teori ini, kedudukan dan peran konsumen di pasar sangatlah penting atau dominan, karena konsumenlah yang mengatur pasar. Dikatakan bahwa “the consumer’s role is to guide the economy to the production of goods and services that he wants”. 23 Teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasinya kebebasan individu dan liberalisme. Kekuatan konsumen kemudian melahirkan teori dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak freedom of contract dan hubungan kontrak privity of contract. Kebebasan kontrak berpandangan bahwa para pihaklah yang menentukan isi dari kontrak. Sedangkan hubungan kontrak menyatakan bahwa hanya para pihak dalam kontrak saja yang memiliki hak dan kewajiban. 21 Ibid, hal. 2. 22 Ibid, hal. 3. 23 Ibid, hal. 4. Universitas Sumatera Utara Pengakuan pengadilan atas doktrin-doktrin tersebut berdampak negatif terhadap kepentingan konsumen. Pertama, berkaitan dengan doktrin kebebasan berkontrak, pihak produsen menggunakan kekuatannya untuk menerapkan kontrak-kontrak baku yang memuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihak produsen. Kedua, produsen menghindari tanggung jawab terhadap pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan produsen berdasarkan doktrin privity of contract. Ketiga, penerapan prinsip caveat emptor, yang menekankan konsumen haruslah berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen yang kemudian berpengaruh besar terhadap penerapan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan fault based liability dalam hukum perlindungan konsumen. 24

2. Kerangka Konsepsi