BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Belakangan ini, berita di media massa membukakan mata bahwa globalisasi juga berdampak pada penyebaran dan perluasan ruang lingkup operasi perempuan
penghibur atau yang biasa disebut wanita pekerja seks komersial. Perkembangan pekerja seks komersial di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Pelakunya pun tidak hanya wanita dewasa, melainkan gadis di bawah umur, yang masih bersekolah juga melakukan praktik prostitusi. Statistik menunjukkan
bahwa kurang lebih 75 dari jumlah pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran
pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17-21 tahun. Kartono, 2007. Sedangkan menurut Deputi Perlindungan Anak pada
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr Surjadi Soeparman MPH, diperkirakan 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial PSK di Indonesia
dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah usia 18 tahun.
Di Jawa Timur, pada tahun 1960-1970 tercatat 4.600 pekerja seks komersial, tetapi diperkirakan di luar jumlah itu masih ada tambahan 1.000 orang
lagi. Di Jawa Tengah ada 2.404 pelacur di 486 rumah pelacuran. Di Jakarta sendiri jumlahnya 6.500 orang. Pada tahun 1990, ketika jumlah penghuni kota
meroket, sektor primer tidak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49 dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung.
Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak lowongan berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah
kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali lipat. Data resmi menyebutkan, jumlah
pekerja seks pada tahun19941995 tercatat 71.281. Tidak termasuk yang di luar pagar lokalisasi. Tetapi ahli ilmu sosial Daniel Dhakidae pernah menghitung-
hitung, pada tahun 1971 saja ada 106.840 wanita tuna susila. http:www.hamline.eduapakabarbasisdata199707260018.html
Di Indonesia, UNICEF melaporkan bahwa sekitar 30 persen sekitar 40-70 ribu anak terjerumus ke prostitusi berusia di bawah 18 tahun. Mereka tersebar di
beberapa daerah seperti Batam, Bali, serta beberapa kota lain yang memiliki fasilitas wisata. Selain karena ditipu, kemiskinan menjadi alasan utama banyak
anak terjerumus ke prostitusi. Berdasarkan data yang dilakukan di wilayah Jakarta dan Jawa Barat; wanita pekerja seks komersial dewasa di Jakarta
sebanyak 4.704 80 dan sebanyak 10.041 80 di Jawa Barat. Sedangkan jumlah pekerja seks komersial yang berusia di bawah umur 1.020 20 di
Jakarta dan sebanyak 2.511 20 di Jawa Barat. http:indonesiabreakingnewsonline.blogspot.com20080730-psk-indonesia-
anak-di bawah -umur.html
Pada tahun 2003, jumlah pekerja seks komersial kian meningkat di kota- kota besar. ILO-IPEC melakukan kajian dan memperkirakan jumlah pekerja seks
komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung sebanyak 2.511 anak, Yogyakarta sebanyak 520 anak, Surabaya sebanyak 4.990 anak, dan
di Semarang sebanyak 1.623 anak. Namun jumlah ini dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di
tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata. Tempo Interaktif, 2003 Sementara itu, jumlah pekerja seks di Cirebon juga mengalami peningkatan pada
tahun 2010. Hal tersebut diungkapkan Kepala Bagian Kesra Kabupaten Cirebon, Deni Agustin. Menurut Deni, saat ini jumlah pekerja seks komersial di
Kabupaten Cirebon yang tercatat sebanyak 3.000 orang. Tempo Interaktif, 2010
Aksi para pekerja seks dalam praktek prostitusi ini tidak terlepas dari pengawasan dan penindaklanjutan yang dilakukan oleh pihak keamanan dan
petugas satpol PP setempat. Biasanya petugas satpol PP ini menjaring para pekerja seks komersial yang berada di tempat-tempat hiburan atau hotel tertentu,
yang sebelumnya telah mendapat informasi dari para warga masyarakat di
sekitar lingkungan tersebut. Setelah itu, para pekerja seks komersial yang terkena razia oleh petugas tramtib segera dibawa ke dinas sosial untuk selanjutnya
diproses dan ditempatkan ke panti rehabilitas. Salah satu panti rehabilitas yang berada di Jakarta yaitu Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya, Pasar Rebo.
PSKW Mulya Jaya merupakan unit pelaksana teknis Departemen Sosial RI yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada wanita tuna susila
pekerja seks komersil, antara lain: pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan, resosialisasi dan pembinaan
lanjut kepada penyandang masalah tuna susila agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. PSKW Mulya Jaya ini
telah berdiri sejak tahun 1959 dan memiliki daya tampung sebanyak 110 orang. Ada beberapa program kegiatan yang dilakukan dalam upaya pembinaan mental
dan fisik yang diberikan kepada para pekerja seks komersil ini, yaitu antara lain Praktek Belajar Kerja PBK, Bimbingan Lanjut Binjut, dan Widya Wisata.
Salah satu faktor yang menyebabkan wanita menjadi pekerja seks komersial adalah tuntutan ekonomi. Hal itu pulalah yang menjadi faktor wanita
tuna susila sulit untuk berhenti menjadi pekerja seks komersial. Mereka merasa bahwa tuntutan hidup lebih penting untuk dipenuhi walaupun harus dengan cara
melakukan praktek prostitusi. Mereka merasa tidak mampu untuk melakukan pekerjaan lain yang halal dan menganggap diri mereka tidak berharga. Mereka
merasa tidak aman dengan diri mereka sehingga mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, mereka
memilih dan mau menjalani profesi sebagai wanita tuna susila karena mereka menilai rendah keberhargaan diri mereka.
Menurut beberapa pengakuan dari mereka, dengan menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial, sedikit banyak mereka menerima pandangan
atau perlakuan yang negatif dari lingkungan sosialnya. Mereka menerima begitu banyak hinaan dan celaan dari orang-orang disekitarnya. Setiap kali seseorang
mengatakan sesuatu yang merendahkan dirinya, mereka menerimanya begitu saja. Hal ini akan membuat mereka semakin menilai diri mereka sebagai
individu yang tidak berarti dan tidak berharga. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coopersmith dalam Burn, 1993 bahwa penilaian yang
diberikan individu terhadap dirinya sendiri, yang ditampilkan dalam sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan keyakinan individu kepada diri
sendiri bahwa ia mampu, berarti, berhasil, dan berharga disebut self esteem. Seseorang yang menilai dirinya tidak berharga berarti orang tersebut memiliki
self esteem yang rendah.
Menurut salah satu pembimbing di PSKW Mulya Jaya, pembinaan mental yang dilakukan pada siswa PSKW Mulya Jaya bertujuan untuk meningkatkan
harga diri self esteem para pekerja seks komersil tersebut agar mereka mampu
menampilkan sikap penerimaan dan menunjukkan keyakinan atas diri mereka bahwa mereka mampu, berarti, berhasil, dan berharga. Self esteem merupakan
salah satu aspek yang menentukan keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Individu yang menilai tinggi keberhargaan dirinya
merasa puas atas kemampuan diri dan merasa menerima penghargaan positif dari lingkungan. Hal ini akan menimbulkan perasaan aman dalam diri individu
sehingga ia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Dengan adanya pembinaan dan pelatihan keterampilan yang diberikan oleh petugas dinas sosial PSKW Mulya Jaya selama 6 bulan diharapkan juga
dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan para siswa dalam hal fisik, ekonomi, pengetahuan, keterampilan, dan mental mereka sehingga diharapkan
mereka tidak menunjukkan perilaku prostitusi lagi dan memiliki intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila apabila mereka telah keluar dari PSKW
Mulya Jaya. Karena individu dengan self esteem yang tinggi dapat mengekspresikan diri dengan baik, tidak terpengaruh pada penilaian orang lain
terhadap dirinya, dan memiliki keyakinan akan dirinya bahwa ia memang mempunyai kemampuan, kecakapan, dan kualitas diri yang tinggi untuk
melakukan pekerjaan yang lebih layak.
Selain berbagai keterampilan dan pembinaan diri, PSKW Mulya Jaya juga memberikan pembelajaran keagamaan. Bentuk kegiatan tersebut antara lain:
membaca Al-Qur’an, ceramah keagamaan, zikir bersama, dan bimbingan penyuluhan Islam dan perkawinan agar mereka dapat bertobat dan menjadi
wanita yang baik. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan religiusitas pada diri siswa. Menurut Siaga dalam Zubaidi, 1994, kesadaran religius yang tinggi
akan mendorong seseorang untuk selalu berusaha berbuat baik, berpegang pada moral, dan selalu berupaya untuk menyelaraskan diri dengan nilai yang tertinggi
dalam hidup ini, yaitu Tuhan.
Namun pada kenyataannya, upaya pembinaan mental dan rohani yang dilakukan pihak PSKW Mulya Jaya kepada para siswa belum begitu
berpengaruh terhadap diri mereka. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis peroleh bahwa ternyata beberapa siswa di PSKW Mulya Jaya masih
menunjukkan perilaku yang masih bercirikan seorang pekerja seks komersial. Beberapa dari mereka masih ada yang senang menggunakan make-up yang tebal,
menggoda petugas dan pengunjung laki-laki, bahkan ada yang nekat keluar dari kamar mandi dan berjalan ke kamarnya tanpa sehelai benang pun. Ada juga
beberapa siswa yang sudah lebih dari satu kali masuk PSKW Mulya Jaya.
Diduga, sikap prostitusi yang ditampilkan oleh para siswa PSKW Mulya Jaya tersebut dipengaruhi oleh belief atau sejumlah belief yang dimilikinya. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen 1975 bahwa belief
mengarah pada penilaian subjektif individu terhadap berbagai aspek yang
ada disekitarnya. Belief seseorang terhadap suatu objek akan menentukan sikapnya terhadap objek sikap tersebut. Selanjutnya, sikap terhadap suatu objek
tersebut akan mengarahkan intensi individu terhadap suatu objek. Bila para siswa PSKW Mulya Jaya masih menampilkan sikap prostitusi maka kemungkinan
mereka masih memiliki intensi untuk menjadi wanita tuna susila dan kembali melakukan praktek prostitusi setelah keluar dari PSKW Mulya Jaya.
Hasil penelitian dalam Journal of Chinese Clinical Medicine vol 2 no.1 yang berjudul Effect of self esteem on substance-abuse, thieve, and prostitution
menunjukkan bahwa self esteem seseorang memiliki pengaruh terhadap perilaku kekerasan, pencurian, dan prostitusi yang mereka lakukan Alavi, 2007. Jadi,
perilaku prostitusi yang dilakukan seseorang dipengaruhi oleh self esteem yang mereka miliki. Perilaku prostitusi yang dimunculkan oleh individu bergantung
pada seberapa besar intensi individu tersebut untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Menurut Fishbein dan Ajzen 1975, intensi mempengaruhi individu untuk bertingkah laku. Beberapa penelitian mengenai peran intensi terhadap perilaku
telah dilakukan, seperti dalam Jurnal Psikologi Sosial volume 13 no.1 mengenai Relationship between intention to obey traffic signs and disobeying traffic signs
behavior on bus driver in Jakarta Ayuningtyas, 2008. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara intensi
mematuhi tanda-tanda lalu lintas dan tingkah laku melanggar tanda-tanda lalu lintas, yang berarti semakin tinggi intensi mematuhi tanda-tanda lalu lintas maka
semakin rendah tingkah laku melanggar tanda-tanda lalu lintas.
Hasil penelitian lain mengenai hubungan attitude, subjective norm, dan perceived behavioral control
dengan intensi untuk bertingkah laku menunjukkan bahwa attitude, subjective norm, dan perceived behavioral control secara
signifikan memberi sumbangan terhadap intensi untuk melakukan safety performance
pada pekerja drilling Abdullah, 2002. Selanjutnya, pada penelitian lain dalam Jurnal Psikologi. Vol. 8, No. 2 mengenai hubungan antara prasangka
terhadap kelompok dan intensi untuk bertingkah laku agresi pada pelajar sebuah SMK di Jakarta yang terlibat tawuran memberikan hasil bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara prasangka terhadap kelompok dengan intensi untuk bertingkah laku agresi, di mana semakin kuat prasangka seseorang
terhadap suatu kelompok lain, maka akan semakin tinggi pula intensi untuk bertingkah laku agresi terhadap kelompok tersebut Sheila, 2001. Lalu, pada
penelitian mengenai hubungan antara adversity quotient AQ dengan intensi sembuh pada pengguna narkoba di panti rehabilitas diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi sembuh pada pengguna narkoba, di mana jika adversity quotient para pengguna
narkoba tinggi maka intensi untuk sembuh juga tinggi dan akan memunculkan perilaku sembuh para pengguna narkoba Wulandari, 2009.
Selain itu, terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara self esteem
dengan intensi, yaitu pada penelitian dalam Jurnal Psikologi. Vol. 9, No. 1 mengenai hubungan antara nilai sosial obat dan self esteem dengan intensi
penyalahgunaan obat pada remaja menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara nilai sosial obat dan self esteem dengan intensi penyalahgunaan
obat. Nilai sosial obat secara mandiri tidak ada hubungan dengan intensi penyalahgunaan obat sedangkan self esteem secara mandiri memiliki hubungan
yang signifikan dengan intensi penyalahgunaan obat Prasetya, 2002. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sujana Y.E Ratna Wulan 1994 dalam Jurnal
Psikologi 1994 No.2, 1-8 mengenai hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan
antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek namun terdapat hubungan negatif antara harga diri self esteem dengan intensi menyontek. Hal
ini menunjukkan bahwa self esteem juga berkaitan dengan intensi.
Adapun hasil penelitian mengenai keterkaitan antara religiusitas dengan intensi, yaitu pada penelitian pengaruh perilaku beragama dan nilai sosial obat
terhadap intensi penyalahagunaan obat pada remaja menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan antara perilaku beragama dan nilai
sosial obat terhadap intensi penyalahgunaan obat, dimana nilai sosial obat memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap intensi penyalahgunaan obat yang
akan memunculkan perilaku penyalahgunaan obat. Nuzullia, 2005. Penelitian
mengenai hubungan religiusitas dengan intensi untuk menabung di Bank Syariah Zulhairi, 2005 juga memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara religiusitas dengan intensi untuk menabung. Lalu pada penelitian mengenai hubungan komitmen beragama dengan intensi berhenti
menyalahgunakan narkoba pasca program rehabilitas diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen beragama dengan intensi
berhenti menyalahgunakan narkoba pasca program rehabilitasi. Handoyo, 2009. Variabel komitmen beragama dalam penelitian tersebut termasuk dalam
dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Fetzer 1999.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara pendapat tentang perkawinan dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila diperoleh
hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kedua variabel tersebut dan sebanyak 65 dari 40 orang siswa PSKW Mulya Jaya memiliki
intensi yang tinggi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila Rachmawati, 1993. Selain itu, pada penelitian mengenai hubungan antara persepsi mengenai
penolakan lingkungan sosial dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
kedua variabel tersebut dan sebanyak 61,7 dari 34 siswa rehabilitas memiliki intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Menurut peneliti, ada beberapa faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi perilaku para warga binaan yang masih bertingkah laku seperti
pekerja seks komersial di PSKW Mulya Jaya, yaitu pembinaan yang kurang maksimal dan kurang efektif karena kurangnya petugas dinas sosial yang
menangani mereka, dan kurangnya dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Sedangkan faktor internalnya dapat berupa: kebiasaan perilaku
prostitusi yang sudah ada dalam diri mereka sebelum masuk panti yang sulit dihilangkan, adanya rasa kebutuhan atau hasrat yang masih tinggi untuk
melakukan hubungan seks, rasa frustasi, kualitas konsep diri yang dalam hal ini berkaitan dengan harga diri self esteem dan kesadaran keagamaannya.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti merasa tertarik meneliti faktor- faktor internal yang berkaitan dengan fenomena yang peneliti amati sekarang
bahwa beberapa wanita pekerja seks komersial yang telah mendapat pembinaan di panti rehabilitas masih menunjukkan sikap prostitusinya sehingga tidak sedikit
wanita yang telah keluar dari panti rehabilitas kembali terlibat dalam praktik prostitusi lagi demi mendapatkan imbalan jasa atau hanya sekedar pemuasan
nafsu seksual semata. Selain itu, berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai keterkaitan antara self esteem dengan intensi serta
religiusitas dengan intensi yang telah dipaparkan di atas, peneliti merasa tertarik untuk menjadikan kedua konstruk, yaitu self esteem dan religiusitas sebagai
independent variabel dan menguji hubungan antara kedua konstruk tersebut
dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila sebagai dependent variabel. Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara
self esteem dan religiusitas dengan intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna
susila pada siswa PSKW Mulya Jaya, seberapa besar kontribusi self esteem dan religiusitas terhadap intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila siswa
PSKW Mulya Jaya, serta aspek self esteem dan religiusitas mana yang paling berkontribusi terhadap intensi untuk berhenti menjadi wanita tuna susila siswa
PSKW Mulya Jaya.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah