Prinsip Pertanggungjawaban Bank Penerbit Kartu Kredit Atas Peristiwa

BAB IV TANGGUNG JAWAB BANK PENERBIT TERHADAP PERISTIWA

PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT YANG MENIMBULKAN KERUGIAN BAGI KONSUMEN

A. Prinsip Pertanggungjawaban Bank Penerbit Kartu Kredit Atas Peristiwa

Yang Merugikan Konsumen Penyelesaian sengketa antara bank penerbit dengan konsumen kartu kredit dapat ditempuh melalui penerapan prinsip peratnggungjawaban dari bank apabila bank yang melakukan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Penyelesaian sengketa kosumen baik dari peristiwa wanprestasi maupun melalui pristiwa perbuatan melawan hukum belum dapat melindungi kepentingan konsumen dengan seadil- adilnya. ”Posisi konsumen pengguna kartu kredit masih sangat lemah, terutama berkaitan dengan keberhasilan gugatan ganti kerugian yang mensyaratkan adanya pembuktian dan atau pembuktian lawan yang diajukan oleh produsen sebagai pelaku usaha yakni bank penerbit.” 88 Akibat lemahnya kedudukan konsumen penggugat dalam hal membuktikan kesalahan ataupun negligence-nya bank tergugat karena tidak mempunyai pengetahuan dan sarana yang memuaskan untuk itu. Dengan demikian dalam perkembangannya sistem pertanggungjawaban yang diterapkan di pengadilan- pengadilan di Indonesia khususnya delik-delik khusus akan mengarah kepada pertanggungjawaban karena kesalahan menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan. 88 Ibid., hal. 115. Universitas Sumatera Utara Pertanggungjawaban tanpa kesalahan liabilty without fault yang dimaksud di sini adalah pertanggungjawaban mutlak strict laibility. Strict liability adalah bentuk khusus dari tort perbuatan melawan hukum, yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada ada atau tidaknya kesalahan sebagaimana pada tort pada umumnya, tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. 89 Perbuatan yang merugikan pengguna kartu kredit yang dilakukan oleh pihak bank penerbit karu kredit pada umumnya dikategorikan sebagai penipuan. Dalam hal ini termasuk yang dilanggar adalah hukum pidana sehingga prinsip pertanggungjawaban pidana juga berlaku bagi bank yang melakukan banyak penipuan terhadap kartu kredit. Pada pelaksanaanya sering mempergunakan modus operandi yaitu dengan memakai cara-cara seperti tidak memberikan informasi yang jelas, melakukan perubahan tingkat suku bunga dan biaya-biaya tanpa perubahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Praktek pertanggungajawaban mutlak strick liability dalam hukum pidana mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana. Namun hal ini dapat menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan yang memaafkan. Praktek ini juga melahirkan beberapa tingkatan keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strick liability. Strick liability adalah 89 Mark E. Roszkowski., Business Law: Principles, Cases, and Policy, Second Edition, Harper Collins Publisher, USA, 1989, hal. 132. Universitas Sumatera Utara adanya suatu kejahatan yang saat terjadinya terdakwa tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan tersebut. Namun demikian, dia tetap dipandang bertanggungjawab atas terjadinya perbuatan tersebut, walaupun dia sama sekali tidak bermaksud untuk melakukannya. Biasanya ini adalah untuk kejahatan-kejahatan kecil atau pelanggaran. Oleh beberapa penulis perbuatan pidana ini tidak dipandang sebagai perbuatan pidana dalam arti sebenarnya. Ia tetap harus dipertanggungjawabkan tanpa memeriksa keadaan mental atau keadaan lain yang dapat meniadakan pengenaan pidana. Sering dipersoalkan, apakah strick liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan strick liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang actus reus sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan mens rea atau tidak. Jadi, seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana. Pendapat kedua menyatakan strick liability bukan absolute liability. Artinya, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh mereka, yaitu: 1. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti Universitas Sumatera Utara bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa orang lain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi tetap harus dibuktikan, bahwa sekurang- kurangnya A memang menghendaki sengaja untuk menjual daging itu. Jadi, jelas dalam hal itu strick liability tidak bersifat absolut; 2. Dalam kasus-kasus strick liability memang tidak dapat diajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” particular fact yang dinyatakan terlarang menurut undang-undang. Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kita tetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan- keadaan lainnya. Contoh lain, misalnya dalam kasus “mengendarai kendaraan yang membahayakan” melampaui batas maksimum, dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengendarai kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A mabuk-mabukan dirumahnya sendiri. Akan tetapi dalam keadaan tidak sadar pingsan, A diangkat oleh kawan-kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang ada strick liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun strick liability bukanlah absolute liability. 90 Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict liabilty ini tidak mempersoalkan lagi ada atau tidak adanya kesalahan mens rea tetapi bank penerbit bertanggungjawab langsung atas kerugian yang diderita debitur akibat produk kartu kredit yang digunakan. Bank penerbit kartu kredit dianggap harus mengganti kerugian itu. Sebaliknya produsenlah atau pihak bank penerbit yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ”bank penerbit telah melakukan produksi dengan benar, 90 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, Cet. I, hal. 32-33. Universitas Sumatera Utara melakukan langkah-langkah pengamanan yang wajib, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan duty of care.” 91 Dasar pokok untuk menentukan penerapan tanggungjawab mutlak strict liability dalam perkara pidana dalam prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi, tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan. Akan tetapi, lebih bercorak khusus, yaitu: 1. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang- undang sendiri cenderung menentut penerapan strick liability dan; 2. Kebanyakkan orang berpendapat bahwa penerapan hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu. 92 Jadi, penerapannya sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan strick liability crime, dapat dikemukakan beberapa patokan, antara lain: 1. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial; 2. Perbuatan itu benar-benar melawan hukum unlawful yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang wajibkan hukum dan kepatuhan; 3. Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikatagorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik a particular activity potensial danger of public health, safety or moral; dan 4. Perbuatan atau aktifitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang wajar unreasonable precausions. 93 Negara-negara di dunia saat ini sudah banyak mengikuti prinsip pertanggungjawaban mutlak ini dalam hal produk cacat dan produk yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya negara-negara Eropa yang telah mempunyai satu pedoman yang sama directive dalam masalah tanggung jawab produk, yang disahkan oleh Dewan Masyarakat Eropa pada tanggal 25 Juli 1985, yang segera diikuti negara-negara anggotanya.” 94 91 Janius Sidabolak., Op. cit, hal. 116. 92 Barda Nawawi Arif., Op. cit, hal. 34. 93 Ibid. hal. 35. 94 J.M. Van Dunne., Tanggung Jawab Khusus: Tanggung Jawab Produk, DKIH Belanda Indonesia, Yogyakarta, 1988, hal. 78. Universitas Sumatera Utara ”Prinsip pembebanan tanggung jawab seperti ini di Amerika Serikat pertama diperkenalkan oleh Hakim Traynor dalam kasus Greenman melawan Yuba Power Pord. Inc. Tahun 1963 meskipun sebenarnya secara tidak langsung Traynor telah mengemukakan dua puluh tahun sebelumnya”. 95 Traynor membuat suatu aturan umum melalui putusannya sebagai berikut: “A manufactures is strict liable in tort when an article he places on the market, knowing that it si to be used without inspection for defects, proves to have a defect that cause injury to a human being.” 96 Dalam kaitan ini, Stern dan Eovaldi menulis perkembangan berlakunya doktrin ini di peradilan Amerika Serikat sebagai berikut,“This docrine, called strict liabilty in tort, has been accepted by the courts of nearly all the states.” 97 Prinsip tanggung jawab mutlak ini, adalah kewajiban produsen untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengkonsumsi atau memakai produk yang cacat suatu resiko, yaitu termasuk suatu resiko usaha. Oleh karena itu, produsen harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen dalam hal ini adalah produk bank penerbit kartu kredit yang mana pada umumnya mengambil banyak cara-cara keuntungan sehingga dapat dikatakan perbuatan bank penerbit tersebut adalah melawan hukum. 95 Harry Duintjer Tebbens., International Product Liability, Sijthooff Noodhoff International Publisher, Netherland, 1988, hal. 21. 96 Ibid, hal. 24. 97 Stern Louis W. and Thomas L. Eovaldi., Legal Aspects of Marketing Strategy: Antiturst and Consumer Protection Issues, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New York Jersey USA, 1984, hal. 91. Universitas Sumatera Utara Prinsip strict liability di Indonesia, juga mengenal istilah tanggung jawab mutlak atau tanggung jawab resiko, secara implisit dapat ditemukan di dalam Pasal 1367 KUH Perdata dan Pasal 1368 KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang di bawah pengawasannya misalnya, seseorang pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian kepada orang lain. Maka pemiliknya bertanggung jawab atas kerugian itu, tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang menimbulkan kerugian tersebut. Menerapkan Pasal 1367 KUH Perdata ini memang membutuhkan penafsiran yang cukup berani, tetapi sudah dapat dijadikan sebagai salah satu dasarnya. Kata-kata “barang yang berada di bawah pengawasannya” dalam Pasal 1367 KUH Perdata itu dapat dipandang sebagai faktor yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian, yang berarti tidak membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang. 98 Pasal 1367 KUH Perdata ini juga berlaku bagi bank penerbit kartu kredit karena bank tersebut adalah sebagai pelaku usaha yang paling banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen keuangan kepada nasabah atau konsumen. Dengan demikian secara logika kalau prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan pada bank penerbit, maka akan dapat dihindari siasat-siasat licik bank penerbit agar tidak terlalu banyak mengambil keuntungan dari cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian bank penerbit sebagai pelaku usaha dapat dituntut oleh konsumen atau nasabah pengguna kartu kredit jika mengalami kerugian dengan tanpa 98 Janius Sidabalok., Op. cit, hal. 117. Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan seperti menipu konsumen yang dilakukan oleh pihak bank tersebut. Pasal 1368 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat atau lepas dari pengawasannya. Keadaan lepas atau tersesat itu sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau atau menyesatkan binatangnya. Dengan demikian perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggung jawab atas dasar resiko, yaitu resiko yang diambil oleh pemilik barang atau pemilikpemakai binatang tersebut. Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict liability atau risk liability ini secara eksplisit telah dianut di dalam beberapa perundang-undangan misalnya di bidang Lingkungan Hidup, Zona Eksklusif Indonesia, Pencucian Uang dan lain-lain. Peralihan dasar tuntutan pertanggungjawaban dari konsep kesalahan ke konsep pertanggungjawaban mutlak risiko sebagaimana dikemukakan oleh Rudger Lummart adalah karena berkembangnya industri yang menghasilkan risiko yang bertambah besar serta semakin rumitnya hubungan sebab akibat antara peristiwa dengan kerugian yang timbul. Perkembangan industri modern telah membawa sejumlah risiko yang terjadi setiap hari yang tidak dapat dihindarkan dari sudut ekonomi. 99 Dengan menggunakan konsep pertanggungjawab strict liability pada bidang perlindungan konsumen, khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian yang pada akhirnya dapat memberikan perlindungan kepada konsumen. “Ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan bank penerbit sebagai pelaku usaha pada 99 Koesnadi Hardjosoemantri., Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992, hal. 358. Universitas Sumatera Utara posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena kedudukan produsen yang jauh lebih kuat dibanding konsumen yang antara lain disebabkan kemampuan pengusaha di bidang keungan, kemajuan teknologi industri yang amat pesat, dan kemampuan pengusaha untuk memakai ahli hukum yang terbaik dalam menghadapi suatu perkara.” 100 Alasan lain yang dapat dijadikan dasar untuk memberlakukan atau memakai konsep strict liability ini dalam perlindungan konsumen khususnya tanggung jawab produk adalah dengan melihat pada tujuan dari perlindungan itu sendiri. Kata perlindungan mengandung arti memberikan kemudahan bagi konsumen dapat tercapai sebab pihak konsumen yang akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan atau memperoleh haknya jika dibandingkan dengan konsep kesalahan, di mana konsumen masih dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan bank penerbit kartu kredit. “Memberikan perlindungan kepada konsumen tidak berarti secara apriori menempatkan pihak bank penerbit kartu kredit dalam posisi yang sulit, akan tetapi semata-mata memberikan kepada konsumen apa yang menjadi haknya tanpa mengurangi kepentingan bank penerbit kartu kredit tersebut.” 101 100 Rancangan Akademik undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Indonesia-Depperdag RI, Jakarta, hal. 79. 101 Janius Sidabalok., Op. cit, hal. 119-120. Universitas Sumatera Utara

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemegang Kartu kredit Dengan Pihak