subjektif. Untuk mendapatkan ketepatan peramalan mengenai intensi dapat diperoleh jika komponen sikap dan normatif diukur pada level spesifikasi
yang sama dengan intensinya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila adalah kecenderungan subjektif seseorang di mana ia akan
menampilkan beberapa tingkah laku, dalam hal ini ialah berhenti untuk menjadi wanita yang menjual diri dengan tidak melakukan perbuatan-
perbuatan seksual sebagai mata pencaharian dengan dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu
seks tanpa kendali dengan banyak orang.
Menurut Fishbein dan Ajzen 1975 terdapat dua faktor utama yang menentukan intensi dalam memunculkan suatu perilaku yaitu sikap
terhadap perilaku dan norma subjektif. Kedua aspek ini akan dibahas satu- persatu.
2.1.2 Faktor-faktor Pembentuk Intensi 2.1.2.1 Sikap
Fishben dan Ajzen 1975 menempatkan istilah sikap semata-mata mengacu pada letak seseorang pada dimensi evaluatif atau afektif
berkenaan dengan beberapa objek, tindakan, atau kejadian. Sikap mewakili
perasaan umum suka atau tidak seseorang terhadap beberapa stimulus objek. Sikap seseorang terhadap suatu tingkah laku tertentu merupakan
fungsi dari belief orang tersebut tentang konsekuensi dari tingkah laku dan evaluasinya terhadap konsekuensi tersebut. Timbulnya suatu sikap terhadap
tingkah laku dipengaruhi oleh belief yang dimilikinya. Belief menurut Fishbein dan Ajzen 1975, mengarah pada penilaian subjektif seseorang
terhadap berbagai aspek yang ada di sekitarnya. Belief merupakan kemungkinan subjektif dari hubungan antara objek belief dan sejumlah
objek nilai, konsep, atau atribut. Belief seseorang terhadap suatu objek akan menentukan sikapnya terhadap objek sikap. Belief yang membentuk sikap
ini dinamakan behavioral belief.
Jika seseorang membentuk belief terhadap objek, secara otomatis ia akan membentuk sikap terhadap objek tersebut. Kekuatan belief atau
kekuatan antara objek dan atribut tidak sama pada setiap orang. Kekuatan belief
diukur dengan cara menilai probabilitas subjektif yang dikaitkan dengan hubungan objek dan atribut. Belief seseorang mengenai suatu objek
dapat digali melalui elisitasi dalam bentuk menghimpun respon bebas dengan cara meminta subjek untuk menilai karakteristik, kualitas, dan
atribut dari objek tersebut.
Fishbein dan Ajzen 1975 mengatakan bahwa keyakinan belief terhadap suatu tingkah laku tertentu ditentukan oleh 5 sampai 9 keyakinan
utama. It can therefore be argued that a person’s attitude toward an object is
primarily determined by no more than five to nine beliefs about the object, these are the beliefs that are salient at a given point in time.
Fishbein Ajzen, 1975 Pengertian salient belief, yaitu belief-belief terhadap objek yang dimiliki
seseorang yang berfungsi sebagai determinan penentu sikapnya pada waktu tertentu.
2.1.2.2 Norma Subjektif
Fishbein Ajzen 1975 mendefinisikan norma subjektif sebagai berikut:
… is the person’s perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question.
Fishbein Ajzen, 1975
Definisi ini menerangkan keyakinan-keyakinan atau persepsi individu yang berhubungan dengan harapan atau keinginan orang lain
mengenai sebuah tingkah laku yang mempengaruhi individu untuk
melakukan tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, bahwa norma subjektif ini merupakan persepsi seorang individu mengenai pengaruh lingkungan
sosial yang mempengaruhi keyakinan terhadap individu untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Orang-orang yang menjadi acuan individu dalam menampilkan tingkah laku disebut significant other. Norma subjektif terbentuk dari belief
individu tentang hal-hal normatif apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan, yang sifatnya subjektif. Hal ini berarti normative belief
tersebut pada setiap individu, tergantung pendapat siapa yang ia dengarkan dan motivasinya untuk mematuhi pendapat itu. Norma subjektif individu
ditentukan oleh pendapat dan harapan yang dirasakan dekat dengannya dan secara signifikan mempengaruhi terbentuknya sebagian belief seseorang.
Norma subjektif juga berisi tentang harapan atau tuntutan lingkungan terhadap warganya. Norma subjektif juga dapat berisi norma-norma
larangan unutk melakukan sesuatu yang dibenci atau dihindari oleh masyarakat tertentu. Hal ini oleh Fishbein 1975 disebut sebagai
motivation to comply .
Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa norma subjektif ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Normative belief, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan
pendapat tokoh panutan significant others tentang apakah subjek harus melakukan atau tidak perilaku tertentu.
2. Motivation to comply, yaitu seberapa jauh motivasi individu untuk
mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut.
Selain dua determinan tersebut, yaitu sikap terhadap perilaku dan norma subjektif, terdapat satu aspek yang menurut Ajzen 1988 juga yang
membentuk intensi terhadap suatu perilaku. Aspek itu ialah perceived behavioral control
.
2.1.2.3 Perceived Behavioral Control Ajzen, 1988
Selanjutnya Icak Ajzen pada tahun 1988 mengembangkan teori Reasoned Action
di atas dengan menambahkan faktor perceived behavioral control
sebagai faktor ketiga yang berpengaruh terhadap intensi seseorang. Penambahan faktor ketiga ini dilakukan Ajzen, karena menurutnya teori
Reasoned Action tahun 1975 belum dapat menjelaskan tingkah laku yang
seratus persen tidak dapat dikendalikan sendiri.
Ajzen 1988:132 mendefinisikan perceived behavioral control sebagai berikut:
“perceived behavioral control refers to the perceived ease or difficulty of performing the behavior and it is assumed to reflect past experience
as well as anticipated impediments and obstacles .”
Jadi, dapat dikatakan bahwa perceived behavioral control PBC adalah kemudahan atau kesulitan yang dirasakan atau dipersepsikan oleh
individu untuk menampilkan tingkah laku yang dipengaruhi oleh faktor- faktor diluar kuasa seseorang. Bila intensi merefleksikan kesediaan
seseorang untuk mencoba memunculkan suatu tingkah laku, maka perceived behavioral control
merupakan suatu pertimbangan tentang beberapa keterbatasan realistis yang mungkin muncul Ajzen, 1988.
Perceived behavioral control merupakan bentuk umum dari teori
sikap Fishbein dan Ajzen 1975, dan dipakai untuk tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol kemauan subjek sendiri. Pada
penelitian ini, tingkah laku berhenti menjadi wanita tuna susila diasumsikan sebagai tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah
kontrol kemauan subjek sendiri, sebab untuk mewujudkan intensinya ini ada beberapa faktor dari luar yang dapat menjadi penghambat. Faktor-
faktor yang dapat menjadi penghambat itu antara lain: sulitnya mencari pekerjaan lain, ajakan kembali berprofesi sebagai wanita tuna susila dari
teman-teman dan lain-lain. Bilamana tingkah laku sepenuhnya berada di
bawah subjek sendiri, maka PBC dapat dihilangkan dari bagan-bagan Fishbein dan Ajzen 1998.
Seperti halnya sikap dan norma subjektif, PBC juga ditentukan oleh suatu belief yang disebut control belief yang menjadi dasar untuk
mempersepsikan kontrol terhadap tingkah laku. Ada dua jenis perceived behavioral control
. Pertama adalah perceived behavioral control believe PBCB. PBCB terbentuk dari belief yang disebut control belief yaitu
persepsi seseorang yang lebih menekankan atau mempertimbangkan beberapa hambatan realistis yang ada dalam menampilkan tingkah laku
yang diinginkan. Variabel ini diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan rintangan-rintangan yang diantisipasikan dari tingkah laku.
Sedangkan yang kedua disebut sebagai perceived behavioral control direct
PBCD, yaitu sejauh mana kontrol yang dimiliki seseorang terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Variabel ini memiliki pengaruh langsung
terhadap intensi tingkah laku. Oleh karena itu, dapat menjadi pengganti untuk mengukur keterampilan kontrol sebenarnya, maka variabel ini
memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku.
Ajzen 1985 dalam theory of planned behavior mengemukakan bahwa intensi dipengaruhi oleh tiga determinan atau penentu, yaitu sikap
terhadap tingkah laku, norma subjektif, dan perceived behavioral control. Pendapat Ajzen ini untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah
ini:
Sikap terhadap tingkah laku
Bagan 2. Skema terbentuknya intensi menurut Ajzen 1988. Intensi
Tingkah laku Norma Subjektif
Perceived Behavioral Control
Dari bagan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, PBC mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang
memiliki banyak hambatan untuk melakukan suatu tingkah laku akan berpengaruh terhadap intensinya untuk melakukan tingkah laku itu. PBC
dapat pula mempengaruhi tingkah laku secara langsung via intensi dan dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku tertentu. Tetapi jika
seseorang memiliki informasi yang sedikit, kebutuhan dan sumber dayanya berubah, maka PBC menjadi tidak realistis lagi untuk dipakai meramalkan
tingkah laku Ajzen, 1988.
2.1.3 Intensi untuk Berhenti menjadi Wanita Tuna Susila