kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab diri para pelaku
usaha.”
35
C. Bentuk Perlindungan Nasabah Berdasarkan Perjanjian Kredit
Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan. ”Mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak
masyarakat atau nasabah.”
36
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.
Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga maka pada saat itu
nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam
pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save deposite box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah konsumen
mempunyai kedudukan yang berbeda pula. ”Tetapi dari semua kedudukan tersebut
35
Ibid., hal. 34.
36
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 282.
Universitas Sumatera Utara
pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa disektor usaha perbankan”.
37
Fokus persoalan perlindungan nasabah menurut Muhammad Djumhana : Persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-
undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta
di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen
namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank dengan nasabah telah dibakukan
dengan suatu perjanjian baku.
38
Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian kredit
tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam
pengikatan berupa : perjanjian pokoknya yakni perjanjian kredit, dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian
penjaminan.
39
Pelayanan jasa perbankan lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam rangka perlindungan konsumen yang sekaligus menjadi objek dalam penulisan ini
yaitu pelayanan jasa perbankan seperti kartu kredit, dimana pada dasarnya perjanjian kartu kredit ini termasuk ke dalam kategori perjanjian kredit.
Secara umum telah kita ketahui bersama, bahwa perjanjian kartu kredit pada dasarnya merupakan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah yang dibuat dalam
bentuk perjanjian baku, yang sebelumnya telah ditentukan dan disiapkan oleh pihak bank dalam bentuk formulir yang diperbanyak, dengan demikian perjanjian kartu
37
Ibid, hal. 282
38
Ibid., hal. 283.
39
Ibid., hal. 283.
Universitas Sumatera Utara
kredit merupakan perjanjian yang disusun sepihak oleh bank tanpa adanya negosiasi dengan nasabah.
Menurut Setiawan, pada perjanjian kredit antara bank dengan nasabah harus diberi dua catatan yaitu, Pertama, hubungan itu tidak hanya menciptakan
perikatan atas dasar perbuatan melanggar hukum, serta dalam hal tertentu juga atas dasar perjanjian pemberian kuasa, Kedua, hubungan yang dinamakan
kontraktual tersebut tidak menampakkan dirinya sebagai suatu kebulatan yang utuh, melainkan tampil dalam berbagai nuansanya. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak mengatur secara khusus perihal hubungan kontraktual dalam perjanjian kredit antara bank dengan debitur.
40
Selain pengaturan dalam asas-asas umum perikatan, pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menerangkan bahwa kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan mengenai kartu kredit itu sendiri sebagaimana telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 29 ayat 3 menyebutkan bahwa, dalam memberikan dan melakukan kegiatan usaha dalam
kartu kredit ini, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
40
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 221.
Universitas Sumatera Utara
Secara tradisional, dalam mempertimbangkan pemberian kartu kredit, dan agar pemberian kartu kredit itu akhirnya tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah, atau dengan kata lain mencegah kartu kredit itu bermasalah, bank akan memperhatikan dua hal yaitu, kemauan debitur untuk membayar kembali kredit yang
diberikan oleh bank dan kemampuan debitur untuk membayar kembali kredit itu, yang lazim dikenal dengan istilah faktor willingness to pay dan ability to pay dari
nasabah itu. Untuk mengukur kemauan dan kemampuan dari nasabah debitur tersebut,
secara tradisional bank melakukan analisis terhadap lima faktor dari nasabah, yakni faktor character, capital, capacity, conditions dan collateral atau lebih dikenal
dengan istilah The Five C’s of Credit atau dengan kata lain perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum antara bank dan nasabah. Hubungan tersebut dapat
dilihat dalam hal membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau
jasa. Kemudian kepada pihak penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya,
seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, denda dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga suatu bentuk hubungan antara bank dengan nasabah
yang lebih dikenal dengan hubungan hukum kontraktual menurut Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan; semua persetujuan yang dibuat
secara sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila kita
Universitas Sumatera Utara
berpegang pada ketentuan pasal tersebut diatas, secara harfiah maka apabila nasabah telah menandatangani perjanjian kartu kredit secara hukum, nasabah telah terikat
dengan isi perjanjian tersebut. Namun apabila diperhatikan lebih mendalam, kesepakatan yang dihasilkan dalam
perjanjian tersebut belum tentu suatu kesepakatan yang sebenarnya, karena hal- hal sebagai berikut:
a.
Debitur berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan posisi kreditur, sehingga cenderung menerima klausul perjanjian kredit yang
ditawarkan oleh kreditur; dan
b. Debitur belum tentu memahami klausula-klausula dalam perjanjian kredit
yang ditandatanganinya, karena debitur mungkin belum tentu menerangkan secara jelas mengenai klausula-klausula tersebut berikut konsekuensinya.
41
Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang
adanya perjanjian baku, asalkan saja tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, dan tidak pula
bertentangan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan berkontrak, dengan demikian bukannya tanpa batas seperti yang terjadi
pada praktek penggunaan perjanjian-perjanjian baku seperti perjanjian kartu kredit saat ini.
Akan tetapi, didalam pelaksanaan perjanjian kredit didalam perjanjian kartu kredit itu sendiri, tidak boleh menimbulkan ketidakseimbangan pada perjanjian baku
dalam perjanjian kredit penggunaan kartu kredit. Klausula baku yang menimbulkan ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen
dalam perjanjian baku diatur di Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
41
Oey Hioey Tiong, Aspek Hukum Perjanjian Kredit Atas Pembatalan Pemberian Kredit, Majalah Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, 2000, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini berisi larangan pencantuman klausula baku di dalam perjanjian baku. Menurut penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan pencantuman tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Menurut Innosentius Samsul, ”asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak
menentukan sendiri isi dari perjanjian atau kesepakatan dalam kontrak.”
42
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 menetapkan, bahwa dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan, pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila klausula baku tersebut :
1. Isinya :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha barang danatau jasa;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha barang berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen; c.
Menyatakan bahwa pemberian kuasa barang danatau jasa berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang
dibeli konsumen;
d. Menyatakan bahwa pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
barang, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f.
Memberi hak kepada pelaku usaha jasa untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha jasa dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
42
Innosentius Samsul, Op. cit, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha barang
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Letak atau bentuknya :
a. Sulit terlihat
b. Tidak dapat dibaca
3. Pengungkapannya sulit dimengerti
Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan isi, letak, bentuk atau pengungkapannya seperti diuraikan di atas dalam perjanjian baku yang
dibuatnya; dapat dikenakan sanksi, sebagai berikut :
a. Sanksi Perdata
Klausula baku tersebut, jika digugat di pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim membuat keputusan declarator, bahwa klausula baku
tersebut batal demi hukum.
b. Sanksi Pidana
UUPK juga mengenakan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal 18 UUPK, dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau
pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00dua milyar rupiah. Yusuf Shofie dalam lokakarya advokasi konsumen melalui prosedur hukum
berpendapat bahwa : Pada prinsipnya Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak melarang digunakannya perjanjian baku standard form contract, baik untuk barang maupun jasa, asalkan larangan
verbod dan suruhankeharusan gebod yang dituangkan di dalamnya tidak dilanggar. Ada kesan di sebagian pelaku usaha bahwa larangan penggunaan
perjanjian baku, sehingga sangat menghambat aktivitas ekonomi mereka, sebenarnya tidaklah demikian karena ketentuan tersebut hanya membatasi
penggunaan perjanjian baku yang menimbulkan akses negatif bagi pihak lainnya konsumen.
43
Selanjutnya substansi Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen isi klausula baku yang dilarang dapat
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1493 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa
memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh Undang-
43
Yusuf Shofie, Pengantar Klausula Baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Lokakarya Advokasi Konsumen Melalui Prosedur Hukum, Jakarta, 10 Oktober 2001, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
Undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak tidak akan diwajibkan menanggung dengan apapun”.
Pasal 1494 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menangggung
apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari sesuatu perbuatan yang dilakukan olehnya; segala persetujuan yang
bertentangan dengan ini adalah batal”.
Dari kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian baku diperkenankan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1493, atau
dengan kata lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang adanya perjanjian baku, asalkan tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan
berkontrak, dan bukannya tanpa batas seperti yang kebanyakan terjadi pada praktek penggunaan perjanjian-perjanjian baku saat ini. Dan yang terjadi dalam perjanjian
penggunaan kartu kredit adalah terjadinya suatu ketidakseimbangan pada perjanjian baku yang telah ditetapkan dan harus disetujui oleh pemegang kartu kredit.
Engels yang mengutip dari Drion menyatakan, ”tiga aspek negatif dari kontrak perjanjian baku, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Penyusunan sepihak
b. Tidak diketahui isi syarat
c.
Kedudukan yang terjepit dari pihak yang ikut serta.”
44
Selain ditentukan secara sepihak, perjanjian baku umumnya memuat klausula eksonerasi. Melalui eksonerasi, diperjanjikan pertanggungjawaban pihak bank
terhadap debiturnya, dan dalam hal-hal tertentu dibatasi atau sama sekali ditiadakan, baik mengenai tanggung jawab atas dasar hubungan kontraktual ataupun atas dasar
perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian, pada umumnya klausula eksonerasi tidak dapat dipakai oleh pihak bank untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab,
apabila tanggung jawab itu timbul karena kesalahan atau kelalaian di pihak bank sendiri, atau apabila dengan adanya klausula eksonerasi itu kontrak tersebut demikian
tidak seimbang sehingga pelaksanaannya tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan.
Engels yang mengutip dari Drion juga mengemukakan : Aspek-aspek negatif karena adanya kontrak-kontrak baku termasuk dalam ajaran
penyalahgunaan keadaan pada saat tercapainya perjanjian, oleh karena itu perlu dipikirkan untuk menjelaskan syarat-syarat untuk kerugian penyusun contra
proferetem, menafsirkan bahwa syarat-syarat dalam kontrak seperti tersebut tidak berlaku untuk hubungan kongkrit, dan menolak suatu sandaran atas syarat-syarat
tersebut karena bertentangan dengan itikad baik dan kesusilaan.
45
Satu eksonerasi yang sendiri tidak bertentangan dengan kesusilaan, bisa kehilangan sebab yang diperbolehkan goorloofde oorzaak sebagai
pertimbangan, karena terdapatnya pengaruh-pengaruh khusus pada waktu diadakan perjanjian, yaitu apabila pihak yang dirugikan telah menerima beban
yang tidak seimbang di bawah tekanan keadaan-keadaan yang dipergunakan oleh peserta yang menandatangani kontrak; apakah suatu eksonerasi mempunyai sebab
44
Engels., Editor : Suandy., Aspek-Aspek Hukum Kontrak, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 164.
45
Ibid., hal. 165.
Universitas Sumatera Utara
yang diperbolehkan, hanya dapat dinilai oleh hakim berdasarkan keadaan-keadaan khusus dari kejadian.
46
Dalam pelaksanaan perjanjian kartu kredit sering menimbulkan permasalahan bagi nasabah apabila terjadi masalah yang berkaitan dengan tindakan dari bank itu
sendiri maupun tindakan pihak ketiga yang terkait. Sebagai contoh masalah yang sering timbul dan dialami oleh nasabah yaitu sewaktu adanya pemalsuan tanda tangan
si pemegang kartu kredit atau kasus yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan kartu kredit diperlukan adanya suatu
upaya untuk melindungi debitur atau konsumen, maka ketidakseimbangan antara bank dengan debitur dalam pembuatan klausula-klausula baku pada perjanjian kredit
bank khususnya dalam kartu kredit tetap harus dihindari, tetapi tidak berarti melarang adanya praktek perjanjian baku, karena alam perkembangan transaksi perbankan yang
semakin maju dan modern pada saat ini, perjanjian baku sangat diperlukan demi efisiensi. Demi kesetaraan dalam pelaksanaannya, batasan atau pedoman terhadap isi
dari suatu perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank khususnya perjanjian kartu kredit yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pada perjanjian
kredit tersebut, dengan tetap merujuk pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya bank wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan ketentuan yang ditentukan dalam undang- undang ini.
46
Ibid., hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 22 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat 4 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa menutup kemungkinan bagi Jaksa untuk
melakukan pembuktian. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem pembuktian terbalik. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-
Undang ini dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan beban tanggung jawab bagi pelanggar untuk membayar kompensasi
atas akibat yang ditimbulkan atas pelanggaran ini. Selain itu usaha untuk melindungi konsumen sebenarnya tidak bergantung pada penerapan hukum pidana semata yang
diuraikan di atas, akan tetapi dapat juga dilakukan secara perdata yang dapat diharapkan melalui sanksi dan mekanisme gugatan ganti rugi. Jika terjadi kelalaian
dan kesalahan yang terjadi pada bank, biasanya sanksi dan mekanisme gugatannya hanya ganti rugi sesuai dengan Pasal 1365-1366 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. a. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, ”Setiap
perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut”. b. Pada pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, ”Setiap
orang yang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kekurang hati-hatian”.
Perlindungan nasabah yang diberikan oleh bank dapat juga dilihat di dalam Undang-undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu Pasal 29 angka 4 yaitu: di
mana untuk kepentingan nasabah bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang
dilakukan oleh bank. Perlindungan terhadap nasabah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
upaya menjaga tetap berjalannya usaha bank secara khusus dan perlindungan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan pada umumnya. Upaya menjaga
kelangsungan hidup usaha bank ini terlihat dengan upaya yang diberikan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank.
Sebagai lembaga pengawas perbankan di Indonesia, maka Bank Indonesia mempunyai peranan yang besar sekali dalam usaha melindungi, dan menjamin agar
nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan-tindakn salah dari bank-bank, dan juga dalam kewenangannya untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan oleh seluruh bank yang beroperasi di Indonesia. “Pengawasan yang efektif dan baik adalah merupakan langkah preventif dalam membendung atau setidak-
tidaknya mengurangi kasus kerugian nasabah karena tindakan atau lembaga keuangan lainnya yang melawan hukum.”
47
47
Muhammad Djumhana, Op. cit, hal. 286.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, bentuk perlindungan nasabah yang diberikan oleh bank, dapat berupa tanggung jawab bank atas kerugian nasabah karena adanya perjanjian baku
dalam perjanjian kerdit pada umumnya dan perjanjian kartu kredit pada khususnya. Pada dasarnya bank sesungguhnya memahami bahwa kredit yang diberikan kepada
nasabah mengandung resiko, karena bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko, bank melakukan analisis kredit kepada calon
nasabah untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi pinjaman bank sesuai kesepakatan dalam perjanjian. Apabila bank
menyetujui permohonan kartu kredit dari calon nasabah, pemberian fasilitas kartu kredit itu dituangkan dalam perjanjian kredit.
Perjanjian kartu kredit yang disetujui serta ditandatangani oleh pihak bank dan debitur, seharusnya dibuat secara seimbang atau tidak berat sebelah, atau dengan
perkataan lain perjanjian kartu kredit tersebut tidak hanya melindungi kepentingan bank saja tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan nasabah. Pada prakteknya
perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian baku yang secara umum menunjukkan ketidakseimbangan, dan debitur ada pada posisi yang lebih lemah,
sehingga seringkali debitur dirugikan. Sehubungan hal tersebut bankpelaku usaha seharusnya ikut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami debitur karena adanya
perjanjian baku. Beberapa hal yang penting dalam hal ini adalah sebagai berikut: a. Perjanjian baku harus memperhatikan keseimbangan dan kepatutan.
Engels yang mengutip dari Houwing, mengatakan bahwa : Eksonerasi dengan sengaja tidak memenuhi perjanjian adalah pembatasan
perjanjian itu sendiri, oleh karena itu harus dibedakan antara eksonerasi untuk
Universitas Sumatera Utara
ingkar kewajiban yang sengaja terahdap perjanjian utama sendiri dan ingkar kewajiban yang sengaja terhadap pelaksanaan perjanjian utamanya. Orang dapat
menambahkan atau mengurangi semuanya kewajiban-kewajiban kebebasan berkontrak di dalam perjanjian utamanya, tetapi dalam hubungan sebenarnya
yang timbul karena pelaksanaan perjanjian utamanya, maka memberi suatu perhatian yang cukup terhadap kepentingan masing-masing pihak adalah suatu
syarat kesopanan.
48
Berdasarkan aspek hukum perlindungan konsumen, konsumen menyadari tidak adanya pilihan baginya kecuali menerima atau menolak sama sekali suatu
perjanjian baku take it or leave it, ini suatu pilihan yang menyudutkan konsumen, karena persyaratan yang berat jika mengikatkan diri, dan kebutuhan yang mendesak
bila konsumen tidak mengikatkan diri, sehingga konsumen kehilangan kesempatan. b. Perjanjian baku harus sesuai dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Untuk melindungi konsumen, maka ketidakseimbangan antara bank dengan
debitur dalam pembuatan klausula-klausula baku pada perjanjian kredit bank tetap harus dihindari, tetapi tidak berarti melarang adanya praktek perjanjian
baku, karena dalam perkembangan transaksi perbankan yang semakin maju dan modern pada saat ini, perjanjian baku sangat diperlukan demi efisiensi. Demi
kesetaraan dalam pelaksanaannya, batasan atau pedoman terhadap isi dari dari suatu perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank yang akan diterapkan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan pada perjanjian kredit tersebut, dengan tetap merujuk pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
48
Engels, Op. cit., hal. 161.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan Konsumen, selanjutnya bank wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan ketentuan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
c. Bank turut bertanggung jawab dalam pemberdayaan konsumen. Hal ini diuraikan sebagai berikut:
1. Posisi Konsumen
Posisi Konsumen jauh lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, lemahnya konsumen ini karena kurangnya konsumen untuk mendapatkan
perlindungan hukum disebabkan antara lain oleh karena perangkat hukum yang melindungi konsumen belum memiliki rasa aman, serta peraturan yang
ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen, terlebih, penegakkan hukumnya itu sendiri dirasakan kurang
tegas. Kondisi konsumen seperti ini cenderung potensial untuk menjadi korban dari pelaku usaha. Di sisi lain, cara berpikir sebagian pelaku usaha
semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek, tanpa memperhatikan keselamatan konsumen yang merupakan jaminan
keberlangsungan usaha sang pelaku usaha dalam konteks jangka panjang. 2.
Tujuan Pemberdayaan Konsumen Kebijakan pemerintah harus memberikan kemungkinan kepada konsumen,
untuk memperoleh manfaat dari setiap transaksi yang dilakukan oleh konsumen, mereka juga harus berusaha untuk mencapai sasaran, antara lain
berupa perlindungan konsumen yang efektif dalam rangka menghadapi praktek yang dapat merugikan ekonomi konsumen. Setiap negara wajib
Universitas Sumatera Utara
secara terus-menerus menguji ulang ketentuan perundang-undangan untuk memberi bobot dan menyiapkan pelaksanaan perundang-undangan tersebut,
dan untuk menyediakan fasilitas informasi yang memadai, agar konsumen dengan kedudukan yang telah menguntungkan bagi konsumen, dan
menghindari dari praktek pelaku usaha yang merugikan. Negara wajib menciptakan dan mengembangkan program pendidikan dan penyuluhan bagi
konsumen secara umumm dengan memperhatikan aspek budaya, dan tradisi masyarakat. Bila perlu, pelaku usaha harus berperan serta secara nyata
dalam program pendidikan dan penyuluhan konsumen tersebut. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
telah memberi pengaruh bagi hukum perdata, yaitu adanya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Pasal 18,
serta asas pembuktian terbalik Pasal 22. Perlindungan konsumen diberlakukan sebagai upaya untuk memberdayakan konsumen, dan
pembentukan hukum perlindungan konsumen yang adil adalah bukan hanya melindungi hak-hak konsumen, tetapi juga mengamankan kepentingan
pelaku usaha yang jujur, karena kegiatan usaha yang jujur yang dapat bertahan untuk jangka Panjang, dan pelaku usaha yang tidak jujur pantas
khawatir terhadap diberlakukannya hukum perlindungan konsumen. 3.
Peran Serta Bank dalam Pemberdayaan Konsumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tidak saja ditujukan mengatur hak-hak konsumen, tetapi juga mengatur
Universitas Sumatera Utara
perilaku pelaku usaha. Segala ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
akan mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan usaha yang sehat dan jujur. Dalam rangka perlindungan konsumen, pelaku
usaha mempunyai kewajiban yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi pelaku usaha, baik yang bersifat umum maupun yang masuk dalam
criteria liability sebagai konsekuensi penerapan hak-hak konsumen, antara lain beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, serta memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur. Kesadaran hukum pelaku usaha diperlukan guna menciptakan hubungan yang harmonis antara konsumen
dan pelaku usaha diperlukan guna menciptakan hubungan yang harmonis antara konsumen dan pelaku usaha sehingga menguntungkan bagi masing-
masing pihak. Dalam usaha pemberdayaan konsumen diharapkan pelaku usaha dapat berperan aktif, antara lain menyisihkan sebagian pendapatannya
untuk diberikan kepada lembaga yang menyelenggarakan pemberdayaan konsumen.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, perlu dilakukan pemberdayaan konsumen melalui sosialisasi peraturan-peraturan, dan atau Undang-
Undang Perlindungan Konsumen guna menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen yang dirugikan. Untuk mengatasi proses pembuktian dalam sengketa
antara pelaku usahabank dengan konsumendebitur, bila dari pihak konsumen
Universitas Sumatera Utara
dirasakan adanya kesulitan dalam pembuktian, maka untuk kasus tertentu dapat diberlakukan prinsip pembuktian terbalik.
D. Lembaga Perlindungan Konsumen